MENGENAL HUKUM PIDANA DAN MENYOAL KONTROVERSI PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF

(A Brief Study and A Most Told Issue Review)

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik Dalam Negeri merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

Di Indonesia, kritisme seputar Sistem Perundang-Undangan juga terus menghangat dan berkembang. Termasuk masalah kontroversi pemberlakuan Asas Retroaktif (Asas Berlaku Surut) dalam Hukum Pidana yang semakin marak terutama pasca membludaknya kasus pidana korupsi dan terorisme.
Makalah sederhana ini mengetengahkan pengantar singkat tentang Hukum Pidana dan seklumit review seputar Kontroversi pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia.

Defenisi Hukum Pidana

Wikipedia mendefenisikan Hukum Pidana sebagai “Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya.”
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”

Klasifikasi Hukum Pidana

Secara substansial, Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:

A. Hukum Kriminal

Yakni cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.

Sejarah Perkembangan Hukum Kriminal

Perkembangan Hukum Kriminal ini secara umum tercatat dalam dua fase, yakni sebelum Revolusi Prancis dan Setelah Revolusi Perancis hingga sekarang.
Pada fase sebelum Revolusi Prancis, Hukum Pidana yang notabene merupakan cabang hukum yang muncul pertama kali ini mengalami perkembangan dalam tiga tahap:
Perkembangan Pertama: Dalam bentuk “Balas Dendam Pribadi/self revenge/al-intiqâm al-fardiy,” yakni pada masa awal-awal jauh sebelum terbentuknya negara. Di mana pola kemasyarakatan yang ada saat itu adalah pola keluarga dan kelompok. Pada tahap ini, jika terjadi pelanggaran dari salah seorang individu terhadap individu lain yang sekeluarga dan sekelompok, maka pemimpin keluarga/keluarganya lah yang berhak memberikan hukuman kepada orang yang melanggar tersebut. Sedangkan jika pelanggarnya berasal dari keluarga/kelompok yang lain, maka keluarga dan kelompoknyalah yang menuntut pembalasan atas pelanggaran tersebut.

Perkembangan Kedua: Dalam bentuk “Denda/Ganti Rugi/al-Diyah.” Ini terutama dilaksanakan apabila keluarga/kelompok individu yang melanggar tidak sanggup untuk menghadapi balas dendam oleh keluarga/kelompok korban. Atau sebaliknya, apabila keluarga/kelompok korban tidak bisa melangsungkan balas dendamnya.
Perkembangan Ketiga: Dalam bentuk “Sanksi yang diperantarai negara.” Tahap ini terjadi di kala otoritas negara semakin menguat dan membesar. Di mana negara mulai berhak menjatuhkan sanksi kepada warganya yang merupakan salah satu cermin kedaulatan negara tersebut. Ada dua jenis sanksi yang dikenakan negara kala itu, sanksi untuk Kriminalitas Umum dan sanksi untuk Kriminalitas Khusus.
Kemudian, semenjak revolusi Prancis sampai saat ini, modifikasi Hukum Pidana termanifestasi via berkembangnya beberapa aliran pemikiran Hukum Pidana dan gerakan-gerakan berikut:

1. Madzhab Konvensional Klasik
Madzhab ini berdiri pada abad 18 yang secara umum mengumandangkan Penetapan Asas Legalitas Tindak Pidana dan Sanksinya serta seruan untuk meringankan kerasnya Sanksi.
Penganut madzhab ini—Salah satunya Syizary Bikaria, berpijak kepada Konsep al-‘Aqd al-Ijtimâ’iy yang ia tuangkan dalam bukunya: “Kriminalitas dan Sanksi” Tahun 1763. Buku ini menjelaskan hak-hak negara dalam memberikan sanksi—“Pada hakikatnya, sanksi hanya merupakan kumpulan hak-hak individu untuk mempertahankan harta dan jiwa mereka yang mereka gunakan untuk negara.” Dan pernyataan ini mengandung dua hal prinsipil, yakni pentingnya persamaan sanksi atas tiap individu dan warning akan kerasnya sanksi.

Bintam—yang juga merupakan salah satu penganut madzhab ini, menyerukan dalam bukunya, “Norma-Norma Akhlak dan Hukum” tahun 1780, agar Asas Sanksi adalah merupakan manfaat.
Konsep madzhab ini berpengaruh banyak terhadap Hukum Pidana Prancis yang ditetapkan tahun 1791 yang menetapkan Asas legalitas Kriminalitas dan Sanksi dan meringankan kerasnya sebagian sanksi dan (bahkan) menghapus sebagiannya.
2. Madzhab Konvensional Modern
Kritik atas Madzhab Konvensional Klasik adalah bahwa madzhab ini hanya semata mengkritisi permasalahan kriminalitas tanpa diimbangi dengan pengkritisan terhadap pelaku kriminalnya, di samping juga seruan kesetaraan sanksi oleh madzhab ini ternyata berimplikasi pada kerancuan penerapan hukuman atas masing-masing pelaku pidana yang notabene memiliki kondisi dan kesiapan fisik berbeda-beda untuk menerima sanksi.

Madzhab ini dibawa oleh Rossue, dkk dengan bersandar pada pola pikir filsuf Jerman, Imanuel Kant yang menyerukan agar Asas Sanksi adalah berupa keadilan yang mutlak. Artinya, tujuan pemberian sanksi haruslah sebagai kepuasan rasa adil setiap pihak—“Sanksi haruslah memuat prinsip keadilan sekaligus prinsip manfaat.”
Madzhab ini banyak dijadikan landasan norma hukum di beberapa negara semisal, Hukum Prancis yang ditetapkan tahun 1833, Hukum Jerman tahun 1870 dan Hukum Italia tahun 1889.

3. Madzhab Positif Italia
Madzhab ini dibentuk oleh beberapa ilmuan Itali. Lemahnya otoritas hukum kala itu merupakan salah satu faktor pendorong digagasnya madzhab ini. Selain itu, tujuan pemberlakuan sanksi yang telah ditetapkan oleh Madzhab Konvensional Klasik dan Modern juga dinilai belum optimal jika hanya terbatas pada penegakan prinsip keadilan dan prinsip manfaat. Tetapi harus disertai dengan upaya untuk merehabilitasi pelanggar agar pasca pengenaan sanksi, pelanggar bisa kembali hidup normal dan tidak lagi membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakatnya. Karena itu, madzhab ini memfokuskan pada rehabilitasi pelanggar, mengingat dialah sumber kejahatan itu.
Madzhab ini sangat tidak menyetujui Asas Kebebasan Memilih terkait masalah sanksi kejahatan, karenanya madzhab ini juga tidak menyetujui sanksi moral dan budi pekerti sebagai asas dalam sanksi kejahatan, sebaliknya, upaya rehabilitasi yang sesuai dengan tingkat kejahatan pelanggarlah yang harus dioptimalkan.
Madzhab ini berpendapat bahwa pemberantasan kejahatan bukanlah dengan memperberat sanksi, tetapi justeru dengan mengenali faktor-faktor yang mendorong terjadinya kejahatan tersebut dan meminimalisir faktor-faktor tersebut sebesar mungkin. Faktor-faktor tersebut bisa berupa faktor internal si pelanggar maupun faktor eksternal semisal lingkungan sekitar si pelanggar.
Pendiri madzhab ini juga menyeru agar negara melakukan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya kejahatan di masyarakat.

4. Perhimpunan Internasional Hukum Kriminal

Munculnya perhimpunan ini merupakan respon positif atas beragam madzhab yang telah ada sebelumnya. Jika madzhab-madzhab sebelumnya berupa doktrin dan teori-teori, maka perhimpunan ini adalah semacam gerakan nyata yang mengakomodir konsep-konsep beragam madzhab yang ada sebelumnya.
Perhimpunan ini berpengaruh konstruktif kerena mendorong munculnya beragam afiliasi dan madzhab, salah satunya adalah Asosiasi Hukum Kriminal Internasional yang didirikan di Paris tahun 1924.
Peran dari Perhimpunan ini bukanlah peran yang menyumbangkan konsep tertentu seperti halnya madzhab-madzhab sebelumnya, tapi lebih menyerupai pengumpulan beragam solusi yang ditawarkan oleh madzhab-madzhab sebelumnya tersebut.
5. Gerakan Pembela Masyarakat
Gerakan ini merupakan tehnik pemberantasan tindak kriminal dengan cara yang tepat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan dasar-dasar konsep baru untuk menyiasati kriminalitas, yang pada dasarnya diupayakan untuk menjaga ketentraman masyarakat dan rehabilitasi pelaku kriminal.

