SENGKETA INTERNASIONAL/INTERNATIONAL DISPUTES/AL-MUNÂZA’ÂT AL-DAULIYAH

(EKSPLORASI TEORI DAN SAMPEL KASUS)

Oleh: Desi Hanara

A. Prolog; Lingkup Sengketa Internasional dan Cakupan Kajian

Pada dasarnya, peran utama hukum di segala level masyarakat adalah untuk mengatasi sengketa, baik berupa upaya antisipasi atas sengketa tersebut maupun berupa upaya penyelesaiannya. Begitu pula halnya dengan Hukum Internasional yang memang pada akar sejarahnya, titik perannya banyak terfokus pada pengatasan sengketa internasional.

Sengketa internasional sendiri kebanyakan identik dengan sengketa teritori antara dua negara atau lebih terhadap suatu wilayah tertentu. Namun jika menilik sejarahnya, bisa dipetakan bahwa akar sejarah dari sengketa internasional sebenarnya terakumulasi dari persengketaan-persengketaan seputar Sumber Daya Alam, Etnik, Demografi Keagaamaan, dan bahkan Perjanjian-perjanjian yang ambigu. Dan apabila tidak teridentifkasi, sengketa-sengketa internasional dengan segala motif tersebut akan sangat potensial untuk memicu terjadinya tindak kriminal, terorisme, perang, atau bahkan genosida.

J.G. Starke menegaskan bahwa sengketa Internasional tidak hanya mencakup persengketaan antar negara an sich, tapi juga mencakup segala kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, seperti sengketa antara satu pihak negara tertentu dengan individu misalkan, atau antara satu pihak negara dengan suatu badan korporasi atau badan non-negara. Contoh gamblangnya adalah persengketaan-persengketaan penanaman modal antara negara penerima modal dan investor swasta asing, yang termasuk dalam yurisdiksi Hukum Internasional dan penyelesaiannya diatur menurut Konvensi 18 Maret 1965.

Tapi meskipun ruang lingkup sengketa internasional tidak hanya terbatas pada sengketa antar negara (negara versus negara), paper ini tetap akan merujuk pada alur kajian rata-rata dari beberapa literatur otoritatif yang kesemuanya mefokuskan pembahasan tentang sengketa internasional dengan corak “negara versus negara”. Yang mana, secara umum kajian ini akan dieksplorasi dan dipetakan dalam tiga sub-kajian, yaitu [pertama], sub-kajian tentang Defenisi, Kriteria, dan Karakteristik Sengketa Internasional berikut beberapa eksplorasi sampel kasus terkait, lalu [kedua], sub-kajian teori dan eksplorasi sampel kasus tentang Penyelesaian Sengketa, baik secara damai yang lazim ditempuh lewat jalur politik/diplomatik maupun yudisial, ataupun dengan menggunakan kekerasan/paksaan yang bisa ditempuh dengan beberapa metode penyelesaian, serta [ketiga] sub-kajian teori dan eksplorasi sampel kasus tentang Hukum Perang, berikut penjelasan ringkas seputar Hukum Humaniter Internasional, Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata, sekaligus juga sekilas singgungan tentang Konsep Netralitas, Kuasi-Netralitas, dan Ketidak-terlibatan Perang.
B. Defenisi, Kriteria, dan Karakter Sengketa Internasional

Dalam konteks Hukum Internasional Publik, sengketa bisa didefenisikan sebagai ketidak-sepakatan salah satu subjek mengenai sebuah hukum/fakta/kebijakan, yang kemudian dibantah oleh pihak lain, atau juga ketidak-sepakatan terhadap satu masalah hukum/fakta-fakta/konflik mengenai penafsiran dua bangsa yang berbeda.

Dalam kasus sengketa atas Timor-Timur atara Portugal versus Australia, Mahkamah Internasional menetapkan empat kriteria sengketa internasional berikut:

1. Sengketa internasional harus didasarkan pada kriteria-kriteria objektif, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada. Seperti pada kasus invasi Amerika Serikat terhadap Afghanistan yang didasarkan pada fakta meraja-lelanya terorisme.
2. Sengketa internasional tidak boleh hanya didasarkan pada argumen salah satu pihak, tapi harus didasarkan pada argumen keduanya. Seperti pada kasus sengketa Amerika Serikat versus Iran pada tahun 1979, yang mana di sini Mahkamah Internasional dalam mengambil keputusan, tidak hanya berdasar pada argumentasi dari pihak Amerika Serikat, tapi juga dari pihak Iran.
3. Jika di dalam suatu sengketa internasional terdapat penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa, hal ini tidak dengan sendirinya akan membuktikan ketiadaan sengketa. Seperti pada kasus sengketa atas Nothern Cameroons 1967 antara Cameroons versus United Kingdom. Di mana di kasus ini Inggris mengklaim bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris men-statemen bahwa sengketa sebenarnya terjadi antara Kamerun dan PBB. Di sini, jelas klaim dari Inggris tentang ketiadaan sengketa tidak bisa digunakan sebagai bahan keputusan mutlak akan ada atau tidaknya sengketa, tapi tentu diperlukan pihak ketiga untuk memutuskan ada atau tidaknya sengketa.
4. Sengketa internasional harus dilatari oleh sikap saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Seperti pada kasus mengenai daya aplikasi atas kewajiban untuk mengarbitrasi di bawah naungan Kesepakatan no. 21 PBB, 26 Juni1947 (Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June1947).

Sementara karakter sengketa internasional adalah:

1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek Hukum Internasional (A Direct International Dispute). Seperti pada contoh kasus Toonen versus Australia. Di mana Toonen menggugat ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen Pemerintah Australia telah melanggar pasal 17 ICCPR dan atas itu Pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

2. Sengketa yang pada awalnya bukan merupakan sengketa internasional, tetapi sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (An indirect International Dispute). Suatu peristiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalah adanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA, yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Seperti pada kasus penembakan warga negara Amerika Serikat di Freeport.

C. Penyelesaian Sengketa Internasional (The Settlement of International Disputes/Taswiyah al-Munâza’ât al-Dauliyah)

Prinsip bagaimana menyelesaikan sengketa-sengketa internasional sedini mungkin dan dengan cara seadil-adilnya bagi semua pihak yang terlibat adalah tujuan utama Hukum Internasional sejak sekian lama. Prinsip-prinsip ini banyak termuat dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa Internasional, dan Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945.

Secara general, metode-metode penyelesaian sengketa internasional bisa ditempuh melalui dua jalur, yaitu dengan jalur damai dan jalur kekerasan.

1. Penyelesaian Sengketa Internasional Jalur Damai (The Peaceful Settlement of International Disputes/al-Taswiyah al-Silmiyah li Munâza’ât al-Dauliyah)

The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang menghasilkan Convention on The Pacific Settlement of International Disputes 1907, merupakan cikal bakal legalisasi penghimbauan penyelesaian sengketa internasional dengan jalur damai. Meskipun pada realitanya, sifat dari konvensi ini tidak mengikat dan rekomendatif, konvensi ini pada sejarahnya telah menstimulan munculnya beberapa Perjanjian-perjanjian Internasional yang secara khusus mengatur dan memuat cara-cara penyelesaian sengketa internasional lewat jalur damai. Perjanjian-perjanjian tersebut—baik yang dibuat oleh negara-negara secara multilateral maupun melalui lembaga intergovernmental adalah:

a. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919;
b. The Statue of the Permanent Court of international Justice 1921;
c. The General Treaty for the Renunciation of War 1928;
d. The General Act for The Pacific Settlement of International Disputes 1928;
e. Piagam PBB (Mîtsâq al-Umam al-Muttahidah) dan Statuta Mahkamah Internasional 1945 (al-Nidzâm al-Asâsiy li Mahkamah al-’Adl al-Dauliyah);
f. Deklarasi Bandung 1955;
g. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.

Seperti yang dijelaskan oleh Pasal 33 Piagam PBB, penyelesaian sengketa dengan jalur damai ini bisa ditempuh dengan metode-metode berikut:
a. Metode Politik/Diplomatik Klasik, seperti Negosiasi, Enquiry (Penyelidikan), Jasa-jasa Baik (good offices), Mediasi, dan Konsiliasi.
b. Metode Yudisial/Hukum, yakni dengan mekanisme Arbitrasi Internasional dan Mahkamah Internasional.
c. Penyelesaian sengketa internasional melalui Organisasi-organisasi Internasional atau Badan-badan/Kelompok-kelompok Regional.

a. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Metode Politik/Diplomatik (Political/Diplomatic Settlement of International Disputes/al-Taswiyah al-Siyâsiyah/al-diblûmâsiyah li al-Munâza’ât al-Dauliyah)

--Negosiasi (Negotiation/al-Mufâwadlah)

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang telah lama diadopsi. Hingga permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Dan hingga saat ini, Negosiasi biasanya adalah metode penyelesaian sengketa yang pertama kali ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikut-sertaan dari pihak ketiga.

Dalam pelaksanaannya, Negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu Bilateral dan Multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatic pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga/organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, yang lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain:
1. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.

2. Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya.
3. Dapat menghindari perhatian public dan tekanan politik dalam negeri.
4. Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak.

--Penyelidikan (Enquiry/al-Tahqîq)

J.G. Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidak-sepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan sangat bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Dan dalam rangka menyelesaikan sengketa inilah, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang temukan ini kemudian dilaporkan kepada para pihak yang besengketa, sehingga para pihak tersebut bisa menyelesaikan sengketa di antara mereka.

Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
Contoh Dewan Penyelidik yang pernah dibentuk oleh PBB, adalah Dewan Penyelidik yang mengawasi penghentian gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

--Mediasi (Mediation/al-Wasâthah)

Mediasi adalah suatu tindak intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak-pihak yang bersengketa tidak bisa menempuh penyelesaian sengketa lewat jalur negosiasi. Pihak ketiga yang disebut mediator ini harus bersifat netral dan independen sehingga bisa memberikan saran untuk penyelesain sengketa.

Seperti yang ditulis oleh Pirhot Nababan, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga bisa dilangsungkan dalam beberapa bentuk. Misalnya pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas “ex aequo et bono” untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain: The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

Contoh sengketa yang diselesaikan dengan metode ini adalah ketika Amerika Serikat menjadi mediator konflik Mesir dan Israel yang berakhir dengan ditetapkannya Perjanjian Damai Mesir-Israel 26 Maret 1979 di Washington D.C. Selain itu, Amerika Serikat juga pernah menjadi mediator konflik Yordan-Israel yang berakhir dengan ditetapkannya Perjanjian Damai Yordan-Israel 25 Oktober 1994.

--Jasa-jasa Baik (Good Offices/al-Musâ’iy al-Hamîdah)

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: “The involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.”

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

Contoh sengketa yang diselesaikan dengan metode ini adalah ketika pada tahun 1979, Guatemala dan Costa Rica memberikan jasa-jasa baik untuk penyelesaian sengketa antara Honduras dan Salvador.

--Konsiliasi (Concilliation/al-Taufîq)

Sementara Konsiliasi, menurut Manly O. Hudson adalah: “Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan suatu penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu dari pendirian-pendirian yang saling bertentangan, dan para pihak dalam sengketa tersebut tetap bebas untuk menolak atau menerima proposal-proposal yang telah dirumuskan tersebut.”

J.G. Starke menyebutkan bahwa fakta jika para pihak yang berkonflik sama sekali memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak syarat-syarat penyelesaian yang diusulkan itulah yang sebenarnya membedakan Konsiliasi dan Arbitrasi. Dan dengan begini, metode Konsiliasi memiliki nilai plus karena bisa dipakai untuk penyelesaian segala jenis sengketa atau keadaan.

