UNSUR-UNSUR NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL


Oleh: Muhammad Sulthon Aziz

Negara merupakan perwujudan penting dalam pembahasan Hukum Internasional, maka dari itu memungkinkan kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kata "Negara" dalam konteks hukum internasional.

Telah menjadi sebuah kesepakatan bersama dalam dunia internasional, bahwa Negara merupakan: "sekumpulan masyarakat, yang hidup dalam sebuah wilayah tertentu dan tunduk pada kekuasaan yang mengatur di dalamnya, serta memiliki kedaulatan terhadap wilayah dan masyarakatnya"

Berdasarkan pengertian diatas dan telah menjadi kesepakatan internasional, bahwa Negara memiliki unsur-unsur penting yang harus dipenuhi untuk agar bisa disebut sebagai Negara atas kesatuan wilayah dan politik. Diantaranya adalah kesatuan wilayah, masyarakat, kekuasaan. Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, maka sebuah kesatuan masyarakat tersebut bisa disebut sebagai Negara dan tunduk kepada hukum internasional.

I. Bangsa/Rakyat(Sya’ab/Society)

Masyarakat merupakan unsur utama dalam pembentukan Negara, maka tidak bisa disebut Negara apabila tidak terpenuhinya unsur masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat secara umum di sini adalah sekumpulan individu yang hidup dalah wilayah tertentu, tanpa melihat asal-muasal serta bahasa yang digunakan sebagai komunikasi ataupun keyakinan agama serta adat-yang dijalankan, dah tidak diyaratkan pula adanya ikatan asal muasal, budaya, agama dan adat-istiadat, maka dari sinilah yang membedakan antara "Negara" dan "Umat/rakyat."

Rakyat (people) yang menetap di suatu wilayah tertentu merupakan unsur penting dalam berdirinya suatu negara, karena tidak mungkin suatu negara dapat berdiri dan mustahil untuk menyatakan negara tanpa adanya rakyat yang tetap. Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara. Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan sebjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara.

Persoalan kewarganegaraan merupakan sesuatu yang penting dipandang dari sudut hukum internasional. Oleh karena itu di zaman modern sekarang ini, perkembangan dinamika hubungan antarnegara sangat terbuka, dan hubungan tersebut tidaklah dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam setiap wilayah negara akan selalu ada warga negara sendiri dan ada waraga negara asing, yang kesemua itu bisa disebut penduduk. Artinya tidak semua penduduk suatu negara merupakan warga negara, karena mungkin saja dia adalah orang asing. Dengan demikian, penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu warga negara dan warga negara asing.

Seiring dengan berkembangnya hukum internasional, maka disyaratkan adanya sebuah keterikatan nasionalisme dan kekuasan, yang mengatur hubungan antar masyarakat dalam negara, baik terhadap warga negara tersebut maupun antara warga negara asing maupun badan hukum. Dalam pembahasan rakyat atau warga negara dapat dibagi kita klasifikasikan menjadi dua pembahasan, pertama: status kwarga negaraan, kedua: status kewarganegaraan asing.

1. Status Kewarganegaraan

Dalam prinsip dasar kewarganegaraan kita mengenal adanya dua asas pokok kewarganegaraan yaitu: asas ius soli dan asas ius singuinis. Dari kedua asas pokok tersebut asas ius soli ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat kelahirannya. Untuk memudahkan penyebutan asas tersebut dapat juga disebut asas daerah kelahiran. Misalnya seseorang dapat dianggap bersetatus sebagai negara Amerika, karena ia dilahirkan di negara Amerika.

Sedangkan asas ius singuinis adalah kewarganegaraan yang ditentukan berdasarkan tempat di mana orang tuanya lahir, atau bisa desebut sebagai asas keturunan atau asas daerah. menurut pinsip ius singuinis ini, kwarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang adalah warga negara Indonesia, karena orangtuanya adalah warga negara Indonesia.

