PRINSIP HUKUM UMUM/GENERAL PRINCIPLES OF LAW/MABADI ‘AMAH LIL QANUN

Oleh: Faruq

Dalam setiap sistem hukum, mungkin sekali timbul suatu situasi di mana pengadilan mempertimbangkan sebuah kasus sebelum menyadari bahwa tidak ada hukum yang membahas tentang kasus tersebut, baik undang-undang parlemen maupun keputusan yudisial. Dalam keadaan tersebut hakim akan menindak-lanjuti dengan menyimpulkan suatu aturan yang relevan dengan analogi peraturan yang ada atau prinsip-prinsip hukum umum yang menuntun sistem hukum, apapun bentuk relevansi tersebut apakah Ia terlahir dari keadilan, pemerataan atau pertimbangan kebijakan publik. Situasi tersebut lebih mungkin muncul dalam hukum internasional karena keterbelakangan sistem dalam kaitannya dengan kebutuhan yang dihadapi.

Dikarenakan terdapat lebih sedikit keputusan dalam kasus-kasus hukum internasional daripada kasus nasional, serta tidak adanya metode legislatif untuk menciptakan aturan untuk mengatur situasi-situasi baru yang muncul, maka hal tersebut mendorong Mahkamah Internasional untuk mencantumkan “Prinsip-prinsip Hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab” dalam pasal 38 sebagai sumber hukum, untuk menutup celah yang mungkin ditemukan dalam hukum internasional dan menyelesaikan masalah ini secara hukum yang dikenal sebagai non liquet.

Pertanyaan tentang celah dalam sistem sangatlah penting. Penting untuk diketahui bahwa meskipun tidak selalu ada aturan yang langsung dan jelas untuk setiap situasi internasional, tetapi “setiap situasi internasional mampu dijadikan sebagai masalah hukum.”

Ada berbagai pendapat mengenai prinsip-prinsip umum hukum yang dimaksud. Beberapa penulis menganggap hal itu sebagai suatu afirmasi konsep-konsep Hukum Alam, yang dianggap mendasari sistem hukum internasional dan merupakan metode untuk menguji validitas positif sebuah aturan. Penulis lain, terutama penganut paham positivisme, memperlakukannya sebagai sub-judul di bawah perjanjian dan hukum adat dan tidak mampu menambahkan sesuatu yang baru untuk hukum internasional kecuali mencerminkan persetujuan negara. Penulis dari Soviet, Tunkin, memilih pendekatan ini, yang menganggap prinsip-prinsip hukum umum sebagai pengulangan ajaran fundamental hukum internasional, misalnya, hukum hidup berdampingan secara damai, yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan hukum adat.

Di antara kedua pendekatan tersebut, mayoritas penulis menerima bahwa prinsip-prinsip hukum umum merupakan suatu sumber hukum yang terpisah tetapi dalam lingkup terbatas, dan ini tercermin dalam keputusan-keputusan Mahkamah Tetap Internasional dan Mahkamah Internasional. Tetapi tidaklah jelas apa yang dimaksud dengan prinsip hukum umum tersebut, apakah itu berkaitan dengan sistem hukum nasional atau internasional, walaupun ini bukanlah hal yang serius karena konsep hukum nasional dan yang muncul dari praktek internasional dapat didefinisikan dalam satu area yang sama.

Walaupun terdapat begitu banyak sumber tentang prinsip hukum umum dari berbagai Negara, tetapi tidak berarti bahwa seorang hakim harus menguasai seluruh sistem hukum tersebut, karena ada tema2 umum sama dalam pemerintahan yang berbeda. Sebagai contoh, hukum adat Anglo-Amerka yang tersebar pada banyak Negara, begitu pula dengan hukum perancis yang memberikan pengaruh pada hukum mesir, serta hukum Belanda pada hukum Indonesia.

Di bawah Ini Beberapa Kasus Terkemuka Sebagai Referensi Tentang Penggunaan Prinsip Hukum Umum Dalam Sebuah Kasus.

Dalam kasus Pabrik Chorz'ow, 1928, tentang penyitaan sebuah pabrik nitrat di Upper Silesia oleh Polandia, Mahkamah Tetap Internasional menyatakan bahwa “Merupakan sebuah konsep hukum umum bahwa setiap pelanggaran perjanjian terikat melibatkan obligasi untuk mengganti rugi.“ Mahkamah juga menyatakan: “Merupakan sebuah prinsip hukum internasional bahwa reparasi sebuah kesalahan bisa dalam bentuk ganti rugi yang sesuai dengan kerusakan yang diderita oleh Negara yang terluka akibat dari tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional.”

Mahkamah Internasional dalam kasus Terusan Corfu, ketika mengacu pada bukti, menyatakan bahwa “Bukti tidak langsung ini diterima dalam semua sistem hukum dan penggunaannya diakui oleh keputusan internasional.” Referensi kepada Peradilan Internasional juga dibuat dengan konsep res judicata, yaitu bahwa keputusan itu bersifat final, mengikat dan tanpa banding.

Contoh lain dari prinsip hukum umum diberikan oleh Arbitrase Pengadilan mengenai kasus AMCO vs Republik Indonesia, di mana pengadilan menyatakan bahwa "kompensasi penuh dari suatu prasangka, dengan memberikan kepada pihak terluka damnum emergens dan lucrum cessans adalah prinsip umum dari sistem utama hukum nasional Indonesia, oleh karena itu, prinsip hukum umum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum internasional,” atau prinsip lain tentang hak kepemilikan. Satu prinsip umum krusial dari hukum internasional adalah pacta sunt servanda, atau gagasan bahwa perjanjian internasional itu mengikat. Hukum perjanjian bersandar penuh pada prinsip ini, karena konsep perjanjian internasional bertumpu pada anggapan bahwa instrumen umum tersebut diterima sebagai hal yang memiliki kualitas mengikat.

Salah satu prinsip umum penting yang mendukung hukum-hukum internasional adalah Itikad baik. Prinsip ini diabadikan dalam Piagam PBB bab 2 pasal 2 “Semua anggota, dalam rangka untuk memastikan semua hak dan keuntungan yang dihasilkan dari keanggotaan, wajib dengan itikad baik memenuhi kewajiban diasumsikan oleh mereka sesuai dengan Piagam ini” dan elaborasi dari pasal ini yang diadopsi oleh Majelis Umum dalam resolusi 2625 (XXV), 1970, mengacu pada obligasi sebuah negara untuk memenuhi dengan itikad baik kewajiban mereka yang dihasilkan dari hukum internasional, termasuk perjanjian-perjanjian. Karena itu, Itikad baik merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari aturan-aturan hukum internasional secara umum.

Namun demikian, Mahkamah menegaskan bahwa itikad baik sebagai sebuah konsep adalah “tidak dengan sendirinya menjadi sumber kewajiban dimana tidak ada kalau tidak ada.” Karena itu, prinsip itikad baik adalah prinsip latar yang menginformasikan dan membentuk kepatuhan terhadap peraturan yang ada dan hukum internasional, di samping itu membatasi cara di mana aturan-aturan itu mungkin sah dilaksanakan. Prinsip itikad baik berkaitan “hanya dengan pemenuhan kewajiban yang ada.” Prinsip lain yang perlu dicatat adalah ex injuria jus non oritur, yang menyatakan bahwa fakta-fakta yang mengalir dari perilaku yang salah tidak dapat menentukan hukum.

Dengan demikian, hanya Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menerapkan prinsip hukum umum yang berlaku dalam kasus yang dipertimbangkan, dengan catatan tidak ditemukannya solusi dalam hukum adat dan hukum perjanjian.

Keputusan Pengadilan/Judicial Decision/Ahkamu al-Qodlo al Dauli

Yang dimaksud dengan keputusan pengandilan disini adalah keputusan Mahkamah Tetap Internasional, Mahkamah Internasional serta keputusan arbitrase internasional dan pengadilan nasional. Keputusan Pengadilan digunakan sebagai alat untuk menentukan aturan hukum bukan sebagai sumber utama hukum internasional. Hal itu didasarkan pada Pasal 59 Undang-undang Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa “Keputusan Pengadilan tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali antara Pihak berkepentingan dan yang berhubungan dengan kasus yang sedang dipertimbangkan.” Walaupun doktrin dalam hukum umum, dimana keputusan pengadilan tertentu harus diikuti oleh pengadilan lainnya, tidak ada dalam hukum internasional, tetapi masih banyak negara yang dalam menyelesaikan perselisihan mereka mengutip keputusan Mahkamah Tetap Internasional dan Mahkamah Internasional sebagai keputusan otoriter.

Menyikapi hal ini, Mahkamah Internasional terus mengupayakan untuk mengikuti keputusan-keputusan Pengadilan sebelumnya dan memasukkan kepastian dalam proses pengambilan keputusan. Penafsiran kasus yang sedang dipelajari merupakan hak mutlak hakim, terkadang mereka melakukan lebih dari sekedar menentukan aturan hukum seperti yang terjadi dalam kasus Perikanan Anglo-Norwegia dengan pernyataan tentang kriteria untuk pengakuan garis belakang untuk mengukur laut teritorial yang kemudian diabadikan dalam Konvensi Jenewa tahun 1958 di Laut Teritorial dan Zona Bersebelahan.

Contoh dari keputusan arbitrase internasional yang menjadi sumber hukum internasional adalah kasus Pulau Palmas, terletak antara Mindanau dan kepulauan utara Hindia Belanda Nanusa, yang melibatkan sengketa teritorial Pulau Palmas antara Hindia Belanda dengan Amerika. Keputusan Mahkamah Arbitrase internasional dalam kasus ini memiliki signifikansi besar dalam memutuskan subjek kedaulatan wilayah.

Selain empat sumber hukum di atas, terdapat sumber hukum lainnya yang mempengaruhi hukum internasional, semisal penulis, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 38 undang-undang Mahkamah Internasional “ajaran-ajaran penerbit berkualifikasi tinggi dari berbagai negara.” Konsep Ekuitas dan keadilan, serta perangkat yang mampu melembagakan aturan-aturan baru seperti Perjanjian tengang pembuatan hukum, hukum adat dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional lainnya yang secara tidak langsung bisa mempengaruhi dan mengidentifikasi hukum internasional baru.

Komisi Hukum Internasional

Komisi Hukum Internasional didirikan oleh Majelis Umum pada tahun 1947 dengan tujuan kodifikasi serta mempromosikan perkembangan progresif hukum internasional. Komisi ini terdiri dari tiga puluh empat anggota dari Afrika, Asia, Amerika dan Eropa, yang menjabat selama lima tahun dan ditunjuk dari daftar yang diajukan oleh pemerintah nasional.

Banyak konvensi internasional yang lahir dari kerja keras lembaga ini. Selain mempersiapkan draft-draft konvensi internasional, Komisi Hukum Internasional juga mengeluarkan laporan dan studi hukum internasional.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa Komisi Hukum Internasional terlibat dalam setidaknya dua dari sumber utama hukum internasional. Draft yang disusun dapat membentuk dasar Perjanjian internasional yang mengikat negara yang menandatangani dan meratifikasinya, dan yang dapat terus membentuk bagian dari hukum internasional secara umum, serta bisa mengarahkan pada aturan-aturan baru dari hukum adat. Kedua, draft tersebut mengandung bukti dari kebiasaan internasional yang dapat mempengaruhi hukum baru dan bukti dari adanya opinio juris.

Hierarki Sumber Hukum dan Jus Cogens

Pertanyaan tentang tingkatan sumber hukum internasional lebih kompleks daripada yang terlihat pada awalnya. Meskipun ada sebuah anggapan tentang konflik normatif, daftar urutan kewenangan konstitusional di dalam hukum internasional tidak begitu jelas seperti undang-undang domestik. Hal ini diperumit oleh perkembangan pengadilan internasional dan pengadilan yang ada dalam kondisi non-hierarkis, serta perluasan signifikansi hukum internasional, baik secara substantif dan prosedural.

Keputusan peradilan dan tulisan-tulisan jelas memiliki fungsi subordinat dalam hierarki sebagaimana yang tercantum dalam pasal 38 dari undang-undang Mahkamah Internasional, sedangkan peran prinsip prinsip umum hukum sebagai cara untuk melengkapi hukum perjanjian dan hukum adat menempatkannya pada posisi ketiga. Hal yang paling rumit adalah memposisikan antara hukum adat dan hukum pernjanjian. Sebagai aturan umum Perjanjian biasanya dirumuskan untuk menggantikan atau mengkodifikasi adat yang ada, sebaliknya perjanjian bisa menjadi usang dalam penggunaannya dan digantikan dengan aturan adat baru.

Namun, di mana aturan yang sama muncul dalam perjanjian dan kebiasaan, tidak ada anggapan bahwa kebiasaan dimasukkan dalam perjanjian karena keduanya bisa berdampingan. Di samping itu ada sebuah prinsip yang menyatakan bahwa aturan khusus berada di atas aturan umum (lex specialis derogat legi generali), sehingga aturan perjanjian antar negara sebagai lex specialis lebih diprioritaskan dibandingkan aturan umum perjanjian atau hukum adat antara negara yang sama, kecuali bila aturan umum tersebut adalah salah satu dari jus cogens.