Teori-teori tentang konsiliasi banyak terkodifikasi di Traktat Bryan, Traktat Brussels 17 Maret 1948, dan Pakta Bagota 1948.

b. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Metode Yudisial/Hukum (Judicial Settlements of International Disputes/al-Taswiyah al-Qadlâiyah li al-Munâza’ât al-Dauliyah)

--Arbitrasi Internasional (International Arbitration/al-Tahkîm al-Dauliy)

Menurut J.G. Starke, proses penyelesaian sengketa melalui proses Arbitrasi berlangsung dengan penyerahan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan Arbitrator, yang dipilih bebas oleh para pihak bertikai. Para Arbitrator inilah yang akan memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum.

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.

--Mahkamah Internasional (International Court of Justice/al-Mahkamah al-Jinâiyah al-Dauliyah)

Satu-satunya Organ Umum yang tersedia untuk masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa secara yudisial adalah International Court of Justice di The Hague. Organ Umum ini dibentuk berdasarkan bab IV (Pasal 92-96) Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945.

Mahkamah Internasional terdiri dari 15 Hakim. Hakim-hakim ini merupakan sebuah panel para calon anggota Mahkamah yang dinominasikan oleh kelompok National Panel Permanent Court of Arbitration. Dari daftar calon ini, Majelis Umum dan Dewan Keamaan, yang secara independen melakukan pemungutan suara, memilih anggota-anggota Mahkamah. Untuk pemilihan tersebut disyaratkan suara terbanyak mutlak baik dalam Mejelis Umum maupun Dewan Keamanan. Prosedur untuk pemilihan yang bersamaan waktunya oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan berlaku juga pada kasus pengisian lowongan-lowongan tidak tetap, misalkan pemilihan yang dikarenakan meninggalnya atu pensiunnya seorang Hakim.

Sementara kewenangan Mahkamah Internasional secara umum ada dua macam:

[1] Kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious case)
Pada prinsipnya, dalam kasus-kasus pertikaian pelaksanaan yurisdiksi, Mahkamah mensyaratkan adanya persetujuan para pihak dalam sengketa. Menurut Pasal 36 ayat 1 Statuta, Mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap semua perkara yang diajukan oleh para pihak bertikai. Pengajuan tersebut biasanya dilakukan dengan memberitahukan suatu perjanjian bilateral yang dinamakan compromis.

[2] Kewenangan untuk memberi Opini-opini Nasihat (advisory opinion)
Advisory Opinion ini adalah hak Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB atas Mahkamah Internasional. Selain dua pihak ini, organ-organ lain dari “keluarga” PBB, dengan izin Majelis Umum, juga berhak meminta Mahkamah untuk memberikan Opini-opini Nasihat tentang persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam lingkup aktivitas mereka. Dan Opini-opini Nasihat ini hanya dapat diupayakan atas persoalan hukum, baik konkret maupun abstrak.

c. Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Organisasi-organisasi Internasional atau Organisasi-organisasi/Agen-agen Regional

Organisasi-organisasi Internasional dan Badan-badan Regional secara historis telah sangat kontributif dalam hal penyelesaian sengketa internasional. Secara umum, peran Organisasi-organisasi Internasional dan Organisasi-organisasi/Agen-agen Regional ini bisa dipetakan sebagai berikut:

--Di Era Liga Bangsa-Bangsa

Pasal 15 Perjanjian LBB telah merekomendasikan penggunaan metode-metode Politik/Diplomatik Klasik untuk penyelesaian sengketa internasional, semisal penyelidikan, mediasi dan konsiliasi. Dalam menyelesaikan sengketa internasional, LBB berpegang teguh pada dua faktor, yaitu faktor waktu dan faktor advisory opinion.

LBB telah banyak sukses menyelesaikan sengketa-sengketa internasional, seperti sengketa antara Yunani dan Bulgaria tahun 1926, juga sengketa antara Swedia dan Finlandia tahun 1923.

--Di Era Piagam PBB

Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan internasional tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi:

“To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace”.

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam PBB.

Pada sejarahnya, PBB selaku Organisasi Internasional yang memiliki otoritas besar di dunia internasional telah banyak berkontribusi dalam upaya-upaya perdamaian dunia dan penyelesaian sengketa-sengketa internasional. PBB terbukti telah banyak sukses menyelesaikan sengketa-sengketa internasional, meski dalam beberapa sengketa juga harus diakui bahwa PBB belum bisa menyelesaikannya.

--Peran Badan-badan dan Kelompok-kelompok Regional dalam Penyelesaian Sengketa Internasional

Piagam PBB telah menegaskan secara khusus di salah satu pasalnya yang berkenaan dengan Organisasi-organisasi regional tentang otoritas Badan-badan/Kelompok-kelompok Regional untuk melakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional selama upaya-upaya ini sesuai dengan yurisdiksinya dan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.

PBB sendiri juga telah menghimbau negara-negara anggota PBB, untuk berupaya maksimal dalam pemecahan sengketa-sengketa regional sebelum mengajukannya kepada Dewan Keamanan PBB (Pasal 52/2). Dan bahkan ayat (3) dari pasal yang sama menekankan kepada DK-PBB untuk men-support upaya-upaya Badan-badan/Kelompok-kelompok Regional dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang berpengaruh pada stabilitas internasional.

Dan Badan-badan/kelompok-kelompok Regional juga tak bisa dinafikan dalam upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional. Seperti pada rentang tahun 1983-1988, ada upaya-upaya dari tiga kelompok regional di Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang ditujukan untuk mencapai penyelesaian-penyelesaian secara damai di regional Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kelompok-kelompok Regional tersebut adalah Kelompok Cantadora (Menteri-menteri Luar Negeri dari Kolombia, Meksiko, Panama, dan Venezuala), Kelompok Amerika tengah (Menteri-menteri Luar Negeri Costa Rica, Honduras, Guate, Ala, El Salvador, dan Nikaragua), dan berikut Kelompok Pendukung (Menteri-menteri Luar Negeri Argentina, Uruguay, Brazil dan Peru).

2. Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan

Apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak bisa ditempuh, maka pemecahan yang mungkin diuapayakan adalah dengan jalur kekerasan/paksaan. Prinsip-prinsip dan metode-metode dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah:

a. Perang dan Tindakan bersenjata Non-Perang

Perang pada umumnya bertujuan untuk menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukkan itu tidak memiliki alternative lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata, yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan dalam tahun-tahun terakhir.

Contoh-contoh tindakan bersenjata non-perang ini adalah: Permusuhan yang berlangsung di Korea tahun 1950-1953, yang berakhir dengan Perjanjian Gencatan Senjata (Armistice Agreement) tanggal 27 Juli 1953, selain itu, Pergolakan di Indo-China 1947-1954, dan juga konflik di sekitar zona Terusan Suez yang melibatkan Israel, Mesir, Perancis, dan Inggris pada tahun 1956. Semua kasus-kasus ini tak satupun yang ditetapkan dalam kondisi perang.

b. Retorsi (Retorsion)

Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara-negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam tindakan-tindakan yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalkan dengan merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan privilage-privilage diplomatik, atau penarikan diri dari konsensi-konsensi fiskal dan bea.

c. Tindakan-tindakan Pembalasan (Repraisals)

Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan.

Contoh Repraisals di antaranya adalah ketika terjadi pengusiran orang-orang Hungaria dan Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas dendam terhadap tuduhan tanggung-jawab Hungaria untuk pembunuhan Raja Alexander dari Yugoslavia di Marsailles. Atau juga pemboman udara yang diprakarsai Amerika Serikat atas sasaran-sasaran di dalam wilayah Libya pada tanggal 15 April 1986, sebagai pembalasan yang sah terhadap apa yang disebut sebagai kekejaman yang tidak pandang bulu oleh Libya terhadap orang-orang Amerika sebelumnya.

d. Blokade Secara Damai (Pacific Blocade)

Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai, kadang-kadang digolongkan sebagai suatu tindak pembalasan. Tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

Contoh Blokade yang dilakukan dalam rangka mengakhiri kerusuhan, atau untuk menjamin pelaksanaan yang semestinya atas traktat-traktat, atau untuk mencegah terjadinya perang adalah seperti dalam kasus blockade atas Yunani pada tahun 1886 untuk menjamin dilucutinya senjata pasukan-pasukan Yunani yang dihimpun di dekat perbatasan, dan dengan cara demikian akan menghilangkan kemungkinan konflik atas Turki.

e. Intervensi (Intervension)

D. Hukum-hukum Perang (Hukum Kekuatan Militer)/(The Laws of War (The Law of Armed Conflicts)/Qawânin al-Harb (Qawânin al-Nizâ’ât al-Masallahah)

1. Sejarah dan Usaha Pembentukan Hukum Perang

Dalam kaidah Hukum Internasional tradisional, penggunaan kekuatan telah diperbolehkan untuk mengatasi persengketaan-persengketaan yang terjadi antar negara. Penggunaan kekuatan ini merupakan bentuk upaya-upaya untuk memperoleh hak-hak tertentu (termasuk hal-hal yang tidak legal) dan untuk menghindari ancaman-ancaman dari pihak lain. Bahkan dalam beberapa konteks, penggunaan kekuatan diidentikkan sebagai lambang kedaulatan penuh.

Tapi pada perkembangannya, penggunaan kekuatan dan senjata terbukti merupakan marabahaya besar bagi stabilitas dan keselamatan masyarakat internasional. Di titik inilah komunitas internasional mulai melakukan beberapa upaya-upaya pereduksian atas kebiadaban dan kebrutalan perang. Terhitung sejak terjadinya Perang 30 Tahun di rentang tahun 1618 hingga 1648, mulai diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus terhadap pimpinan dan tentara perang, serta beberapa ketentuan-ketentuan lainnya yang kemudian diadopsi menjadi ketentuan-ketentuan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengikat bagi setiap negara. Di masa inilah bermunculan beberapa literatur yang mewacanakan tentang Perang dan Perdamaian, dan upaya-upaya untuk mereduksi kebiadaban dan kebrutalan perang dengan memberikan pandangan-pandangan dari perspektif kemanusiaan, keagamaan, keamanan dan keselamatan.

Awal abad ke-19 adalah era penting dari legalisasi Hukum Perang, di masa ini kaidah-kaidah yang lahir di rentang Perang 30 Tahun yang sebelumnya hanya bersifat mengikat dari perspektif kemanusiaan, keagamaan, keamanan, dan keselamatan, mulai diberlakukan sebagai kaidah-kaidah hukum tradisi yang legal, yang pada perkembangannya, seiring dengan perkembangan otoritas negara, perkembangan kodifikasi hukum, dan ditambah dengan menguatnya otoritas kaidah-kaidah hukum agama, khususnya kaidah-kaidah Hukum Islam, pilar-pilar Hukum Perang yang lahir di rentang Perang 30 tahun inipun semakin mengalami perkembangan dari sisi kekuatan hukumnya, yakni lewat upaya-upaya pengkodifikasian beberapa kaidah Hukum Perang, baik dalam format konvensi-konvensi, konferensi-konferensi, maupun traktat-traktat.

Traktat-traktat, Konferensi-konferensi, dan konvensi-konvensi tersebut antara lain adalah: Deklarasi Paris 1856, Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Luka-luka di Medan Perang, Deklarasi St. Petersburg 1868, Konvensi The Hague 1899 dan 1907, Protokol Perang Gas dan Bakteriologis Jenewa 1925 (yang ditambah dengan Konvensi 1972 tentang Larangan Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan Senjata-senjata Bakteriologi dan Penghancurannya), Protokol Ketentuan-ketentuan Kapal Selam 1936, Empat Konvensi Palang Merah Jenewa 1949, dan Protokol I dan II tahun 1974.