Pada era yang modern sekarang ini, dimana hubungan antar negara berkembang semakin terbuka dan mudah, dengan sarana transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian majunya, menjadi tidak sulit bagi setiap orang untuk berpergian ke mana aja. Oleh karena itu, banyak terjadi seseorang warga negara misalnya A, berdomisili di negara B, dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak dinegara tempat dia berdomisili. Dalam kasus yang demikian ini, jika diterapkan asas ius soli, maka akibatnya anak tersebut menjadi warganegara tempat dia berdomisili , dan putuslah hubungan dengan negara asal orang tuanya. Karena asalan alas an tersebut maka banyak negara yang menerapkan asas uis soli merubahnya menjadi menganut asas is singuinis.
Dianutnya asas ius singuinis ini terasa sekali manfaatnya bagi negara-negara yang berdampingan dengan negara lain, seperti negara-negara eropa kontinental. Di negara-negara ini, setiap orang dapat dengan mudah pberpindah pindah tempat tinggal kapan saja menutut kebutuhan. Dengan asas ius singuinis, anak-anak yang lahir di negara lain akan tetap menjadi wara negara dari negara asal orang tuanya. hubungan antarnegara dan warga negara negara yang baru lahir tidak terputus selama orang tuanya masih menganut kewarganegaraan dari negara asalnya. Sebaliknya, bagi negara negara yang sebagian penduduknya berasal dari kaum imigran, seperti Amerika serikat, Australia, untuk tahap pertaman tentu terasa lebih menguntungkan apabila menganut asas ius soli, bukan asas ius sguinis. Dengan lahirnya anak-anak darii para imigran dari negara tersebut akan menjadi putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Oleh karena itu, Amerika serikat menganut asal ius soli ini, sehingga banyak mahasiswa ataupun pekerja professional yang berdomisili di Amerika Serikat, apabila melahirkan anak, maka anaknya otomatis mendapatkan status sebagai warga negara Amerika Serikat.
Sehubungan dengan kedua asas pokok dalam perolehan kewarganegaraan tersebut, setiap negara diberikan kebebasan memilih asas mana yang hendak dipakai dalam rangkan kebijakan terhadapo kewarganegaraannya untuk menentukan siapa saja yang diterima segabai warga negara dan siapa saja yang bukan warga negara. Sehingga tidak semua negara menganggap bahwa asas yang satu lebih baik dari asas yang lain. Dapat saja terjadi, di suatu negara dinilai yang lebih menguntungkan mengunakan asas ius soli, tetap negara yang lain justru yang lebih menguntungkan adalah asas ius sanguinis. Dan bisa saja dalam perkembanganya dikemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman diberbagai negara bahwa kedua asas tersebut haus diubah dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan dwi kewarganegaraan (bipatride) atau sebaliknya sama sekali bersetatus tanpa kewarganegaraan (apatride).
Namun demikian, dalam praktek, ada pula negara yang justru menganut kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan kepentingan negara yang bersangkutan. Misalnya, india, Pakistan termasuk negara yang sangat menikmati kebijakan yang mereka terapkan dengan sistim dwi-kewarganegaraan. Sistim ini yang terakhir inilah yang biasa dinamakan asas campuran. Asas yang dipakai bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bepatride (dwi-kwarganegaraan) atau apatride (tanpa kewarga negaraan). Dalam hal demikian, yang ditpleransi biasanya adalaah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi-kewarganegaraan.

A. Bepatride (Dwi-Kewarganegaraan)

Karena perselisihan undang-undang kewarganegaraan dan kurangnnya keseragaman dari undang-undang tersebut, maka sering timbul bahwa individu-individu tertentu memiliki dwi-kewarganegaran . misalnya yang sering terjadi adalah kasus seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sama kewarganegaraannya, yang tetap dapat mempertahankan kewarganegaraanya itu menurut hukum negara asalnya dan memperoleh kewarganegaraan suaminya menurut hukum negara suaminya itu. Dwi-kewarganegaraan dapa muncul juga dari kelahiran di wilayah suatu negara, yang bukan kewarganegaraan orangtuanya, meskipun biasanya seseorang yang belum dewasa diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraan yang satu atau yang lain setelah mencapai dewasanya. Hak untuk memilih kewarganegaraan yang satu atau yang lain, dapat diberikan oleh tatkrat.
Pasal 3 samapai 6 The Hague Convention on the Conflict of Nationality Laws tahun 1930 memuat beberapa kesulitan yang timbul dari kewarganegaraan ganda. Yang sangat pentingasalah pasal 5; yang menentukan bahwa dalam sebuah negara ketika seseorang yang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan akan diperlakukan seperti ia hanya mamiliki satu kewarganegaraan dan negara tersebut akan mengakui satu, yaitu:
a. Kewarganegaraan dari negara dimana ia biasa tinggal dan tempat tinggal utama, atau
b. Kewarganegaraan dari negara dengan mana dalam hal-hal tertentu ia tampaknya berhubungan erat.