Situasi ini diperumit dengan adanya norma-norma atau obligasi yang statusnya lebih tinggi dibandingkan lainnya yang berasal dari kebiasaan atau perjanjian. Obligasi tersebut bisa berbentuk erga omnes atau aturan jus cogens. Meskipun ada tumpang tindih yang signifikan antara kedua norma tersebut dalam kaitannya dengan isi aturan-aturan yang berhubungan, tetapi pada dasarnya keduanya berbeda. Konsep yang pertama menyangkut lingkup penerapan peraturan yang relevan, yaitu sejauh mana negara mampu tunduk pada aturan yang bersangkutan dan dapat dilihat memiliki kepentingan hukum dalam hal ini. Karena itu erga omnes mempunyai fokus utama pada prosedur. Di sisi lain, aturan jus cogens adalah aturan-aturan substantif yang diakui mempunyai status lebih tinggi daripada aturan lainnya.

Dalam kasus Barcelona Traction Mahkamah Internasional menyatakan “ada perbedaan penting antara kewajiban suatu negara terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan dan yang timbul sehubungan dengan negara bagian lain di bidang perlindungan diplomatik. Sesuai dengan sifatnya yang pertama bersangkutan dengan semua negara dan semua negara dapat dikatakan memiliki kepentingan hukum dalam perlindungan mereka. Hal itu adalah kewajiban erga omnes.” Contohnya adalah pelarangan agresi dan genosida, perlindungan dari perbudakan, serta diskriminasi rasial. Mahkamah Internasional juga menegaskan dalam kasus Timor Timur bahwa hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri mempunyai karakter erga omnes.

Pasal 53 dari Konvensi Viena mengenai aturan perjanjian menyatakan bahwa suatu perjanjian akan menjadi batal bila bertabrakan dengan norma yang ditaati oleh hukum internasional secara umum. Lebih lanjut dalam pasal 64 menyatakan bahwa apabila ada “norma yang ditaati” oleh hukum internasional secara umum muncul, seluruh perjanjian yang bertentangan dengan norma tersebut menjadi batal.

Yang dimaksud dengan “norma yang ditaati” disini adalah jus cogens. Jumlah norma yang ditaati ini terbatas tapi tidak secara eksklusif di katalog. Norma tersebut tidak terdaftar atau didefinisikan oleh badan yang berwenang, tetapi timbul dari kasus hukum dan perubahan sosial dan sikap politik. Contoh umum yang termasuk a jus cogens adalah larangan agresi perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan maritim, genosida, perbudakan, dan penyiksaan.

Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa pembagian hierarki sumber hukum internasional antara Kebiasaan internasional dan Perjanjian Internasional adalah hal yang rumit. Hal yang terbaik adalah mendasarkan urutan sumber tersebut berdasarkan kasus yang sedang ditangani, tanpa melupakan norma dan obligasi internasional semacam jus cogens dan erga omnes, dan kemudian memilih mana yang lebih didahulukan sebagai sumber hukum internasional.

Sekian.
Sumber:
International law, edisi ke-enam, Malcolm N. Shaw.
Muqorror Qanun Dauli Aam Universitas Al Azhar.
Makalah dari internet.
Dll.

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 2:51 AM  

SUMBER-SUMBER FORMAL HUKUM INTERNASIONALSUMBER-SUMBER FORMAL HUKUM INTERNASIONAL

(Perjanjian Internasional dan Kebiasaan Internasional)

Oleh : H.Akbar Hiban

PENDAHULUAN

Seperti halnya kaidah-kaidah hukum lainya, hukum internasional juga memiliki sumber yang darinya terlahir kaidah-kaidah hukum internasional.

Secara umum, doktrin membedakan antara sumber-sumber materil (the material sources/less sources matêrielles/ al mahsôdir al mâdiyyah) dan sumber-sumber formil(formal sources/less sources formelles/ al mashôdir al syakliyah).

Yang dimaksud dengan sumber hukum materil adalah sebab-sebab, peristiwa-peri

stiwa,kebutuhan sosial,dan nilai-nilai yang menyebabkan adanya kaidah hukum internasional. Sedangkan sumber formil adalah sumber-sumber yang mengakibatkan kaidah hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa.

Namun perlu diingat ketika dikatakan “sumber hukum internasional” maka yang dimaksud adalah sumber hukum formil. Hal ini karena doktrin hukum internasional jarang panjang lebar mebahas sumber hukum materil, karena sumber hukum materil sebenarnya sudah lebih dahulu menjadi perhatian hukum secara umum sebelum hukum internasional, maka ia ia lebih tepat masuk dalam kajian ilmu sosiologi hukum atau ilmu filsafat hukum internasional secara umum.

Sumber-sumber hukum internasional Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:

1.Perjanjian internasional (international conventions/al ittifâqôt al dauliyyah), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2.Kebiasaan internasional (international custom/al ‘urf al dauli);
3.Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law/ mabâdi al qônûn al ‘âmmah ) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4.Keputusan pengadilan (judicial decision/al qodlô) dan pendapat para ahli (al fiqh) yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197)

Penyebutan sumber-sumber secara urut dalam pasal ini bukan berarti adanya hierarki dalam sumber-sumber tersebut, namun pasal ini hanya ingin membedakan antara sumber yang pokok (al ashlî) dengan sumber pelengkap (al ihtiyâthi).

Yang termasuk dalam sumber pokok adalah perjanjian internasional dan kebiasaan internasional. Sedangkan yang termasuk ke dalam sumber pelengkap adalah prinsip-prinsip hukum umum serta keputusan pengadilan dan pendapat para ahli.

Mengenai sumber yang ketiga yaitu prinsip-prinsip hukum umum , doktrin hukum internasional berbeda pandang, yaitu dengan memasukanya ke dalam sumber-sumber pokok.

Dari keempat sumber diatas hanya dua sumber yang akan diulas dalam makalah ini yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan internasinal, atau yang dinamakan dengan sumber pokok.

A. PERJANJIAN INTERNASIONAL (international treaty/al mu’âhadah al dauliyyah)

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.

Bahasan perjanjian internasional cukup luas, diantara hal mendasar mengenai perjanjian internasional ini adalah definisi, macam-macam, ruang lingkup berlaku, revisi dan amandeman, serta gugurnya perjanjian internasional.

Berikut ini kita akan mencoba mengulas tentang peristilahan, definisi, macam-macam dan tahapan-tahapan pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional.

I. Peristilahan

Ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk perjanjian internasional, diantaranya adalah: Traktat (Treaty/traitê/al mu’âhadah), konstitusi (constitution/al dustûr), piagam (charter/charte/al mîtsâq), pakta (pacte/al ‘ahdu), statuta (statut/al nidzôm), konvensi (convention/al ittifâqiyât), persetujuan (agreement/accord/al ittifâq), pertukaran surat (êchange de lettres/al khitôbât al mutabâdilah), pertukaran nota (exchange of notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah), protokol (protocol/al brutûkûl), deklarasi (declaration/dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh), arrangement (attaswiyyah), modus vivendi ( modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah), Memorandum of Understanding, final act, Process Verbal, letter of intents.

Walaupun istilah-istilah ini bermakna sama yaitu digunakan untuk menyatakan substansi yang sama yaitu perjanjian internasional, akan tetapi berdasarkan sensus ada beberapa istilah mempunyai makna perjanjian internasional tertentu, yaitu:

Traktat (Treaty/al mu’âhadah)

Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah perjanjian persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) tertanggal 24 Februari 1976.

Konvensi (Convention/al ittifâqiyât)

Istilah konvensi mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum. Dengan demikian, menurut pengertian umum, istilah konvensi dapat disamakan dengan pengertian umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak.

Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.

Persetujuan (Agreement/ accord/al ittifâq)

Menurut pengertian umum, persetujuan (agreement) mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada traktat dan konvensi. Contohnya Treaty of Rome, 1957.

Protokol (Protocol/ al brutûkûl)

Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding treaty atau convention. Pengunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam keragaman yaitu:

a. Protocol of signature
b. Optional protocol
c. Protocol based on a framework treaty

Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya. Misalnya adalah “the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the basis of Arts.2 and 8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer.”

Piagam (Charter/al mîtsâq)

Pada umumnya, istilah charter digunakan sebagai perangkat internasional dalam pembentukan (pendirian) suatu organisasi internasional. Misalnya, the Charter of the United Nations of 1945 dan the Charter of the Organization of American States of 1952.

Deklarasi (Deklaration dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh)

Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Contohnya ialah Deklarasi ASEAN (ASEAN Declaration) tahun 1967 dan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) tahun 1948.
Pertukaran Nota (Exchange of Notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah)
Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, “each of the parties being in the possession of the one signed by the representative of the other.”

Arrangement /attaswiyyah

Adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk.

Agreed Minutes & Summary Records


Adalah merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini akan digunakan dalam perundingan selanjutnya.

Process Verbal

Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.

Modus Vivendi (modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah) yaitu, suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci.

Memorandum of Understanding.


Sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat.

Final Act

Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Contohnya ialah Final Act General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994.

II. Definisi Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai :
“An International agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”
“ Ittifâqun dauliyyun yu’qodu baina daulataini au aktsara kitâbatan wa yakhdlo’u li al qônûn al daulî sawâ’un tamma tadwînuhu fî watsîqotin wâhidatin au aktsara wa ayyan kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi”
Yaitu kesepakatan internasional yang dibuat oleh dua Negara atau lebih dan tunduk terhadap hukum internasional, baik dalam bentuk satu dokumen atau lebih dan apapun namanya.

Definisi diatas mengisyaratkan bahwa perjanjian internasional dapat dibuat oleh dua Negara atau lebih , itu artinya bahwa yang dikategorikan perjanjian internasional hanya terbatas pada kesepakatan yang berlangsung antar lembaga Negara saja, hal ini yang mendorong para pembuat naskah konvensi untuk meratifikasi konvensi ini dengan meletakan pasal 3 yang mengisyaratkan terjadinya perjanjian internasional antara Negara dengan subjek hukum internasional lainya seperti halnya organisasi internasional, dan juga mengisyaratkan bahwa tidak diterapkannya perjanjian internasional terhadap Negara, tidak mempengaruhi kekuatan hukumnya, selain itu pasal ini juga mengisyaratkan bahwa dapat diterapkanya kaidah-kaidah yang tertera dalam perjanjian internasional terhadap Negara yang memiliki sifat hukum internasional, yang berlaku untuk Negara dan organisasi internasional.

Dengan demikian kita dapat mendefinisikan perjanjian internasional sebagai berikut:
“Ittifâqun maktûbun baina syakhshoini min asykhôsh al qônûn al dauli al ‘am ayyan kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi yatimmu ibrômuhu wafqon li ahkâm al qônûn al dauli, bihadfi ihdâtsi âtsârin qônûniyyah”
Yaitu kesepakatan tertulis antara dua subjek hukum internasional- apapun namanya kesepakatan tersebut dan sesuai dengan aturan hukum internasional-dengan tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum.

Dari definisi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa unsur-unsur perjanjian internasional adalah :
- Adanya suatu persetujuan internasional;
- Dibuat oleh subjek hukum internasional ;
- Dalam bentuk tertulis ;
- Didasarkan pada hukum internasional;
- Dibuat dalam instrumen tunggal atau lebih;
- Memiliki nama apapun.

III. Macam-Macam Perjanjian

Secara teori, doktrin hukum internasional membuat perbedaan antara perjanjian internasional yang satu dengan lainya, pembedaan ini bisa ditempuh dengan menggunakan prinsip meteril (al asâs al mâdî), yaitu berdasarkan isi dan kandungan perjanjian, serta karakter kaidah-kaidah dan kewajiban-kewajiban yang tertera dalam perjanjian tersebut. Dan bisa juga ditempuh dengan menggunakan prinsip formil (al asâs al syaklî) yaitu berdasarkan bentuk dan prosedur (tahap pembentukanya) yang dilalui oleh perjanjian internasional, atau berdasar pada jumlah Negara yang menjadi pihak perjanjian.

Bedasarkan prinsip materil doktrin hukum internasional membedakan kelompok perjanjian internasional, yaitu:

1. Perjanjian internasional “yang membuat hukum” (law making/al mu’âhadah al syâri’ah) dan Perjanjian internasional” kontrak “ (Treaty contracts/al mu’âhadah al ‘aqdiyah)
a. Perjanjian internasional atau traktat-traktat “yang membuat hukum” (law making/al mu’âhadah al syâri’ah) yaitu perjanjian yang menetapkan kaidah-kaidah, yang berlaku secara universal dan umum.
b. Perjanjian internasional atau traktat-traktat ”kontrak“ (Treaty contracts/al mu’âhadah al ‘aqdiyah) yaitu traktat yang tujuannya hanya sekedar melahirkan kewajiban-kewajiban bagi para pihak perjanjian berdasarkan kaidah-kaidah internasional. Misalnya, suatu traktat antara dua atau hanya beberapa Negara, yang berkenaan dengan pokok suatu permasalahan khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara itu.

