LIKA-LIKU TATA NEGARA DAN TATA BANGSA

Oleh: Heru Purnama Hasido

Kisruh politik yang menjadi berita hangat yang mencuat akhir-akhir ini sangat menarik perhatian kita, membuat banyak dari kita semakin tergugah dengan perkembangan bangsa. Sejak Presiden Susilo bambang Yudhoyono dilantik, lalu dilanjutkan dengan penyusunan kabinet ‘Indonesia Bersatu Jilid Dua’. Kemudian, belum lama berjalan roda pemerintahan, satu demi satu, bermunculan ‘insiden’ di Tanah Air, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia dibuat makin mafhum bahwa, pemerintahan SBY seolah tidak dibiarkan untuk benar-benar ‘bersandar tenang’ di kursinya. Karena ada bagian lain dari pemilik kuasa di negeri kita yang mempunyai kursinya sendiri sedang menggoyang-goyang pemilik kuasa eksekutif ini, merekalah legislatif, anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

‘Kasus Century’, boleh jadi dianggap sebagai polemik biasa dalam dinamika sebuah organisasi sekaliber Negara Indonesia, karena tidak jarang pada sebuah keputusan besar yang seharusnya dihasilkan dari hasil musyawarah bersama sering berakibat pada ketidakpuasan pihak lain. Penyebabnya beragam, bisa karena adanya ketidak puasan karena tidak diajak berunding, atau adanya penyalah gunaan dari hasil keputusan itu sendiri, atau bisa jadi, seperti banyak dinilai oleh pemerintah, bahwa dalam kasus Century, keputusan yang diambil sudah benar, tapi tata kelolanya yang bermasalah. Maka, rasa curiga DPR menanggapi kasus ini dapat dianggap beralasan pada tuntutan pada kebijakan bail out oleh wapres Boediono dan Sri Mulyani. Cerita pun berlanjut hingga kini, dengan pidato Presiden yang menanggapi kisruh Century dengan pernyataan bahwa presiden secara pribadi akan ikut bertanggung jawab. Dengan ini, SBY seolah mengambil tempat bersebarangan dengan mereka yang mendesak pemerintahannya dengan kasus Century dan SBY semakin ‘face to face’ terhadap DPR.

Bagi sebagian kalangan, pernyataan SBY justru pertanda positif, karena SBY sebagai presiden menunjukkan kredibilitasnya dengan bertanggung jawab menjadi kepala pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif di saat itu (Indonesia Bersatu Jilid Satu), hingga masa jabatan sekarang. Tapi bagi sebagian yang lain, ini pertanda negatif, di antara pengamat, ada yang bahkan justru—mungkin agak berlebihan—menyandingkan kasus Century dengan kasus “Watergate” di US pada masa pemerintahan Nixon, yang berakhir ‘happy ending’, yaitu tersingkirnya sang presiden Nixon.

Namun, tulisan ini bukan untuk memberikan penilaian yang terbilang ‘nge-pop’, yaitu berpanjang lebar membahas kasus Century. Juga tidak tentang topik terancam pecahnya koalisi, bukan tentang masa depan mitra koalisi, tentang posisi dari oposisi pemerintah atau tulisan tanggapan bagi isu pemakzulan. Menurut penulis, kurang apik rasanya bila satu demi satu dari masalah bangsa ini harus terus mengikuti hembusan media sebagaimana pada topik-topik hangat di atas. Maka tulisan ini hanya akan membahas sisi fundamental dari topik wawasan ketatanegaraan.

Kadang perlu adanya semacam ‘flash back’, atau bahkan melakukan ‘slow motion’ terhadap sebuah objek kajian jika kita hendak mendapatkan sudut pandang yang berbeda, meskipun hasil dari kajian ini nantinya kurang populer.

Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, dengan kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat (setelah amandemen undang undang 45’ yang menyatakan bahwa MPR adalah manifestasi dari pemilik kekuasaan tertinggi dalam republik ini). Pengetahuan kita akan hal ini sangat penting, meskipun mungkin jauh tidak lebih populer daripada kasus Century maupun Anggodo, bahkan tidak lebih populer dari program pemerintahan 100 hari SBY yang makin redup-redup temaram itu.