B. Apatride (Tanpa Kewarganegaraan)

Seperti yang diuraikan diatas, setiap negara bebas menentukan asas mana yang hendak dipakai. Oleh karena itu memungkinkan terjadi pertentangan hukum antara negara yang satu dengan yang lain, yang bisa menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan. Misalnya, john dan mary adalah suami istri yang berkewarganegaraan Amerika yang menganut asas ius soli. Keduanya tinggal di Indonesia yang menganut asas ius sanguinis, dahn waktu tinggal di Indonesia, mery melahirkan seorang anak yang bernama peter. Menurut hukum Amerika, peter berkewarganegaran Indonesia, tetapi menurut hukum Indonesia, peter berkewarganegaraan Amerika Serikat, bukan Indonesia. Keadaan tersebut dapat menyebabkan peter tidak memiliki status kerarga negaraan.
Menurut praktek negara-negara, kewarganegaraan dapat hilang karena:
1. Pelepasan, atau penolakan, misalnya, melalui akta yang ditandatangani dan didaftarkan pada konsulat, atau melalui pernyataan menjadi warga negara asing jika orang tersebut telah cukup umur.
2. Pencabutan, misalnya, berdasarkan undang-undang denasionalisasi khusus yang dikeluarkan oleh negara asal kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
3. Bertempat tinggal lama diluar negri.
Sejauh menyangkut hukum internasional dan hukum nasional,ada suatu praduga kehilangan kewarganegaraan yang telah dimiliki untuk waktu tertentudan harus diberikan beban pembuktian yang kuatsebelum kehilangan tersebut diakui. Misalnya,munurut pasal 7 Convention on the Conflict of Nationality Laws tahun 1930, diberikannya surat perintah pengasingan semata-mata tidak harus kehilangan kewarganegaraan yang mengeluarkan surat perintah tersebut. Menurut huku ingris, individu yang berusaha untk menghapus kewarganegaraannya dari suatu negara tidak cukup hanya menyakinkan pengadilan dengan bukti positif tentang dakta hukum nasional menurut mana orang tersebut dianggap kehilangan kewarganegaranya, melainkan juga harus membuktikan bahwa kewarganegaraanya itu hapus untuk segala tujuan dan dengan segala yang terkait, dan setiap kemungkinan bahwa hak untuk perlindungan atau kesempatan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan yang masih ada aka mencegah tanggung jawab yang dilepaskan itu.

C. Asas Campuran dalam Kewarganegaraan

Seperti yang di uraikan diatas, asas yag dikenal dalam kwarganegaraan asalah ius soli dan ius sanguinis. Pada umunya, satu negara menganut salah satu dari kedua asa ini. Akan tetap karena semua negara tidak menganut asas yang sama, maka dapat timbul perbedaan yang mengakibatkan terjadinya apatride atau bepatride. Keadaan tanpa kerarganegaraan (apatride) jelas harus dihindari dan diatasi. Namun, kadang-kadang asa negara yang membiarkan arau memberikan kesempatan kepasa warganya untuk bersetatus dwi-kewarganegaraan. Halini terjadi, antara lain, karena asas kewarganegaraan yang dianut bersifat campuran.
Misalnya, india dapat dikatakan menganut asas ius soli, tetapi pada saat yang sama juga mengakui asas ius sanguinis. Oleh karena itu, india menerapkan ketentuan perolehan status kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan sekaligus menurut keturunan. Dengan perkataan lain, sistim yang dianut di India ini adalah sistem campuran. Asas kewarganegaraan yang dipakai, tidak saja ius soli, tetapi juga asa ius sanguinis.

D. Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan di Indonesia

Berdasarkan UUD 1945 pasal 28D ayat (4) menyatakan,”Setiap orang berhak atas status kwarganegaraan”. Disitu tidak dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Yang intinya pada UUD 1945 adalah tidak boleh terjadi keadaan apatride, sedangkan kemungkinan terjadi bepatride, tidak juga di haruskan dan tidak juga dilarang. Dalam pasal 2 UU No:12 tahun 2006 dinyatakan,”yang menjadi warga negara Indoneaia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan berdasarkan undang-undang sebagai warga negara”. Oleh karena itu pada dasarnya negara Indonesia menganut asas campuran, yang mengatur kemungkinan warga negaranya untuk mendapat status kewarganegaraan melalui prinsip keturunan atau asal darah, tetapi pada saat yang sama juga menganut prinsip kelahiran. Dengan demikian proses perolehan kewarganegaraan dapat melalui proses registrasi. Hal tersebut dapat dicontohkan, banyak keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, terapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak merekan inilah sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan setatus kewarganegaraan dari negara asal orang tuanya, dapat saja diterima sebagai warga negara Indonesai karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurana kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenalkan ketentuan mengenai kerarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses natrulisali yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
2. Status Warga Negara Asing
Masyarakat yang berdomisili disuatu negara selain warga negara tersebut, juga terdapat warga negara asing dengan berbagai macam tujuan dan maksud berbeda-beda, bahkan ada juga individu yang tinggal di negara tersebut tidak memiliki status kewarganegaraan sama sekali karena berbagai sebab, baik karena hilangnya status kewarganegaraaan maupun karena hall yang lain.