2. Perjanjian internasional “umum” (al mu’âhadah al ‘âmmah) dan perjanjian internasional “khusus” (al khôshshoh).

Doktrin hukum internasional membedakan antara perjanjian umum dan perjanjian khusus. Hal ini termaktub pada pasal 38/1 (a) dari aturan pokok International Court of justice ketika menjelaskan “kesepakatan –kesepakatan internasional umun dan khusus yang dengan jelas menetapkan kaidah-kaidah yang diakui oleh Negara-negara yang bersengketa.” Hanya saja pembedaan ini tidak terlepas dari pembadaan yang pertama , itu karena perjanjian” yang membuat hukum” bersifat umum dan perjanjian “kontrak” bersifat khusus.

Adapun berdasarkan prinsip formil (al asâs al syaklî) maka perjanjian internasional dapat di bedakan dalam bebarapa kelompok, yaitu:

1.Perbedaan antara perjanjian internasional “yang detail” (al mu’âhadât bi al ma’na al daqîq) dan kesepakatan internasional dalam bentuk sederhana (executive agreement/ accord en forme simplifîe /al ittifâqôt fi al syakli al mubassith)
a. Perjanjian internasional “yang detail”(al mu’âhadât bi al ma’na al daqîq) yaitu perjanjian yang tidak mengikat kecuali setelah terlaksananya semua prosedur perjanjian dan telah diratifikasi oleh lembaga yang berwenang di Negara-negara anggota.
b. Kesepakatan internasional dalam bentuk sederhana (executive agreement/ accord en forme simplifîe/al ittifâqôt fi al syakli al mubassith) yaitu semua perjanjian selain perjanjian “yang detail,” seperti halnya kesepakatan-kesepakatan internasional. Itu karena kesepakatan tersebut agar dapat terlaksana tidak harus terlaksananya prosedur-prosedur yang lazim serta tidak tergantung pada ratifikasi dari lembaga yang berwenang.

2. Perjanjian internasional bilateral (traitês bilatêrux/al mu’âhadât al tsunâiyyah) dan perjanjian internasional multilateral (traitês plurilatêraux/al mu’âhadât al jamâiyyah).
Pembedaan ini adalah berdasarkan banyaknya Negara yang terlibat dalam perjanjian. Maka seandainya terjadi perjanjian antara dua Negara saja namanya perjanjian bilateral, dan kalau melibatkan banyak Negara maka namanya adalah perjanjian multilateral. Maka dari segi bentuk tampaklah perbedaan kedua jenis perjanjian ini.

3. Perjanjian internasional regional (conventions rêgionales/al mu’âhadat al iqlîmiyyah) dan perjanjian internasional yang bersifat universal (conventions a vocation universelle/al mu’âhadat dzâtu al thôbi’ al ‘âlamî).

Perjanjian juga dapat dibedakan bedasarkan sifat goegrafis. Oleh karenanya kita mengenal perjanjian regional dan perjanjian universal. Perjanjian regional adalah perjanjian yang sifatnya terbatas pada letak geografik tertentu. Sedangkan perjanjian universal sifatnya menyeluruh tidak terbatas pada letak georafik tertentu.

IV. Pelaksanaan Perjanjian

Perjanjian internasional berdasarkan bentuk dan tahap pembuatannya kita mengenal pembedaan perjanjian internasional “yang detail’ dan perjanjian internasional dalam bentuk sederhana. Seperti yang telah diulas bahwa perjanjian internasional dalam bentuk sederhana adalah transaksi sukarela yang tidak mengharuskan prosedur tertentu, sedangkan perjanjian internasional “yang detail” berdasarkan definisinya, ia merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui sampai terlaksananya perjanjian.
Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan perjanjian ini adalah negosiasi (al mufâwadloh), pembuatan naskah dan penandatanganan (al tahrîr wa al tauqî’), ratifikasi (al tashdîq), reservasi (al tahaffudz), pendaftaran (al tasjîl).

Secara singkat berikut penjelasan tahapan-tahapan di atas:

Tahap pelaksanaan perjanjian:

Negosiasi (negotiation/al mufâwadloh), yaitu transaksi tawar menawar antara pihak yang bermaksud melangsungkan perjanjian sekitar materi perjanjian dengan tujuan tercapainya mufakat dalam transaksi ini.

Pembuatan Naskah dan Penandatanganan (al tahrîr(redaction) wa al tauqî’), setelah selesai proses perundingan, maka mufakat yang dihasilkan dalam perundingan tersebut dituangkan dalam sebuah naskah yang selanjutnya ditandatangani oleh seluruh pihak.
Untuk dikatakan sebuah naskah perjanjian setidak-tidaknya harus terpenuhi dua unsur pokok sebuah naskah perjanjian, yaitu sebagai berikut:
Mukaddimah/ Konsideran (al dîbâjah/Preambule )
1.Paragraf pertama perlu menyebut “Para Pihak” dalam perjanjian.
2.Paragraf selanjutnya menyebutkan maksud dan tujuan yang akan dicapai dengan perjanjian tersebut (political will).
3.Paragraf ini biasanya menyatakan maksud dari Kedua Pihak untuk mencapai mutual benefit, menghormati kedaulatan dan hukum yang berlaku di masing-masing negara, dan sebagainya.
4.Pernyataan maksud kedua pihak untuk menggantikan/ melanjutkan/ menghentikan perjanjian (agreement) yang ada sebelumnya, bila memang ada dan dimaksud demikian.
5.Paragraf teerakhir adalah pernyataan bahwa perjanjian dibuat sesuai UU dan peraturan yang berlaku di kedua negara (dalam perjanjian tertentu bahkan dimuat sesuai dengan kebijakan negara/ pemerintah daerah maupun tradisi setempa

Batang Tubuh (sholbu al mu’âhadah/Body)

Memuat Pokok-Pokok masalah yang diperjanji-kan para pihak.
1. Definisi.
2. Tujuan.
3. Ruang Lingkup.
4. Materi Muatan/ Prosedural

Ratifikasi (ratification/al tashdîq), yaitu perbuatan hukum berupa pengesahan lembaga yang berwenang di Negara anggota terhadap perjanjian yang telah berlangsung. Konstitusi setiap Negara berbeda-beda dalam memberikan wewenang ratifikasi ini kepada lembaga-lembaga yang ada di dalam Negara. Maka ada sebagian konstitusi memberikan hak ini kepada lembaga eksekutif saja, ada juga yang memberikan wewenang ini kepada lembaga legislatif saja, dan ada juga yang memberikan wewenang ini kepada kedua-duanya.

Reservasi (reservation/rêserves/al tahaffudz), Konvensi Wina 1969 pasal 2 (1/d) mendefinisikan reservasi sebagai berikut “a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when signing, ratifying , accepting, approving, or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of the treaty in their application to that State” ( pernyataan sepihak dari negara, apapun redaksinya atau namanya, ketika penandatanganan , ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau bergabung dalam perjanjian, dengan maksud menghindari, atau mengamandemen akibat hukum (al atsar al qônûnî) dari hukum-hukum tertentu dari perjanjian yang berlaku bagi Negara tersebut).

Pendaftaran Perjanjian (the registration of treaties/enregistrement des traitês/ tasjîl al mu’âhadah), yaitu dengan mendaftarkan perjanjian di Treaty Room (al amânah al ‘âmmah) PBB yang kemudian disanalah naskah aslinya di simpan. Hal ini berdasarkan Pakta PBB pasal 102 yang mewajibkan didaftarkannya perjanjian international di Treaty Room (al amânah al ‘âmmah)PBB.

V. Ruang Lingkup Berlakunya Perjanjian Terhadap Pihak Penandatangan dan Pihak Bukan Penandatangan.

Perjanjian internasional apabila sudah terpenuhi syarat-syarat formil dan materilnya, maka telahirlah darinya akibat-akibat hukum. Biasanya naskah perjanjian tersebut menjelaskan tata cara pelaksanaan dan tanggal mulai berlakunya.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah akibat-akibat hukum dari perjanjian internasional itu hanya berlaku bagi pihak penandatangan, atau berlaku juga bagi pihak bukan penandatangan?
Untuk menjawab pertanyaan ini Prof.Dr.Abdul Ghoni, guru besar Hukum Internasional fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Al Azhar Cairo menjelaskan bahwa perjanjian internasional ketika sudah masuk pada tahap pelaksanaan (tanfîdz) maka ia menimbulkan akibat-akibat hukum bagi para pihak penandatangan, yaitu dengan lahirnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu bagi semua pihak penandatangan , dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban ini wajib diperhatikan dan dilaksanakan. Inilah yang dinamakan “sifat mengikat sebuah perjanjian internasional terhadap para pihak penandatangan” (iktisâb al mu’âhadah al quwwah al qônûniyyah al mulzimah li athrôfiha).

Selanjutnya beliau menjelaskan:”kaidah umum yang ditetapkan oleh doktrin dan yurisprudensi menerangkan bahwa akibat hukum perjanjian internasional tidak berlaku bagi selain pihak penandatangan, oleh karenanya Negara yang bukan termasuk pihak perjanjian tidak mempunyai hak-hak dan tidak juga menanggung kewajiban-kewajiban yang terlahir dari perjanjian internasional, hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini hanya berlaku bagi pihak dalam perjanjian. Inilah yang dinamakan dengan prinsip nisbiyyatu âtsâri al mu’âhadah .”
Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa akibat hukum dari perjanjian internasional tidak berlaku bagi selain pihak penandatangan.

Namun kesimpulan ini bukanlah harga mati, hal ini karena ada beberapa pengecualian dari prinsip yang terakhir disebutkan, mengingat prinsip tersebut bukanlah prinsip mutlak yang tidak menerima pengecualian . Artinya perjanjian internasional, akibat hukumnya dapat berlaku juga bagi selain pihak perjanjian sebagai pengecualian dari prinsip nisbiyyatu âtsâri al mu’âhadah , yaitu dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.Bergabungnya pihak lain dalam perjanjian atau menerima perjanjian;
2.Adanya pensyaratan dalam perjanjian untuk kemaslahatan pihak lain;
3.Adanya pelimpahan kewajiban yang timbul dari perjanjian terhadap negara yang bukan anggota;
4.Adanya perjanjian yang akibat hukumnya melintas Negara-negara bukan anggota, karena perjanjian tersebut mempunyai karakter yang khusus;

B.KEBIASAAN INTERNASIONAL (international custom/al ‘urf al dauli)

Sampai saat ini, hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional. Kaidah-kaidah kebiasaan tradisional yang besar tersebut makin menyusut sebagai akibat dari adanya sejumlah besar traktat “yang membentuk hukum” (law-making/al mu’âhadah al syâri’ah) yang banyak dibuat sejak pertengahan abab lalu, dan makin berkurang lagi karena pekerjaan Komisi Hukum Internasional dalam mengkodifikasi dan menyatakan kembali kaidah-kaidah kebiasaan di dalam traktat-traktat seperti Konvensi-Konvensi Wina tanggal 18 April 1961, 24 April 1963 dan 22 Mei 1969, berturut-turut mengenai Hubungan-hubungan Diplomatik, Hubungan-hubungan Konsuler dan Hukum Traktat. Sedangkan menurut pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh beberapa penulis bahwa kebiasaan internasional masih tetap akan memainkan peranan penting sebagai sumber dinamis kaidah hukum internasional yang baru, di mana masyarakat internasional mengalami perubahan-perubahan di bidang baru yang tidak/belum terjamah oleh traktat-traktat, keputusan-keputusan yudisial ataupun tulisan-tulisan para ahli hukum.

Yang dimaksud dengan kebiasaan internasional di sini adalah kebiasaan yang telah memperoleh kekuatan hukum, yaitu adat-istiadat yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat internasional yang sifatnya seakan-akan mengikat, dan ketika dilanggar dilanggar ada semacam perasaan melanggar hukum. inilah maksudnya kebiasaan yang memperoleh kekuatan hukum.
Oleh karenanya Vinner’s Abrigement , berkenaan dengan kebiasaan, dalam hukum inggris mengemukakan hal tersebut secara singkat:
“Kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum adalah suatu adat-istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.”

Pasal 38 (a) Statuta Mahkamah “International Court of Justice,” mengisyaratkan bahwa kebiasaan internasional adalah “al âdât al dauliyah al mar’iyyah al mu’tabaroh bi matsâbati qônûnin dalla ‘alaihi tawâtur al isti’mâl” (adat-istiadat internasional yang dilestarikan dan dianggap sebagai hukum yang ditunjukan oleh praktek mayoritas).
Dengan demikian jelaslah urgensi kebiasaan internasional dalam perannya sebagai sumber hukum internasional serta definisinya. Selanjutnya berkenaan dengan kebiasaan internasional ini ada beberapa hal pokok lainya yang harus dijadikan bahasan dalam tulisan ini, yang akan diuraikan di bawah ini, yaitu tentang unsur-unsur dan ruang lingkup berlakunya kebiasaan internasional.

I. Unsur-Unsur Kebiasaan Internasional

Dari definisi diatas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa sebuah adat-istiadat agar memperoleh kekuatan hukum sehingga menjadi kebiasaan internasional, harus terpenuhi dua unsur yaitu unsur materi (l’âlêment materiel/consuotudo/al ‘unsur al mâdî) dan unsur psikologis (l’âlêment psycologique/al ‘unsur al ma’nawi).