Sebagai negara yang berkomitmen pada proses demokrasi pada umumnya, Indonesia mengenal pembagian kekuasaan ke dalam beberapa lembaga tinggi yang terpisah. Di Indoenesia terdapat kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai pemilik pos-pos kekuasaan tertinggi itu. Dalam penyusunan administrasinya, eksekutif dipimpin oleh presiden sebagai kepala negara dan pemegang kebijakan pemerintahan tertinggi. Indonesia juga memiliki sistem legislatif yang dimulai dari dirikannya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Legislasi di Indonesia dibuat dengan sistem dua kamar (bikameral) yang tersusun dari DPR dan DPD. Di Indonesia, sistem bikameral dalam parlemennya berbeda dengan yang diterapkan di beberapa negara yang memadukan sistem parlementer dengan sistem presidensial, seperti di Amerika ataupun RRT. Di Indonesia, DPD diibaratkan dengan senat yang memiliki keterwakilan atau representasi dari berbagai wilayah Indonesia. Tapi hal yang semakin menguatkan perbedaan di Indonesia adalah bahwa di badan legislatif, legitimasi yang diterima DPD tidak mengimbangi kewenangan yang dimilikinya. DPD seolah hanya terikat di lembaga MPR yang tugasnya pun sangat terbatas dan jarang, tidak salah bila menganggap bahwa perwakilan DPD seolah anggota dewan yang banyak menganggur. Kebijakan dari ‘kamar kecil’ ini seolah besar dan pokok dalam ketatanegaraan Indonesia, tapi sangat minim kegiatan.

Banyak pakar menilai bahwa penyusunan pembagian kekuasaan Indonesia sebenarnya terlalu berat di idealisme bahkan berat di ongkos, tidak hanya sampai di tingat tertinggi saja, ketimpangan bahkan tumpang tindih dari kebijakan maupun kewenangan ini ternyata menimpa sub-sub dari bagian administrasi dalam pemerintahan. Lebih diperparah dengan adanya undang-undang yang seharusnya membuat ketertiban ternyata dapat berpotensi merusak dan mendistorsi undang-undang yang lain. Sebutlah contoh aktual yang hangat belakangan ini, kita semua sudah melihat istilah koalisi dan oposisi dalam kancah perpolitikan Indonesia. Namun tidak bisa dielakkan lagi, adanya ‘koalisi’ dan ‘oposisi’ dalam perpolitikan pada dasarnya tidak berdasar sama sekali, kalaupun berdasar, dasarnya tidak lain hanya dari bawaan sifat dan sikap kekeluargaan yang menjadi kultur bangsa kita, tanpa adanya tata cara yang memperjelas bagaimana mekanisme berkoalisi atau beroposisi. Tak lebih dari sekadar semacam ‘shaking hand’ saja.

Di bawah lembaga lembaga tertinggi negara, ada KPK, kejakgung dan kepolisian, ternyata kewenangan yang ada dan telah ‘diatur’ undang undang bagi tiga lembaga ini masih bisa dipandang tumpang tindih. Carut-marutnya makin terlihat beberapa waktu lalu, saat isu kriminalisasi KPK dan ‘oknumisasi’ Polisi dan kejagung dipertontonkan ke khayalak ramai. Berada setingkat di bawah dua lembaga tinggi ini, kita bisa melihat bahwa dalam lembaga kepolisian negara, terkenal sebuah badan khusus yang mempunyai tugas khusus pula, yaitu Densus 88. Badan ini memegang program yang sangat tinggi, sesuai dengan tingginya kewenangan yang dimilikinya. Badan yang sebenarnya berada di bawah kepolisian ini ternyata memiliki kekuasaan yang besar dalam mengontrol imigrasi yang sebenarnya lebih berhak ditangani Depdagri dan Densus 88 konon dapat melangkahi kewenangan kejaksaan.

Akibat yang ditimbulkan dari rancunya tata administrasi semakin diperparah dengan kurang atau tidak bertanggungjawabnya pemegang otoritas, kasus Century bisa jadi contoh pertama yang menimpa pemegang kebijakan eksekutif.