a. Proses masuknya WNA kedalam wilayah negara
Dalam proses masuknya warga negara asing kedalam wilayah suatu negara, biasanya setiap negara mengaturnya dalam perundang-undangan khusus yang membedakan warga negara dan warga negara asing dalam memperoleh hak-hak secara umum, politik, ataupun hak-hak tertentu. Dan hukum internsional disini secara tidak langsung juga mengatur dalam kwarganegaraan dan lilangnnya status kewarganegaraan.
Warga negara asing adalah setiap orang asing, yang tinggal disuatu negara tertentu, serta memperoleh hak-hak sebagai tertentu, secara terbatas dinegara tersebut sesuai dengan prinsip dasar hukum internasional.

b. Perlakuan WNA, asas perlakuan serupa
seorang asing yang memasuki wilayah suatu negara aka tunduk pada hukum negara tersebut sebagaimana warga negara itu sendiri. Namun sebagian besar negara menempatkan orang-orang asing dibawah semacam ketidak mampuan atau pembatasan-pembatasan dengan tingkat keraatan yang berlain-lainan.
Pada tahun 1924, komite ekonomi liga bangsa bangsa mengklasifikasikan perlakuan terhadap orang-orang asing diluar negri sebagai berikut:

1. (1). Perlakuan fiscal, berkenaan dengan perpajakan.
2. (2). Hak untuk menjalankan profesi-profesi, industri-industri, atau mata pencaharian.
3. (3). Perlakuan dalam hal-hal seperti tempat tinggal, pemilikan harta benda dan privilege-privilege serta imunitas-imunitas sipil.
c. Proses keluarnya WNA dari wilayah Negara
Proses keluarnya warga negara asing dari suatu negara merupakan sesuatu yang wajar, karena negara diberi kebebasan untuk menolak ataupun menerima warga negara asing. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penolakan warga negara asing yang masuk kewilayah negara tersebut, maupun mengdeportasi dan merekonduksi warga negara asing yang telah berada di negara ataupun dengan cara mengekstradisi atau bisa juga menyerahkan tahanan waraga negara asing ke negara aslinya.

1. Deportasi dan Rekonduksi

Pada umumnya negara-negara diakui memiliki kekuasaan untuk mengusir, mendeportasi dan meekonduksi orang orang asing, sepertihalnya kekuasaan untuk melakukan penolakan pemberian izin masuk, hal ini dianggap sesuatu hal yang melekat pada kedaulatan territorial sesuatu negara. Bahkan warga negara dari negara itusendiri tidak kebal dari kekuasaan ini, sebagai mana terbukti dalam denasionalisasi dan pengusiran oelh negara-negara saati ini terhadap warga negara meraka sendiri.
Hukum internasional tidak melarang pengusiran orang-orang asing secara besar-besaran, meskipun hal ini biasa dilakukan sebagai tindakan pembalasan. Namun, pengusiran masalal demikian dapat dipandang sebagai tinfakan yang idak bersahbat dan tentunya akan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

2. Ekstradisi, penyerahan dan suaka

Kebebasan negara untuk memberikan suaka kepada seseorang sampai batas waktu tertentu saling tumpang tindih dengan kekuasaan untuk menolak ekstradisi dan penyerahan orang itu atas permintaaan negaralain, dan saling tumpang tindih itu terlihat sekali dalam pemberian suaka kepada tokoh-tokoh politik , yang menurut ketentuannya tidak dapat di ekstradisikan. Suaka berakhir dengan sendirinya, apabila melalui ekstradisi atau penyerahan, dan saling ketergantungan ini akan dibahas bersama-sama.

a. Ekstradisi

istilah ekstradisi menunjukkan kepada proses dimana berdasarkan tatkrat atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindakan kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang megajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensiuntuk mengadili tuduhan pelaku tindak pidana tersebut.

b. Penyerahan

istilah penyerahan yang lebih umum ini mencakup hal-hal yang dimana seseorang pelaku tindak pidana dapat dikembalikan kepoada suatu negara untuk dihukum, berdasarkan persetujuan kusus ad hoc, atau berdasarkan resipositas, dalam hal ini tidak adanya tatkrat ekstradisi, ataupun apabila terdapat suatu tatkrat antara negara-negara terkait dan terlepas dari persoalan apakah tidakan pidana yang dituduhkan itu merupakan kejahatan yang dapat di ekstradisi atau tidak.

c. Suaka

Konsep suaka dalam hukum internasional memiliki dua unsur, antara lai: pertama: tempat perlindungan, yang lebih dari pengungsian sementara semata-mata; dan kedua: suatu tingkat perlindungan aktif dari pihak penguasa wilayah tempat suaka.