Tentang kedua unsur ini J.G.Starke,Q.C. dalam bukunya Introduction to International Law menjelaskan:
“Mengenai aspek materi, dalam hal ini harus ada satu tindakan berulang-ulang yang melahirkan kaidah kebiasaan. Sebuah pengadilan Jerman dalam perkara Lubeck v.Mecklenburg Schwerin menyatakan bahwa satu tindakan tunggal badan atau otorita Negara tidak dapat begitu saja menciptakan kebiasaan yang dapat dimanfaatkan Negara lain yang telah diuntungkan oleh tindakan tersebut; karena tindakan untuk terciptanya hukum kebiasaan harus dilakukan secara teratur dan berulang-ulang. Permulaan dari kebiasaan berpangkal dari suatu praktek dapat saja dari tidak adanya suatu kaidah kebiasaan, tetapi penyimpangan-penyimpangan kecil mungkin tidak perlu mendapat konsekwensi negatif ini. Selain dari pengulangan kebiasaan lamanya usia tindakan-tindakan itu juga dapat menjadi pertimbangan yang dianggap perlu. Namun waktu yang singkat juga mungkin mencukupi apabila praktek negara itu telah meluas dan keseragaman dalam semuan tujuan praktis (misalnya berkaitan dengan evolusi pada prinsip bahwa suatu negara pantai memiliki hak-hak untuk mengeksploitasi, dan lain-lain landas kontinennya; lihat dalam bab 9 buku ini).

Aspek psikologis yang lebih banyak dikenal opinion juris sive necessitas, atau sebagaimana diistilahkan oleh seorang ahli “keyakinan bersama bahwa tindakan pengulangan itu…merupakan akibat dari suatu kaidah yang memaksa”. Mengenai hal ini perlu diterangkan lebih lanjut. Pengulangan adat-istiadat atau praktek cenderung untuk memperkuat dugaan bahwa , dalam keadaan serupa di masa mendatang, tindakan atau sikap tidak melakukan tindakan (abstention) demikian akan terulang lagi. Apabila dugaan ini berkembang lebih jauh menjadi suatu pengakuan umum oleh Negara-negara bahwa tindakan atau tidak melakukan tindakan merupakan persoalan hak dan kewajiban, maka peralihan dari adat-istiadat menjadi kebiasaan dapat dianggap telah terwujud. Dalam proses ini, terlibat, hingga tarap tertentu, suatu unsur penerimaan atau persetujuan dari pihak Negara-negara pada umumnya. Keyakinan ini, yaitu opinio juris, merupakan pengujian yang tepat atau kalau tidak dikatakan tidak ada kecualinya bahwa suatu adat-istiadat atu praktek telah menjelma menjadi kebiasaan; misalnya, terdapat suatu ketiadaan opinio juris apabila Negara-negara menyesuaikan diri terhadap suatu adat-istiadat semata-mata karena penghormatan atau kesopanan saja. Dalam hal tersebut, opinio juris bukan merupakan unsur esensial dari kebiasaan, tetapi seandainya hal itu ada, opinio juris berguna sebagai yang membedakan kebiasaan dari serangkaian tindakan yang diikuti secara sukarela atau karena alasan-alasan lain.”

PENUTUP

Bahasan sumber pokok hukum internasional–perjanjian internasional dan kebiasaan internasional- secara utuh, sulit sekali kalau harus dituangkan dalam makalah yang singkat ini, mengingat cukup luasnya bahasan sumber ini.

Dalam makalah ini penulis hanya dapat menyampaikan beberapa hal penting saja mengenai dua sumber diatas khususnya tentang peristilahan, definisi, macam-macam, pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional, serta definisi dan unsur-unsur kebiasaan internasional.

Semoga bermanfaat dan mudah-mudahan di masa yang akan datang makalah ini dapat lebih disempurnakan. Dan demi lebih baiknya makalah ini, walaupun terasa “ngeri” kritik dan saran tetap dibuka.

Kebenaran mutlak hanya milik Yang Maha Kuasa. Salah dan Khilaf adalah semata-mata kekeliruan dari kami. Wallâhu a’alam!

NB: Makalah ini disampaikan pada kajian reguler Forum Studi Syari’ah wal Qônûn (FSQ), 23 Maret 2010.
(Penulis adalah Mantan Ketua Senat FSQ 2007-2008)



(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:53 PM  

KAEDAH-KAEDAH HUKUM INTERNASIONAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM NASIONAL

Oleh: R Adi Yulianto, Lc

Prolog


Pembahasan tentang hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional masih menarik, karena selalu ada perkembangan saling mempengaruhi antara keduanya dan terkadang saling bertentangan dalam beberapa kaedahnya. Ketika sebagian akademisi masih mempertanyakan status hukum internasional dalam hukum nasional, di saat yang sama hukum internasional telah benar-benar nyata dan mampu mempengaruhi tatanan hukum nasional dalam semua aspek.
Definisi hukum internasional bervariasi, tetapi antara definisi satu dan lainnya tidak mempunyai banyak perbedaan. J.G. Starke mendefinisikan hukum internasional dengan; keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah perilaku dimana negara-negara merasa terikat untuk menaatinya, termasuk kaedah yang berkaitan dengan lembaga atau organisasi internasional, hubungan di antara mereka dan hubungan mereka dengan Negara-negara, juga kaedah tentang individu jika kaedah tersebut dirasa penting bagi masyarakat internasional.

Status Legalitas Hukum Internasional

Setelah disepakati secara terminologi, hukum internasional masih menuai pertanyaan di kalangan akademisi, tentang sejauh mana hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa(stricto sensu/ al quwah al ilzamiyah), bahkan bisakah hukum internasional dikategorikan sebagai hukum atau hanya sebagai kebiasaan internasional, mengingat kekuatan memaksa dari sebuah hukum harus terdiri dari tiga faktor utama; 1( Hukum dikeluarkan oleh lembaga legislatif/eksekutif otoritas; 2( Adanya lembaga yudikatif yang mengontrol jalannya hukum tersebut; dan 3( Hukum mempunyai unsur paksaan yang direpresentasikan dengan sebuah hukuman yang memaksa.

Melihat lemahnya tiga unsur tersebut pada hukum internasional, maka beberapa akademisi hukum internasional men-sama ratakan hukum internasional dengan kebiasaan internasional. Tetapi mayoritas akademisi berpendapat bahwa hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa, karena walaupun tiga unsur tersebut lemah namun tetap eksis. Unsur eksekutif diwakili oleh persetujuan langsung dari personalitas internasional, unsur yudikatif terwakili dengan dibentuknya lembaga-lembaga pengadilan dunia, dan unsur hukuman terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional, contohnya pada pasal 39-50 Piagam PBB yang membolehkan organisasi internasional menjatuhkan sanksi-sanksi terhadap negara anggota yang bersalah, tentunya sanksi tersebut merupakan konsekuensi berat bagi negara yang bersangkutan.

Aspek teoretis kekuatan memaksa pada kaedah hukum internasional
Beberapa fase teori yang mendasari kekuatan memaksa (stricto sensu) dari hukum internasional, di antaranya:

Teori positivisme, al Nazariyah al Wadh’iyah

Teori positivisme pada perkembangannya secara umum dapat dibagi menjadi positivisme klasik dan positivisme modern. Pendukung positivisme klasik berpendapat bahwa hukum internasional lahir dari sebuah kehendak negara, dan kehendak itulah yang melahirkan sebuah hukum internasional. Sebagaimana hukum nasional lahir atas dasar kehendak rakyat, maka hukum internasional juga lahir atas dasar kehendak negara yang menyetujui kaedah-kaedah yang melandasi hukum internasional tersebut. Positivisme klasik memandang bahwa kehendak negara yang melahirkan hukum internasional adalah kehendak yang mutlak, artinya negara berkehendak secara sukarela dalam menyetujui atau menolak sebuah kaedah hukum internasional tanpa ada unsur keterpaksaan. positivisme klasik juga bependapat bahwa kehendak yang melahirkan hukum internasional adalah kehendak negara-negara secara bersama dan mempunyai kesamaan derajat antara satu dan lain, kehendak tersebut kemudian melahirkan kekuatan memaksa dari kaedah yang disetujui.

Positivisme modern lebih memandang kaedah hukum internasional dari substansinya, menurut para positivis modern hukum internasional bukan semata-mata lahir dari kehendak, tetapi ada kaedah fundamental yang mendasari kehendak tersebut, kaedah yang universal. Karena sebuah kaedah hukum tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi satu kaedah dan lainnya, contoh kaedah pacta sunt servanda/ al ‘aqdu syari’atul muta’aqidain, adalah kaedah universal yang mendasari kehendak Negara untuk membuat perjanjian internasional.

Teori positivisme walapun mempunyai pengaruh luas pada hukum internasional di pertengahan abad 18, namun tidak terlepas dari kritik, khususnya teori positivisme klasik yang memandang bahwa hukum internasional lahir dari kehendak sukarela Negara. Pada prakteknya sulit menyatukan teori tersebut dengan fakta, misalkan proses dekolonisasi Negara-negara baru. Negara-negara baru tersebut terikat oleh hukum internasional sejak saat kemerdekaannya tanpa adanya tindakan persetujuan yang tegas dari negara yang bersangkutan, walau dapat diputarbalikkan dengan alasan persetujuan yang implisit atau “diam-diam”.

Ayat 6 pasal 2 di piagam PBB bukti lain bahwa teori positivisme tidak relevan dengan praktek kontemporer, pasal tersebut menyatakan bahwa “Perserikatan Bangsa-bangsa harus menjamin bahwa negara-negara yang bukan anggota akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam sejauh akan diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”. Yang dapat disimpulkan bahwa negara bukan anggota PBB walaupun tidak berkehendak tetapi wajib atau minimal dijamin bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam PBB.

Kendati terdapat kelemahan, namun teori positivisme mampu memberikan sumbangsih berharga bagi perkembangan hukum internasional, terutama positivisme modern yang menekankan adanya kaedah universal sebagai landasan kehendak Negara. Di sini positivisme menekankan bahwa hanya kaedah yang benar-benar ditaati negara-negara yang dapat menjadi kaedah hukum internasional.
Teori Hukum Alam (Nazariyatu al Qonun al Thabi’iy/The Theory of Natural Law)

Hukum alam dapat diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia sebagai makhluk berpikir, dan sebagai rangkaian kaedah yang memberikan inspirasi dari alam kepada akal budi manusia. Grotius dianggap yang pertama dapat mengemas teori hokum alam dengan pola pikir sekularitas yang sebelumnya bersifat semi-teologis. Kemudian konsep hukum alam dan kaitannya dengan kekuatan memaksa kaedah hukum internasional mengalami perkembangan bertahap dan didukung oleh banyak akademisi, namun perkembangan yang jelas adalah dalam karya Vattel (1958) Droit des Gens.

Dalam karyanya tersebut Vattel menegaskan bahwa hukum bangsa-bangsa/hukum internasional berasal dari hukum alam, yaitu hukum yang mempunyai kapasitas tertinggi. Dan negara sebagai personalitas internasional mutlak untuk menaati kaedah hukum alam tersebut sebagaimana manusia menaatinya, karena negara tidak lain adalah terdiri dari individu-individu yang kebijakan-kebijakannya ditentukan oleh manusia. Dan manusia dalam kapasitas apapun tunduk pada hukum alam.

Kelemahan utama konsep hukum alam adalah, cenderung mencetuskan doktrin-doktrin subyektif yang kurang obyektif. Karena definisinya yang terlalu bias sehingga timbul keterasingan antara konsep dengan realita yang tampak. Namun tidak dipungkiri bahwa banyak deklarasi internasional, aturan-aturan tentang kejahatan perang dan tindak pidana internasional diklaim lahir dari teori hukum alam, contohnya The Universal Declaration on Human Rights yang berlandaskan atas hak-hak alamiah manusia, Declaration on the Rights and Duties of States yang mengatur hak dan kewajiban Negara dan secara alamiah setiap individu memiliki hak dan kewajiban tersebut.

Kepentingan Politik (Political Interests/Al Mashalih al Siyasiyah)

Pendangan ketiga ini melihat bahwa kekuatan memaksa kaedah hukum internasional lahir dari kepentingan politik yang mendasarinya. Setiap kepentingan politik dapat berbeda-beda arahnya, dan kadar kekuatan memaksa kaedahnya juga berbeda-beda. Penganut teori ini bahkan melihat bahwa hukum internasional tidak terlahir kecuali untuk menjamin pengaruh politik tertentu.
Pada kenyataannya setiap teori di atas belum bisa dijadikan dasar kekuatan memaksa kedah hukum internasional secara komprehensif, tetapi yang pasti setiap kaedah hukum internasional mempunyai dua unsur utama yang melahirkan kekuatan memaksa pada kaedahnya, pertama unsur filosofis yang mendasari kaedah tersebut, kedua unsur khusus yang sesuai dengan objek hukumnya, dan setiap kaedah dapat berbeda-beda. Contohnya, hukum internasional yang mengatur lingkungan hidup. Unsur filosofis dari aturan tersebut adalah bahwa dunia merupakan sebuah komunitas dan setiap entitas tidak dapat berdiri tanpa yang lain, dan unsur khususnya adalah pentingnya solidaritas internasional untuk menjaga lingkungan dari berbagai polusi.