Klasifikasi Hukum Kriminal:

Hukum Kriminal terbagi menjadi dua konsentrasi:
1. Hukum Kriminal Umum, yaitu “hukum yang menjelaskan hukum-hukum umum, yakni kaidah-kaidah yang diberlakukan atas semua tinak kriminal dan sanksinya, kecuali yang dikhususkan Dewan Legislatif dengan teks-teks tertentu.”
Secara gamblang, Hukum Kriminal Umum mengatur permasalahan-permasalahan berikut:
a. Penjelasan tentang kaidah-kaidah umum Sanksi Kriminal tanpa pemaparan detail tentang hukum masing-masing kejahatan.
b. Penjelasan tentang jenis-jenis kejahatan yang terbagi menjadi, pelanggaran, pelanggaran hukum dan kriminalitas.
c. Penjelasan tentang sanksi dan jenis-jenisnya, jatuhnya sanksi dan pembatalannya, unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan Hukum—berat maupun ringannya, serta corak kriminalitas pelaku kejahatan.
2. Hukum Kriminal Khusus, yaitu “Hukum yang menyerupai indeks kejahatan yang dikenai sanksi oleh hukum. Dan indeks ini berisi batasan detail rukun-rukun kejahatan tertentu berikut sifat-sifatnya yang beragam, ditambah penjelasan tentang beragam sanksi atas kejahatan-kejahatan tersebut.”
Dewan Legislatif Mesir juga mengklasifikasi Hukum Kriminalnya ke dalam Hukum Kriminal Umum dan Khusus. Di mana Kitab pertama Undang-undang Pidananya berisi Hukum-Hukum Umum (Pasal 1-76). Sedangkan, Hukum Kriminal Khusus-nya mengatur Pasal 38-77 dari kumpulan asli Hukum Kriminal ditambah dengan Hukum-Hukum Kriminal Pelengkap yang juga tunduk pada Hukum Kriminal Umum.
Para ahli Hukum Pidana telah bersepakat atas klasifikasi ini. Dan pada kenyataannya, Hukum Kriminal Khusus memang lebih dahulu berkembang dibanding Hukum Kriminal Umum. Undang-Undang zaman dulu memang hanya terbatas pada tindakan-tindakan yang mendorong terjadinya beragam kriminalitas dan penjelasan sanksinya tanpa memperhatikan urgensi perumusan kaidah-kaidah Umum Hukum Kriminal.

Hukum Kriminal Khusus memberikan batasan-batasan detail setiap tindak kriminal dan sanksi-sanksi yang tercantum jelas dalam teks Undang-Undang. Hal ini tentu penting, karena akan meniadakan pengingkaran terhadap Asas Legalitas Tindak Kriminal dan Sanksi-nya yang notabene ditetapkan untuk menjamin kebebasan rakyat serta mencegah kesewenang-wenangan pemerintah.
Dengan begitu, Undang-Undang yang tertuang dalam Hukum Kriminal Umum tak lain hanya merupakan pasal-pasal yang bersifat maklumat, sementara Undang-Undang Hukum Kriminal Khusus tidak demikian.
B. Hukum Acara Pidana

Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”

Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
1. Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya. Yaitu, pelaksanaan dan peradilan, tata cara dalam peradilan, lembaga-lembaga yang berwenang dalam melaksanakan dan mengadilinya, juga termasuk prosedur-prosedur yang harus dipenuhi dalam mengajukan dakwa pidana yang kerap disebut sebagai fase pengumpulan bukti.
2. Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
2. Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Pemberlakuan Acara Pidana dinilai Urgen baik dari sisi stabilitas dan keamanan masyarakat yang tertimpa kejahatan maupun dari sisi si pelaku kejahatan yang terkadang belum pasti pembuktian bersalah atau tidak bersalahnya.
Sistem Acara Pidana beragam, tapi secara umum, bisa dikelompokkan menjadi dua sistem inti:
1. Sistem Tuntutan
Yakni sistem yang berlaku di Inggris, Amerika dan negara-negara yang mengadopsi sistem Hukum Inggris. Sistem ini sebenarnya serupa dengan Sistem Tuntutan Individu yang berlaku pada masa awal-awal. Dalam sistem ini, prosedur dakwa pidana tidak berbeda jauh dengan prosedur dakwa perdata. Dakwa dilangsungkan antara kedua belah pihak, yakni Si tertuntut, yang melakukan tindak pidana, dan si penuntut, yakni si korban. Sementara Hakim merupakan pihak yang berwenang menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dengan berdasar pada lemah/kuatnya bukti.
2. Sistem Sidikan.
Secara historis Sistem Tuduhan muncul lebih awal dibanding Sistem Sidikan. Sistem ini teradopsi dari Hukum Romawi pada era republik, lalu diberlakukan juga dalam Hukum Gereja di abad pertengahan, kemudian diberlakukan juga untuk peradilan Hak Milik dalam Sistem Hukum Klasik di Prancis. Dalam sistem ini, pemerintahlah yang berwenang penuh melangsungkan tuntutan. Kemudian sistem ini diberlakukan lebih meluas lagi di Benua Eropa. Sistem ini terus diberlalukan dengan ekstrim sampai terjadinya Revolusi Prancis. Dan pada kenyataanya,sampai sekarang sistem Hukum Acara di Prancis memakai Sistem Sidikan ini.

Menyoal Kontroversi Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam Ilmu Hukum Pidana, dikenal pemberlakuan Prinsip Asas Legalitas yang menghendaki penjatuhan hukuman atas dasar peraturan yang telah ditetapkan (nullum delictum, noella poena, sine praevia lege poenali/lâ jarîmah wa lâ ‘uqûbah illâ bi al-nash). Dalam artian, Asas Legalitas selalu menuntut agar penetapan hukuman atas suatu perbuatan harus didahului oleh penetapan peraturan. Di Indonesia, Asas legalitas ini sendiri merupakan amanat fundamental KUHP Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang bertujuan jelas untuk memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalah-gunaan kekuasaan dan memperkokoh rule of law.

Terlepas dari penilaian bahwa Asas Legalitas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, muncul juga wacana bahwa asas ini dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespon pesatnya perkembangan kejahatan. Dan (bahkan), ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar, yang oleh E Utrecht (1966) disebutkan sebagai ke'kurang-mampuan' Asas Legalitas dalam perlindungan kepentingan-kepentingan kolektif, karena memungkinkan pembebasan pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan kelemahan Asas Legalitas tersebut, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan Asas Retroaktif (berlaku surut/al-asâs al-raj’iy) yang berperan melakukan penyurutan terhadap imunitas tersangka yang telah secara yuridis di'power'i oleh Pasal 28 I ayat (1) Amandemen ke-4 UUD 1945 yang berbunyi: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diketahui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi jelas sekali tersurat bahwa Asas Legalitas sangat tidak membenarkan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif karena mengkhianati pengakuan terhadap hak asasi manusia.

Polemik tentang perlu-tidaknya Asas Retroaktif ini diberlakukan sangat gamblang terwacanakan terutama saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan berlakunya UU No. 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali. Keputusan ini ditetapkan dengan dalih utama bahwa Undang-Undang tersebut telah tercemar Asas Retroaktif yang sangat memojokkan tersangka, menetapkannya berarti pengkhianatan atas Asas Legalitas yang kesakralannya nyaris menyeimbangi kesakralan UUD. Di samping mereka juga mengklaim bahwa peledakan bom di Bali tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif. Betapa sikap Mahkamah Konstitusi saat itu sangat mengejutkan publik, karena selain keputusan itu dilegalkan tepat pasca penghargaan dunia internasional terhadap ketegasan pemerintah Indonesia dalam mengadili para pelaku terorisme bom Bali, keputusan tersebut juga dinilai berbagai pihak sebagai pencederaan terhadap rasa keadilan korban dan keluarganya sekaligus peng'hangat'an kembali kecemasan masyarakat akan impunitas yang kemungkinan besar didapatkan oleh para teroris via keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Di sisi lain, keputusan ini juga kurang mencerminkan penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Bom Bali tersebut.

