MENGENAL HUKUM TATA NEGARA

Oleh: H. Akbar Hibban, SHI

Dalam pranata ilmu pengetahuan sosial, kita dapat menemukan berbagai macam pengetahuan yang secara independen sudah menjadi sebuah ilmu, maka di sana kita dapat mengenal Ilmu Negara, Ilmu Politik, Ilmu Kebudayaan, Ilmu Ekonomi, Ilmu Psikologi dan Ilmu Hukum.

Dari jenis ilmu yang disebutkan terakhir inilah Hukum Tata Negara bermuara. Muhammad Syukri Surûr , seoarang professor hukum perdata fakultas hukum Cairo University di dalam bukunya yang berjudul “An-Nadzoriyah Al-âmmah lil Qônûn” mengklasifikasikan hukum sebagai berikut;

Pertama: Hukum Publik, yaitu kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan masyarakat yang dinaungi sebuah power politis, di mana negara atau salah satu dari badan hukum publik menjadi pihak yang terkait sebagai pemegang kadaulatan dan kekuasaan.

Yang termasuk dalam bagian Hukum Publik ini yaitu:

Hukum Internasional (al qônun al daulî al âm)

Hukum Tata Negara (al qônun al dustûrî/ Constitutional Law)

Hukum Tata Usaha (al qônun al idârî)

Hukum Keuangan (al qônun al mâlî)

Hukum Pidana (al qônun al jinâ’î)

Kedua: Hukum Privat, yaitu kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara masing-masing individu satu sama lain atau antar masing-masing individu dengan negara ketika negara menjadi pihak terkait dan tidak mengatas namakan dirinya sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan, akan tetapi sebagai objek hukum biasa.

Yang termasuk dalam bagian Hukum Privat yaitu:

Hukum Perdata (al qônun al madanî)

Hukum Dagang (al qônun at tijârî)

Hukum Laut (al qônun al bahrî)

Hukum Antariksa (al qônun al jawwî)

Hukum Perburuhan (qônûn al ‘amal)

Hukum Pertanian (al qônun al zirô’î)

Selanjutnya Prof. Muhammad Syukri Surûr menjelaskan bahwa selain cabang-cabang hukum di atas, ada cabang hukum yang termasuk kategori Hukum Publik dan di saat sama termasuk juga kategori Hukum Privat. Hal ini karena sebagian kaidah dari hukum ini mengatur permasalahan yang berkaitan dengan lembaga publik dan kedaulatan negara, sementara sebagian kaidah lainnya tidak tidak berkaitan itu.

Yang termasuk kategori hukum ini adalah:

Hukum Acara Perdata dan Perdagangan (qônun al murôfa’at al madaniyah wa al al tijâriyah)

Hukum Perdata Internasional (al qônun al daulî al khôsh)

Dari statement di atas maka tampak jelaslah muara Hukum Tata Negara yaitu merupakan bagian dari rumpun Hukum Publik.

Setelah diketahui nisbat Ilmu Tata Negara dalam rumpun ilmu hukum, muncullah pertanyaan apakah itu Hukum Tata Negara? Apa sajakah objek dan materi hukum Tata Negara? Dari manakah sumbernya, serta bagaimanakah karakternya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, agak kesulitan kalau harus disampaikan dalam catatan singkat ini. Maka oleh karena itu, di sini hanya akan dipaparkan tentang definisi, materi dan sumber hukum tata negara.

DEFINISI HUKUM TATA NEGARA

Sebelum kita definisikan Hukum Tata Negara, perlu diketahui bahwa istilah “Tata Negara” dalam penulisannya terdapat dua cara penulisan, yaitu “Tata Negara” (dua kata) dan “Tatanegara” (satu kata). Misalnya Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya: Asas-Asas Hukum Tatanegara di Indonesia(1977) dan Sri Soemantri dalam bukunya Perbandingan Hukum Tatanegara (1971) menggunakan istilah “Tatanegara”, bukan “Tata Negara”. Tetapi Syahran Basyah dalam bukunya “Hukum Tata Negara Perbandingan” (1976), dan M.Solly Lubis dalam bukunya “Asas Hukum Tata Negara”(1978) menuliskanya dalam dua kata. Menurut J.C.T. Simoramgkir, hal itu terjadi karena pengaruh dari cara berfikir bahasa Belanda (Holland Denken) yang menyebut staatsrecht dalam satu kata. Dalam bahasa Jerman hal itu juga ditulis dalam satu kata yaitu Verfassungsrecht.