Suaka dapat merupakan suaka territorial (atau intern), yaitu yang diberikan oleh suatu negara diwilayah kedaulatanya sendiri atau dapat juga suaka ektra-teritorial, yaitu suaka yang diberikan untuk dan dalam kaitan dengan kedutaan, gedung-gedung konseler, markas besar internasional dan kapal-kapal perang kepada pengungsi dari penguasa mereka.
Pada umumnya kedua jenis suaka tersebut bersyarat: bahwa suaka itu menyangkut suatu kesesaian antara tuntutan-tuntutan hukum dari pemegang kedaulatan negara dan tuntutan-tuntutan perikemanusiaan.

II. Wilayah/ Territorial

Seperti yang telah dikemukakan didepan bahwasanya, salah satu unsur pokok suatu negara adalah penguasaan suatu wilayah territorial, dimana diberlakukan hukum negara tersebut kepada rakyatnya. Oleh karena itu muncullah konsep “kedaulatan territorial” yang menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaana ini yuridiksi dilaksanakan oleh negara terhadap masyarakat dan harta benda yang menyampingkan dengan negara-negara lain. Konsep ini memiliki kemiripan dengan pemikiran patrimonial pemilikan menurut hukum perdata, salam kenyataan memang penulis pelopor bidang hukum internasionalbanyak memakai prinsip-prinsip pemilikan dari hukum sipil dalam pembahasan mereka mengenai kedaulatan territorial negara. Hingga saat ini pengaruh mereka masih bertahan sehingga, kususnya kaidah-kaidah mengenai perolehan dan kehilangan kedaulatan territorial secara jelas mencerminkan adanya pengaruh hukum sipil.
Kedaulatan territorial dilukiskan oleh max hubber, arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration, dengan istilah: “kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari muka bumi adalah hak untuk melaksanakan didalamnya, terlepas dari negara yang lain, fungsi-fungsi suatu negara”.

A. Perolehan Kedaulatan Teritorial

Lima cara tradisional dan yang pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan territorial adalah; okupasi, aneksasi, penambahan (accretion) wilayah, preskripsi (prescription) dan penyerahan (cession). Cara-cara ini secara langsung beranalogi kepada metode-metode hukum sispilnmengenai diperolehnya kepemilikan pribadi.

1. Okupasi.

Okupasi merupakan peegakan kedaulatan wilayah yang tidak berada dibawah penguasaan negara manapun, baik secara wilayah yang baru ditentukan, ataupun (sesuatu hal yang hampir tidak mungkin) yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya.
Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan (effectiveness) diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam eastern Greenland case, Permanent court of international justice bahwa okupasi, supaya efektif,mensyaratkan dua unsure di pihak negara yang melakukan:
a. Suatu kehendak atau keinginan untk bertindak sebagai yang berdaulat;
b. Melaksanakan atau menunjuakan kedaulatan secara pantas.
Dalam kasus yang dikemukakan diatas, hak atas eastern Greenland dipersengketakan oleh norwegia dan Denmark, dan Denmark mampu membuktikan kedaan-keadaan yang memperlihatkan adanya kedua unsure tersebut di pihaknya.

2. Aneksasi (Annexation)

Aneksasi adalah suatu metode perolehan kedaulatan territorial yang dipaksakan dengan dua bentuk keadaan:
1. apabila wilayah yang dianeksasi telah dilakukan atau ditundukkan oleh negara yang menganeksasi.
2. apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada di bawah negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya kehendak aneksasi oleh negara tersebut.
Kasus poin (a) lebih lazim terjadi, akan tetapi dalam era modern untuk kasus poi (b), misalnya, aneksasi korea oleh jepang pada tahun 1910. Korea pernah berada dalam penguasaan jepang selama beberapa tahun. Penaklukan suatu wilayah seperti menurut poin (a) tidak cukup untuk menjadikan perolehan hak; sebagai tambahanya, maka harus ada suatu pernyataan formal tentang kehendak untuk menganeksasi, yang lazimnya dinyatakan dalam suatu nota atau nota-nota yang disampaikan kepada semua negara yang berkepentingan. Selanjutnya bahwa kedaulatan tidak diperoleh oleh negara penakluk terhadap wilayah untuk menganeksasinya. Suatu aneksasi yan gmerupakan hasil dari agresi kasar yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain atau yang dihasilkan dari penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak boleh diakui oleh negara-negara yang lain.