2. Hukum Perang selaku Hukum Humaniter (Internasional/International Humanitarian Law/Al-Qânûn al-Dauly al-Insâny)

Dalam logika dan pendekatan klasik, Hukum Perang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Konvensi Jenewa dan Konvensi The Hague. Titik tegas komparasi antara dua konvensi ini adalah bahwa Konvensi Jenewa banyak concern di bidang perlindungan individu atas ancaman kekuatan militer, sementara Konvensi The Hague menekankan concern pada aspek kepastian implementasi peraturan-peraturan antar negara pada segmen implementasi langsung dari kekuatan militer tersebut. Dan klasifikasi ini adalah klasifikasi baku yang secara umum diadaptasi oleh semua kalangan, meskipun pada Konferensi Jenewa tentang Hukum Humaniter Internasional tahun 1974-1977, ada beberapa peserta konferensi mencoba “mengutak-atik”/melanggar beberapa konsep Konvensi dan mencoba mensubstitusinya dengan konsep Konvensi The Hague, hal ini banyak tergambar dari pidato dan statemen dari beberapa delegasi, seperti delgasi dari Perancis, Iraq, Polandia, Amerika Serikat, Yugoslavia dan lain-lain.

Konvensi Jenewa terformat di Jenewa sejak tahun 1864, dan pertama kali muncul sebagai bentuk perlindungan atas beberapa kelompok individu tertentu. Konvensi ini ditanda-tangani tahun 1906. Sementara Konvensi The Hague terformat di St. Petersburg tahun 1868 ketika beberapa projectiles semisal Roket, dan lain-lain dilarang. Terkait hal ini, ada dua konferensi yang dilaksanakan di Hague, yaitu pada tahun 1899 dan 1907.

Pada hakikatnya, Hukum Humaniter Internasional adalah Hukum Perang itu sendiri. Dan pada sejarahnya Hukum Humaniter Internasional ini terbentuk untuk mereduksi kebiadaban dan kebrutalan perang seperti halnya Hukum Internasional. J.G. Starke menyebutkan bahwa akar sejarah ini bermula dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan-ketentuan hukum yang telah di kenal sejak abad pertengahan, di saat pengaruh agama Kristen dan semangat sikap satria pada zaman itu berpadu untuk membatasi ekses-ekses dari pihak-pihak yang berperang.

Adapun tujuan pokok dari kaidah-kaidah hukum ini, seperti disebutkan J.G Starke adalah untuk alasan-alasan perikemanusiaan, guna mengurangi atau membatasi penderitaan indivudu-individu, serta untuk membatasi kawasan di mana konflik bersenjata diizinkan. Karena itulah Hukum Humaniter Internasional kerap disebut sebagai Hukum Perang Humaniter (Humanitarian Law of War), atau Kaidah-kaidah Hukum Perang yang Berperikemanusiaan (Humanitarian Warfare).

3. Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata

Ada beberapa akibat dari pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata, baik yang terjadi secara legal maupun ilegal. Akibat-akibat tersebut bisa dikelompokkan sebagai berikut:

1. Akibat Pecahnya Perang dan konflik bersenjata terhadap Negara-negara yang Berperang:

a. Putusnya Hubungan Diplomatik
b. Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata berpengaruh pada Perjanjian-perjanjian sesuai dengan jenis dan kapasitas Perjanjian tersebut. Misalkan pada Perjanjian-perjanjian yang tidak akan berlaku kecuali pada kondisi damai semisal Perjanjian Politik, dll, maka pada rentang terjadinya perang, Perjanjian ini tidak berlaku.

2. Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata terhadap warga negara yang memerangi, warga negara musuh yang sedang berada di teritori negara yang memerangi, maupun warga negara-negara tetangga dari negara-negara yang berperang yang sedang berada di teritori negara yang sedang berperang.

a. Pada masa-masa perang, warga negara yang memerangi tetap tunduk pada Hukum Domestik negara tersebut, dan tidak tunduk pada kaidah Hukum Internasional.
b. Sedangkan warga negara musuh yang diperangi, yang sedang bermukim di teritori negara-negara yang memerangi, dilindungi hak-hak dan kebebasannya sesuai dengan kaidah-kaidah tradisi Hukum Internasional.
c. Adapun warga negara-negara tetangga dari negara yang berperang yang sedang berada di teritori negara yang sedang berperang, tetap tunduk pada Hukum Domestik negara yang sedang dimukimi. Jadi sama konteksnya dengan masyarakat negara yang memerangi di poin [a]

3. Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata terhadap Properti, baik Properti Negara maupun Properti Privat.

a. Terhadap properti negara yang memerangi, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, boleh disita, terkecuali properti-properti dan akta-akta properti diplomatik negara musuh yang sedang diperangi. Properti-properti dan akta-akta properti ini bahkan harus dalam pengawasan negara-negara tetangga dari negara yang memerangi tersebut. Sementara yang terkait dengan Utang Negara, sama sekali tidak boleh disita, karena ia tunduk pada perjanjian-perjanjian baku yang berdasar pada asas praduga tak bersalah.
b. Sementara terhadap Properti Privat, ada dua ketentuan:
-Terhadap properti privat milik warga negara musuh yang sedang diperangi, baik yang sedang berada dalam wilayah teritori negara yang memerangi, maupun yang sedang berada di luar teritori negara tersebut, baik itu properti privat bergerak maupun tidak bergerak, atau berupa utang privat, kesemuanya tidak bisa untuk disita. Ini sesuai dengan yang tertulis dalam beberapa Perjanjian dan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Tradisi Hukum Internasional.
-Sementara terhadap properti privat milik warga negara-negara tetangga yang sedang bermukim di negara yang sedang berperang, maka ketetapannya sama dengan properti privat milik warga negara asli negara yang sedang berperang tersebut, bahwa negara yang sedang berperang berhak untuk menguasai proverti privat tersebut dalam keadaan darurat militer, atau untuk tujuan-tujuan militer, dengan catatan harus mengembalikannya kepada pemiliknya setelah kondisi darurat tersebut berakhir.

4. Tentang Netralitas, Kuasi-Netralitas dan Ketidak-terlibatan Perang

Dalam segala konteks peperangan yang terjadi antara negara, baik perang dalam pengertian tradisonal, maupun perang dalam pengertian konflik-konflik senjata non-perang, terdapat dua macam status para pihak yang berada di luar lingkup hubungan peperangan tersebut. Baik [a] status netral (netrality) dalam perang sesungguhnya, dan [b] Status ketidak-ikut-sertaan dan ketidak-terlibatan negara-negara atau kesatuan-kesatuan non-negara dalam suatu konflik non-perang. Dan status dalam poin [b] inilah yang disebut sebagai netralitas.

Lebih jelasnya, dalam pengertian populer netralitas menunjuk pada sikap suatu negara yang tidak berperang dengan pihak-pihak yang terlibat perang dan tidak ikut serta dalam permusuhan-permusuhan.

Sementara Kuasi-Netralitas dan Ketidak-terlibatan Perang adalah kondisi di mana negara-negara atau kesatuan-kesatuan non-negara, tidak turut serta dalam konflik bersenjata “non-perang” memiliki status yang masih harus ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum internasional.

E. Epilog; Di Mana Peran Kita, Pasca Teori dan Sampel Kasus?

Pola interaksi masyarakat dunia memang tak lepas dari konflik kepentingan (conflict of interest) yang kebanyakan berujung pada persengketaan. Terlebih di era globalisasi seperti sekarang yang benar-benar menjadikan interaksi dunia seperti berlangsung di “a small village.”

Dengan mengeksplorasi ulang teori-teori dasar dan sampel kasus seputar sengketa internasional, metode-metode penyelesaian, berikut teori-teori terkait seputar Hukum Perang, dan lain-lain ini, semoga bisa menumbuhkan stimulan positif untuk mengekspansi nalar solutif terhadap persengketaan-persengketaan di segenap teritori dunia, baik yang “kasat mata” maupun tidak.

Di batas teritori dan nasionalisme terdekat, kita menyaksikan realita konflik Israel-Palestina atau konflik Israel-Arab secara umum, yang telah menahun dan belum juga menemukan titik-terangnya; Kita menyaksikan realita bahwa Indonesia berkali-kali “kalah” dalam beberapa sengketa teritori atau sengketa lainnya; Kita juga menyadari realita bahwa Indonesia, sebagai salah satu negara muslim non-Arab dan berdemokratisasi terbesar di dunia, dan sebagai negara yang sangat potensial, baik secara geopolitik maupun geostrategic, untuk menjadi penengah bagi segala konflik-konflik yang telah mengakar di Timur-Tengah.

Realita-realita tersebut, seyogyanya memang semakin menuntut relevansi pengembangan nalar-nalar solutif kita bersama terhadap persengketaan-persengketaan tersebut, dengan bekal sekelumit eksplorasi teori-teori dasar dan sampel kasus sederhana ini.

(+) Show All...

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 6:33 PM  

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM; TRANSAKSI-TRANSAKSI DIPLOMASI DAN KONSULAR

Oleh; Heru Purnama Hasido

Setiap Negara memiliki tanggungjawab dan hak yang sama di depan Undang-undang Hukum Internasional. Hak dan tanggungjawab itu dapat dijalankan karena sebuah Negara mendapatkan hak identitasnya sebagai objek hukum Internasional. Sebagai haknya, sebuah negara mendapat perhatian serta mendapat pengakuan sebagai objek hukum internasional, sedangkan untuk memenuhi tanggung jawabnya, sebuah negara harus juga taat dan tunduk pada batasan-batasan yang telah diatur oleh Hukum dan ketentuan Internasional.

Di antara hak dan tanggungjawab yang dimiliki oleh sebuah negara adalah hak untuk menempatkan utusan atau perwakilannya di luar wilayah negaranya secara global (internasional), baik itu di sebuah negara yang lain, maupun pada sebuah lembaga atau badan hukum internasional, yang berperan sebagai representator atau penguhubung diplomatis antara negara-negara tersebut maupun kepentingan lain. Perwakilan atau utusan ini disebut sebagai Perutusan Diplomasi dan Perutusan Konsular.

Pembahasan Mengenai Istilah Transaksi, Representasi, Diplomasi dan Konsular

Intercourse jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti hubungan atau pergaulan, namun jika diartikan ke dalam bahasa Ingris menjadi “mutual contact between countries; communication, interaction, social exchange of thoughts or feelings; coitus, copulation, sexual relations.” Atau singkatnya adalah hubungan yang saling bermanfaan (mutual). Transaksi (Transaction/Al alaqât) dapat diartikan sebagai hubungan, bisnis (urusan), negosiasi, pembicaraan maupun perudingan. Sedangkan Representasi (Almumatsil/representasi) dapat diartikan sebagai cerminan, pencitraan. Kata “Diplomasi” dapat diartikan sebagai kebijaksanaan, kebolehan, kecakapan, muslihat, siasat dan taktik; berdiplomasi dapat diartikan juga sebagai aktifitas; berbicara, berhubungan, bernegosiasi, bersiasat dan berunding. Sedangkan istilah Konsul, dapat diartikan sebagai duta, delegasi, kuasa usaha, deputi, diplomat, representatif, wakil atau utusan. Kata konsul dapat berkembang menjadi kata konsular yang berarti hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas ke-konsul-an, dan kata konsulat yang menunjukkan tempat dimana aktifitas itu dijalankan. Dan konsul juga dapat dijadikan kata sebutan bagi seorang yang mengerjakan tugas tugas perutusan konsular. Namun terdapat semacam ambigu dalam istilah konsular yang banyak berkembang, karena kata tersebut bisa jadi mengalami distorsi dengan kata konselor, yang mememiliki arti berbeda; konselor berasal dari kata konsultasi atau nasehat, yang kemudian berkembang menjadi kata konsultan atau seorang penasehat.

Agen-Agen Negara Dalam Hubungan Internasional (Al jihâz Mukhtasshah Bitamtsîlid Daulah wa Idarah Alâqâtihâ Ad Dauliyyah/Agents of International Intercourse)

Dalam membahas agen-agen perutusan negara ini, DR Abdul Ghani Mahmud membaginya ke dalam dua bagian, yaitu mereka yang menjadi agen dalam negeri dan mereka yang menjadi perutusan luar negeri. Perlu dibedakan bahwa utusan dan perwakilan yang diberikan sebuah Negara atas tanggung jawab dan hak diplomasi ini tidak selalu disebaut sebagai seorang diplomat, meskipun pada dasarnya, aktifitas seorang utusan ini adalah bentuk dari aktifitas diplomasi sebuah Negara. Misalnya seorang kepala negara dan menteri luar negeri.