Selain kasus bom Bali, pro-kontra senada juga tampak jelas saat terjadi perdebatan dalam sidang Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai boleh-tidaknya Asas Retroaktif digunakan dalam penyidikan suatu tindak pidana korupsi. Ketika itu kubu kuasa hukum Bram Manoppo yang notabene merupakan pemohon judisial review dengan dikomandoi advokat senior Mohammad Assegaf menilai penyidikan oleh KPK tidak sah karena dalam tindak pidana korupsi, Asas Retroaktif yang tanpa batas tidak dapat dibenarkan. Argumen kubu ini dikuatkan oleh dua orang ahli, Prof. Indriyanto Senoaji dan Prof. Andi Hamzah yang selain terkenal sebagai ahli hukum pidana, keduanya juga terkenal sebagai anggota tim penyusun Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri. Dalam pernyataannya, keduanya menegaskan bahwa tindak korupsi bukanlah kejahatan luar biasa sebagaimana selama ini digembar-gemborkan pemerintah, sebaliknya, korupsi tak ubahnya hanya seperti mencuri. Dan terkait dengan wewenang KPK dalam kasus itu, keduanya mengatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih semua perkara tindak pidana korupsi, karena wewenangnya dibatasi oleh tempus delictie (waktu terjadi tindak pidana yang disidik). Pernyataan-pernyataan tersebut tentu membuat berang KPK dan beberapa ahli yang tidak berkenan, seperti Mantan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Romli Atmasasmita. Dia mengecam tindakan Prof. Indriyanto dan Prof. Andi hamzah sebagai tindakan pengkhianatan atas eksistensi keduanya sebagai penyusun UUKPK yang seyogyanya justeru mempertahankan semangat penyusunan dan substansi UUKPK, bukan justeru melemahkannya.

Begitulah singkatnya kontradiksi kedua asas tersebut dalam dua kasus terdahulu. Di kasus pertama, Mahkamah Konstitusi mampu bersikap dengan keputusannya akan pembatalan berlakunya UU No. 16/2003 yang dinilai mengandung Asas Retroaktif tersebut, meski sikap ini harus ditebus dengan persepsi yang menganggap inkonsistensi pemerintah saat itu sebagai tindak hukum yang 'plin-plan'. Berbeda hal dengan kasus kedua, di sini ternyata perdebatan para ahli melebar ke permasalahan teknis aplikasi retroaktif itu sendiri. Mereka sibuk mempermasalahkan batasan larangan pemberlakuannya. Apakah hanya untuk Hukum Materil? Ataukah juga untuk Hukum Formil (Hukum Acara)?

Tersirat dalam paparan singkat pengantar Hukum Pidana sebelumnya bahwa secara umum, dan di manapun juga, Hukum Pidana memang meniscayakan kesakralan Asas Legalitas Tindak Pidana dan Sanksi. Namun bagaimanapun, terkait wacana kontroversial tentang Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia, kiranya ada beberapa pertanyaan kritis terhadap Mahkamah Konstitusi Indonesia sebagai satu-satunya pihak yang berhak menjustifikasi mungkin atau tidaknya pemberlakuan Asas Retroaktif ini: Akankah wacana Asas Retroaktif yang oleh beberapa pihak telah secara empiris dibuktikan ke-urgen-annya dalam penanganan kasus pidana masa kini tetap SEMATA dianggap sebagai pergeseran paradigma dalam Ilmu Hukum Pidana? Akankah Mahkamah Konstitusi tetap bersikeras mensakralkan Asas Legalitas di tengah derasnya opini yang menyuarakan urgensi pemberlakuan Asas Retroaktif ini? Benarkah pemberlakuan asas ini hanya akan menimbulkan 'bias hukum', ketidak-pastian hukum atau bahkan kesewenang-wenangan yang bemuara pada political revenge (balas dendam politik)? Benarkah asumsi yang mengatakan bahwa Asas Retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam)?


Desi Hanara
Mahasiswi Tk. III, Fak. Syariah wal Qanun

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:25 PM  

HUKUMAN/'UQUBAH DALAM HUKUM PIDANA

Dalam hukum pidana kita akan mengenal dua bentuk balasan (jazâ) bagi pelaku tindak pidana, yang pertama adalah hukuman dan yang kedua adalah tindakan-tindakan prepentif atau rehabilitasi. Dalam makalah ini kita akan mencoba untuk lebih concern membahas tentang hukuman yang merupakan salah satu dari dua instrument diatas.

Dari statement diatas dapat kita ketahui bahwa hukuman merupakan salah satu perangkat dalam hukum pidana sebagai bentuk balasan bagi pelaku tindak kriminal, karena ia merupakan representasi dari perlawanan masyarakat terhadap para kriminil dan terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu ketika kita sepakati bahwa para kriminil dan tindak kejahatan yang dilakukannya merupakan objek dari pertanggung jawaban pidana (al masúliyah al jinâíyah) maka ketika seseorang terbukti melakukan tindakan pidana, ini mengharuskan dijatuhkannya hukuman bagi pelaku ini. Itu karena tindakan pidana yang berupa pelanggaran terhadap kaidah-kaidah dan norma-norma di masyarakat dan yang telah mengakibatkan adanya keresahan di masyarakat, mengharuskan tunduknya pelaku kejahatan terhadap hukuman. Karena merupakan sesuatu yang tidak dapat kita terima apabila pelaku kejahatan berkeliaran di tengah-tengah masyarakat sembari menebar keruksakan tanpa adanya halangan. Ini di satu sisi, sedangkan disisi lain agar kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman hidup masyarakat dapat ditegakkan dan dihormati masyarakat maka harus ada hukuman bagi yang melanggar kaidah-kaidah hukum ini.

Untuk lebih jelasnya, agar kita lebih mengenal tentang hukuman, maka kita akan mencoba mendiskusikannya, terutama bahasan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat prinsipil dari hukuman. Maka oleh karena itu kita akan membahasnya dari mulai definisi, karakteristik, tujuan, dan pembidangan hukuman.

Definisi Hukuman

Hukuman mempunyai beberapa definisi diantaranya adalah definisi yang diungkapkan oleh pakar hukum Indonesia Prof. Dr. Kususmaatmadja, S.H.,LL.M., beliau mengatakan bahwa hukuman adalah sanksi yang dijatuhkan pada seseorang yang melanggar hukum.

Menurut R. Susilo seorang Ajun Besar Komisari Polisi Pnw, hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang-orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Berdasarkan definisi ini bahwa hukuman yang biasa dijatuhkan oleh seorang guru kepada muridnya atau hukuman diciplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya karena melanggar tata tertib kepolisian bukanlah hukuman pidana karena tidak termasuk dalam pengertian ini.

Definisi lainya dikatakan oleh Dr. Samih As Sayyid Jad, seorang Professor hukum pidana Universitas Al Azhar Cairo, beliau mengatakan bahwa hukuman adalah balasan yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang dan telah diputuskan oleh hakim bagi orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.