3. Penambahan (accretion).

Hak penambahan (accretion) wilayah terjadi apabila wilayah baru ditambahkan, terutama karena sebab-sebab alamiah, yang mungkin timbul karena pergerakan sungai atau lainya (misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terhadap wilayah yang telah ada yang berada dibawah kedaulatan negara yang memperoleh hak tersebut.
Yang penting untuk diketahui adalah, apakah pproses penambahan wilayah itu terjadi secara bertahap atau tidak terlihat, seperti dalam kasus biasa endapan-endapan lumpur atau terbentuknya pulau-pulau lumpur ataupun pasir, atau tentang apakah penambahan itu disebabkan pemindahan tanah atau pasir secara tiba-tiba atau mendadak dengan ketentuan bahwa penambahan itu melekat dan bukan terjadi dalah peristiwa yang dapat diidentifikasikan berasal dari lokasi lain. Apabila dikatakan bertahap atau tidak kelihatan, maka bukanlah berarti perkembangannya berlangsung secara bertahap atau tidak kelihatan setelah selang waktu yang cukup lama. Kaidah-kaidah hukum Romawi mengenai pembagian pemilikan terhadap endapan- endapan lumpur pada aliran sungai-sungai diantara pemilik-pemilik yang berseberangan secara analogi berlaku terhadap persoalan pembagian kedaulatan antara negara-negara yang berseberangan dimana endapan-endapan tersebut timbul sam-sama di sungai-sungai yang menjadi garis batas mereka.

4. Penyerahan (Cession).

Penyerahan merupakan metode penting diperolehnya kedaulatan territorial. Metode ini didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan wilayah adalah atribut fundamental dari kedaulatan suatu negara.
Penyerahan suatu wilayah mungkin dilakukan secara sukarela , atau mungkin dilakukan dengan jalan paksaan akibat agresi atau peperangan yang diselesaikan dengan sukses oleh negara yang meneriman penyerahan wilayah terkait. Sesungguhnya, suatu penyerahan wilayah menyusul kakalahan dalam perang lebih lazim teradi daripada aneksasi.

5 Preskriptsi (Prescription)

Hak yang diperoleh melalui preskripsi (yaitu preskripsi akuisitif) adalah hasil dari pelaksanaan kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan negara yang lain, dan preskripsi ini mungkin sebagai akibat dari pelaksanaan kedaulatan demikian yang sudah berjalan lama sekali (misalnya, karena jangka waktu tersebut menghilangkan kesan kedaulatanoleh negara pendahulu) atau akibat lamanya pemilikan yang bertentangan secara semata-mata.

B. Hilangnya Kedaulatan

Cara-cara memperoleh kedaulatan territorial yang telah diuraikan diatas sama persis dengan metode-metode kehilangan kedaulatan territorial. Jadi kedaulatan tritorial dapat hilang karena ditinggalkannya (dereliction) wilayah (berhubungan adanya okupasi oleh pihak yang memperoleh dan menyatakan kehendak sabaiknya dari pihak negara yang meninggalkannya untuk melepaskan control efektifnya), karena penaklukan, karena kejadian-kejadian alamiah (berkaitan dengan penambahan wilayah dipihak negara yang memperoleh wilayah), dan karena preskripsi. Namun ada satu cara lain kehilangan wilayah yang tidak berkaitan dengan cara perolehannya oleh negara lain, yaitu Revolusi yang diikuti dengan pemisahan sebagian dari wilayah yang negara yang terkait.

C. Kedaulatan Atas Ruang Angkasa

Bersamaan dengan perkembangan dunia penerbangan terdapat persoalan-persoalan yang menyangkut kedaulatan negara-negara atas ruang udara diatas wilayah kedaulatan mereka. Sebelum perang dunia pertama (1914-1918) satu-satunya hak yang telah dimuat dalam perjanjian secara universal adalah ruang udara diatas laut lepas dan diatas wilayah yang tidak bertuan sama sekali bebas dan terbuka. Akan tetapi setelah pecahnya perang dunia pertana 1914, karena alasan darurat praktis, dianggap satu-satunya teori yang diterima adalah teori kedaulatan dari negara kolong (subjacent state) atas ruang udara adalah tidak terbatas, yaitu usque ad coelum. Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh pihak-pihak yang berperang, tetepi juga oleh negara-negara netral. Teori ini dinyatakan dalam pasal 1 konvensi paris 1919 untuk pengaturan navigasi udara, “kedaulatan lenkap dan eksklusif” atas ruang udara diatas wilayahnya dan perairan teritotialnya.