Representator Sebuah Negara

Mereka yang berhak untuk mengadakan hubungan dipolomasi dan menjadi representetasi oleh sebuah Negara, sesuai dengan kaidah Hukum Internasional, salah satunya adalah seorang kepala Negara, kemudian seorang mentri luar negeri dari sebuah Negara, selanjutnya adalah seorang utusan atau diplomat atau duta besar sebuah Negara dan perutusan konsuler, serta pemimpin militer tertinggi bila hubungan diplomasi ini dilakukan dalam keadaan perang.
Jika dilihat dari subjek kawasan. Beberapa utusan diplomasi dapat dibedakan menjadi dua bagian; Seorang kepala Negara dan menteri luar negeri disebut sebagai utusan “Dari dalam negeri”, sedangkan sebagai pihak yang disebut sebagai “utusan luar” dari sebuah Negara adalah mereka yang melakukan atifitas transaksi pada tempat di mana mereka bertugas. Misalnya, para duta besar, maupun perwakilan-perwakilan negara yang bersangkutan, yang biasa dikenal sebagai Duta Bangsa, utusan diplomatik, home staff dan sebutan lain.

Representator Dari Diplomasi

Seorang Kepala Negara

Mengikuti kebiasaan-kebiasaan Umum Internasional (urf dauly) dalam hubungan diplomasi, maka seorang kepala Negara adalah representator utama dari sebuah negara. Dan dapat dipahami bahwa, masing-masing kepala negara memiki otoritas yang berbeda-beda mengikuti perbedaan dari konstitusi atau peraturan-peraturan negara yang bersangkutan. Bila sebuah negara berbentuk kerajaan atau monarki, maka seorang raja adalah representasi dari Negara tersebut. Bila Negara tersebut menganut sistem presidensial, maka seorang presiden-lah yang menjadi representasi utama pada interaksi-interaksi dan hubungan internasional,. Demikian pula halnya bagi seorang perdana mentri pada sebuah negara yang menganut sistem parlementer.
Namun, di beberapa negara, ketentuan umum ini tidak selalu berlaku, karena pada beberapa masalah yang berkaitan dengan ‘de facto’ dari sebuah Negara berdaulat terhadap kedaulatan negara yang lainnya. Misalnya pengakuan India terhadap otoritas Palestina yang dipegang pimpinan PLO saat itu (Yasser Arafat).

Masalah pengakuan dari luar ini ini berlaku dan saling mempengaruhi terhadap perundang-undangan dari dalam negeri. Maka sudah menjadi kesepakatan bersama yang diakui, bahwa, pada tiap negara yang bersangkutan, masing-masing memiliki tanggung jawab untuk memilih pemimpinnya dan memberikan sebuah gelar atau sebutan pada pemimpin tersebut, kemudian orang yang ditunjuk tersebut diakui oleh pihak negara lain pula sebagai representasi bagi negaranya.

Pada dasarnya, peraturan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan umum internasional (urf dauly/customary internasional law) sejak lampau. Dan kebiasaan tersebut tidak benar-benar tercatat dalam sebuah regulasi ataupun kodifikasi apapun bahkan tidak pernah diklasifikasikan. Namun kemudian pada tahun 1815, dalam sebuah kesepakan di Wina, diaturlah kesepakatan terhadap represetatif sebuah Negara ini dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi yang sudah tersusun kemudian diamandemen pada tahun 1818 dalam sebuah Protocol of Aix-La-Capelle. Pada tahun 1927, ketentuan ketentuan umum itu diamandemen (dikembangkan) lagi oleh Liga Bangsa-Bangsa yang kemudan mengkodifikasinya sebagai ketentuan yang mengatur hak-hak sitimewa dan imunitas sebagai: “Sufficientelly Ripe for International Regulation” atau bila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Aturan-aturan Baku yang Mengatur Regulasi Internasional. Namun, ketentuan ini, sekalipun sudah baku, masih ada di antara negara-negara yang paling berpengaruh tidak meratifikasinya hingga sekarang, di antaranya; Amerika Serikat.

Menteri Luar Negeri

Representasi dari sebuah negara yang diakui oleh hukum Internasional yang lain adalah menteri luar negeri. Istilah menteri luar negeri telah umum diakui pada beberapa negara, biasa disebut menteri luar negeri atau menteri perhubungan negara asing, di beberapa negara seperti uni emirat arab, dikenal sebutan sekretaris negara-negara dalam urusan luar negeri, di Spanyol dikenal sebutan menteri negara, di negara-negara Arab, disebut dengan menteri wilayah luar (negeri) atau wazîr kharijiyyah).
Prinsip dasar dari diakuinya menteri luar negeri sebagai salah satu dari agen transaksi internasional adalah bahwa; Seorang kepala negara, sebagai pemimpin kekuasaan eksekutif dari sebuah negara merupakan representator utama dari sebuah negara, sedangkan dalam menjalankan fungsi-fungsi eksekutiufnya, dibantu oleh pegawai yang mendapatkan jabatan yang umum disebut mentri.
Tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang dari menteri luar negeri senantiasa akan mengikuti ketentuan ketentuan yang diberlakukan di negaranya masing-masing. Biasanya, pada sebuah negara yang menerapkan sistem presidensial, seorang menteri bertanggung jawab sepenuhnya kepada kepala negara tersebut, sebagai bentuk hak dan tanggung jawab dari seorang kepala negara pada negaranya. Sedangkan bila sistem yang dipakai adalah sistem parlemen, seorang menteri luar negeri akan bertanggung jawab pada parlemen.

Wakil-wakil Urusan Internasional (Agents of diplomation/Al Bi’satud Diblûmasiyyah)

Ada baiknya kita mengetahui sejarah tentang wakil wakil diplomasi sebalum membahas tentang wakil-wakil diplomasi ini.

Sejarah Transaksi Internasional Dalam Bentuk Pengiriman Wakil-Wakil Diplomasi.

Pertukaran agen atau utusan dari sebuah negara dan negara lainnya sudah dikenal sejak lama dalam sejarah. Kebiasaan untuk mengurimkan dan menerima duta atau utusan diketahui telah diakui dalam sejarah Mesir Kuno (Ancient Egypt), Cina Kuno, maupun pada Masa Yunani kuno. Pengutusan selalu dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas, bergantung pada bentuk kepentingan dari negara-negara yang bersangkutan. Hal itu terjadi, karena lumrahnya budaya perang dalam penentuan batas wilayah bahkan perebutan wilayah pada masa itu.
Pengiriman perutusan misi-misi diplomatik yang bisa dikatakan modern, baru dikenal pada abad ke tujuh belas hingga abad ke delapan belas. Di mana antara hak-hak dan kewajiban yang dikenal sebagai priveledge perutusan diplomasi sudah mulai makin dikembangkan dan disempurnakan. Hingga pada abad ke sembilan belas, tercapailah sebuah kesepakan mengenai subjek subjek atau hal-hal yang mengatur transaksi internasional ini dalam konferensi Wina (Vienna Convention on Diplomatic relations) pada tahun 1815.
Hingga saat, ini, hampir semua negara telah diwakili di wilayah-wilayah negara-negara asing oleh perutusan-perutusan diplomatik (bi’sât diblumâtikiyyah/diplomatic envoys). Dalam pandangan hukum modern secara umum, setiap negara-negara yang mengirim utusan adalah negara-negara yang telah diakui kedaulatannya oleh negara yang menerima. Namun masih menjadi sebuah perdebatan di antara pakar dan akademisi hukum Internasional mengenai dasar pengakuan tersebut.
Di antara ahli hukum, ada yang menganggap bahwa pengiriman utusan ini adalah wujud “hak” atau “prerogatif” sebuah negara dalam menjalankan hubungan diplomatik terhadap negara lain. Namun bahwa banyak dari para ahli hukum yang tidak sependapat dengan teori ini. Dengan alasan bahwa tidak ada dasar atas apa yang dikenal sebagai prerogatif atau hak sebuah negara untuk menjalankan hubungan antar bangsa. Dan tidak menjadi sebuah keharusan bagi sebuah negara untuk mengirimkan atau menerima utusan diplomatik dari dan kepada negara lain. Sebuah negara bisa saja melakukan pemboikotan, penarikan dan penghentian hubungan diplomatik dari atau ke naegara lain.
Sedangkan untuk pendapat yang paling bisa diterima adalah; bahwa dasar bagi pengadaan pengiriman utusan utusan luar negeri dijadikan sebagai wujud dari penunjukan kedaulatan dari negara negara bersangkutan. Maka pengutusan ini selalu berdasar pada kesepakatan antara dua negara yang bersangkutan, bahwa negara satu dengan yang lain dapat menerima atau mengirim utusan diplomasi dalam menjalankan transaksi transaksi internasional, karena masing masing negara yang bertransaksi tersebut telah saling mengakui kedaulatan masing masing.

Perutusan Diplomasi (Al bi’tsat addiblumasiyyah/Diplomatic Mission)

Klasifikasi Perutusan Diplomatik (tasykil bi’tsah/Diplomatic Rank)

Pegawai Diplomasi yang terlibat dalam transaksi transaksi diplomatik, diklasifikasikan pada dua kategori;
a. Kategori pertama adalah mereka yang menjadi kepala perwakilan atau kepala diplomatik dari suatu negara pengirim, di antaranya adalah Duta Besar (ra’îsul bi’tsah atau Ambassadors (Ambassadors extraordinary, ambassadors plenipotentiary (penguasa penuh), and Papal nuncios {utusan paus}). Mereka adalah kepala perwakilan yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam menjalankan tugas diplomatik pada negara penerima utusan. Hak-hak yang paling jelas ada pada seorang ambassador adalah hak tanggungjawab langsung pada kepala negara mereka. Dan dapat menjadi perwakilan langsung bagi seorang kepala negara kepada kepala negara yang bersangkutan.
Dalam konvensi Wina pada tanggal 18 April 1961, dibuatlah sebuah kodifikasi yang disebut “Pengaturan Wina”. Pada pasal 14 ssampai 18, khusus mengatur tentang Hubungan-hubungan diplomatik yang dibuat pada tanggal; 18 April 1961. Menurut ketentuan ini, pimpinan perutusan diplomatik terbagi menjadi tiga kelompok;
1. Duta, duta besar atau utusan (Sufarâ’), diplomatik Paus (mandûbil bâbâ/papal nuncious) yang diakreditasikan kepada Kepala negara dan pimpinan pimpinan yang setingkat itu.
2. Duta, mentri-mentri (ministers) baik itu envoys extraordinary, minister plenipotentiary dan papal internuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara. Seorang minister memiliki otoritas yang dapat menjadi representator bagi seorang kepala negara, tapi satu tingkat lebih rendah dari seorang duta besar. Istilah ini pernah umum digunakan pada masa Perang Dunia II, Namun, saat ini sudah tidak dipakai lagi.
3. Minister resident atau mentri biasa. Sebagaimana istilah menteri sekarang, namun di masa sekarang, istilah ini sangat jarang dipakai, merupakan gelar paling rendah bagi seorang kepala perwakilan, dan hanya berada di atas seorang kuasa usaha (yang biasanya menjadi seorang pengganti seorang duta). Perlu menjadi catatn bahwa istilah mentri ini Minister Plenipotentiary dan The Minister Resident adalah menteri diplomatis, yang tidak bisa disamakan dengan istilah menteri dalam sebuah pemerintahan atau menteri dalam keagamaan. Misi diplomatis yang dikepalai oleh beberapa tipe mentri (minister) biasa disebut sebagai sebuah ‘legasi’ (legation). Sebagai wujud daripada perwakilan bagi kepala negara yang mengirim mereka, maka mereka berhak atas panggilan “His/Her Excellency” (yang mulia), sebagaimana hak para duta besar (Ambassadors).
4. Kuasa Usaha (Charges d’affaire and chárge d’affaires ad interim) yang diakreditasikan kepada menteri (kementrian/departemen) luar negeri.
Dalam hal ini, terdapat beberapa kontroversi mengenai istilah “Duta Besar Luar biasa” (Extraordinary) yang berbeda dengan perutusan yang menetap (Duta Besar atau Duta). Kontroversi ini terkait dengan hak-hak dalam pengutamaan dan status keluarga dari seorang duta besar luar biasa. Duta Besar luar biasa pada awalnya adalah sebuah penyebutan bagi seorang duta adalah bagi mereka yang melakukan misi diplomatik yang bersifat temporer.
Namun kemudian, penyebutan “luar biasa” ditambahkan gelar berkuasa penuh atau lengkapnya, menjadi “Envoy Extraordinary dan Minister Plenipotentiary” atau “Duta Luar Biasa dan Duta Besar berkuasa Penuh”. Sebutan ini menunjukkan bahwa perutusan ini diberi hak sepenuhnya dalam menangani urusan transaksi atas nama kepala Negara yang mengirimnya. Hingga kini, Sebutan “Duta besar dan Duta Luar Biasa” masih sering dijadikan sebutan pada semua wakil diplomatik tingkat pertama, seperti duta dan duta besar. Penyebutan ini sebenarnya tidak berlaku bagi seorang perutusan yang menetap, namun masih sering digunakan tanpa dapat dipastikan alasan-alasan umum yang dapat diterima pada penyebutan itu.
b. Kategori kedua dari perutusan diplomatis adalah staff kedutaan (Thoqomul bi’tsah/ministers), yang berperan sebagai pembantu duta atau duta besar dalam menjalankan tugasnya. Staff kedutaan dapat dikategorikan kepada tiga kelompok yaitu;