Di lembaga legislatif bukan tidak kalah memalukan, pembengkakan anggaran yang yang dibuat oleh anggota DPR dalam pengadaan kelengkapan rumah tangganya menjadi dilema tersendiri. Misalnya, anggota DPR periode 2009 – 2014 sebagian hanya mengaku terpana saat mendapati fasilitas komputer sekelas komputer untuk gamer di meja kerja mereka, lebih terdengar fantastis karena harga satuannya mencapai 20 juta rupiah. Belum lagi badan legislatif yang berada di daerah, banyak dari pejabat negara yang tidak sanggup menerima kenyataan bahwa kendaraan dinas mereka adalah barang bekas dari pejabat sebelumnya, lalu meminta anggaran untuk penggantian.

Demokrasi yang dikembangkan oleh Rousseau, kemudian hari menjadi ideologi pemerintahan yang memiliki tiga sub utama dari pos kekuasaan, pada perkembangan selanjutnya menjadi sistem yang paling banyak dianut oleh negara-negara di penjuru dunia. Ciri khas yang dimiliki dari sistem demokrasi, di antara yang terpenting adalah adanya pemilihan umum, baik pemilihan eksekutif ataupun pemilihan legislatif. Dan tentu saja ada pelantikan dan serah terima jabatan, dengan istilah lebih mudah, semua rakyat yang hidup dalam demokrasi berhak bermimpi untuk menjabat. Kelebihan demokrasi tentu saja ada pada kontrol sosial yang kuat terhadap ketatanegaraan maupun mekanisme pemerintahnya.

Dalam demokrasi, kritik dapat lebih leluasa dilontarkan, dan media dapat lebih maksimal menyebarkan berita. Namun di antara kelemahan yang sering menjadi masalah adalah tidak maksimalnya rasa tanggung jawab pejabat yang bersangkutan terhadap rakyat yang direpresentasikannya. Logis saja, dan sederhana saja, demokrasi di Indonesia boros biaya, dan untuk mencapai kemenangan dalam berdemokrasi di negara kita, sudah maklum bahwa harus maksimal pula menyalurkan dana, maka sulit dipercaya bila dari yang bersangkutan (para caleg, mapun calon pejabat lainnya) tidak mengharapkan kembalinya modal dari dana yang dikeluarkannya pada saat kampanye, minimal hingga habis masa jabatan, dan (para pemilih) rakyat yang diwakilinya pun harus memaklumi adanya uang lelah atas segala hasil kerja keras mereka, wakil rakyat maupun ‘pelayan-pelayan rakyat’ itu.

Bandingkan dengan sistem monarki yang paling banyak dipakai negara-negara kuno dahulu, Mesir contohnya, konon seorang Fir’aun Mesir memerintah rakyatnya dengan sangat adil dan arif, tidak lain karena dalam mitos kerajaan, seorang raja yang akan menjabat hingga tutup usia, akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di alam baka kepada nenek moyangnya yang telah lebih dulu menjadi Tuhan. Sedikit bukti kearifan penguasa Mesir terekam dalam cerita Nabi Yusuf AS. Bahkan warga negara asing pun (di sini Yusuf AS) dapat menjadi pejabat istana dan menjadi orang kepercayaan raja. Ini yang menunjukkan bahwa meskipun berbentuk kerajaan dan diperintah oleh seorang diktator yang bahkan tidak jarang mengaku Tuhan, ketatanegaraan Mesir kuno terbilang sangat baik dan tidak bebas nilai.

Demokrasi yang bersanding dengan Teokrasi, Monarki dan Aristokrasi pada dasarnya adalah cara pandang manusia dalam memahami kekuasaan, tapi di masa kini, dalam memahami politik, orang akan lebih cenderung merujuk pada prakteknya saja atau lebih mudah memahami demokrasi lewat pendekatan ketatanegaraan dan jurisprudensi dibanding harus berputar-putar dalam pembahasan idealisme dari teori kekuasaan itu sendiri. Lalu, muncullah turunan baru dari penemuan tata cara peenerapan demokrasi itu dengan istilah-istilah baru, di antaranya ‘Demokrasi Terpimpin’, ‘Demokrasi Langsung’, ‘Monarki Konstitusional’, sistem Kepemimpinan yang berbentuk kekhalifahan, ‘Imamah Syi’ah’, atau bahkan seperti istilah ‘Teokrasi Sekuler’.