Perlu diketahui juga bahwa istilah “Hukum Tata Negara” dapat dianggap identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” yang merupakan terjemahan langsung dari “Constitutional Law” (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (Jerman) dan Al Qônûn Al Dustûrî (Arab). Dari segi bahasa, istilah Costitutional Law dalam bahasa inggris memang biasa diterjemahakan sebagai “Hukum Konstitusi”. Namun istilah “Hukum Tata Negara” itu sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maka niscaya perkataan yang dipakai adalah “Constitutional Law”. Oleh karena itu Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari “Hukum Konstitusi”.

Perkataan “Hukum Tata Negara” berasal dari perkataan “hukum”, ”tata”dan ”negara”, yang di dalamnya dibahas mengenai urusan penataan negara. Tata yang terkait dengan kata “tertib” adalah order yang biasa juga diterjemahkan sebagai “tata tertib”. Tata negara berarti sistem penataan negara, yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain Ilmu Tata Negara dapat dikatakan merupakan cabang ilmu hukum yang membahas mengenai tatanan struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan serta mekanisme hubungan antara struktur kenegaraan dan warga negara. (lihat; Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH.)

Mengenai definisi Hukum Tata Negara, di kalangan para ahli belum ada rumusan yang disepakati, sebagaimana belum adanya kesepatan dalam rumusan definisi hukum. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor perbedaan pandang para ahli hukum itu sendiri. Selain dari itu, sistem yang dianut oleh negara sebagai objek kajian juga cukup berpengaruh dalam perbedaan definisi ini. Misalnya, di negara-negara yang menganut sistem common law tentu berbeda dengan apa yang dipraktikan di negara yang menganut tradisi civil law.

Berbagai pandangan para sarjana mengenai definisi hukum tata Negara itu dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:

Van Vollenhoven;

“Hukum Tata Negara adalah Hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing itu menentukan wilayah lingkungan masyarakatnya.”

Fungsi masing-masing yang berkuasa di dalam lingkungan masyarakat hukum itu berhak menentukan susunan dan wewenang dari badan-badan tersebut.

Scholten;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi daripada negara.

Kesimpulannya, bahwa dalam organisasi negara itu telah dicakup bagaimana kedudukan organ-organ dalam negara itu, hubungan, hak dan kewajiban, serta tugasnya masing-masing.”

Van der Pot;

“Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenang masing-masing, hubungannya satu dengan yang lain dan hubungan dengan individu yang lain.”

Logemann;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara.”

Jabatan merupakan pengertian yuridis, sedangkan fungsi adalah pengertian yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang terdiri dari fungsi-fungsi dan hubungannya satu dengan yang lain. Maka secara yuridis, negara merupakan organisasi dari jabatan-jabatan.

Wade and Phillips;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya dan hubungan antara alat pelengkap negara itu.” Seperti tersebut dalam bukunya yang berjudul “Constitutional Law “ yang terbit pada tahun 1936.

Paton;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya, wewenang dan hubungan antara alat pelengkap negara itu.”

Dalam bukunya "Textbook of Jurisprudence“ Paton merumuskan bahwa; “Constutional Law deals with the ultimate question of distribution of legal power and the functions of the organ of the state.”

A.V. Dicey;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang terletak pada pembagian kekuasaan dalam negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.” Sebagaimana yang ditulisnya dalam buku; “An introduction to the study of the law of the conrtitution “

Maurice Duverger;

“Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang dari hukum publik yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi politik suatu lembaga nagara.”

Kusumadi Pudjosewojo;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara (kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik), yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya (hierarchie), yang selanjutnya mengesahkan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasaan penguasa) dari masyarakat hukum itu, beserta susunan (terdiri dari seorang atau sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbang dari dan antara alat perlengkapan itu.

Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa;

Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur organisasi daripada negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal serta kedudukan warga negara dan hak-hak azasinya.