Hierarki Kekuatan Memaksa Pada Kaedah Hukum Internasional

Kekuatan memaksa pada kaedah hukum internasional tidak seragam, sebagaimana kaedah dalam hukum nasional yang berbeda-beda tingkat kekuatan memaksanya. Sebagian kaedah sama sekali tidak dapat ditentang atau ditinggalkan, sebagian yang lain boleh. Maka dari itu kaedah dalam hukum internasional mengenal istilah aturan ringan (The Soft Law/al Qonun al Hisy) dan aturan padat (The Hard Law/al Qonun al Shulb). Aturan ringan adalah yang memberikan keleluasaan bagi personalitas internasional untuk menaati atau tidak dengan tanpa adanya unsur hukuman bagi yang tidak menaatinya, sedangkan aturan padat atau berat, adalah yang mengandung unsur paksaan dalam bentuk hukuman bagi negara yang melanggarnya.

Kaedah aturan ringan biasanya mengatur hal-hal yang bersifat fleksibel tidak berhubungan dengan kepentingan umum internasional, sehingga negara boleh secara leluasa mengikuti atau meniggalkan aturan tersebut, seperti konsep aturan perdagangan atau perekonomian internasional. Aturan berat (The Hard Law) juga dapat dikategorikan sebagai kaedah memaksa (Jus Cogens/al Qa’idah al Âmirah), karena tidak memberikan ruang bagi negara untuk meninggalkannya atau sepakat secara bersama menentangnya. Kaedah yang terkandung dalam aturan perjanjian internasional yang lahir pada konvensi Wina 1969 merupakan kaedah bersifat memaksa, artinya, jika personalitas internasional ingin mengadakan perjanjian baik dalam skala bilateral maupun multilateral harus sejalan dengan aturan konvensi Wina tersebut, jika tidak, maka perjanjian dapat dibatalkan atau batal secara otomatis.
Terdapat beberapa poin yang bisa menjadi neraca pembeda antara aturan ringan dan aturan berat. Aturan berat biasanya mengandung poin sebagai berikut; a) Aturan yang berdasarkan sumber material hukum internasional seperti traktat, keputusan arbitrasi internasional, ketetapan lembaga internasional dan kebiasaan internasional yang diyakini memaksa. b) Kaedah yang bersifat umum, umum bukan berarti menyeluruh tetapi kaedah yang disetujui secara mayoritas oleh komunitas internasional. c) Aturan yang mengatur kepentingan dan ketertiban umum internasional, yaitu kepentingan fundamental yang berpengaruh pada keharmonisan internasional, seperti aturan pelayaran bebas di laut lepas.

Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional

Sebagaimana dibahas di atas bahwa dilihat dari pembentukannya ada perbedaan yang jelas antara hukum internasional dengan hukum nasional (State Law/al Qonun al Dakhily), yang tentunya skala penerapannya juga berbeda. Apakah hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa sebagaimana hukum nasional juga sudah dibahas secara teoretis di atas. Namun, jika sebuah Negara sebagai personalitas internasional mengakui kaedah tertentu dalam hukum internasional dan berkehendak untuk menaatinya, apakah dengan begitu secara serta merta kaedah internasional dapat diterapkan di dalam hukum nasional?

Dalam hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua aspek yang perlu dibahas, aspek teoretis dan aspek praktis. Pada aspek teoretis negara dapat menganut salah satu dari dua paham baik teori dualisme atau monisme.

Aspek teoretis pada hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional
Paham dualisme (Dualism/Tsunaiyah) adalah perpanjangan tangan dari positivisme klasik yang malandaskan kaedah hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai personalitas internasional. Dualisme memandang bahwa sistem hukum internasional sama sekali terpisah dari sistem hukum nasional, keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Ada dua perbedaan fundamental dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu;

Subyek hukum, subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah Negara-negara.

Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak Negara tersebut secara mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus ditaati, sedangkan sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari Negara-negara yang mempunyai kekuatan menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas norma Pacta Sunt Servanda.
Setelah memberikan pembedaan antara sistem hukum internasional dan hukum nasional terdapat beberapa poin yang dihasilkan teori dualisme:

Adanya perbedaan pada struktur dan substansi antara kedua kaedah hukum.
Lembaga peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah melewati proses transformasi, dan begitu juga sebaliknya.

Walaupun terdapat perbedaan fundamental antara kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh, aturan internasional tentang Warga Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional memerlukan instrumen nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif Negara.

Paham kedua, paham monisme (Monism, Wihdatu al Qonun). Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik mengikat Negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga merupakan personalitas internasional. Hans Kelsen (1881-1973) sebagai penganut monisme berpendapat bahwa kaedah hukum baik itu internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara satu dan lainnya, dan merupakan satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam tatanan abstrak. Dari hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat universal, yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun sebagai hukum nasional.

Paham kesatuan kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut paham monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu melewati proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma fundamental tertinggi yang bisa saja terdapat pada hukum internasional atau pada hukum nasional. Sistem hukum yang mengandung norma tertinggi itulah yang patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan praktisnya pendapat Kelsen ini dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien.

Primat hukum internasional di atas hukum nasional: tingkat preferensi diberikan kepada kaedah hukum internasional karena hukum internasional yang mengatur kewenangan negara-negara, dan ketika Negara mengatur permasalahan internal saat itu hukum internasional sedang memberikan mandat kepada negara untuk mengaturnya.

Negara sebagai personalitas internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan konstitusi atau revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah sistem hukumnya walaupun terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum internasional mengikat negara-negara baru dengan atau tanpa persetujuan dari negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini harus diberikan kepada hukum internasional.

Sebagian berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada hukum internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan cabang ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum internasional mencoba menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum internasional dengan hukum nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata rantai teknis dan secara teknis hukum internasional mempunyai kewenangan lebih tinggi dari pada hukum nasional.

Primat hukum nasional di atas hukum internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme, menurutnya hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara, secara tidak langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya, Negara. Hukum tertinggi Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai preferensi lebih dari pada hukum internasional.

Kritik yang ditujukan pada pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedah-kaedah hukum internasional yang tidak berasal perjanjian internasional melainkan dari tatakrama internasional, yang membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap kaedah tertentu sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan jika hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum internasional atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara eksplisit maupun implisit menganut paham monisme dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional, ada keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional seyogyanya selaras dengan kaedah hukum internasional.

Praktek Pemberlakuan Hukum Internasional Dalam Wilayah Nasional

Pada praktek pemberlakuan hukum internasional ke dalam tatanan hukum nasional setiap Negara mempunyai prosedur yang berbeda-beda. Dapat melalui proses inkorporasi, transformasi atau delegasi.
Proses inkorporasi/indimâj berarti, hukum internasional dapat diterapkan ke dalam hukum nasional secara otomatis dan tanpa adopsi khusus. Proses transformasi/ihâlah berarti hukum internasional yang bersumber dari perjanjian internasional dapat diterapkan ke dalam hukum nasional apabila sudah dijelmakan ke dalam hukum nasional baik secara formal maupun substantif, proses ini diperlukan karena hukum internasional tidak dapat dilaksanakan langsung menjadi hukum nasional secara langsung “ex proprio vigore”, demikian juga sebaliknya, sebagaimana pandangan positivis tentang hubungan antara kedua hukum internasional dan nasional. Proses lebih lunak adalah proses delegasi, dimana aturan konstitusional hukum internasional mendelegasikan kepada konstitusi Negara tentang hak untuk menentukan; 1) kapan ketentuan perjanjian internasional berlaku dalam hukum nasional, dan; 2) cara, bagaimana ketentuan perjanjian internasional dijadikan hukum nasional.

Praktek di Inggris


Dalam praktek hubungan hukum internasional dan hukum nasional, Inggris membedakan hukum internasional yang bersumberkan pada kebiasaan-kebiasaan internasional, dengan kaedah yang bersumber pada traktat-traktat atau perjanjian internasional.

Kaedah hukum internasional yang bersumber pada kebiasaan internasional dianggap merupakan bagian dari hukum Negara, dan akan diberlakukan demikian oleh pengadilan-pengadilan nasional Inggris, dengan dua syarat; a) Kaedah-kaedah tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan Inggris, baik yang ada sebelum atau setelah adanya kaedah kebiasaan internasional tersebut; b) Ruang lingkup pemberlakuan kaedah kebiasaan itu ditentukan oleh pengadilan tertinggi Inggris sehingga pengadilan-pengadilan lainnya akan terikat oleh keputusan tersebut walapun nantinya muncul kaedah kebiasaan internasional yang berbeda.

Para yuris di Inggris berbeda pandangan mengenai pemberlakuan langsung kaedah kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Pengadilan Inggris menghormati hak-hak prerogatif Mahkota, sehingga kebijakan yang dikeluarkannya atas nama lembaga eksekutif dan dianggap sebagai tindakan Negara (Act of State) tidak dipermasalahkan oleh pengadilan nasional meskipun bertentangan dengan kaedah hukum internasional, seperti pernyataan perang dan pengakuan atas Negara-negara secara de facto atau de jure.

Sedangkan kaedah hukum internasional yang berdasarkan atas traktat atau perjanjian, Inggris memberikan hak perundingan, penandatanganan dan ratifikasi kepada Mahkota secara prerogatif. Kaedah dalam traktat tersebut dapat diberlakukan langsung di wilayah hukum Inggris tanpa proses inkorporasi khusus dan dapat mengakibatkan perubahan pada hukum nasional tanpa harus meminta persetujuan parlemen, kecuali dalam beberapa hal;

Traktat yang memepengaruhi hak perdata warga Negara Inggris, menyangkut perubahan pada Common Law, mengakibatkan penambahan kekuasaan Mahkota dan yang memebebankan kewajiban finansial kepada pemerintah Inggris baik secara langsung maupun tidak. Dalam hal ini harus dengan persetujuan parlemen dengan menerbitkan undang-undang khusus tentang hal-hal terkait.
Traktat yang secara tegas harus mendapatkan persetujuan parlemen.
Traktat yang menyangkut penyerahan wilayah Inggris.

Jadi, dalam praktek pemberlakuan kaedah hukum internasional ke dalam wilayah nasional Inggris menganut paham dualisme, bahwa kedua hukum terpisah dari sisi kaedah, tetapi hukum internasional dapat berlaku di Inggris melalui proses inkorporasi langsung jika landasannya adalah kebiasaan internasional. Jika landasannya adalah perjanjian, hukum internasional dapat berlaku di wilayah nasional dengan kehendak Kerajaan tanpa persetujuan parlemen di beberapa hal, dan menuntut persetujuan parlemen di beberapa hal yang lain.

Praktek Amerika

Konstitusi Amerika secara eksplisit memberikan ruang pelaksanaan hukum internasional di dalam wilayah nasional tanpa adanya persetujuan dari lembaga eksekutif maupun legistatif sebagaimana praktek di Inggris, dengan menyatakan bahwa “semua Traktat yang dibuat, atau yang akan dibuat berdasarkan otoritas Amerika Serikat, akan merupakan Hukum Negara Tertinggi”.

Namun jika terjadi pertentangan antara kaedah hukum internasional dengan hukum nasional yang dikeluarkan oleh lembaga legistatif, maka hukum nasional tersebut tetap berlaku dan tidak terhapus oleh kaedah hukum internasional yang bertentangan. Karena aturan yang telah disetujui oleh Kongres Amerika harus mempunyai kekuatan mengikat dalam wilayah yurisdiksi Amerika, bahkan hukum nasional tetap berlaku, jika Kongres secara mayoritas mengeluarkan keputusan bahwa kaedah hukum nasional tersebut bertentangan dengan kaedah hokum internasional. Kemudian melahirkan primat hukum nasional di atas hukum internasional.

Status hukum Internasional di dalam wilayah hukum Republik Indonesia

Dalam wilayah hukum Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 tidak mengatur secara tegas pemberlakuan kaedah hukum internasional di wilayah nasional. Pasal yang menyangkut tentang hukum internasional hanyalah pasal 11 dan 13, dan kedua pasal tersebut sangat ringkas. Kemudian sebagai penjabaran dari UUD 1945 dikeluarkan Surat Presiden Republik Indonesia (SPRI) No.2826/HK/1960 pada tanggal 22 Agustus 1960 yang mengatur tentang “Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain”. Tetapi dalam tatanan prakteknya Surat Presiden tersebut hanya mengatur prosedur mengadakan perjanjian internasional dan belum sampai pada prosedur pemberlakuan kaedah hukum internasional yang dibuat ke dalam wilayah hukum Indonesia.

Dengan keterbatasan sumber materil untuk mengatur kaedah hokum internasional dalam wilayah RI, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 24 Tahun 2000 tentang “Perjanjian Internasional”. Tetapi dalam undang-undang tersebut juga tidak terdapat bagian khusus yang mengatur status kaedah hukum internasional di wilayah RI, sehingga pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Indonesia mem-posisikan hukum internasional di dalam wilayah hukum nasional. Setelah kita bahas di atas tentang teori dan praktek pelaksaan kaedah hukum internasional di dalam wilayah nasional, lalu dari teori dan praktek tersebut di manakah Indonesia mengambil peran, karena tidak menutup kemungkinan terjadi pertentangan antara kaedah hukum internasional dengan kaedah hukum nasional. Teori manakah yang dipakai, dualisme kah atau monisme, dengan primat hukum nasional kah atau internasional, kemudian pada tatanan praktisnya prosedur manakah yang digunakan, inkorporasi, transformasi atau delegasi?
Pada kenyataanya hukum internasional tidak mewajibkan Negara untuk memilih antara teori monisme ataukah dualisme, karena preferensi tersebut lebih ditentukan oleh kepentingan politik setiap negara. Negara yang nasionalismenya tinggi akan menempatkan preferensi hukum nasional dan yang simpatik pada internasionalisme akan mengambil preferensi internasional. Dalam prakteknya, Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional mempunyai dasar kaedah yang sama, dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional.