Dari tiga definisi diatas barangkali definisi yang kedua dan ketigalah merupakan definisi yang lebih paripurna dan lebih sesuai dengan kaidah pembuatan definisi dalam ilmu logika, karena ia tampak lebih menyeluruh atau dalam istilah ilmu logikanya adalah jami’dan mani’. Setelah melihat dua definisi terakhir ini jelaslah bahwa hukuman atau sanksi hanya merupakan balasan bagi tindakan pidana yang tercermin pada tersakitinya orang yang dikenai sanksi yaitu dengan cara merampas hak dari hak-hak yang dimilikiya baik dalam bentuk perampasan kebebasan (hukuman penjara), harta benda (denda atau penyitaan),kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati) dan terkadang berbentuk perampasan hak lainya seperti hilangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau hak berpolitik yang merupakan akibat dari melakukan tindak kriminal. Hanya perlu ditekankan disini bahwa kendatipun hukuman atau sanksi memiliki sifat menyakiti tapi bukan berarti tujuanya untuk menyakiti, akan tetapi untuk mewujudkan tujuan social yang dimaksudkan oleh hukuman. Dalam pandangan yang lebih luas sanksi hukum selain berbentuk sanksi pidana, bisa juga menjelma dalam bentuk lain yang berbentuk sanksi perdata seperti kewajiban membayar ganti rugi karena perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, dan sanksi administratif. Dari dua definisi ini juga dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa hukuman yang dapat dijatuhkan hanya hukuman yang tercantum dan diatur dalam undang-undang, ini merupakan penekanan dari konsep atau asas yang melarang diadakanya penuntutan tanpa adanya ketentuan undang-undang yang menetapkan bahwa tindakan atau perbuatan pidana merupakan tindak pidana (nullum crimen sine lege / mabda’ syar’iayatil jarâim wal uqûbat), begitupun juga bahwa hukuman yang akan dijatuhkan harus berdasarkan putusan hakim di pengadilan, yang dalam undang-undang Mesir ditekankan dalam UUD pasal 66 yang berbunyi ” tidak boleh dijatuhkan sebuah hukuman kecuali berdasarkan keputusan pengadilan”.

Karakteristik Hukuman

Ada beberapa sifat yang menjadi karakteristik hukuman diantaranya:

a. Tunduknya Hukuman Terhadap Asas Legalitas

Artinya bahwa hukuman yang akan dijatuhkan harus tercantum dan ditentukan dalam undang-undang, ini merupakan penegasan atas asas Syaríyatul jarôim wal uqûbat dan hal ini juga ditegaskan dalam UUD Mesir pasal 66. Konsep ini juga merupakan jaminan yang sangat penting bagi masyarakat untuk menghindari putusan pidana yang dijatuhkan hakim yang tidak diatur dalam undang-undang. Sehingga hakim tidak dapat semena-mena untuk menambah atau mengurangi hukuman pada kondisi-kondisi yang tidak diatur oleh undang-undang.

b. Hukuman Bersifat Privasi

Maksudnya bahwa hukuman tidak dapat dijatuhkan kecuali terhadap pelaku tindak pidananya saja, atau terhadap orang yang turut serta dalam kejahatan baik sebagai pelaku asli atau pembantu. Oleh karena itu hukuman tidak dapat diwariskan kepada keluarga pelaku tindak pidana atau terhadap kerabatnya, teman-temannya, seperti yang pernah berlaku pada zaman kuno. Memang kita akui bahwa penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan secara tidak langsung menimbulkan pengaruh negatif juga terhadap keluarga atau kerabatnya, baik pengaruh fisik, moril atau fisik dan moril sekaligus. Namun hal ini bukan berarti gugurnya sifat privasi pada hukuman yang telah ditentukan undang-undang. Dan jikalau pengaruh terhadap keluarga pelaku itu dikategorikan sebagai cela dalam undang-undang pidana, mungkin saja dapat diterima, tapi tidak lebih hanya sebagai salah satu jenis dari bahaya social.

c. Jenis dan Takaran Hukuman Telah Ditentukan Dalam Nas Undang-Undang

Oleh karena itu hakim tidak diperkenankan untuk menjatuhkan hukuman yang tidak tidak diatur dalam undang-undang. Ketentuan jenis dan takaran hukuman dalam undang-undang dimaksudkan agar ada kesesuaian antara berat ringannya hukuman dengan jenis tindakan pidana yang dilakukan atau dengan tingkatan bahaya yang ada pada pelaku. Dengan demikian ada kejelasan jenis dan takaran hukuman bagi seorang hakim ketika akan memutuskanya sesuai ketentuan pembuat undang-undang dalam nas undang-undang.

d. Tunduknya Hukuman Terhadap Asas Persamaan

Ini artinya bahwa hukuman itu dapat dijatuhkan kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tanpa ada perbedaan, baik itu kelas bangsawan atau rakyat biasa, baik pejabat atau rakyat, semuanya dapat dijatuhi hukuman ketika melanggar undang-undang. Namun asas persamaan ini bukan berarti mengharuskan samanya hukuman untuk semua jenis pelanggaran, akan tetapi penentuan hukuman sesuai jenis pelanggaran, diberikan wewenangnya kepada hakim, apakah akan menjatuhkan hukuman berat atau hukuman ringan tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan. Justru dengan seimbangnya antara hukuman dan pelanggaran terwujudlah asas persamaan dalam hukuman.

e. Hukuman Bersifat Menyakiti

Hukuman mempunyai sifat meyakiti bagi yang dikenainya, hal ini karena hukuman dijatuhkan terhadap pelaku kesalahan, dan dengan adanya hukuman diharapkan dapat tercapai tujuan yang diharapkan yaitu membuat takut atau jera bagi pelaku kejahatan agar tidak diulangi di masa yang akan dating, dan tujuan ini tidak akan tercapai kecuali apabila hukuman bersifat menyakiti.

f. Harusnya Sebuah Hukuman Bersumber dari Pengadilan

Artinya bahwa sebuah hukuman tidak dapat dijatuhkan kepada kriminil kecuali apabila hukuman itu merupakan hasil keputusan pengadilan yang merupakan lembaga khusus yang berwenang untuk itu. Barangkali ini cukup beralasan karena proses seperti ini merupakan penegasan terhadap perlindungan kebebasan individu masyarakat.

Selama putusan pidana hanya merupakan wewenang pengadilan maka secara otomatis hukuman ini dapat ditinjau ulang ketika terbukti terjadi kesalahan dalam putusan pidana itu, tentunya peninjauan ulang dalam putusan pidana hanya terdapat pada hukuman yang bersifat mâliah, adapun hukuman lainya apabila sudah berlalu maka tidak dapat ditinjau ulang hanya terpidana akan mendapatkan ganti rugi, dan tentunya dengan menggugurkan dampak yang muncul di masa yang akan datang atau ganti rugi itu dapat diberikan kepada ahli warisnya apabila terpidana telah tiada.

Tujuan Adanya Hukuman

Hukuman memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, sebagian darinya adalah tujuan jangka panjang dan sebagian lagi adalah tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang dari hukuman yaitu untuk mengentaskan tindak kriminal, sedangkan tujuan jangka pendek darinya ada dua jenis yaitu, pertama tujuan yang bersifat moril dan itu tercermin pada terwujudnya keadilan, dan kedua adalah tujuan yang bersifat manfaat, hal ini terlihat pada ar rod’u baik khos ataupun ám.

Untuk lebih jelasnya kami paparkan beberapa tujuan diatas sebagai berikut:

a. Terwujudnya Keadilan

Tidak diragukan lagi bahwa para kriminal ketika melakukan tindak kejahatan berarti telah melakukan sebuah tindakan yang dianggap tidak mengindahkan kaidah hukum, dan juga dengan melakukan tindakan itu ia telah mengebiri rasa keadilan atau membuat resah masyarakat. Hal inilah yang akan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan ini, begitu juga hal ini akan menumbuhkan rasa dendam dari korban terhadap pelaku kejahatan. Oleh karena itu rasa marah dan dendam yang ada pada korban terhadap pelaku kejahatan tidak akan terobati kecuali setelah melihat pelaku kejahatan itu dijatuhi hukuman sebagai balasan atas apa yang telah dilakukanya. Maka hukuman ini telah mengembalikan rasa keadilan yang sempat hilang karena akibat tindak kejahatan yang dilakukan kriminil, dan hukuman ini juga dapat mengembalikan rasa tentram di masyarakat terlebih pada korban dan keluarganya.

b. Ar rod’u al‘âm

Ialah sifat menakut-nakuti terhadap seluruh masyarakat dengan akibat yang timbul karena melakukan tindakan kejahatan dan dengan ancaman hukuman. Jadi dengan adanya ancaman hukuman terhadap pelaku kejahatan, seluruh elemen masyarakat diharapkan akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana, sehingga dengan rasa takut ini masyarakat terhindar dari melakukan tindak pidana.

c. Ar rodú al khôs

Tujuan ketiga dari adanya hukuman, yaitu untuk meredam potensi kejahatan yang ada pada diri pelaku, dan itu dapat terwujud dengan cara menghakiminya atau meminimalisirnya semaksimal mungkin, karena dengan cara ini akan memungkinkan tercegahnya dan tidak terulangnya tindak kriminal yang telah dilakukan oleh pelaku. Dan dengan cara ini pula akan memungkinkan terbantunya pelaku untuk dapat menempuh yang lurus sesuai tuntutan nas undang-undang. Oleh karena itu bahwa Ar rodú al khos hanya akan terwujud dengan cara menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan sebagai balasan atas tindakannya dan sebagai upaya perbaikan terhadap dirinya agar tidak mengulangi perbuatanya untuk yang kedua kali.