Bagaimanapun juga, masalah ini tidak terlepas dari pengaruh plus minus sistem demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri. Sebutlah demokrasi, tatanan kata yang sangat akrab dengan Aristoteles ini menyebutkan bahwa pemilik kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi jauh sejak masa Yunani kuno di Athena, Aristoteles sudah menyebut bahwa Demokrasi hanyalah kata lain dari Mobocracy atau ‘the rule of the mob’ yang artinya kekuasan yang dijalankan oleh massa, yang mana, di mata Aristoteles dipandang berpotensi tidak baik karena akan menimbulkan anarkisme dan kesenjangan sosial yang berdampak luas.

Aristoteles pun lalu berusaha memperbaikinya dengan karyanya; buku berjudul ‘Politics’, meskipun perbaikan itu kemudian tidak banyak memberikan perubahan pada kekurangan dan kelemahan dari sistem demokrasi. Karena sebagus apapun konsep, pada akhirnya harus tergantung pada pelaksana konsep itu sendri. Alhasil, demokrasi yang dijalankan rakyat Indonesia menjadi utopis bila melihat panorama Indonesia, bahwa tangan rakyat yang disebut berkuasa itu hanya berharga dan berkuasa saat minggu-minggu Pemilu saja. Proses selanjutnya tentu saja sesuai dengan Pancasila yang sangat terkenal yaitu; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” bait yang kemudian dipecah menjadi dua pertanyaan yang menggelitik; Sudah hikmatkah dan sudah bijaksanakah kita sebagai rakyat? Lalu sudah bermusyarahkah mereka (para wakil) yang memimpin dan mereprentasikan kita, rakyat Indonesia? Pertanyaan yang sulit dijawab tadi semakin meneror perasaan penjawab bila ditambahkan komentar bahwa demokrasi yang dipahami rakyat Indonesia ternyata adalah demokrasi yang dipahami oleh masyarakat klasik Eropa di abad pertengahan yaitu; demokrasi yang mampu membuat roti, yang dapat mengenyangkan; ternyata demokrasi Indonesia masih dan tidak jauh dari urusan perut.

Semua kekurangan yang ada dalam sistem ketatanegaraan kita sebenarnya bukan menjadi alasan utama dari kelemahan yang mengganggu lembaga-lembaga negara. Jika disandingkan dengan perintah Allah dalam Al Qur’an, bahwa sebenarnya keadilan yang menjadi landasan utama dari demokrasi bukan satu-satunya yang menjamin kualitas dari kehidupan yang ideal, karena itu Allah berfirman dalam satu ayat yang sekaligus memerintahkan manusia untuk tidak hanya berbuat adil, namun juga harus mampu berbuat ‘ihsan’ (positif), bertanggung jawab terhadap kerabat dan bertanggung jawab pada moral masyarakat sekitarnya, semua ini dapat dimanifestasikan dalam tanggung jawab untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah dari bermacam kerusakan, moril maupun materil.

Sistem ketatanegaraan telah menjadi bagian dari kurikulum pelajaran yang diajarkan di sekolah sekolah, akan tetapi, ‘tata bangsa’ yang mendorong terbentuknya masyarakat yang baik dari segi mental dan spiritualnya tidak gampang diajarkan dalam pendidikan formal. Belajar meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab akan lebih banyak didapat dari pengalaman dari kebijaksanaan sehari-hari atau journey of life. Maka kurang tepat bila biasnya undang-undang tertentu dalam negara kita atau tidak lengkapnya mekanisme tertentu menjadi alasan utama dari carut marutnya sosial politik di negeri ini.

Kadang memang berlebihan memandang ideologi lebih tinggi daripada tujuannya sendiri. Kesalahan mensucikan ideologi sering berakibat pada lengahnya kita mencari solusi. Namun tidak kuatnya mental dan prinsip juga tidak kalah berbahaya, karena mencari solusi tanpa melewati prinsip dan ideologi membuat program-program yang dijalankan selanjutnya menjadi terasa tidak memiliki spirit atau jiwa.

Lalu, bagaimana dengan kasus Century tadi? Aih…! Menurut petunjuk bapak presiden, ada baiknya kita ikuti saja jalur hukum yang ada.

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:36 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home