Sikap tersebut bisa saja diambil lantaran landasan yurdiksi yang tidak kuat sehingga opini internasional menggiring kepada preferensi hukum internasional yang bisa saja merugikan kepentingan nasional, penulis memandang seharusnya teori yang diambil adalah dualisme, bahwa hukum nasional terpisah dari hukum internasional karena perbedaan yang mendasar pada; sumber hukum, subjek hukum, struktur hukum dan ruang lingkup pelaksanaannya.

Dengan teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum internasional dengan hukum nasional, keduanya berdiri secara terpisah, tidak akan ada pertentangan kaedah tetapi yang ada adalah penyelarasan kaedah melalui inkorporasi atau transformasi. Setelah adanya penyelarasan, kaedah internasional tersebut dapat diberlakukan dalam wilayah nasional baik secara langsung (self executing) maupun dengan aturan terpisah (non-self executing), jika ada kaedah internasional yang tidak sesuai dengan kaedah nasional merupakan otoritas legislatif untuk mengesampingkannya.

Indonesia juga cenderung menggunakan proses delegasi daripada transformasi dan inkorporasi. Untuk inkorporasi barangkali Indonesia tidak punya perangkat materil yang mengatur secara eksplisit, Indonesia berusaha menggunakan proses transformasi dalam beberapa perjanjian, namun proses tansformasi menuntut dikeluarkannya hukum nasional tentang kaedah internasional yang diproses, tetapi Indonesia cenderung membiarkan kaedah internasional tersebut sebagaimana aslinya. Contoh pada United Nations Convention on The Law of the Sea III 1982 (UNCLOS III) yang aturan-aturannya diberlakukan melalui ratifikasi dan diterbitkan beberapa aturan seperti UU No.17 Th 1985 tentang pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), aturan pengasahan tersebut sama sekali tidak merubah kaedah yang ada dalam UNCLOS III. akibatnya status perairan nasional yang seharusnya dapat diklaim sebagai perairan internal, malah menjadi perairan kepulauan, dengan konsekuensi pemberlakuan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di wilayah tersebut.

Epilog

Sangat urgennya pengaturan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, menuntut negara-negara dunia untuk memperbaiki landasan yurisdiksinya agar mempunyai pijakan kuat terhadap kaedah internasional yang bisa saja merugikan kepentingan nasional. Usaha lembaga legislatif Indonesia dalam mengatur hal ini meskipun masih terdapat kekurangan dalam berbagai segi namun patut mendapat apresiasi, karena proses perkembangan hukum tidak serta merta berubah dengan hanya membuat draft Undang-undang dan mengesahkannya, melainkan harus didahului dengan membangun kesiapan mental nasional.
Dengan makalah ini, meskipun dengan segala kekurangannya, penulis mencoba menyajikan pembahasan menyeluruh tentang hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan relevansinya dengan praktek ke-Indonesia-an. WaAllahu a’lamu bi Showwab.

Catatan: Tulisan ini dipresentasikan pada kajian reguler Forum Studi Syariah wal Qonun, kamis 11 Maret 2010 .
(Penulis adalah anggota Senat FSQ, belajar di Institut Liga Arab, konsentrasi bidang hukum)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 12:48 PM  

PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL

Oleh: Irfan Islami

Berbicara tentang Hukum Internasional tidak lepas dari topik utamanya adalah Negara dan Organisasi-organisasi internasional sebagai subyek hukumnya. Negara menjadi subyek utama dalam teori hukum internasional seperti halnya perorangan (warga) dalam Hukum Nasional atau Hukum Privat. Dengan semakin berkembangnya Negara dewasa ini maka aturan dan disiplin internasional menjadi pilar penting dalam mengatur relasi internasional antar Negara satu dengan yg lainnya. Aturan dan disiplin internasional antar bangsa inilah yg menjadi poin pembahasan dari Hukum Internasional.

Hukum internasional telah muncul berabad-abad lamanya, diketahui sejak 2100 SM telah ada Hukum yg mengatur hubungan antar dua negara pada wilayah Mesopotamia. Dengan semakin berkembangnya zaman dan era dari klasik hingga modern, hal ini mempengaruhi semakin berkembangnya teori Hukum Internasional dari para pemikir dan ilmuwan dizaman-zaman tertentu. Kajian Hukum internasional bukanlah kajian hukum yg berumur tua dan bersifat absolut, terhitung sejak berabad-abad sebelum masehi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan geografis serta tatanan administratif dan politik antar negara satu dgn yang lainnya.

Perumusan hasil kajian atas hubungan antar bangsa-bangsa ini menjadi suatu disiplin keilmuan yg telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia internasional. Hal ini bukan berarti bahwa hukum internasional saat ini belum menemukan sedikitpun konsensus ilmiah di bidang hukum yang mengalasi hamparan pandangan para pakar yang terus dan kian berkembang. Hanya saja prinsip hukum yang nyaris tersepakati itu berpotensi besar untuk selalu berubah dan bergeser sejalan dengan kemajuan relasi antar bangsa itu sendiri.

Sebelum kita masuk pada tujuan pembahasan, perlu kita jelaskan terlebih dahulu pengertian hukum internasaional itu sendiri. Dewasa ini, pengertian hukum internasional (international law/al-qonun al-dauli) telah mencapai konsensus umum untuk diartikan sebagai, sekumpulan peraturan dan norma-norma hukum yang diberlakukan untuk mengatur hubungan-hubungan subyek hukum internasional (bangsa-bangsa dan entitas lainnya, seperti lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional), yang menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta batasan-batasan relasi yg tercipta antara para subjek hukum internasional dan perusahaan multinasional atau individu (Warga Negara).

Dari devinisi diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian hukum internasional mencakup 3 prinsip:
- Prinsip pertama: yang berhak dan tunduk pada hukum internasional adalah subyek hukum internasional (international personality/askhos al-qonun al-dauli) yg terdiri atas Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional.
- Prinsip kedua: hubungan yg berlaku adalah hubungan internasional (international relation/al-‘alaqat al-dauliyah).
- Prinsip ketiga : `kaidah-kaidah dan norma-norma hukum internasional merupakan kaidah wajib (obligation rules/al-qowa’id al-mulzimah) .

Akar Sejarah Hukum Internasional Publik

Hukum internasional publik sangat terkait dengan pemahaman dari segi sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses evolusi perkembangan hukum internasional dapat diketahui secara faktual kronologis, melainkan juga seberapa jauh kontribusi setiap masa bagi perkembangan hukum internasioanal. Sejarah merupakan salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari suatu norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu kebiasaan/adat istiadat (custom/al-‘urf).

Sistem Hukum Internasional merupakan suatu produk, kasarnya dari empat ratus tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa modern dalam hubungan serta komunikasinya dengan negara-negara lain. Tapi kita pun perlu melihat jauh sebelum perkembangan zaman Eropa Modern yaitu pada periode klasik, beberapa Negara telah melaksanakan Hukum Internasional secara tidak langsung, dan adapun para ahli yang lahir sebelum zaman Eropa Modern tersebut dipandang telah memunculkan dasar-dasar dari pemikiran mengenai adat-istiadat yang ditaati oleh masyarakat serta adanya beberapa kasus sejarah, seperti penyelesaian arbitrasi (perwasitan) pada masa Cina Kuno dan awal Dunia Islam yang memberikan sumbangan terhadap evolusi sistem modern Hukum Internasional.

Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa periode evolusi yang terbilang berkembang dengan cepat dan menarik. Fase-fase tersebut dapat kita bagi dalam 3 pembahasan; Periode Kuno, Periode Klasik dan Periode Modern:

A. Sejarah Hukum Internasional Kuno:

Permulaan hukum internasional dapat kita lacak kembali mulai dari wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan pemimpin Umma. Perjanjian tersebut ditulis diatas batu yang didalamnya mempersoalkan perbatasan antara kedua negara kota tersebut, yang dirumuskan dalam bahasa Sumeria.

Bangsa-bangsa lain yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional kuno adalah India, Yahudi, Yunani, Romawi, Eropa Barat, Cina dan Islam:

a. India
Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum.

b. Yahudi
Dalam Kitab Perjanjian Lama, bangsa yahudi mengenal ketentuan mengenai perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Perjanjian Lama adalah kitab suci bagi umat Yahudi, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa ibrani. Dalam hukum perang masih dibedakan perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.

c. Yunani
yunani kuno dibagi kedalam dua Golongan, yaitu Golongan Orang Yunani dan Luar Yunani yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Mereka juga sudah mengenal arbitration (perwasitan) dan diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan terbesar dari masa ini adalah Hukum Alam, yaitu hukum yang berlaku mutlak dimana saja dan berasal dari rasio/akal manusia. Menurut Profesor Vinogradoff, hal tersebut merupakan embrio awal yang mengkristalisasikan hukum yang berasal dari adat-istiadat, contohnya adalah dengan tidak dapat diganggugugatnya tugas seorang kurir dalam peperangan serta perlunya pernyataan perang terlebih dahulu.

Dalam prakteknya dengan hubungan negara luar, Yunani kuno memiliki sumbangan yang sangat mengesankan dalam kaitannya dengan permasalahan publik. Akan tetapi, sebuah hal yang sangat aneh bagi sistem arbitrase modern yang dimiliki oleh arbitrase Yunani adalah, kelayakan bagi seorang arbitrator untuk mendapatkan hadiah dari pihak yang dimenangkannya.

d. Romawi
Pada masa ini orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis Hukum, yaitu Ius Ceville (Hukum bagi Masyarakat Romawi) dan Ius Gentium (bagi Orang Asing). Hanya saja, pada zaman ini tidak mengalami perkembangan pesat, karena pada saat itu masyarakat dunia merupakan satu Imperium, yaitu Imperium Roma yang mengakibatkan tidak adanya tempat bagi Hukum Bangsa-Bangsa. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides, juga asas “pacta sunt servanda” (setiap janji harus disepakati) yang merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.

Bangsa Romawi dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui tata cara yang berdasarkan pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta istimewa atau yang disebut Fetiales, tergabung dalam sebuah dewan yang bernama collegium fetialum yang ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang terkait secara khusus dengan upacara-upacara keagamaan dan relasi-relasi internasional. Sedangkan tugas-tugas fetiales dalam kaitannya dengan pernyataan perang, merekalah yang menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bangsa Romawi atau tidak.

e. Eropa Barat
Pada masa ini, Eropa mengalami masa-masa chaotic (kacau-balau) sehingga tidak memungkinkannya kebutuhan perangkat Hukum Internasional. Selain itu, Selain itu, Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, dan sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.

f. Cina
Pencapaian yang menarik dari bangsa Cina adalah upaya pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu, yang dianggap telah sebanding dengan konsepsi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada masa modern.

g. Islam
Pada periode ini umat islam terbagi-terbagi pada beberapa Negara dan bangsa, sehingga tidak dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang dapat mewakili semua kelompok yang terdapat didalamya. Beberapa sarjana memiliki anggapan bahwa hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif warisan Eropa. Sehingga mereka berkesimpulan akan terdapatnya pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-peradaban lain, yang diantaranya adalah peradaban Islam, yang pada saat itu merupakan kekuatan ekonomi di atas bangsa Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum internasional Eropa dinyatakan oleh beberapa sejarawan Eropa diantaranya Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit.

Hukum internasional islam telah muncul jauh sebelum hukum internasional barat ada. Di zaman Rasulullah, praktek internasional telah diberlakukan dengan seadil-adilnya. Rasulullah telah membuat pedoman hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dalam perang dan damai. Beliau juga telah mengadakan beberapa perjanjian-perjanjian internasional dengan bangsa-bangsa lain.
Pakar Hukum internasional Islam modern Madjid Khaduduri mengakui, Islam memiliki karakter agresif dengan lebih mengarah pada penaklukkan dibandingkan kristen, sebagaimana yg tercantum dalam Wasiat Lama ataupun Baru. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Islam memiliki kelebihan dalam hal pengaturan mengenai hukum perang yang lebih komprehensif, yang dibuktikan dengan pengecualian wanita, anak-anak, orang tua, binatang dan lingkungan sebagai kategori non-combatans, sebagaimana dinyatakan dalam pidato Abu Bakar ra, ataupun praktek pertukaran tawanan secara besar-besaran yang diduga bermula dari Khalifah Harun Al-Rasyid.

Dar al-islam (Negara Islam) dan Dar al-harb (Negara Non-Islam).