Dan secara spesifik dijelaskan pula menengai trafik udara internasional serta masalah-masalah teknis dan navigasi yang berkaitan dengan penerbangan internasional dalam konferensi penerbangan internasional Chicago 1944 yang dihadiri oleh perwakilan dari 40 negara, pembahasan utamannya adalah berkaitan dengan diperolehnya perjanjian oleh semua negara untuk mendapatkan lima kebebasan di udara (five freedom of the air), yaitu hak perusahaan penerbagan negara untuk:

1. terbang melintasi wilayah asing tanpa mendara;
2. mendarat untuk tujauan non konflik;
3. Menurunkan trafik disuatu negara asing yang berasal dari negara asa pesawat udara itu;
4. menaikan trafik dari suatu negara yang dituju dengan tujuan negara asal pesawat udara;
5. mengangkut trafik diantara dua negara asing.

Dalam lima aturan di atas, tidak semua negara sepakat terhadap lima kesepakatan tersebut, maka selanjutnya konferensi terpaksa menysun dua perjanjian: pertama: perjanjian transit jasa angkutan udara internasional (international air service agreement) yang mengatur 2 kebebasan, yaitu: terbang tanpa melakukan pendaratan dan hek mendarat untuk tujuan-tujuan non-konflik di wilayah asing. Kedua: Perjanjian pengangkutan udara ninternasional (international air transport agreement) yang memuat lima kebebasan. Dan negara-negara peserta boleh menolak pesawat udara negar lain untuk lalu-lintas udara didalam wilayahnya.

D. Wilayah Laut

Dalam hukum internasional, hukum laut dan jalur meritim adalah yang paling banyak melalui perubahan-perubahan, bahkan sampai 4 kali yang diakhiri dengan penandataganan pada 10 desember tahun 1982 perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut atau yang biasa disebut konvensi UNCLOS. yang memiliki sasarn-sasaran sebagai berikut:
1. konvensi akan mendorong pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional karena, meskipunbanyak klaim yang bertentangan oleh negara-negara pantai, namun secara universal telah disepakati batas-batas mengenai laut territorial, mengenai zone tambahan, mengenai zone ekonomi eksklusif dan mengenai landasan continental;
2. kepentingan masyarakat internasional dalam hal kebebasan pelayaran diperairan maritime akan diperlancar oleh adanya kompromi-kompromi mengenai status zona ekonomi eksklusif, dengan rezim hukum lintas damai laut territorial, dengan hukum lintas transit melalui selat-selat yang digunkan untuk pelayaran internasional, dan dengan rezim hhukum lintas alur laut kepulauan.
3. kepentingan masyarakat internasioanl dalam hal pelestarian san pemanfaatan kekayaan hayati laut aka ditingkatkan dengan melalui pelaksaan sengguh-sungguh ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan zona eonomi eksklusif.
4. ketentuan baru yang penting telah dibuat guna melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari pencemaran.
5. konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan baru mengenai penelitian ilmiah kelautan yang mengupayakan yang layak antara kepentingan negara-negara yang melakukan penelitian dan kepentingan-kepentingan negara-negara pantai di zona-zona ekonomi eksklusif serta landasan kontinen dimana penelitian tersebut dilakukan.
6. kepentingan masyarakat internasional dalam hal penyelesaian secara damai sengketa-sengketa dan pengcegahan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa-sengketa internasioanal akan dilakukan dengan system penyelesaian sengketa wajib sebagaimana diatur dalam konvensi
7. Prinsip bahwa kekayaan dasar laut dalam merupakan warisan bersama umat manusia telah dijabarkan dalam lembaga-lembaga dan persetujuan-persetujuan ayang adil dan dapat dilaksanakan.
8. unsure-unsur kesederajatan internasional dapat dijumpai dalam konvensi sepeti pembagian hasil dilandas kontinen diluar batas 200 mill, yang memberikan akses kepada negara-negara tidakk berpantai dan negara-negara yang keadaan gegrafisnya tidak menguntungkan untuk menuju sumber-sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif negara-negara tetangganya, hubungan-hubungan antara nelayan-nelayan pantai dan nelayan jarak jauh, dan pembagian keuntungan dau eksplorasi sumber-sumber kekayaan alam dasar laut.
a. Laut Teritorial
konvensi hukum lut 1982 merupakan kemenangan bagi negara-negara berkembang terutama negara yang berkembang mempunyai pantai (coastal state), tetapi juga konvensi memberikan akses kepada negara-negara yang tidak mempunyaipantai (land-locked). Konvensi hukum laut 1982 menetapkan bahwa setiap negara mempunyai laut territorial , yang diatur dalam pasal bab 2 pasal 2 tentang status hukum territorial, ruang udara diatas laut territorial dan dasar laut serta tanah yang ada dibawahnya.
1. kelautan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu negara kepulauan, perairn kepulauannya, meluputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial
2. kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas laut territorial serta dasar laut dan tanak dibawahnya.
3. kedaulatan atas laut territorial dilaksanakan dengan tunduk pasa ketentuan konvensi ini dan peraturan hukumm internasional lainya.
Dan dalam pasal sejantutnya, yaitu pasal tiga di jelaskan bahwa negara mepunyai hak untuk menetapkanlebar wilayah territorial lautnya tidak melebihi 12 mill. Pasal 3 konvensi hukum laut (UNCLOS) 1982, “Setiap negara berhak menetapkan leber laut teritorialnya hinggal batas yang tidak melebihi 12 mill laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini”.
Mengenai garis pangkal terdapat garis pangkal normal dan garis pangkal lurus, yang merupakan leber territorial dan rezim-rezim maritime yang lainya seperti zona tambahan, landasan continen, zona ekonomi eksklusif. Garis pangkal normal ditentukan oleh pasal 5 konvensi UNCLOS yang berisi: garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana telihat pada peta skala besar yang resmi diakui oleh negara pantai tersebut.