1. Para duta (utusan) (al muwadzifûn addiblûmasiyyîn) yang bertindak sebagai pembantu duta besar atau pemimpin diplomatik dalam misi-misi dan tugas khusus dari diplomasi. Biasa dikenal juga sebuatan home staff.
2. Staff administrasi dan teknis lapangan (Al muwadzifûn al idariyyûn wal fanniyyûn) yang menjalankan fungsi fungi administrasi dalam membantu duta besar dan home staff.
3. Pegawai rumah tangga kedutaan yang bertanggung jawab dalam beberapa hal teknis dalam kedutaan, misalnya dalam hal keamanan, kebersihan, penerimaan telepon dan lain sebagainya. Biasa pula disebut local staff.
4. Pembantu rumah tangga (almustakhdimûn al khusûsiyyûn) yang bertanggung jawab dalam kelengkapan rumah tangga seorang pemimpin diplomatik, dan bukan termasuk pegawai rumah tangga kedutaan. Sering juga dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai local staff.

Duta atau Utusan Diplomatik yang Menjalankan Misi-misi Khusus yang Bersifat Temporer (Ad Hoc)

Bisa saja terjadi kekosongan jabatan duta besar di suatu tempat pada suatu waktu, atau misi diplomasi tidak dapat dipenuhi karena utusan yang seharusnya menjalankan misi tersebut berhalangan. Maka dapat diangkat seorang pejabat yang menggantikan posisi tersebut, namun bersifat temporar, atau ad hoc/mu’aqqotah). Penganggatan ini telah diakui oleh ‘kebiasaan internasional ’(urf dauly).
Kaidah-kaidah yang mengatur tindakan dan perlakuan misi khusus ini ditetapkan dalam sebuah konvensi tentang misi khusus yang disahkan badan perserikatan Bangsa bangsa pada tanggal 8 Desember 1969 dan terbuka untuk penandatanganan pada tanggal 16 Desember 1969. Konvensi ini banyak merujuk pada naskah rancangan akhir yang dipersiapkan pada tahun 1967 oleh komisi Hukum Internasional yang sudah membahasanya sejak tahun 1958.
Seorang duta suatu misi ad hoc biasanya dilengkapi dengan dokumen Kuasa Penuh (full power), yang menetapkan wewenanganya sehubungan dengn pengirinmannya kepada otoritas otoritas Negara dengan siapa dia melakukan negosiai atau transaksi. Juga ini juga berlaku bagi seorang perwakilan yan dikirim kepada Komite yang mengurus Kuasa Penuh ini pada badan khusu di mana ia mewakili negaranya.
Perwakilan ad hoc harus mendapat persetujuan dari negara penerima. Karena tujuan utama dari pengangkatan utusan ad hoc tidak lain adalah sebagai bentuk konsolidasi hubugan diplomatik yang baik di antara kedua negara. Sebagai bentuk persetujuannya dikenal regulasi yang akan menentukan apakah seorang agen ad hoc (temporal) mendapat pengakuan negara tersebut atau tidak. Bila pengakuan itu dikeluarkan, akan dikeluarkanlah kemudian semacam pengakuan yang disebut persona grata (jaminan pada status pada orang tersebut yang terkait dengan hak istimewa dan imunitas).
Di antara regulasi dan ketentuan yang diperlukan adalah, bahwa negara penerima yang bersangkutan harus juga telah mengakui kehadiran duta tetap di negaranya sebagai bentuk pengakuan pada hubungan diplomatik antara kedua negara. Namun, meskipun seorang pemegang misi khusus telah mendapat pengakuan dari diplomat permanen setempat, belum tentu mendapat pengakuan negara penerima. Jika pengakuan itu tidak diberikan, maka status utusan tersebut menjadi persona non grata (ghairu marghûb ‘alaihi).

Fungsi-fungsi yang Dapat Dijalankan Oleh Seorang Agen atau Utusan Diplomatik Di Negara Tempat Dia bertugas

Fungsi-fungsi seorang diplomat biasa diklasifikasikan di bawah kepemimpinan enam orang atau disebut “six man headings”. Fungsi-fungsi itu meliputi;
1. Negosiasi, yang merupakan tujuan utama diutusnya seorang diplomat.
2. Reprentasi, di mana seorng diplomat menjadi representator dari negara yang mengutusnya atau kepala negara yang mengutusnya.
3. Informasi. hal-hal yang berkaitan dengan informasi sebenarnya adalah tugas dasar dan tanggung-jawab seorang diplomat. Seorang diplomat harus senantiasa menjalin hubungan komunikasi dengan negara yang mengutusnya untuk memberikan informasi-informasi yang terkait dnegan tugasnya.
4. Proteksi atau perlindungan. Seorang diplomat mempuanyai tugas mengayomi, memperhatikan dan menjaga warga negara yang mengutusnya (citizen). Melindungi tidak hanya kepentingan umum dari warga negaranya, namun juga dapat memberikan bantuan dalam bantuan yang bersifat privat bagi warga negara tempat mereka berasal di negara asing tersebut.
5. Public relation. Seorang Diplomat juga dapat menjalankan fungsinya sebagai public relations agent negaranya bagi negara tempat dia bertugas. Bisa dalam bentuk penyampaian niat baik dari negara yang mengutusnya kepada negara tempat dia ditugaskan. Bisa juga dalam bentuk ‘propaganda’ yang berbentuk seminar-seminar, undangan makan malam, penganugerahan gelar dan penghargaan, pemberian hadiah, pendirian dan peresmian sebuah monumen atau gedung.
6. Fungsi Administratif. Seorang kepala utusan (apakah itu duta besar atupun kepala diplomasi) harus senantiasa memiliki bawahan yang membantunya dalam penyelesaian masalah masalah keadministrasian. Karena banyak dari tugas-tugas yang berhubungan dengan administrasi yang juga merupakan tanggung jawab seorang kepala diplomasi.
Tanggung Jawab Negara Dalam Penjaminan Hak Istimewa (Privilige) dan Kekebalan Hukum (immunity)

Hak-hak, Pivilige-privilege dan Imunitas Kepada Seorang Perutusan Diplomatik (Al hashânât wal imtiyâzât ala bi’tsah addiblumâsiyyah)

Yang dimaksud dengan Privilege (manhul hashânât)—secara etimologi; sama dengan hukum perdata “private law” atau hukum yang mengatur hubungan seorang individu dengan indivu lainnya dalam bentuk relasi sosial—sedangkan jika dipahami dari seegi istilah adalah; sebutan khusus bagi hak istimewa atau jaminan imunitas oeleh sebuah otoritas politik dari sebuah negara atau pemilik otoriyas lainnya bagi sebagian kelompok orang yang terbatas jumlahnya, baik itu dikarenakan alasan tempat lahir atau alasan lain.
Sedangkan hak kekebalan hukum atau imunitas dalam hukum Internasional, dikenal pula nama yang lebih spesifik dengan istilah Immunity from prosecution. Immunity from prosecution adalah doktrin dari hukum internasional yang memberikan jaminan bagi bebasnya seseorang dari tuntutan hukum. Immunities (kekebalan) dapat dibagi menjadi dua macam. Yang pertama adalah functional immunity, atau immunity ratione materiae, kekebalan ini diberikan kepada seorang yang menjalankan beberapa fungsi negara atau jaminan atas pekerjaan mereka. Sedangan kekebalan kedua adalam personal immunities atau immunity ratione personae, yaitu imunitas yang diberikan kepada beberapa petugas sebuah badan atau lembaga karena kekebalan itu menjadi hak dari masing-masing anggota lembaga mereka yang diberikan keistimewaan.
Ha-hak khusus ini diberikan dan dijamin oleh undang-undang Internasional sebagai bentuk dukungan pada jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi misi diplomatik yng efisien (sebagaimana Pembukaan Konvensi Wina).
Dasar dari adanya jaminan ini menjadi perbedaan pendapat di antara para ahli hukum; ada yang mendasarkan pada teori tentang personifikasi dari negara pengirim yang dikenal dengan sebutan “Karakter Perwakilan” (Annadzoriyyah ‘Ashiffah attamtsiliyyah). Terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa dasar dari penjaminan hak-hak ini adalah “perluasan wilayah” atau ekstrateritorialitas (Imtidâd Iqlîm) yang menyatakan bahwa gedung-gedung kedutaan merupakan sebuah perluasan dari wilayah negara pengirim. Namun teori kedua ini lebih banyak ditentang daripada diterima. dan teori ketiga, yang menyatakan bahwa hak hak istimewa ini didasarkan atas dasar jaminan pada “tugas dan profesionalitas”. Akan dibahas lebih detail berikut ini;

Teori Pertama; Hak Istimewa dan Kekebalan Hukum Berdasarkan Perluasan Wilayah (Ekstrateritorialitas/Extraterritoriality Theory)

Teori ini dikemukakan oleh ahli hukum internasional yang paling terdahulu, di antaranya Hugo Grotius (1583-1645) dan George Friedrich von Martens seorang ahli hukum jerman (1756-1821) , yang mengatakan kantor di mana para staff diplomat dan konsular yang mendapat hak istimewa dan imunitas seolah dianggap sedang berada dalam wilayah juruisdiksi negara pengirim (atau seolah tidak berada di wilayah negara penerima). Teori ini banyak ditolak oleh ahli hukum internasional karena dianggap memakai dasar alasan yang lemah. Karena bagaimanapun, tanah dan gedung yang dipakai sebagai pusat diplomasi pada dasarnya selalu berada di bawah pengaruh dan objek hukum wilayah setempat dan berada di bawah kedaulatan negara penerima utusan.