Sebuah perbedaan penting dibuat dalam teologi Islam adalah antara dar al-harb dan dar al-islam. Sederhananya, dar al-harb (wilayah perang atau kekacauan) adalah nama untuk daerah di mana Islam tidak mendominasi, dan kehendak Ilahi tidak diamati, dan terjadi perselisihan norma didalamnya. Sebaliknya, dar al-islam (wilayah damai) adalah suatu wilayah di mana Islam mendominasi, dan mayoritas tunduk dan taat pada Ilahi, dan di mana perdamaian dan ketenangan menjadi tujuan pemerintahannya.

Pada awalnya, perbedaan ini tidak muncul secara sederhana, namun pada satu hal, divisi ini dianggap sebagai hukum daripada teologis. Dar al-harb tidak terlepas dari dar al-islam, ada hal-hal dimana popularitas muslim bukanlah faktor utama sebagai identitas wilayah, akan tetapi dipengaruhi oleh sistem pemerintah yang memiliki kendali penting dalam Negara. Sebuah bangsa berpenduduk mayoritas Muslim yang tidak diperintah oleh hukum Islam dapat disebut sebagai dar al-harb, sementara bangsa minoritas Muslim yang diperintah oleh hukum Islam dapat memenuhi syarat sebagai bagian dari dar al-islam.

Islam adalah agama yang lebih terfokus pada perilaku yang tepat (ortopraksi) daripada keyakinan dan iman (ortodoksi). Dalam islam, iman seseorang bisa bertambah dan bisa berkurang sesuai dengan prilaku dan usaha yg dilakukannya. Keimanan seseorang akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dari sini kita dapat simpulkan ketika dar al-islam benar-benar berdiri, maka hal ini akan berpengaruh pada semakin meningkatnya keimanan seseorang (penduduknya), karena prilaku masyarakat yang baik dan benar menjadi asas terbentuknya kehidupan yg harmonis, aman dan damai.

Islam juga merupakan agama yang tidak pernah memiliki ideologi atau tempat teoritis pemisahan antara politik dan bidang agama. Dalam Islam ortodoks, kedua istilah ini merupakan suatu fundamental dan harus dihubungkan. Itu sebabnya dalam divisi ini, antara dar al-harb dan dar al-islam lebih didefinisikan sebagai kontrol politik daripada popularitas agama.

Sifat dar al-harb yang secara harfiah berarti "wilayah perang," perlu dijelaskan sedikit lebih detail. Untuk satu hal ini, diidentifikasikan sebagai daerah kekacauan yang didasarkan pada premis (dasar pikiran), bahwa perselisihan dan konflik merupakan konsekuensi dari orang yg gagal mengikuti kehendak Tuhan. Secara teori, setidaknya, ketika semua orang konsisten dalam ketaatan mereka kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah, maka itu akan berdampak pada terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis antara satu dengan yg lainnya.

Hubungan Dar al-Islam dan Dar al-harb:

Negara islam (Daulah al-Islamiyah) merupakan suatu negara yg berdiri berasaskan pada satu keyakinan (‘aqidah/iman), dan para penduduknya bersatu dalam kesatuan suku bangsa yaitu satu ummat (ummatun wahidah) yang tidak dibedakan atas dasar jenis, bahasa, adat dan budaya ataupun oleh faktor perbedaan lainnya. Mereka adalah saudara sebagaimana dalam firman Allah SWT. “Sesungguhnya Orang-orang mu’min itu adalah saudara” dan dalam ayat yang lainya, “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Al-Anbiya; 92).

Hubungan Negara Islam dengan Negara-negara lainnya bisa dibedakan dalam dua kondisi; kondisi perang dan kondisi damai.

Kondisi Perang:

Ketika Negara islam berada dalam kondisi diserang oleh Negara-negara musuh, maka perang hukumnya wajib, sebagaimana dalam firman Allah: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S Al Mumtahanah: 8 dan 9)

Banyak di temui dalam sejarah: orang-orang kafir yang membantu kaum muslimin dalam perjuangan Islam seperti dalam penaklukan Spanyol dan penaklukan Mesir. Mereka mengusir orang-orang Romawi dengan bantuan orang Qibti. Banyak pula di antara orang-orang kafir yang diangkat sebagai pegawai pada kantor-kantor Pemerintah di masa Umar bin Khattab dan pada masa kerajaan Umawiyah dan `Abbasiah, bahkan ada di antara mereka yang diangkat menjadi duta mewakili pemerintahan Islam. Dari sini menggambarkan bahwa islam menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara penduduk-penduduknya (Muslim dan non-Muslim). Namun, apabila orang-orang kafir memerangi dan mengsusir penduduk Muslim dari negerinya, maka perang menjadi wajib hukumnya.

Kondisi Damai:

Sedangkan ketika dalam kondisi damai, telah kita jelaskan sebelumnya bahwa islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan tanpa memandang perbedaan ras, suku, jenis, adat dan budaya. Dalam kondisi ini, hubungan antara Negara islam dengan Negara-negara lain (non-islam) sebatas pada menjalin hubungan kerjasama (perdamaian) dan perjanjian-perjanjian baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll. Sesungguhnya Islam cenderung pada kedamaian sesuai dengan makna harfiyahnya ‘Islam=damai’, bukan perang/memusuhi, dan islam melarang seorang muslim untuk membunuh orang lain hanya karena beda keyakinan (agama) atau karena kesalahan yg dilanggar olehnya, tetapi islam memberikan wewenang untuk melawan apabila diserang, dan perang dalam islam memiliki dua tujuan utama, yaitu: menangkis agresi (permusuhan/perlawanan) dan melindungi serta mengokohkan risalah da’wah al-islamiyah.

Asas dari pendapat ini adalah firman Allah SWT. “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Q.S Al Mumtahanah: 8), dan diayat yang lainnya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah; 190-193).

Islam melarang (dalam perang) membunuh wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, biarawan, dan orang-orang yang cacat (buta, dll), karena mereka bukan dari golongan prajurit perang.

Dewasa ini, dan yang masih hangat-hangatnya saat ini adalah isu terorisme yg ditujukan pada gerakan dan organisasi-organisasi islam oleh dunia internasional khususnya wilayah barat. Pada pembahasan kali ini tidak akan kami jelaskan secara detail, karena akan keluar pada topik kajian kita saat ini. Namun, sedikit kami tambahkan, bahwa ideologi yang menghalalkan segala cara untuk memerangi dan membunuh orang-orang kafir adalah tidak benar. Orang-orang kafir dalam hubungannya dengan islam terbagi menjadi empat golongan:
a. Ahlu Dzimmah (penduduk non-muslim yang bermukim di Negara islam),
b. al-Musta’min (orang asing yang dapat perlindungan, yang masuk dalam Negara islam untuk keperluan wisata, study, dll dan dengan waktu yg terbatas),
c. al-Mu’ahhad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati),
d. al-harbi (orang asing yang masuk ke Negara islam dengan tujuan memusuhi dan memerangi dan merampas hak-hak orang-orang muslim).

Untuk golongan yang pertama, sebelumnya telah dijelaskan bagaimana islam memberikan tempat dan wilyah kepada orang-orang non-muslim dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai penduduk Negara islam. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yg sama dan adil baik dalam kehidupan pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial. Rasululullah SAW. Bersabdah: “barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah maka akulah lawannya, dan siapa-siapa yang menjadi lawanku maka dihari kiamat dia akan tetap menjadi lawanku” al-khatib al-jami’ 2/269.

Sedangkan untuk golongan yang kedua al-musta’min, hubungannya dapat kita jelaskan dengan ‘aqdul amman (akad keamanan), yaitu komitmen masing-masing untuk saling menjaga keamanan dan keselamatan dari gangguan/bahaya, dan komitmen untuk tidak menciptakan kerusakan dan bahaya. Allah SWT. berfirman dalam hal ini: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)

Untuk golongan yang ketiga yaitu Al-Mu’ahhad, Rasulullah SAW bersabdah: “Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Sedangkan golongan yang terakhir adalah golongan yang wajib untuk diperangi adalah golangan al-harbi, sebagaimana dalam firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah 190-193 seperti yang telah tertulis sebelumnya “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu….”. Mereka inilah yang menjadi musuh islam yang sesungguhnya, yang hendak memerangi, mengusir dan membuat kerusakan dimuka bumi. Dan masih banyak dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang menganjurkan untuk memerangi orang-orang kafir (al-harbi).

B. Permulaan Hukum Internasional Klasik

Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci menjadi kota mandiri, kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa untuk pertama kalinya menyatakan kebutuhannya akan aturan perilaku antara masyarakat internasional secara besar-besaran. Sebagian besar Negara-negara Eropa meruju’ pada kode Justinian hukum dari Kekaisaran Romawi dan hukum kanon Gereja Katolik untuk mencari inspirasi.

Perdagangan internasional adalah katalis nyata untuk tujuan pengembangan aturan-aturan perilaku antar negara. Tanpa aturan dan kode etik, ada sedikit hal yang menjamin perda-gangan dan melindungi para pedagang asing dari tindakan-tindakan yang mengancam. Kepentingan ekonomi inilah yang mendorong terjadinya evolusi kebiasaan internasional untuk mengatur perdagangan luar negeri, dan yang paling penting adalah aturan dan kebiasaan hukum maritim.

Seperti halnya dalam perdagangan internasional, eksplorasi dan peperangan menjadi faktor yang menghalang distribusi kebutuhan untuk umum dan terealisasinya praktek-praktek kebiasaan internasional. Di abad ke-13 M, muncul perhimpunan Liga Hanseatik untuk memperkuat kesehatan ekonomi dari kota-kota Jerman Utara yang bersatu. Dari sini perdagangan internasional berkembang pesat, dan Hamburg menjadi pelabuhan utama dalam perdagangan antara Rusia dan Flandria dengan posisinya sebagai penguasa dan penjaga sungai Elbe. Kota di Italia menjadi pengatur diplomatik negara-negara berkembang, ketika mereka mulai mengirim duta besar modal asing. Perjanjian-perjanjian antara pemerintah dimaksudkan untuk mengikat dan menjadi alat yang berguna untuk melindungi perdagangan. Kengerian Perang Tiga Puluh Tahun Sementara itu melahirkan kecaman untuk menciptakan peraturan-peraturan tempur yang akan melindungi masyarakat sipil.

Permikiran Fransisco Vittoria (1480-1546).

Fransisco Vittoria adalah seorang Biarawan Dominikan berkebangsaan Spanyol, menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Ia beranggapan bahwa Negara dalam tingkah lakunya seperti individu, tidak boleh bertindak sesuka hati (Ius Intergentes), akan tetapi Negara memerlukan aturan dalam menjalankan hubungan internasional. Dengan demikian, hukum bangsa-bangsa yang ia namakan ius intergentes tidak hanya terbatas pada dunia kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh umat manusia.

Pemikiran Hugo Grotius (1583-1645)

Praktek internasional, adat-istiadat, peraturan dan perjanjian berkembang biak sampai pada titik kerumitan. Beberapa sarjana mencoba mengkompilasi hingga terlahir risalah yang terorganisir. Yang Paling penting diantaranya adalah Hugo Grotius, risalah De Jure Belli Ac Pacis Libri Tres (hukum perang dan damai) tahun 1625, yang dianggap sebagai titik awal bagi perkembangan hukum internasional modern. Sebelum Hugo Grotius, kebanyakan para pemikir Eropa beranggapan bahwa hukum diperlakukan sebagai sesuatu yang independen dari manusia, dengan bersandarkan pada hukum alam.

Pemikiran Grotius tidak begitu berbeda dengan yang lainnya kecuali dalam satu hal penting, Pemikir-pemikir sebelumnya percaya bahwa hukum alam itu diberlakukan oleh dewa, sedangkan Grotius percaya bahwa hukum alam berasal dari universal dan bersifat umum untuk semua orang.

Perspektif rasionalis ini memungkinkan Grotius untuk menempatkan beberapa hukum yang mendasari prinsip-prinsip rasional. Hukum tidak dipaksakan dari atas, tetapi berasal dari prinsip-prinsip, termasuk prinsip-prinsip dasar aksioma (yang tetap atau dianggap terbukti dengan sendirinya) dan restitusi (hal yang merugikan diperlukan yang lain). Kedua prinsip ini telah menjadi dasar bagi sebagian besar hukum internasional berikutnya. Selain dari prinsip-prinsip hukum alam, Grotius juga menghubungkannya dengan kebiasaan internasional, peraturan tentang apa yang "seharusnya" dilakukan. Hal ini merupakan pendekatan hukum internasional positif (al-madrosah al-maudu’iyah lil qonun al-dauli) yang diperkuat dari waktu ke waktu.

Perjanjian Westphalia 1648

Hukum Internasional modern menjadi suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional, yang lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat Internasional yang didasarkan pada negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.

Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional, sebabnya adalah :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik sebagai dampak perang di Eropa.
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri usaha Kaisar Romawi suci untuk berkuasa selama-lamanya.
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
4. Kemerdekaan negara Netherland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.

Selain itu, Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan), maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.

Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan adalah:
1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
7. Lunturnya anggapan perang yang berkaitan dengan segi-segi keagamaan, beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.

Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia ini diperteguh dalam Perjanjian Utrech, yaitu perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1713 yang membantu mengakhiri Perang Suksesi Spanyol.