Pendapat hukum modern lebih cenderung mengutamakan tujuan Ar rodú al khôs dibandingkan dua tujuan hukuman lainnya (terciptanya keadilan dan ar rod’u al ‘âm). Namun pengutamaan ini tidak berarti sampai melalaikan dua tujuan hukuman lainya atau tanpa memperhatikan keduanya, bahkan siasat hukuman yang ada seyogyanya terus berupaya untuk dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, terutama tujuan-tujuan diatas, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi sesusai kapasitasnya.

Pembidangan Hukuman

Pada tingkat perkembangan ilmu hukum di Indonesia sekarang ini belum tercapai tingkat kemapanan penggunaan istilah secara baik, sehingga masing-masing penulis masih bisa “menawarkan” pilihannya masing-masing. Saat ini misalnya, kita dihadapkan pada istilah ‘penggolongan’, tetapi juga ‘pembidangan’, sehingga tentunya juga akan melahirkan ‘golongan’ dan ‘bidang hukuman’. Tetapi penulis lain akan menggunakan “lapangan”untuk keperluan yang sama (J.B. Dallyo dkk.1989). Di tempat lain lagi orang menggunakan “klasifikasi” (Sudikno, 1988). Mungkin masih ada lagi istilah-istilah lain yang digunakan. Kendati terdapat keanekaragaman yang demikian itu, keperluan untuk menggunakan istilah yang berbeda-beda memang ada. Yang penting adalah, pada saat berhadapan dengan sebuah istilah kita berusaha untuk mengerti maksud yang di kehendaki oleh penulisnya.

Pembidangan hukuman apabila ditinjau dari berat-ringannya sanksi maka akan ada sanksi kejahatan (jinâyat) , sanksi kurungan (junhah) dan sanksi pelanggaran (mukhôlafah) . Hal ini ditegaskan dalam undang-undang pidana Mesir, tepatnya pada bab ke II dari kitab pertama. Hanya dalam KUHP Indonesia pembagian hukuman berdasarkan tinjauan ini hanya dikenal dua jenis hukuman yaitu sanksi kejahatan dan pelanggaran, hal ini tersirat dan tersurat dalam KUHP Indonesia Kitab Kedua dan Ketiga.

Adapun pembidangan hukuman apabila dilihat dari segi keutamaannya, maka akan kita temukan hukuman pokok (al ‘uqûbah al ashliyyah), hukuman pengikut (al ûqubah at tab’iyyah), dan hukuman tambahan (al uqûbah at takmîliyyah). Dalam KUHP Indonesia dalam tinjauan ini hukuman hanya dikenal dua jenis saja yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok adalah sebuah hukuman yang berdiri sendiri ia ada dan dapat dijatuhkan tanpa ada ketergantungan terhadap keberadaan hukuman yang lain. Hukuman pokok mempunyai kekuatan memfonis, itu karena ia memiliki sifat asal sebuah hukuman. Dalam KUHP Indonesia, tepatnya pada pasal 10 bab II dari Buku Pertama bahwa yang termasuk hukuman pokok adalah hukuman mati , hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda. Begitu juga dalam undang-undang pidana Mesir bahwa yang termasuk hukuman pokok adalah seperti yang tercantum dalam KHUP Indonesia, hanya saja dalam undang-undang pidana Mesir lebih terperinci lagi dalam penentuan hukuman penjara, maka disini dapat kita kenal istilah as sijnul mua’bbad , as sijnul musyaddad , as sijnu , dan alhabsu yang semuanya ini akan kita perjelas dalam pembahasan berikutnya. Sedangkan hukuman pengikut adalah hukuman yang senantiasa mengikuti hukuman pokok dikarenakan adanya kekuatan hukum. Sebagai contoh dalam undang-undang Mesir yang termasuk dalam hukuman tambahan adalah pencabutan beberapa hak dan keistimewaan yang termaktub dalam pasal 25 bagi terpidana hukuman berat (jinâyat), begitu juga peletakkan dalam pengawasan polisi bagi pelaku tindakan jenis kriminal yang tercantum dalam pasal 234/2, 355,367/ع setelah divonis dengan as sijnul mua’bbad, as sijnul musyaddad, dan as sijnu . Adapun dalam KUHP Indonesia pasal 10 bab II dari buku pertama dijelaskan bahwa yang termasuk hukuman jenis ini adalah pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Namun dalam istilah KUHP Indonesia untuk macam-macam hukuman tersebut tidak digunakan istilah hukuman pengikut akan tetapi digunakan istilah hukuman tambahan untuk jenis hukuman-hukuman ini, walaupun substansinya adalah macam-macam hukuman yang dalam undang-undang Mesir menjadi cakupan jenis hukum pengikut. Karena untuk jenis hukuman tambahan undang-undang Mesir mempunyai criteria tersendiri seperti yang akan kita bahas kedepan. Hanya perlu dijadikan catatan disini bahwa dalam penentuan hukuman pengikut tidak disyaratkan baginya bersamaan dengan hukuman pokok dalam satu nas undang-undang.

Jenis ketiga hukuman apabila ditinjau dari segi keutamaanya adalah hukuman tambahan. Hukuman tambahan adalah sanksi yang serupa dengan hukuman pengikut dimana snksi ini tidak dijatuhkan terhadap terpidana kecuali setelah adanya hukuman pokok bagi terpidana, hanya perbedaanya dalam hukuman tambahan agar dapat dijatuhkan bagi terpidana, ia harus bersamaan pencantumannya dalam undang-undang dengan hukuman pokok. Sebagai contoh adalah meletakkan terpidana dalam pengawasan polisi ababila yang dilakukanya jenis-jenis pidana junhah yang tertuang dalam pasal 320, 336, 337. Pengelompokan jenis ketiga ini secara substansial hanya terdapat dalam undang-undang Mesir, walaupun secara istilah KUHP Indonesia pun mengenalnya namun tidak secara substansial.

Ada tinjauan lain untuk pembidangan hukuman yaitu pembagian hukuman apabila ditilik dari segi waktu. Dari segi ini hukuman dapat kita kelompokan menjadi hukuman abadi (al uqûbah al mu’abbadah) dan hukuman sementara (al uqûbah al muáqqotah). Pembidangan hukuman pada dua kelompok ini hanya terdapat pada hukuman yang bersifat mengikat dan merampas kebebasan. Hukuman abadi adalah sanksi yang tidak dibatasi oleh waktu bahkan hukuman ini bersifat selamanya. Salah satu contoh sanksi dari jenis ini adalah seperti sanksi yang terdapat dalam undang-undang Mesir yaitu hukuman penjara selamanya, ia adalah hukuman pokok satu-satunya yang bersifat abadi, ada juga hukuman pengikut yang bersifat abadi seperti halnya sanksi pencabutan beberapa hak dan keistimewaan yang termaktub dalam undang-undang pidana Mesir pasal 25 pada keadaan pertama, kedua, kelima dan keenam. Adapun jenis kedua dari hukuman apabila dilihat dari segi waktu adalah hukuman sementara, ialah sanksi yang dibatasi oleh waktu tertentu. Sebagi contoh dari jenis sanksi ini adalah hukuman penjara berat dan hukuman kurungan, ini yang termasuk dalam hukuman pokok. Sedangkan yang dari hukuman pengikut yang termasuk dalam hukuman sementara adalah sanksi pencabutan hak-hak dan keistimewaan yang tercantum dalam undang-undang pidana Mesir pasal 25 pada keadaan ketiga dan keempat.