Teori Kedua; Dasar Hak Itimewa dan kekebalan Hukum Berdasarkan Karakter Perwakilan (Nadzariyyah Shifah Attamtsîliyyah/Representative Character Theory/Le Caractere Representatif)

Teori “Karakter Perwakilan” (Asshifah attamtsîliyyah/representative character theory /le caracte répresentatif). Teori ini lebih banyak diterima dan disepakati dibanding teori ekstrateritorial. Teori ini menjadi haluan bagi Emer (Emerich or Emmerich) de Vattel (1714- 1767) ; salah seorang ahli hukum Internasional yang paling berpengaruh, dan Joseph Fouché, 1st Duc d'Otrante (1759-1820) , seorang negarawan Perancis serta beberapa ahli hukum yang sepandangan dengan mereka berdua.
Teori ini menyataan bahwa asas pemberian hak privilege dan imunitas adalah karena seorang diplomat merupakan representator dari sebuah negara yang memberinya tugas, maka kehormatannya adalah sama dengan kehormatan negara tersebut (yang memiliki kedaulatan).
Namun teori ini juga menuai kritik yang yang mempertanyakan pemberian hak istimewa ini ternyata keluar dari konteks tugas seorang diplomat. Tugas diplomasi sebenarnya menjadi hal paling penting dari terjadinya transaksi internasional, baik itu hubungan bilateral maupun multilateral. Sedangkan teori ini sebenarnya berdasar pada adanya pembedaan antara profesionalisme yang berkaitan dengan kedaulatan (official duties) dan hal-hal yang berkaitan dengan pemberian jaminan hak istimewa (privilege) dan kekebalan hukum (immunity) terhadap seorang diplomat. Sedangkan, pada hakikatnya, seorang diplomat tidak sepenuhnya memiliki hak terhadap kedaulatan negaranya, dikarenakan pada saat sebelum mendapat tugas diplomasi, seorang diplomat hanya merupakan seorang warga negara biasa yang tunduk pada undang-undang dan hukum yang berlaku di negaranya. Teori ini dapat menjadi semakin berpengaruh negatif bila terdapat semacam anggapan pada perbedaan kelas antara masing-masing negara, di mana seorang diplomat yang berasal dari negara yang lebih berpengaruh dapat merasa lebih tinggi di banding diplomat lain, bahkan dibanding negara yang lebih kecil. Dan teori ini semakin sulit untuk diterima dalam pandangan hukum internasional modern. Karena PBB telah menetapkan bahwa setiap negara, (baik itu sebuah negara dengan luas wilayah besar maupun kecil, lebih kuat secara politik, ekonomi, militer ataupun tidak) semua memiliki kedaulatan yang setara dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai sebuah negara.

Teori ketiga; Hak Istimewa dan Kekebalan Hukum Berdasarkan Pada Tugas Daripada Diplomasi Itu Sendiri. (Muqtadhiyyât Wadzîfah/Official Business)

Seorang diplomat yang menjalankan tugas diplomasi di negara asing tentu memerlukan dukungan jaminan dari negara penerima yang berbentuk hak istimewa dan kekebalan hukum. Hak ini harus didapatkan untuk menjamin kelancaran dari misi utama dari tugas-tugas diplomasi. Tugas-tugas atau misi diplomasi inilah yang dianggap sebagai dasar utama dari adanya penjaminan pada hak istimewa dan imunitas oleh teori ini. Karena pada dasarnya, seorang diplomat tidak dapat menjalankan tugas diplomasi secara sempurna bila tugasnya harus sering berbenturan dengan beberapa ketentuan-perundangan dan hukum negara penerima.
Teori ini kemudian menjadi teori yang paling banyak diterima dalam praktek-praktek transaksi-transaksi Internasional. Bahkan Konvensi Wina pada tahun 1961 dalam salah satu butir-butirnya mencantumkan bahwa; “maksud daripada diberikannya hak-hak privilege dan immunitas bukan untuk dapat disalahgunakan oleh seorang penerima hak untuk kepentingan pribadinya. Namun dijadikan sebagai tanggung jawab terhadap profesionalitasnya sebagai seorang diplomat utusan negara dan dalam posisinya sebagai seorang representator negara.” Dan mahkamah internasional telah menjadian hasil keputusan ini sebagai dasar daripada keputusan pengadilan pada kasus Amerika Serikat di Taheran.

Hak-Hak Istimewa Dan Imunitas Terhadap Kedutaan dan Fasilitas Diplomasi (Al Hashânat wal Imtiyâzât li Maqâr Dddiblûmasiyyah/Immunity Of Embassy And Legacy Building)

Hak-hak istimewa bagi seorang duta besar, kepala diplomatik maupun pemimpin perutusan diplomatik mencakup beberapa hak yang berupa hak istimewa pada kantor pusat atau wilayah tempat tinggal seorang diplomat, di antaranya hak istimewa bagi barang milik pribadi, hak istimewa atas pembebasan dari beberapa proses-proses keimigrasian dan proses-proses administrasi negara, serta hak istimewa untuk menyampaikan pendapat/pengetahuan dan komunikasi. Hak-hak tersebut meliputi;
1. Hak Istimewa Pada Gedung Kedutaan
Kedutaan atau konsulat adalah banguanan dan perangkat diplomasi yang mendapat jaminan hak istimewa dan kekebalan hukum yang “tidak bisa diganggu gugat” (Inviolable). Hak-hak istimewa itu meliputi larangan bagi pegawai lokal atau penguasa setempat (yang menjalankan undang-undang negara penerima) untuk memasuki gedung kedutaan, terkecuali bila telah mendapat izin dari duta besar atau kepala diplomasi.
Hak istimewa yang diberikan oleh negara terhadap gedung/bangunan kedutaan atau konsulat dapat dibedakan menjadi dua macam; hak pertama disebut adalah hak yang bersifat pasif, dan hak kedua adalah hak yang bersifat positif atau aktif.
Hak fasif adalah di mana bila negara penerima berkepentingan untuk memasuki wilayah kedutaan, maka kedutaan yang bersangkutan tidak boleh mempersulit regulasi dan aturan untuk itu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk memasuki wilayah kedutaan, maka pemilik ortoritas wilayah atau petugas wilayah hanya perlu mendapat izin dari kepala diplomatik (duta besar) yang bersangkutan. Meskipun demikan, penguasa setempat tidak diperbolehkan untuk mengadakan semacam intervensi terhadap segala sesuatu yang diadakan di dalam kedutaan. Pemerintah setempat juga tidak boleh untuk melakukan pengintaian, pemeriksaan, pengadaan proses proses administratif maupun yudikatif dalam wilayah kedutaan, baik itu berupa pengumuman atau peringatan. Ketentuan ini juga berlaku bagi semua barang inventaris di dalam kedutaan dan transportasi (barang bergerak) milik kedutaan.
Namun, terdapat beberapa pengecualian untuk hal-hal tersebut, di antaranya, jika terjadi kejadian darurat atau adanya ancaman kriminal terhadap penghuni wilayah kedutaan dan hal-hal lain.
Sedangkan hak yang bersifat aktif diberikan negara terhadap kedutaan di antaranya; layanan keamanan dan peberian fasilitas yang mendukung kenyamanan bagi penghuni wilayah kedutaan.
2. Hak Istimewa Pada Barang Milik Seorang Diplomat (Hurmatul Mahfudzât wal Watsâiq)
Telah disebutkan dalam salah satu pasal dari hasil konvensi Wina bahwa “Setiap barang milik seorang diplomat tidak boleh diperiksa kapanpun dan di manapun.” Dari pasal tersebut, dipahami bahwa barang milik seorang diplomat tidak boleh untuk diperiksa oleh petugas berwenang setempat maupun pemilik otoritas wilayah negara penerima. Ketentuan ini berlaku mutlak, baik itu berada di dalam maupun di luar wilayah kedutaan dan baik itu atas sepengetahuan diplomat tersebut ataupun tidak.
3. Hak Istimewa Atas Hak Perlindungan Bagi Pelaku Kejahatan.
Di sini, perlu dibedakan anatara perlindungan terhadap jenis kejahatan yang dilakukan oleh seorang pelaku. Apakah itu kejahatan biasa atau kejahatan politis. Pada seorang pelaku kejahatan biasa, maka tidak diperbolehkan bagi kedutaan untuk memberikan perlindungan baginya. Dan bagi seorang duta besar atau kepala diplomat yang memiliki otoritas tertnggi di kedutaan tersebut wajib untuk dapat menyerahkan pelaku kejahatan tersebut jika diminta oleh petugas atau pemerintah setempat. Meskipun bagi petugas atau pemilik otoriter yang berada di wilayah negara penerima tidak boleh juga untuk melakukan penangkapan di wilayah gedung tanpa izin dari seorang kepala otoritas diplomasi.
Berbeda dengan pelaku pelaku kejahatan politis—pada dasarnya—pihak kedutaan tidak berhak untuk memberikan perlindungan baginya. Karena sama saja bahwa kedutaan tersebut telah melindungi seorang yang lari dari hukuman. Namun, adanya tuntutan yang datang dari berbagai pihak yang berhubungan dengan gerakan-gerakan kemerdekaan atau separatisasi di berbagai belahan dunia, menyebabkan adanya pengakuan pada perlindungan bagi pelaku kejahatan politis.
Sedangkan pada hak istimewa pada pembebasan pengurusan surat menyurat, pembebasan pada beberapa regulasi dan kebebasan dalam penyampaian pendapat/pengertahuan dan komunikasi, masing-masing telah diatur dalam pasal 23 ayat 1 tentang pembebasan biaya listrik dan air dan pada pasal 33.

Kemudahan yang Diberikan kepada Seorang kepala Diplomasi

Untuk lebih mempermudah seorang diplomat dalam menjalankan tugas diplomasinya, telah diberi beberapa kemudahan di samping hak-hak istimewa yang diterimanya. Beberapa kemudahan ini meliputi kemudahan dalam berkendaraan, kemudahan dalam komunikasi dan dalam beberapa keringanan dalam kewajiban finansial atau pembayaran (pajak atau bea cukai).

Imunitas dan Hak Istimewa Terhadap Anggota Diplomasi (Al Hashânat wal Imtiyâzat Li A’dhâ’il Bi’tsah Diblûmâsiyyah)

Selain hak istimewa yang diberikan kepada seorang kepala diplomat atau kedutaan, hak ini juga diterima oleh anggota perutusan diplomasi juga; hak-hak ini meliputi; hak yang menjamin kenyamanan seorang anggota diplomat, yang berkaitan dengan masalah privasi dan tempat tinggalnya, kedua; adalah hak imunitas yang berkaitan dengan keringan atas tuntutan pengadilan, (baik itu dalam tuntutan persidangan yang berkaitan dalam masalah perdata maupun pidana). Yang ketiga; hak imunitas dan keistimewaan dalam pembayaran pajak dan beberapa tagihan keuangan (taxpayer) atau kewajiban bea cukai.

Relevansi Dari Hak Imunitas Dan Privilage Bagi Seorang Anggota Perutusan Diplomasi

Sebagaimana diterangkan sebelumnya, teleh diakui dalam perjanjian Wina bahwa perutusan diplomasi terbagi menjadi empat kelompok, keempat kelompok itu dibagi menjadi dua kategori, yang pertama adalah anggota perutusan diplomasi yang merupakan seorang diplomat; yaitu Para duta (utusan) Al Muwadzifûn Ad Diblumasiyyîn yang bertindak sebagai pembantu duta besar atau pemimpin diplomatik dalam misi-misi dan tugas khusus dari diplomasi.
Sedangkan kategori kedua adalah anggota perutusan diplomasi yang bukan seorang diplomat. Yang terdiri dari; Staff administrasi dan teknis lapangan (Al muwadzifûn al idariyyûn wal fanniyyûn) yang menjalankan fungsi fungi administrasi dalam membantu duta besar dan home staff. Kemudian, pegawai rumah tangga kedutaan yang bertanggung jawab dalam beberapa hal teknis dalam kedutaan, misalnya dalam hal keamanan, kebersihan, penerimaan telepon dan lain sebagainya, yang biasa pula disebut local staff. Selain itu terdapat pula pembantu rumah tangga (almustakhdimûn al khushûsiyyûn) yang bertanggung jawab dalam kelengkapan rumah tangga seorang pemimpin diplomatik namun bukan termasuk pegawai rumah tangga kedutaan. Biasa pula disebut sebagai local staff.