MATERI HUKUM TATA NEGARA

Dari kesimpulan definisi di atas, maka tampak jelaslah materi Hukum Tata Negara yaitu mengatur hal-hal berikut;

1. Mengatur lembaga pelayanan publik dan menentukan badan-badan yang mengelolanya, dan menentukan tata cara pengelolaan, pengembangan, hubungan antar lembaga satu sama lain serta hubungan lembaga dengan publik.

2. Menentukan jenis hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, maupun perkotaan. Biasanya, hubungan antar pemerintahan ini dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua cara yaitu; sistem sentralisasi atau sistem desentralisasi

3. Mengatur hubungan antara negara dengan para aparaturnya, serta mengatur tata cara penentuan, kenaikan pangkat, penjatuhan sangsi, masa pensiun dan pemakzulan aparat tesebut.

4. Menjelaskan aturan hukum tentang harta negara, baik harta milik swasta atau umum yang digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan dan gedung-gedung pelayanan publik, juga menjelaskan aturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan harta tersebut.

5. Menjelaskan kaidah-kaidah tentang penyelesaian sengketa yang kadang terjadi antara tata usaha negara dengan masyarakat. (lihat: Al-nadzoriyah al-âmmah li al qônûn, Prof.Dr.Muhammad Syukri Surur).

SUMBER HUKUM TATA NEGARA

Sumber hukum Tata Negara bentuknya bermacam-macam, sama persis dengan sumber kaidah-kaidah hukum lainya.

Sumber-sumber kaidah hukum Tata Negara ada yang bersifat materil, historis, resmi dan ada pula yang hanya bersifat sebagai penafsir (tambahan keterangan). Berikut rincian sumber-sumber tersebut:

Sumber Materil (al mashdar al maudû’î)

Yang dimaksud dengan sumber materil adalah sumber atau asal yang merupakan inspirasi penentuan materi-materi dan kandungan Hukum Tata Negara.

Oleh karenanya kita dapat melihat bahwa banyak kandungan kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang inspirasinya diambil dari sekumpulan situasi dan kondisi yang berkembang seperti ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.

Sumber Historis/Sejarah (al mashdar al târîkhî)

Yang dimaksud dengan sumber sejarah adalah pangkal sejarah yang mungkin dapat dijadikan rujukan untuk kaidah-kaidah Hukum Tata Negara atau Konstitusi.

Sumber sejarah bagi Hukum Tata Negara bisa berupa sejarah nasional ataupun sejarah asing. Sumber sejarah nasional dapat kita pahami ketika konstitusi sebuah negara merupakan produk atau hasil bentukan sejarah bangsanya. Adapun sumber sejarah asing merupakan kebalikannya, yaitu apabila kanstitusi sebuah negara merupakan hasil bentukan sejarah bangsa lain. Maka dari itu, untuk mengetahui sistem parlemen yang sesungguhnya, perlu merujuk ke sejarah Kerajaan Federal Inggris sebagai embrio dari sistem ini. Begitupun dengan sistem presidentil mangharuskan sebuah negara yang menggunakan sistem ini merujuk ke sejarah negara Amerika Serikat sebagai akar sistem ini (tidak merujuk ke sejarah nasional bangsanya).

Sumber Resmi (al mashdar al rosmî)

Yang dimaksud dengan sumber resmi adalah sumber kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang bersifat baku, di mana kaidah-kaidah tersebut tidak boleh bertentangan dengan sumber-sumber itu.

Secara umum sumber resmi ini ada dua, yaitu Undang-undang dan Kebiasaan, dengan rincian sebagai berikut:

Undang-Undang ( al tasyrî’)

Yang dimaksud undang-undang disini adalah naskah-naskah yang terkodifikasikan dalam dokumen konstitusi, kaidah-kaidah dasar, dan ketetapan-ketetapan parlemen.

Dokumen Konstitusi (Rancangan Undang-undang Dasar) dapat dikeluarkan oleh badan khusus yang pembentukan dan wewenangnya berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi yang berkembang ketika pembentukan konstitusi. Sebagai contoh, satu hari setelah berdirinya Negara Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya menetapkan Undang-undang Dasar bagi Negara Indonesia dengan berlandaskan pada Rancangan Undang-undang Dasar yang dipersiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). (lihat; Hukum Tata Negara, Soehino, SH.)