Pembidangan lainya untuk hukuman dapat dilihat dari segi hak-hak terpidana yang terkenai hukuman. Berdasarkan tinjauan ini kita dapat mengelompokan hukum pada hukuman badan, hukuman perampasan kebebasan atau hukuman pengikat kebebasan, hukuman terhadap reputasi, hukuman pencabutan hak-hak dan hukuman harta. Hukuman badan adalah sanksi yang menimpa badan terpidana yang mengakibatkan hilangnya hak hidup terpidana seperti sanksi eksekusi. Adapun hukuman perampas kebebasan adalah sanksi yang mengakibatkan terampasnya kebebasan terpidana selama ia masih dalam masa penjatuhan hukuman seperti halnya hukuman penjara dan kurungan. Sedangkan hukuman pengikat kebebasan adalah sanksi yang mengakibatkan terikatnya kebebasan terpidana tanpa mengakibatkan hilangnya kebebasan sebagai contoh misalnya sanksi peletakan terpidana dalam pantauan polisi. Adapun hukuman terhadap reputasi adalah hukuman yang mengenai kehormatan, dan citra terpidana di lingkungan masyarakatnya seperti perintah kehakiman untuk mempublikasikan sebuah putusan terhadap terpidana pada media cetak, ini merupakan sanksi yang membuat reputasi terpidana menjadi buruk di lingkungan masyarakatnya. Dan yang dimaksud dengan hukuman harta adalah hukuman dalam bentuk tanggungan harta terpidana, sehingga hartanya menjadi berkurang, seperti hukuman denda dan penyitaan. Dan terakhir adalah hukuman pencabut hak-hak terpidana, ialah sanksi yang menjadikan tercabutnya hak-hak terpidana baik hak sipil atau hak berpolitik.

Dari berbagai pengelompokan hukuman diatas ada satu pengelompokan yang menimbulkan atau mengharuskan adanya penjelasan hukum yang tunduk terhadapnya yaitu pembidangan hukuman pada hukuman pokok, hukuman pengikut dan hukuman tambahan.

Seperti telah disampaikan di muka bahwa yang akan disampaikan dalam makalah ini adalah hal-hal prinsipil atau mendasar dari sebuah hukuman, dan itu seperti apa yang telah kita lihat bersama pada pembahasan diatas. Namun tentunya juga isi makalah ini belum dapat mewakili kajian dasar-dasar hukuman sacara paripurna, ini karena masih banyaknya pokok bahasan tentang hukuman atau sanksi yang belum sempat dibubuhkan dalam makalah ini, itu karena keterbatasan waktu dan referensi yang kami miliki. Diantara yang perlu ditambahkan dalam makalah ini adalah pejelasan tentang aplikasi hukuman, macam-macam tindak pidana dan pengaruhnya terhadap hukuman, habisnya masa hukuman, dan hilangnya dampak (atsar) hukuman. Itu semua belum sempat kami susun, mudah-mudahan dapat dilengkapi di masa yang akan datang.

Akhirnya kami mohon maaf dari segala kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, semoga makalah ini bermanfaat. Amin!

Oleh: Mang Akbar

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:20 PM  

HUKUM PIDANA; ANTARA TEORI DAN APLIKASI

Berbicara mengenai Hukum Pidana, maka secara spontan kita akan langsung mengingat bahwa Hukum Pidana termasuk ke dalam hukum publik (pembagian hukum berdasarkan isinya). Sebagaimana kita ketahui berdasarkan isinya hukum dibagi menjadi dua; hukum publik dan hukum privat. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur antara subjek hukum dengan pemerintah sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu dalam masyarakat dengan bentuk kaedah tertentu.

Hukum Pidana Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang adalah hukum saduran dari Belanda, yang termuat dalam perundang-undangan yang kita sebut dengan KUHP(Kitab undang-undang Hukum Pidana) atau dalam bahasa belandanya dikenal dengan sebutan WvS (singkatan dari Wetboek van Strafrecht). Hukum ini terdiri dari tiga buku; buku ke-1 memuat Aturan Umum, buku ke-2 tentang Kejahatan, dan buku yang ke-3 mengatur tentang Pelanggaran. Hukum Pidana di Indonesia hanya mengenal dua jenis perbuatan, yang mana keduanya juga telah termuat di dalam KUHP; yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, kita ambil sebagai contoh mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya.

Hukum Pidana sebagaimana yang kita ketahui dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Sedangkan Hukum pidana formil mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP), adapun KUHP sendiri telah diberlakukan dengan keluarnya UU 1958 no.73 yang pokoknya telah memberlakukan UU no.1 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Lain lubuk lain pula ikannya, lain Indonesia lain pula Mesir. Di negeri Mesir sendiri, ditanah kita berpijak ini, hukum pidana( Qonun ‘Uqubat ) telah mengalami perkembangan yang cukup panjang menjelang abad ke-19. Karena di akhir abad ini Mesir mengadopsi Qonun produk negara Perancis, yang mana sebelum hukum yang terakhir ini, hukum Syariat Islam-lah yang diterapkan. Pada tahun 1883 bisa dikatakan bahwa tahun ini adalah tahun sejarah perkembangan hakiki untuk perundang-undangan Hukum Pidana Mesir dimana telah terbentuknya mahkamah-mahkamah nasional, selain itu Qonun ‘Uqubat al-Ahli dan Qonun Tahqiq al-Jinayah juga telah berlaku. Hingga keluarlah UU Pidana (Qonun ‘Uqubat) secara pasti no.58 tahun 1937 yang mulai diterapkan tanggal 15 Oktober 1937 dan masih berlaku hingga sekarang. Di masa perkembangan sejarah Hukum Pidana(Qonun ‘Uqubat) Mesir ini, di dalamnya terdapat beberapa pengamandemenan diantaranya UU no 169 tahun 1981, UU no.21 tahun 1982, UU nomor 34 tahun 1984, UU nomor 97 tahun 1992, UU nomor 93 tahun 1995, UU nomor 95 tahun 1996, dan UU nomor 95 tahun 2003.

Berhubung pembahasan tentang Hukum Pidana kali ini adalah pengantar dan pengenalan teori-teori begitu juga perangkat singkat dalam Ilmu Hukum Pidana, penulis mencoba untuk mengklarifikasi pembahasan mengenai kejahatan( pidana) dan unsur-unsur yang harus ada dalam perbuatan pidana dengan lebih memfokuskan pembahasan dari buku diktat, Syarh Qonun ‘Uqubat.

Kejahatan (al-Jarimah)

Dalam pembahasan mengenai Kejahatan ini, penulis akan membaginya ke dalam dua pembahasan:
• Definisi Kejahatan
• Klasifikasi Kejahatan.