Kategori Pertama. Anggota Perutusan yang Merupakan Seorang Diplomat (Home Staff)

Seorang diplomat tentu mempunyai hak istimewa terkait jaminan imunitas dan privilige yang dia terima selama tugas diplomasi tersebut masih menjadi tanggung jawabnya. Jaminan itu senantiasa menjadi hak sepenuhnya bagi semua perutusan diplomasi, baik itu ketua perutusan (seorang duta besar & duta) maupun anggota perutusan diplomasi. Hak-hak itu meliputi segala apa yang telah diterangkan sebelumnya yang meliputi hak pada tempat tinggal, aktifitas sehari-hari maupun dalam masalah tagihan keuangan. Jaminan ini bahkan tidak hanya menjadi hak bagi diri seorang diplomat pribadi, melainkan menjadi hak bagi anggota keluarganya dan orang yang tinggal di tempat tinggalnya, atau bagi semua orang yang berada di bawah tanggung jawab dari diplomat tersebut. Sebagaimana tertulis pada pasal 37 ayat 1 konvensi Wina.

Kategori kedua. Anggota Perutusan yang Bukan Seorang Diplomat. (Local Staff)

Mesikipun tergolong sebagai anggota diplomasi Non Diplomat. Undang-undang Internasional juga memberikan jaminan pada beberapa hak-hak imunitas dan privilege (hak istimewa). Anggota atau pegawai perutusan diplomasi non diplomat dibagi menjadi dua kategori, pertama adalah; Staff administrasi dan teknis lapangan (Al muwazzifûn al idariyyun wal fanniyyûn) dan Pegawai rumah tangga kedutaan, serta Pembantu rumah tangga (almustakhdimûn al khusûsiyyûn) yang bukan warga negara atau penduduk setempat dari negara penerima utusan.
Sedangkan golongan kedua adalah; Staff administrasi dan teknis lapangan (Al muwazzifûn al idâriyyûn wal fanniyyûn) dan pegawai rumah tangga kedutaan serta Pembantu rumah tangga (almûstakhdimun al khususiyyûn) dan pembantu rumah tangga (almustakhdimûn al khususiyyûn) yang merupakan warga negara atau penduduk setempat dari negara penerima utusan.
Bagi anggota prutusan Staff administrasi dan teknis lapangan non diplomat yang menjadi golongan pertama, mereka mendapat jaminan atas hak imunitas dan privilege sebagaimana yang menjadi hak anggota diplomat, yang meliputi hak-hak pengampunan pada tuntutan pengadilan (terkecuali tuntutan pidana), mereka juga menikmati hak-hak keringanan atau penghapusan dari tagihan-tagihan dan pajak (taxpayer). Namun hak ini sangat terbatas, hanya bila tuntutan dan kewajiban itu keluar pada saat atau menyinggung tugas dan wewenanng mereka dalam ruang lingkup kerja anggota diplomasi. Dan tidak berlaku di luar tugas diplomatik. Sedangkan bagi pegawai diplomatik atau anggota diplomatik yang berstatus sebagai penduduk setempat atau warga negara negara penerima, maka hak imunitas tetap diberlakukan, namun hak-hak itu diatur dan dibatasi oleh undang-undang negara penerima.

Bentuk-bentuk Simbolis Bagi Pemberlakuan Imunitas dan Privilege (Annithâq Ramzy Lisiryânil Hashânât wal Imtiyâzât al Muqarrarah Li A’dhâ’Il Bi’tsâh Ad Diblûmâsiyyah).

Setiap anggota perutusan diplomasi menikmati jaminan ini dan berhak atas jaminan tersebut sejak memasuki wilayah teritorial dari negara penerima. Jika dia telah berada di negara penerima sebelum keputusan atau pengangkatannya keluar, maka waktu penetapan untuk mendapatkan hak imunitas dianggap berlaku seiring waktu penganggkatan, ini tertulis dalam hasil konvensi Wina pasal 39 ayat 1.
Semua jaminan dari hak tersebut hanya dapat berakhir jika kepentingan dari misi diplomatik itu berakhir. Jaminan pada hak ini juga berakhir jika duta bangsa atau utusan diplomat ini keluar dari wilayah tempatnya bertugas. Dan dapat pula dianggap berakhir jika dari negara penerima mengeluarkan keputusan bahwa perutusan itu merupakan “orang yang tidak dikehendaki” (ghairu marghûb alaih). Namun, jaminan ini tidak terlepas begitu saja pada saat keluar keputusan penghentian misi diplomatik. Negara penerima tetap harus memberikan jaminan keamanan dan imunitas kepada seorang diplomat hingga diplomat itu benar-benar keluar dari wilayah teritorial negara penerima tersebut. Jaminan keamanan pada seorang diplomat bahkan tetap berlaku meskipun terjadi konfrontasi bersenjata atau perang antara negara pengirim dan negara penerima utusan, sesuai dengan tenggang dan batas waktu yang telah diberikan.
Ketentuan ini berlaku pada utusan yang berkaitan dengan penjaminan terhadap pribadi seorang diplomat. Sedangkan pada bentuk pekerjaan resmi diplomasi, maka tugas dari seorang diplomat tetap diakui sebagai tugas yang mendapat jaminan imunitas dan privilege.
Jika seorang diplomat meninggal, pengakuan pada hak-hak imunitas senantiasa ada pada keluarga, ahli waris dan orang yang tinggal di rumahnya. Dan akan dikeluarkan sebuah keputusan untuk memberikan waktu yang cukup bagi keluarga almarhum untuk meninggalkan negara penerima. Jika salah satu anggota keluarga dari seorang diplomat meninggal, selama bukan merupakan salah warga negara dari negara penerima dan tidak mendapatkan hak tinggal selamanya di negara tersebut, maka merupakan kewajiban bagi negara penerima tersebut untuk membantu menyediakan dukungan bagi transportasi pembawa jenazah diplomat itu, akan tetapi tranportasi yang dipakai dan fasilitas tersebut bukan alat transportasi yang biasa dipakai almarhum saat masih hidup, karena alat transportasi sebelumnya adalah barang yang secara hukum yang telah mendapat penjaminan imunitas oleh undang-undang.

Berakhirnya Misi Diplomatik

Berakhirnya misi diplomatik atau masa diplomasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang hukum Internasional, di antara sebab-sebab itu adalah;
Pertama, pemanggilan pulang bagi duta atau perutusan tersebut ke negaranya, dan pemanggilan ini tidak hanya karena negara akan memberikan keputusan atau tugas saja, namun dapat pula sebagai pemanggilan bagi pemecatan terhadap perutusan diplomat itu.
Kedua, jika negara penerima mengeluarkan peringatan kepada utusan untuk meninggalkan negaranya atau negara penerima mengeluarkan keputusan pengusiran terhadap diplomat itu.
Ketiga, Jika salah satu dari atau kedua negara yang menjalin hubungan bilateral ini memakai sistem kerajaan, maka meninggalnya kepala negara dari salah satu atau masing masing negara yang bersangkutan dapat menjadi sebab habisnya masa diplomasi. Namun jika utusan tersebut menduduki tingkatan yang setingkat dengan duta besar atau seorang minister plenipotentiary (wazîr al mufawwidh), maka perutusan tersebut tidak berakhir, meskipun sistem pemerintahan yang dipakai oleh salah satu atau masing-masing negara tersbeut adalah sistem kerajaan. Namun dalam hal ini, seorang perutusan diplomasi tetap harus melakukan semacam pengurusan surat menyurat untuk regulasi yang akan menjadi sandaran hukum baru (kesepahaman baru) antar salah satu atau dua pemimpin baru (raja baru) dari kedua negara. Namun jika sistem kepala pemerintahan dilaksanakan dengan pemilu rakyat—sebagaimana sistem presidensial—maka ketentuan itu bukan merupakan keharusan.
Keempat, diangkatanya ketua perutusan ke tingkat yang lebih tinggi juga menyebabkan habisnya masa diplomasi. Dan akan dibuat lagi sebuah kontrak diplomasi yang baru yang sesuai dengan jabatan baru diplomat tersebut.
Kelima, Berubahnya sistem pemerintahan dalam salah satu atau kedua negara yang bersangkutan yang diakibatkan oleh suatu revolusi atau kudeta. Sebenarnya bukan berarti bahwa kudeta dan revolusi di sebuah negara mengakhiri atau membuat perubahan dalam hubungan diplomasi, melainkan hanya harus membuat sebuah keterangan dari salah satu pihak sebagai sikap resmi dari pemerintahan baru.
Keenam, meninggalnya seorang represetator dari diplomasi. Namun hak ini tetap menjadi hak bagi keluarga diplomat teresbut.
Ketujuh, terjadinya perang antar kedua negara. Undang-undang Internasional menyatakan bahwa perang mengakhiri hubungan diplomasi antar kedua negara.
Kedelapan, batalnya sebuah negara sebagai subjek hukum internasional. Baik itu bagi negara pengirim atau negara penerima.
Kesembilan, Pemutusan hubungan diplomatik yang terjadi di antara kedua negara, baik itu dilakukan secara sepihak oleh negara pengirim, secara sepihak dilakukan oleh negara penerima atau oleh masing-masing dua kedua negara.

Perutusan Konsular

Sejarah Perutusan Konsular

Pengiriman dan perutusan konsular telah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, tercatat dalam sejarah bahwa pada masa Yunani kuno, telah ada semacam perutusan konsul yang sebenarnya belum benar-benar sesempurna seperti sekarang. Pada saat itu di Yunani, telah ada orang orang non penduduk Yunani yang mendirikan pos-pos yang melayani kepentingan warga asing di wilayah Yunani. Warga asing tersebut, adalah warga negara asing yang berasal dari luar Yunani dan mengunjungi Yunani untuk hal-hal biasa dalam interaksi internasional pada masa itu. Sedangkan pada zaman modern, pendirian konsular adalah sebuah proses dari berkembangnya perdagangan lintas negara yang mengharuskan adanya pengakuan dan perizinan bagi negara-negara yang disinggahi oleh lintasan perdagangan tersebut.
Yang membedakan perutusan konsulat dengan duta besar adalah pada kepentingan dan tanggung jawab masing-masing; jika konsulat sebuah negara bertindak untuk membantu dan melindungi warga negaranya serta menfasilitasi hubungan perdagangan dan persahabatan, sedangkan Duta Besar bertugas mewakili sebuah negara (sebagai representasi dari sebuah negara) yang ditugaskan di luar wilayah metropolitan atau ibu kota sebuah negara di luar negeri, yang berkewajiban menjaga kepentingan negara serta rakyatnya yang berada di negara luar negeri tersebut. Intinya bahwa, sebuah perutusan konsular tidak membawa kepentingan politis dan tidak merepresentasikan negaranya, melainkan hanya membawa kepentingan sipil dan kemasyarakatan, yang menjadi penganyom warga negaranya yang berada di negara penerima.
Kesepakatan Internasional yang menjamin pengadaan konsular adalah pada tangggal 24 April tahun 1923 di Wina, dalam masalah perumusan hak imunitas dan privelege konsular, konvensi itu menghasilkan penegasan dibrerlakukannya kebiasaan-kebiasaan internasional yang telah berlaku sebelumnya. Namun kesepakatan ini tidak benar benar berkembang pesat di seluruh dunia, karena hanya negara-negara yang menyepakati saja yang mengakui kesepakatan ni, dan kesepakatan ini hanya dalam bentuk pengsahan tentang hak-hak istimewa dan imunitas dalam kerangka kebiasaan internasional saja.
Dalam masalah wewenang, pada masa sekarang. Secara umum undang-undang internasional tidak membedakan tugas yang diemban oleh perutusan diplomasi dan perutusan konsular. Karena di masa modern, perutusan konsular dapat dilakukan dan dijalankan oleh perutusan diplomasi, sedangkan jika perutusan diplomasi dalam keadaan berhalangan untuk melakukan tugasnya, dapat diwakilkan kepada dan oleh seorang perutusan konsulat. Perwakilan ini disyaratkan harus sesuai dengan kesepakatan dari negara penerima dan syarat kedua adalah jika negara pengrim tidak memiliki perutusan diplomasi di negara yang lain juga. Sesuai dengan pasal 17 dalam perjanjian Wina dalam hubungan konsuler tahun 1923.