C. Hukum Internasional Modern:

Dalam Hukum internasional modern, keputusan pengadilan dan perjanjian/traktat lebih berpengaruh dari pada pendapat ahli hukum. Ada beberapa sumber-sumber hukum internasional yang turut mempengaruhi lahirnya hukum internasional tertulis. Secara karakteristik, sumber hukum internasional dapat dibagi menjadi dua; Pertama adalah sumber formil (al-mashadir al-syakliyah / formal source), kedua adalah sumber materil (al-mashodir al-madiyah / material source). Secara singkat, sumber formil dapat diartikan sebagai segala proses prosedural yang melegalisi hukum internasional secara nyata. Sedangkan sumber materil adalah segala sesuatu di mana hukum internasional bersumber dari padanya dan menjadi asas. Beberapa sumber valid yang dapat dijadikan sandaran hukum internasional adalah sebagai berikut:

a. Adat istiadat/kebiasaan Internasional (al-'urf al-dauli/International Custom)

Asas kebiasaan merupakan suatu sumber hukum internasional yang tersepakati keabsahannya dalam mendasari peraturan-peraturan antar negara. Para pakar hukum internasional bersepakat bahwa perilaku kebiasaan internasional mempunyai dua elemen. Pertama, adalah elemen psikologikal (al-'unshur al-ma'nawi) yaitu, tercapainya suatu pengakuan dunia internasional akan legalitas suatu aksi kebiasaan tertentu dan tumbuhnya komitmen untuk menghormatinya. Kedua, adalah elemen materil (al-'unshur al-maadi), elemen kedua ini akan terpenuhi dalam suatu perilaku tertentu bila di dalamnya terdapat dan terpenuhinya beberapa sub elemen sebagai berikut:
1. Kecukupan Temporalistis (Fatroh Zamaniah Mu'ayyanah/Duration of Practice)
2. Generalitis ('Umumiyah al-Suluk/ Extend of Practice)
3. Keterpaduan (Ittisaqi/Uniform)

b. Perjanjian Internasional (Mu'ahadat/Treaties)

Perjanjian internasional adalah suatu kesepakatan yang tunduk di bawah peraturan hukum internasional, baik berupa kesepakatan umum ataupun khusus yang melibatkan dua Negara atau lebih. Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern adalah konsep "persetujuan/perjanjian". Sebelum Perang Dunia II, negara tidak akan dipertimbangkan untuk terikat dengan aturan tertentu, kecuali setelah adanya persetujuan resmi atau sudah menjadi hal yang lazim untuk mematuhinya.

Perjanjian modern ditafsirkan sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian. Konvensi ini sangat diterima secara luas, bahkan bangsa yang tidak berpihakpun mengikuti konvensi ini. Dalam konvensi ini, aturan yang paling penting dan masuk akal adalah bahwa suatu perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan makna polos bahasanya, dengan konteks tujuan dan dengan itikad yg baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya pertikaian dan pertengkaran seputar penafsiran perjanjian atau dalam istilahnya nit-picking.

Dalam dunia modern, perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang lebih penting dari yang lainnya. Bahkan negara yang paling kuat bergantung padanya dan berusaha untuk memenuhinya. Dan apabila mengabaikannya maka kerugian adalah konsikuensinya.

c. Prinsip Hukum Umum (Al Mabadi' al Ammah Lil Qonun/General Principles of Laws)

Meskipun bukan merupakan sumber pokok hukum internasional sebagaimana dua sumber yang telah disebutkan di atas, sumber yang ketiga ini juga diakui publik internasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Walaupun devinisi tentang sumber hukum ini belum mencapai kata sepakat, setidaknya pengertian yang biasa dipakai dalam mengartikan sumber hukum ini adalah prinsip-prinsp umum yang diakui legalitas dan kekuatan hukumnya oleh semua bangsa-bangsa masyarakat internasional, sebagai contohnya adalah tentang prinsip tanggungjawab atas tindakan yang merugikan pihak lain dan semacamnya.

d. Keputusan Hukum Internasional (Ahkamu al-Qodlo al Dauli/ Judicial Decisions)

Sumber ke empat ini sebenarnya adalah sumber hukum internasioanal yang bersifat cabang/sub (al mashdar al ihtiyathi / subsidiang source), sehingga meskipun keputusan ini hakikatnya hanya berlaku bagi Negara-negara yang menjadi subyek penghakiman, namun keputusan yang diambil atas Negara tersebut bisa dijadikan sebagai argumentasi pada suatu kasus yang sama pada Negara yang berbeda.

D. Hukum Internasional Islam

Pakar dan peneliti hukum internasional modern menjadikan buku Grotius sebagai dasar ilmu hukum internasional, padahal buku tersebut baru muncul pada abad ke-17 M atau pada tahun 1625. Sebaliknya, ulama Islam dengan bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis telah menulis buku mengenai hukum internasional sekitar 1.000 tahun sebelumnya. Yaitu, dimulai dengan penulisan Zaid bin Ali (wafat tahun 122 H). Diakui bahwa Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H) memberikan ceramah dengan judul Hukum Internasional Islam, Beliau termasuk orang pertama yang menggunakan istilah syiar untuk hukum tersebut, hal ini dilanjutkan oleh sahabat dan muridnya, Muhammad bin Hassan al-Shaibani (wafat tahun 189 H), dengan menulis dua buku Kitab al-Siyar al-Saghir dan Kitab al-Siyar al-Kabir. Imam Malik (wafat tahun 189 H) juga mengkhususkan beberapa bab mengenai hukum internasional dalam kitabnya al-Muwattha.

Dalam konteks internasional, hubungan antara negara diatur oleh satu hukum internasional yang definisinya adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara negara serta menentukan hak dan kewajiban bagi setiap negara dalam keadaan damai atau perang. Maka peraturan yang dijadikan sebagai hukum internasional semestinya diawasi dan dipegang oleh suatu badan pelaksana (eksekutif) yang mempunyai wewenang agar semua negara mematuhinya.

Konsep Hukum Internasional Islam adalah berdasarkan kepada nilai (value), bukan kepentingan (interest) seperti yang dipraktekkan oleh Barat sepanjang sejarah. Barat menempatkan kekuatan sebagai fokus hubungan internasional. Hukum internasional, menurut Barat adalah hukum negara kuat dalam memaksakan kehendaknya. Kita lihat saja apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Irak, Sudan, dan Iran. Semua keputusan yang tidak memihak kepentingan Barat pasti ditolak dan semua keputusan yang memihak kepada kepentingan mereka akan didukung walaupun diperlukan satu adegan diplomatik dalam prosesnya.

Islam secara umum, Dr. M. Abu Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin, Yaitu :
1. Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk terhormat. Ia sebagai khalifah di muka bumi.
2. Manusia sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan saja oleh proses teori evolusi historis dari satu keturunan Nabi Adam as, melainkan juga oleh sifat kemudian yang universal.
3. Prinsip kerjasama kemanusiaan (ta’awun insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
4. Prinsip toleransi (tharsomah) dan tidak merendahkan pihak lain.
5. Adanya kemerdekaan (hurriyah/istiqlal). Kemerdekaan menjadi sangat penting sebab merupakan akar pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.
6. Akhlak yang mulia dan keadilan.
7. Perlakuan yang sama dan anti diskriminasi.
8. Pemenuhan atas janji.
9. Islam menyeru kepada perdamaian, karena itu harus mematuhi kesepakatan merupakan kewajiban hukum dan agama.
10. Prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan.

Ajaran Islam adalah ajaran Ilahi yang adil karena dibuat oleh Sang Maha Pencipta. Ajaran Islam bukan untuk kelompok tertentu tetapi untuk semua kelompok (rahmatan lil ‘alamin). Rasulullah melaksanakan hukum internasional dengan seadil-adilnya dan menyuruh umatnya untuk mengikuti jejak Baginda. Beliau membuat pedoman hubungan antara negara Islam dan non-Islam dalam perang dan damai (-seperti yang telah kita jelaskan sebelumnya-). Ketika perang tidak boleh membunuh wanita, orang tua, anak-anak, binatang, membakar tanaman, dan merusak lingkungan. Adab dalam perang wajib dipatuhi oleh semua pejuang Islam, jika tidak maka dia termasuk musuh Nabi.

Pada masa damai, perjanjian dengan negara non-Islam harus dipatuhi dan dijunjung tinggi dengan menjaga dan melaksanakan semua aturan main. Abu Rafi adalah duta orang Quraisy dalam suatu perjanjian dengan Nabi. Tetapi setelah menandatangani perjanjian, dia ingin memeluk Islam, Nabi pun melarangnya dan memberi saran apabila dia ingin masuk Islam, dia mesti menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu dan kembali ke Makkah, setelah itu baru kembali lagi ke Madinah sebagai orang biasa bukan utusan Quraisy. Wahshy, budak yang membunuh paman Rasulullah, yaitu Hamzah dalam Perang Uhud, adalah tempat Rasulullah pernah bersumpah untuk membalas dendam, tapi kemudian diurungkan niatnya tersebut kerena turun sebuah ayat Alquran mengenainya. Dan ketika Wahsyi diangkat menjadi utusan Habsyah, Beliau menghormatinya sebagai utusan. Nabi juga mengangkat Amr ibn Umaysh al-Damiri, seorang non-Islam sebagai duta Rasulullah di negara Habsyah. Nabi tidak membunuh utusan Musailamah al-Kazzab yang sudah jelas murtad karena dia dalam kapasitasnya sebagai utusan diplomatik. Semua contoh ini membuktikan betapa mulianya Nabi dan ajaran Islam dalam kaitannya dengan hukum internasional.

Penyebaran dan kemuliaan ilmu Islam sampai ke Eropa melalui keagungan pemerintahan Islam di Andalus. Penyebaran Islam ke Eropa mempengaruhi perkembangan hukum internasional. Kenyataan ini terbukti dengan fakta sejarah, ketika raja Eropa berduyun-duyun mempelajari ilmu pengetahuan dari orang Islam, diantara mereka adalah Roger I (Raja Sisilia), Raja Alphonse (Raja Castila), dan Raja Philip (Raja Inggris). Raja Federick II, yaitu Raja Jerman yang memanfaatkan ilmu Islam, sehingga mereka berhasil menerapkannya ke dalam kehidupan rakyatnya. Raja Frederick II, orang yang pertama memperkenalkan pemerintah yang dilembagakan di Eropa, contohnya, mendirikan sebuah universitas di Napoli pada tahun 1224, mengikuti bentuk dan susunan universitas di Cordova.

Dalam salah satu surat kabar Indonesia Republika tanggal 27 Juni 2009, memberitakan bahwa ajaran Islam diakui telah memberi pengaruh dan memperkaya hukum-hukum pengungsi internasional modern. Sebuah studi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa pengaruh dan sumbangan Islam bagi hukum internasional tentang pengungsi lebih besar dibandingkan sumber-sumber lainnya. Pimpinan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Antonio Guterres, dalam kata sambutan hasil studi yang dilakukan organisasi internasional itu mengatakan; ''Komunitas internasional harus menghargai dan mengakui kontribusi ajaran Islam yang mengajarkan kebaikan dan keramahtamahan bagi hukum modern,''

Kontribusi lain yang lebih praktis, yaitu tumbuhnya negara-negara muslim sekitar pertengahan abad ke-20-an, terutama sejak dideklarasikannya sepuluh Dasasila Bandung, hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Banyak negara di belahan benua Asia dan Afrika yang pada akhirnya melepaskan diri dari penjajahan dan merdeka. Seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yg memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan negara Mesir beserta Negara-negara Arab lainnya menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia setelah dijajah oleh Belanda. Dengan demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi Republik Indonesia. Dua puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1973, negara-negara Islam sepakat untuk mendirikan Organisasi dunia yang dinamakan Organisasi Konferensi Islam Internasional atau OKI. Soekarno dan Gamal Abdul Natsir (Presiden Mesir) telah memainkan peranan penting dalam pembentukan OKI tersebut.

Kesimpulan

Dari pembahasan-pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, hukum internasional adalah suatu kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan internasional antara para subyek hukum internasional. Hukum internasional telah muncul sejak berabad-abad lamanya, namun bukan berarti kajian Hukum internasional berumur tua dan bersifat absolut. Hal ini disebabkan karena hukum internasional telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia internasional.

Para pakar hukum internasional sepakat bahwa sejarah merupakan salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari suatu norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu kebiasaan / adat istiadat (custom/al-‘urf). Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa periode evolusi, yaitu; periode kuno, klasik dan modern.

Hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif adalah warisan Eropa, akan tetapi ada pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-peradaban lain, yang diantaranya adalah peradaban Islam. Ajaran islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis telah menjadi pedoman penting munculnya kaidah dan prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin. Wallahu A'lam......


*sumber-sumber referensi:
diktat kuliah al-qonun al dauli/international law
diktat kuliah al-munadzamat dauliyah / internationals organization
Pengantar Hukum Internasional
Fikrotul Islam fil 'alaqat dauliyah
Makalah-makalah
Surat Kabar Republika
Wikipedia

(makalah ini untuk dipresentasekan pada acara diskusi FSQ hari selasa tanggal 2 Maret 2010, di Masakin Usman Kairo-Egypt)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:40 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home