Dalam sistem kerajaan dokumen ini dapat dikeluarkan oleh raja atau panitia khusus yang dibentuk oleh raja. Hal itu karena didalam sistem ini konstitusi merupakan anugerah atau pemberian dari raja untuk negara (dasâtir al-minhah), berbeda halnya dengan sistem demokrasi dimana konstitusi ditetapkan melalui sidang.

Adapun kaidah-kaidah dasar adalah sekumpulan aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif yang berkaitan dengan sistem pemerintahan sebagai bagian dari dasar-dasar negara, oleh karenanya kaidah ini dinamai Kaidah-kaidah Dasar agar dapat dibedakan dengan Kaidah-kaidah lainya yang dikeluarkan oleh Badan Legislatif. Salah satu contoh dari kaidah-kaidah dasar ini adalah Undang-undang tahun 1975 tentang aturan pemilihan Majlis Perwakilan Perancis.

Contoh lain dari kaidah dasar ini adalah aturan yang berkaitan dengan kostitusi di Negara-negara Arab, salah satunya, Undang-undang Nomor 81 tahun 1969 tentang pembentukan mahkamah agung (al mahkamah al ‘ulya) sebagai mahkamah yang khusus menangani sengketa tentang uji kelayakan undang-undang terhadap konsitusi.

Dan terakhir adalah ketetapan-ketetapan parlemen yang berupa naskah-naskah yang secara khusus mengatur pembentukan badan-badan di parlemen, dan juga mengatur tata cara pelaksanaan fungsi parlemen dalam peran controling dan pengundangan. Sebagai contoh bab dua dari Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Mesir, mengatur tentang pembentukan badan-badan di dalam majlis dan wewenang-wewenangnya.

Kebiasaan (al ‘urf)

Walaupun konstitusi tertulis telah banyak beredar, bahkan hampir seluruh negara menggunakan Undang-undang dasar (konstitusi tertulis) sebagai konstitusinya, bukan berarti bahwa “kebiasaan” secara mutlak tidak dapat dijadikan sumber konstitusi. Malah justru “kebiasaan” cukup memiliki peran dalam pembentukan konstitusi tertulis.

Yang dimaksud dengan kebiasaan di sini adalah kebiasaan umum, yaitu kecenderungan masyarakat umum untuk mengikuti satu cara tertentu secara berkesinambungan dan berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi sehingga menetap menjadi bagian dari rasa yang seolah-olah mempunyai kekuatan memaksa.

Begitu juga dalam konstitusi, kebiasaan yang dapat dijadikan sumber harus berupa sebuah prilaku antar lembaga pemerintah di dalam negara , atau antara lembaga pemerintahan dengan masyarakat yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Kebiasaan dalam ranah konstitusi dapat berperan sebagai penafsir nash konstitusi yang masih samar (kebiasaan penafsir/al ‘urf al mufassir), kadang pula kebiasaan ini dapat menjadi pelengkap sebuah kostitusi (kebiasaan pelengkap/al ‘urf al mukmil) dan kadang pula kebiasaan ini dapat mengamandemen konstitusi, baik menghapus atau menambah nash yang termaktub dalam konstitusi (kebiasaan pengamandemen/al ‘urf al mu’dil), (lihat;mûjiz al qônûn al dustûrî al mashrî).

PENUTUP

Setelah membaca tulisan ini maka kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan apakah itu Hukum Tata Negara? Baik definisi, materi, maupun sumber-sumbernya, sebagaimana telah dipaparkan di atas.

Namun penulis betul-betul menyadari bahwa tulisan ini masih jauh untuk dikatakan sebagai pengantar Ilmu Tata Negara mengingat sangat singkatnya tulisan ini, serta minimnya materi yang disuguhkan yang belum layak untuk dikatakan sebuah pengantar. Catatan ini melainkan hanya sekedar gerbang menuju pengantar yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang punya minat di bidang disiplin ini.

Kebenaran yang mutlak hanyalah milik Yang Maha Kuasa, salah dan khillaf adalah semata-mata kekeliruan dari kami. Wallâhu A’alam.

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 1:21 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home