Definisi Kejahatan

Tidak ada bentuk kesepakatan di dalam pendefinisian Kejahatan di antara para ahli hukum sendiri, dan keberagaman pendefinisian ini kembali pada pada cara pandang mereka yang berbeda mengenai hakikat Kejahatan itu sendiri. Ada yang memberikan pendefinisian (1)Kejahatan adalah Suatu perbuatan yang bersifat mengerjakan ataupun meninggalkan suatu perbuatan yang mana sangsinya telah ditentukan oleh hukum, (2) ada juga yang mendefinisikannya “ Suatu perbuatan atau kejadian yang dapat membahayakan dan undang-undang telah melindungi kemaslahatan ini di dalam Hukum Pidana dan dampak dari perbuatan kejahatan ini adalah hukuman yang akan diterima oleh si pelaku, (3)sebagian lagi ada yang mendefinisikannya sebagai “ Suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan yang bersumber dari keinginan untuk melakukan dan hukum telah menentukan sangsinya berupa hukuman atau semisal tindakan-tindakan preventif.
Dari berbagai pendefinisian diatas, maka pengertian yang terakhir lebih mendekati kepada ciri-ciri perbuatan kriminal atau kejahatan, yaitu “ Perbuatan atau tingkah laku yang tidak diperbolehkan (illegal)yang bersumber dari keinginan untuk melakukan kejahatan yang mana sangsinya telah ditetapkan oleh undang-undang.”
Terkadang pengertian kejahatan pidana yang merupakan perbuatan dan tingkah laku yang tidak diperbolehkan dapat terkontaminasi dengan pengertian perbuatan kejahatan yang lainnya seperti kejahatan sipil(perdata) dan kejahatan ta’dibiyyah.
• Yang pertama: adalah perbedaan antara kejahatan pidana dan kejahatan sipil; ke-illegal-an kejahatan pidana berpegang pada UU Hukum Pidana sesuai dengan asasnya ‘Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali ada undang-undangnya’. Sedangkan kejahatan sipil ketidak absahannya bersumber dari UU pasal 163 UU perdata Mesir “ Setiap perbuatan yang menyebabkan bahaya pada orang lain yang mewajibkan bagi si pelaku untuk mengganti rugi.” Dan perbedaan ini terlihat pada kejahatan pidana tertuang dalam teks undang-undang secara pasti, sedangkan undang-undang perdata tidak ada di dalamnya batasan untuk kategori kejahatan akan tetapi ada satu kaedah hukum yang membatasinya dengan asas ganti rugi, yaitu timbulnya bahaya pada orang lain karena bahaya disini dianggap sebagai unsur dalam kejahatan sipil dan sebaliknya tidak di dalam kejahatan pidana.

• Kedua: perbedaan antara kejahatan pidana dan kejahatan ta’dibiyyah
Yang dimaksud dengan kejahatan ta’dibiyyah disini adalah perbuatan atau tingkah laku yang salah yang dilakukan oleh seorang pegawai negara atau orang yang bertugas mengabdi untuk negara, yang mana perbuatannya dianggap sebagai kelalaian pada kewajiban atau tugasnya. Maka perbedaan keduanya terletak pada kejahatan ta’dibiyyah dapat dikenakan hanya pada golongan tertentu dari masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai negara atau orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk umum(masyarakat) seperti pegawai negeri, dokter, pengacara dll.

Klasifikasi Kejahatan

Secara umum Kejahatan dapat dibagi ke dalam beberapa pembagian:
1. Pembagian kejahatan menurut bentuknya dibagi menjadi tiga; Kejahatan( Jinayah) , Pelanggaran berat( Junhah) , dan pelanggaran ringan( Mukhalafah) , inilah pembagian yang disebutkan oleh pembuat undang-undang Mesir yang terdapat dalam pasal 9-12 Qonun ‘Uqubah.
2. Kejahatan dibagi juga menurut unsur materiil( ar-Ruknu al-Maddi) menjadi Kejahatan dalam waktu singkat( Jaraim Waqtiyyah) , Kejahatan yang berkelanjutan ( Jaraim Mustamirrah) , Kejahatan yang diikuti perbuatan-perbuatan yang selanjutnya( Jaraim Mutataba’atu al-Af’al) , Kejahatan biasa ( Jaraim Basithah) , dan Kejahatan berulang-ulang kali ( Jaraim ‘Itiyad) .
3. Sedangkan berdasarkan unsur immateril( ar-Ruknu al-Maknawi), Kejahatan dibagi menjadi dua; Kejahatan yang disengaja( Jaraim ‘Amdiyyah) dan Kejahatan yang tidak disengaja( Jaraim ghairu Amdiyyah) .
4. Dan yang terakhir pembagian Kejahatan berdasarkan jenis hak yang terancam dibagi menjadi empat; Kejahatan biasa ( Jaraim ‘Adiyah) , Kejahatan politik ( Jaraim Siyasiyah) , Kejahatan militer ( Jaraim ‘Askariyyah) dan Kejahatan umum( Jarimah ‘Ammah) .

Unsur pertama dalam kejahatan(Rukun Syari’)

Telah kita ketahui sebelumnya bahwa di dalam sebuah perbuatan pidana ada tiga unsur penting pembentuknya; pertama unsur syari’ atau kita kenal dengan ketidak bolehan suatu perbuatan untuk dilakukan menurut UU, dan kata tidak boleh( ‘adamu al-masyrui’yyah) yang dimaksudkan adalah adanya UU yang mengatur bahwa perbuatan tersebut melanggar UU, dan juga terlepasnya perbuatan kejahatan ini dari alasan-alasan yang membenarkannya( asbabul ibahah). Yang kedua Rukun Maddi ( unsur materiil) yaitu perbuatan kejahatan yang dilakukan. Dan yang ketiga adalah Rukun Maknawi ( unsur immaterial) yang dimaksudkan di sini adalah niat pelaku atau kesengajaan untuk melakukan perbuatan tersebut.

Asas Legalitas pidana

Maksud dari asas legalitas pidana adalah suatu perbuatan termasuk dalam kategori kejahatan hanya dapat ditentukan oleh pembuat uu( legislator) saja begitu juga dengan penjelasan hukuman-hukuman yang termuat di dalam uu. Tidak adanya otoritas seorang hakim untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kejahatan atau tidaknya, dan seorang hakim juga tidak bisa untuk menentukan suatu hukuman atas suatu kejahatan kecuali apa yang telah termaktub di dalam uu.
Tidak diragukan lagi bahwa pada prinsipnya asas legalitas dalam pidana ini dianggap sebagai sebuah asas yang menjamin hak-hak seseorang dari peradilan, dan juga setiap warga negara akan mengetahui perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kategori kejahatan dan hukuman-hukumannya.

Adapun asal historitas asas legalitas ini bersumber dari uu Romawi yang diberlakukan pada masanya republik yang terkenal pada waktu itu, tetapi hal ini tidak berlangsung lama hingga peradilan diberikan kewenangan yang luas untuk menentukan suatu kejahatan dan hukumannya. Akan tetapi asas legalitas ini muncul kembali di Inggris pada tahun 1215 pada masa raja Jhon dan hal ini sesuai dengan dokumen yang dibuat pada tahun tersebut yang dinamakan dengan Magna Charter, dimana di dalam pasal 39 disebutkan tidak mungkin suatu hukuman itu diberikan kepada seseorang yang merdeka kecuali melalui peradilan hukum sesuai dengan undang-undang.
Kemudian asas legalitas ini berpindah hingga sampai ke Amerika Serikat yang dibawa oleh imigran Inggris, dan asas ini tertuang di dalam uu hak asasi manusia tahun 1774. Setelah revolusi Perancis 1789 para pembuat uu di negara itu juga memasukkannya ke dalam uu hak asasi manusia, dan di Mesir sendiri asas ini tertuang di dalam UUD Mesir tahun 1971 pasal 66 yang berbunyi “ Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali berdasarkan undang-undang.”
Asas ini juga tak lepas dari kritikan, misalnya asas ini bersifat non-retroaktif, karena pembuat undang-undang ketika menentukan hukuman hanya melihat pada bentuk kejahatan yang dilakukannya tanpa melihat latar belakang si pelaku. Kedua; asas ini juga bisa dikatakan tidak melindungi masyarakat karena pembuat uu tidak bisa menyesuaikan uu dengan perkembangan zaman.