Pertukaran Perutusan Konsulat

Pertukaran antara konsuler antar negara dapat berlangsung jika sebuah negara telah diakui kedaulatannya sebagai negara, sedangkan bagi sebuah negara yang kedaulatannya tidak memiliki kedaulatan penuh (Nâqishus Siyâdah), maka ada beberapa pengecualian yang akan berlaku bagi perutusan konsuler, yang berlaku baik itu bagi sebuah negara pengirim maupun negara penerima.
Proses pertukaran diplomasi biasanya melewati dua proses, yang pertama adalah; keluarnya izin dari masing-masing kepala negara yang bersangkutan bagi terbentuknya sebuah konsulat di masing masing negara yang saling berhubungan. Proses kedua adalah pemebentukan formasi dari konsulat itu sendiri (consular ranks). Sebuah konsular, akan terdiri daripada beberapa bagian yaitu; kepala konsular, yang kedua adalah anggota konsular biasa, dan ketiga adalah anggota konsular luar biasa dan yang keempat adalah petugas konsular.

Tugas-Tugas dan tanggung Jawab Konsular Meliputi;

1. Memberikan bantuan dan perlindungan bagi kepentingan negara pengirimnya dan warga negara atau bagian dari kepentingan dari warga negara pengirimnya, seperti perusahaan-perusahaan lokal negara pengirim dan lain-lain.
2. Dapat memiliki semacam koneksi yang berhubungan dengan kepetingan perdagangan, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan dari negara penerima dan dapat memberikan informasi tersebut bagi kepentingan negara pengirim (negara yang mengutusnya).
3. Konsular dapat membantu meningkatkan hubungan antar kedua negara yang berkaitan dengan hubungan dagang, pertukaran kebudayaan maupun pariwisata.
4. Memberikan pelayanan bagi warga negara yang mengutusnya.
5. Melakukan tugas-tugas yang berhubungan dnegan keperdataan seorang warga negara atau beberapa tugas administratif bagi warga negara pengirim maupun warga yang menerima selama tugas dan wewenang tersebut tidak bertentangan denegan aturan atau undang-undang negara penerima.
6. Berperan sebagai pihak mediator dalam permasalahn perdata, baik itu warganya maupun organisasi-organisasi hukum dalam perikatan-perikatan, selama itu tidak bertentangan dengan hukum negara penerima.
7. Membantu kepentingan warga negaranya (negara pengirim) yang berada di bawah naungan hukum negara yang mengutus; seperti mediasi dalam masalah warisan lahan dan lain lain sesuai danegan undang-undang yang berlaku pada negara penerima. Dan dapat menjalankan fungsi atau sebagai notaris.
8. Mengurus masalah kewarganegaraan dan kecukupan hukum dari negara yang mengirim.
9. Menjadi representator negara pengirim dalam sebuah persidangan jika warga negra yang bersangkutan berhalangan untuk menghadiri sidang. Sesuai dnegan undang-undang yang berlaku di negra penerima.
10. Mengurus penyerahan dan pengadaan kelengkapan persidangan sebagai wakil. Dan itu harus sesuai dnegan undang-undang yang berlaku di negara pengutus, jika di negara yang besangkutan tidak terdapat udang-undang yang mengatur hal tersebut, maka dapat disesuaikan dnegan undang-undang yang berlaku di negara penerima.
11. Berwernang dalam pengontrolan dan pemeriksaan dokumen atau barang bagi kendaraan laut, darat maupun udara yang berada di bawah kekuasaan undang-undang negara pengirim jika sat itu berada di wilayah negara penerima.
12. Memberikan bantuan bagi transportasi darat, laut ataupun udara yang berasal dari negara pengirim tanpa terlepas dari aturan dan undang-undang negara penerima yang mengusai wilayah negara tersbut dan undang-undang internasional.
13. Dapat melakukan segala aktifiatas lain yang berhubungan dengan tugas-tugas konsuler dan harus senantiasa tidak bertentangan dnegan undang-undang negara penerima.
14. Berhak membuat paspor atau dokumen perjalanan atau surat menyurat yang diperlukan dari dan ke negara pengirim.
Hak-hak Imunitas dan Istimewa (Privilege) Bagi Perutusan Konsuler (Hashânat wa Imtiyazât Al Qunshûliyyah/Privileges and Immunities for Consular)

Sebagaimana seorang perutusan diplomat, maka perutusan konsular juga mendapatkan hak-hak imunitas atau kekebalan hukum dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Dalam bahasa Ingris, imunitas dan hak istimewa biasanya dikenal dengan istilah kata pendek invioleble (tidak dapat dignggu gugat). ‘Inviolability’ ini dilindungi oleh undang-undang internasional. Hak-hak yang mencakup kemudahan, hak istimewa dan kekebalan hukum yang berkaitan dengan tugas perutusan itu sendiri. Kemudahan dan hak istimewa itu meliputi;
1. Kemudahan yang dijamin adalah kemudahan bagi seorang konsular untuk dapat menuju tempat manapun yang dia perlukan, berkaitand dengan tugas kekonsul-an dan hak untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan informasi untuk sosialisasi.
2. Hak penghormatan dari nengara bersangkutan, baik itu menghormati keberadaan gedung atau tempat konsulat maupun pada barang-barang konsulat.
3. Hak kebebasan dalam dalam berhubungan (komunikasi & transportasi). Apakah itu adalah kebebasan dari seorang anggota konsular kepada negara pengirim ataupun kebebasan dalam hak komunikasi antara negara pengirim terhadap anggota konsular. Atau komuinikasi antara seorang warga negara pengirim yang sedang berada di negara penerima kepada anggota konsular atau sebaliknya. Jika komunikasi tersebut sengaja ditunda-tunda atau dihalang-halangi, maka merupakan pelanggaran bagi hukum internasioanal. Dapat diambil contoh, jika seorang konsular ingin menemui seorang warga negara pengirimnya yang berada dalam hukuman penjara di wilayah negara penerima, maka bagi otoritas negara penerima juga harus dapat memberikan kemudahan selayaknya. Ketentuan ini juga biasanya bergantung pada aturan oleh undang-undang internasional dengan perimbangan pada undang-undang setempat, misalnya, undang-undang yang mengatur larangan dalam hal spionase.
4. Konsulat juga mendapat pembebasan dari beberapa kewajiban pajak atau pembayaran.
Sedangkan Bagi Seorang Petugas Konsular, Juga Mendapat Hak-hak Privilege dan Imunitas yang Meliputi;
1. Privilege bagi petugas itu sendiri, yaitu sikap hormat dari negara penerima baginya sesuai dengan undang-undang internasional
2. Privilege dan Imunitas dalam tuntutan pengadilan, perdata maupun pidana, sesuai dnegan batas-batas yang telah diatur oleh undang-undang internsional dan undang-undang wilayah negara itu sendiri.
3. Keringanan untuk dapat berhubungan khusus dengan warga asing.
4. Keringanan dalam permasalahan finansial, yang terkait dengan pajak, bea cukai dan pembayaran lain.
5. Dan keringanan lain yang dapat berupa; keringanan dari beban wajib militer dan keringanan yang dapat dinikmati keluarga dari seorang petugas konsular.
6. Keringanan atau fasilitas lain yang berkaitan denegan asurasi.
Bagi seoranga anggota konsuler istimewa (anggota konsular istimewa biasanya adalah anggota yang direkrut dari warga negara penerima) juga mendapat hak-hak privilege dan imunitas yang berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang konsular. Privilege ini dibedakan menjadi dua bagian;
Pertama, privilege yang berhubungan dengan tugas ke-konsular-an dan konsulat. Yang meliputi privilege keringanan dalam masalah biaya dan perlindungan bagi gedung konsulat dan fasilitas konsulat. Dan kedua, privilege yang diberikan kepada anggota konsulat istimewa saat melakukan tugas-tugas wajib yang harus dijalankannya terhadap negara penerima. Hak privilege juga menjamin penghormatan yang seharusnya bagi seorang anggota konsular istimewa saat terkait tuntutan pidana. Seorang petugas konsular istimewa juga mendapat hak istimewa yang berupa beberapa keringanan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pajak maupun bea cukai yang biasa dibebankan kepada warga negara biasa jika; selama kewajiban itu terkait dengan tugas dan wewenangnya sebagai seorang anggota konuslar. Anggota konsular istimewa juga mendapat Jaminan bagi pengadaan servis (pelayanan) dan perlindungan keamanan serta mendapat jaminan bagi keringan dalam masalah surat menyurat dan akta-akta yang biasa dibebankan bagi warga negara biasa non anggota konsular.

Berakhirnya Perutusan Konsular (intiha’ bi’sat addiblumasiyyah/ terminating of a consular commission)

Perutusan konsular berakhir karena salah satu dari beberapa sebab di bawah ini;
1. Adanya keputusan dari negara pengirim bahwa tugas konsuler telah berakhir.
2. Penarikan surat perizinan konsular oleh anggota tersebut
3. Adanya peringatan atau keterangan dari negara penerima terhadap negara pengirim bahwa seorang anggota konsuler tidak lagi diterima atau diakui sebagai petugas konsular.
4. Jika Petugas konsular tersebut meninggal, atau dipanggil ke negara tempat dia berasal (negara pengirim) atau pergi meninggalkan negara penerima. Maka tugas konsular juga berakhir.
5. Hilangnya status negara bagi negara yang mengirim atau menerima perutusan konsular. Baik itu terjadi pada salah satu dari negara tersebut atau kedua-duanya. Ataupun jika hilangnya pengakuan dari internasioanal terhadap hak negara tersebut untuk mempunyai perutusan konsular.

Namun, dalam undang-undang internasional, telah diatur bahwa jika antara kedua negara terlibat perang, maka perutusan konsular tetap dapat terus diadakan, karena perang antar kedua negara tidak berkaitan dengan kepentingan politis antar kedua negara tersebut, melainkan konsular harus tetap dapat memberikan pelayanan dan bantuan bagi rakyat sipil di negara penerima, begitu juga sebaliknya bagi negara pengirim.

Penutup


Permasalahan yang berkaitan dengan perutusan diplomatik dan konsular tidak hanya berkaitan dengan tugas dan wewenang serta tanggung jawab saja. Permasalahan diplomasi sering terkait dan melulu berputar disekitar permasalahan dari implementasi dari tugas dari diplomasi dan konsul itu sendiri, misalnya dalam urusan ketenaga kerjaan (TKI). Konsular yang berada di luar negeri sering mendapatkan masalah di sini. Dan hingga saat ini, belum ada solusi yang benar-benar dapat diandalkan melainkan pada kontrol terhadap ketenaga kerjaan di luar negeri tersebut dan pada kontrol dan pengawasan di lapangan. Begitu juga halnya pada masalah human trafficking yang juga menjadi masalah besar dari harga diri anak bangsa.
Demikian makalah sederhana yang dapat penulis sampaikan. Masih banyak kekurangan atau bahkan mungkin kejanggalan-kejanggalan yang ada di makalah ini. Semoga di kegiatan diskusi yang membahas makalah ini nantinya dapat melengkapi kekurangan-kekurangan serta memberikan nlai tambah bagi kualitas makalah dan pembahasan kita. Sekian dan terakhir, maju terus FSQ!

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 8:41 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home