Sumber-sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana disini dapat dibagi menjadi dua; yang pertama adalah sumber langsung dan sumber yang tidak langsung.
Sumber Hukum Pidana secara langsung
* Undang-undang dasar
Di dalam sebagian pasal Dustur tahun 1971 disebutkan: bahwa UU dasar merupakan sumber langsung untuk Hukum pidana, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 66 hukum pidana yang memuat asas legalitas pidana.
*Undang-undang; sesuatu yang dibuat oleh pembuat undang-undang( legislator), dan undang-undang disini menempati posisi yang kedua setelah undang-undang dasar dalam rujukan atau sumber Hukum Pidana.
* Keputusan untuk mengeluarkan hukum; yang bersumber dari kepala negara, baik berdasarkan keputusan penyerahan dari DPR yang terjadi pada saat-saat tertentu saja dan hanya berlaku dalam beberapa perkara saja, atau juga bisa dikeluarkan karena ketidak hadiran anggota dewan jika hal untuk mengeluarkan uu membutuhkan waktu yang cepat.
Sumber Hukum Pidana yang tidak langsung:
* Kebiasaan
* Syariat Islam
* Perjanjian Internasional dan kebiasaan Internasional
* Undang-undang asing

Interpretasi teks Undang-undang Pidana

Salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan- rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan sesungguhnya hanyalah merupakan bentuk dari usaha untuk menyampaikan suatu ide atau pikiran. Sehubungan dengan hal yang sering disebut belakangan ini tentang adanya “ semangat” dari suatu peraturan. Oleh karena itu usaha menggali semangat yang demikian itu merupakan bagian dari keharusan yang melekat pada hukum perundang-undangan. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi hukum.
Interpretasi atau konstruksi adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapat kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk bentuk otoritatif itu .
Sebenarnya keadaan yang ideal adalah manakala interpretasi tersebut tidak diperlukan atau sangat kecil peranannya. Suatu keadaan dimana tercapainnya maksud apabila perundang-undangan itu bisa dituankan dalam bentuk yang jelas.

Interpretasi teks undang-undang dapat dibagi menjadi tiga:

1. Interpretasi legislatif : yaitu interpretasi yang bersumber dari lembaga yang membuat teks undang-undang pidana. Yang bertujuan untuk memperjelas maksud dari undang-undang yang dibuat.
2. Interpretasi doktrin: interpretasi yang bersumber dari sarjana hukum yang ditulis dalam karangan-karangan mereka dan penelitian mereka dengan tujuan untuk memperjelas teks uu. Walaupun pada hakikatnya bentuk dari interpretasi ini tidaklah memiliki sifat yang wajib diikuti.
3. Interpretasi yurisprudens: interpretasi yang dibuat seorang hakim untuk memecahakan suatu perkara dari teks uu, dan dimaksudkan untuk sampai kepada tujuan yang diinginkan oleh pembuat uu. Dan bentuk interpretasi ini juga tidak memiliki sifat wajib diikuti .

Untuk mengetahui bentuk interpretasi atau penafsiran terhadap teks uu ini, Montesquieu mengajukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana.
Istilah-istilah yang dipakai hendaknya sejauh mungkin bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga dengan demikian membuka sedikit kemungkinan bagi perbedaan pendapat individual.
2. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat hipotesis.
3. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi.
4. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan pengecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.
5. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi.
6. Harus dipertimbangkan dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan janganlah hendaknya mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan.


Metode interpretasi


Kembali kepada masalah interpretasi, maka secara garis besar interpretasi dapat dibedakan ke dalam dua bentuk; yaitu interpretasi secara harfiah dan fungsional. Misalnya: pada pasal 236 ,240 ,244, 265 Qonun ‘Uqubat di Mesir hal yang berkaitan dengan kejahatan seperti pemukulan, pelukaan dengan sengaja ataupun tidak sengaja dan pemberian zat-zat yang dapat membahayakan, maka kita dapatkan tujuan dari pembuat uu adalah untuk melindungi hak seseorang dalam keselamatan dirinya. maka interpretasi dari teks uu ini adalah segala sesuatu perbuatan yang termasuk dapat mengganggu dan mengancam keselamatan diri seseorang masuk kedalam kategori kejahatan ini, seperti menebarkan kuman-kuman penyakit pada tubuh seseorang.

Ruang Lingkup Hukum Pidana


Berlakunya perundang-undangan hukum Pidana menurut waktu
Perundang-undangan pada umumnya memiliki masa berlaku yang terbatas, suatu keadaan dimana ia masih memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan, dan waktu itu dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan hingga tanggal berakhirnya masa undang-undang tersebut. Adapun waktu sebelum uu dikeluarkan dan sesudah habisnya masa uu tersebut, maka uu ini tidak dapat diterapkan dan diaplikasikan untuk kejadian yang ada pada waktu-waktu tersebut. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 188 UUD Mesir 1971 dimana waktu mulai berlakunya uu setelah sebulan dari tanggal diumumkannya uu tersebut di koran-koran resmi pemerintah, sebagaimana pasal ini juga memberikan batasan waktu untuk publikasi di koran resmi hanya dalam waktu dua minggu dari tanggal dibuatnya uu.

Kaedah dasarnya adalah bahwa teks undang-undang Qonun ‘Uqubat (Hukum Pidana) ini berlaku dengan cepat dan segera di terapkan untuk segala perbuatan yang terjadi pada waktu uu ini dikeluarkan, dan uu ini tidaklah berlaku dan tidak dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan pidana yang ada sebelum uu ini dikeluarkan, sebagaimana uu ini juga tidak berlaku setelah tanggal penghapusan uu. Tidak diragukan bahwa kaedah ini( Qa’idatu al-atsar al-fauri wa al-mubasyir) yang merupakan asas berlakunya uu Hukum Pidana menurut waktu adalah sebagai penguatan pada asas legalitas, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1971 pasal 66 : “ Tidak ada hukuman kecuali atas perbuatan-perbuatan pidana yang terjadi pada waktu dikeluarkannya suatu uu.”

Akan tetapi kaidah dasar dalam Qonun ‘Uqubat ini juga mengenal pengecualian, dimana uu yang baru dapat berbalik ke belakang atau dapat diterapkan untuk perbuatan-perbuatan pidana sebelum uu ini dikeluarkan, diterapkanlah asas raj’i(retroaktif). Dan keadaan seperti ini terjadi apabila penerapan uu baru tersebut lebih sesuai dan cocok bagi tersangka dibandingkan dengan uu yang berlaku ketika ia mengerjakan perbuatan pidana tsb. Penerapan asas retroaktif ini bertujuan untuk kebaikan si terdakwa dan bukan berarti ‘mengotak-atik’ asas legalitas, karena asas retroaktif ini tidaklah membahayakan si terdakwa akan tetapi sebaliknya untuk memberikan kemaslahatan pada dirinya.

Di dalam KUHP Indonesia sendiri batas –batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan menurut waktu termaktub dalam buku ke-1, bab ke-1 pasal 1 ayat 1 & 2 yang berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”, dan “ Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, di pakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.”

Berlakunya perundang-undangan pidana menurut tempat

Berbicara mengenai Hukum Pidana, maka secara spontan kita akan langsung mengingat bahwa Hukum Pidana termasuk ke dalam hukum publik (pembagian hukum berdasarkan isinya). Sebagaimana kita ketahui berdasarkan isinya hukum dibagi menjadi dua; hukum publik dan hukum privat. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur antara subjek hukum dengan pemerintah sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu dalam masyarakat dengan bentuk kaedah tertentu.

Hukum Pidana Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang adalah hukum saduran dari Belanda, yang termuat dalam perundang-undangan yang kita sebut dengan KUHP(Kitab undang-undang Hukum Pidana) atau dalam bahasa belandanya dikenal dengan sebutan WvS (singkatan dari Wetboek van Strafrecht). Hukum ini terdiri dari tiga buku; buku ke-1 memuat Aturan Umum, buku ke-2 tentang Kejahatan, dan buku yang ke-3 mengatur tentang Pelanggaran. Hukum Pidana di Indonesia hanya mengenal dua jenis perbuatan, yang mana keduanya juga telah termuat di dalam KUHP; yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, kita ambil sebagai contoh mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya.

Hukum Pidana sebagaimana yang kita ketahui dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Sedangkan Hukum pidana formil mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP), adapun KUHP sendiri telah diberlakukan dengan keluarnya UU 1958 no.73 yang pokoknya telah memberlakukan UU no.1 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Oleh: Ade Irma Suryani

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:09 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home