Sedangkan garis lurus diatur oleh pasal 7 konvensi UNCLOS yang menyatakan bahwa penarikan garis lurus pangkal lurus harus pada lokasi pantau yang menjorok jauh kedalam atau terdapat suatu deretan pulau panjangdi dekatnya yang menghubungkan titik-titik yang tepat. Sehingga terbentang garis lurus.penarikan garis lurus ini tidak boleh ditarik ked an dari elevasi surut kecuali terdapat mercu suar atau instalasi serupa yang permanen. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus ini dapat dilakukan berdasarkan kepentingan ekonomi yang dibuktikan dengan praktik negara yang telah berlangsung lama. Penarikan garis pangkal pantai pangkal lurus dibatasi dengan tidak boleh memotong laut territorial negara lain.

Mengenai status teluk, dijelaskan pula dalam konvensi UNCLOS, tentang persyaratan untuk dapat dikatakan teluk, yaitu yang terdapat dalam pasal 10. Pada pasal tersebut menentukan bahwa teluk (kholiij) (bay) adalah suatu lekukan yang jelas membentuk perairan pedalaman yang luasnya sama atau lebih dari setengan lingkaran yang garis tengahnya melintasi mulut lekukan tersebut. Apabila jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah tidak melebihi 24 mil, maka garis penutup dapat ditarik antara kedua garis rendah tersebut sehingga menjadi perairan pedalaman, tetapi apabila melebihi 24 mill, maka dapat ditarik gatis lurus pangkal lurus. Ketentuan pasal 10 konvensi UNCLOS tersebut berlaku bagi teluk sejaran karena dapat menyangkut kepentingan ekonomi, politik, atau keamanan suatu pantai.
Mengenai pentapan garis pangkal laut yang berbatasan antara negara-negera yang pantainya berhadapan atau berdampingan dijelaskan dalam konvensi UNCLOS pasal 15 yang berbunyi: “ dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada perseetujuan yang sebaiknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dati titik-titik terdekat pada garis-garis pantai pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis ataau keadaan kusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut territorial antara kedua negara menutut suatu cara yang berlainan dengan kerentuan diatas”.
Sedangkan kerentuan mengenai lintas damai laut territorial dimual dalam pasal 17- 32, yang dimaksud lintas damai, dijelaskan pada pasal 19 bagian 1, yang berbunyi “lintas damai adalah sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya”. Dan di jelaskan pula dalam pasal 9 bagian 2, mengenai ketentuan yang secara spesifik menjadikan suatu lintas oleh kapal asing dianggap merugikan perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai, termasuk ancaman-ancaman atau penggunaan kekerasan, percobaan senjata, mengumpulkan informasi yang merugikan pertahanan negara pantai, gangguan terhadap sistim komunikasi, dan peluncuran-peluncuran atau pendaratan atau peneriamaan setiap pesawat udara. Kapal-kapal selam dan kendaraan bawah air lainya diharuskan melakukan pelayaran diatas permukaan air dan menunjukakn keberadaannya.

b. Selat yang digunakan dalam pelayaran internsional

Bagian III konvensi pasal 34-45, mengatur suatu rezim yang berkenaan dengan selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Yang mencakup ketentuan umum yang digunakan untuk pelayaran internasional atau pelaksana kedaulatan atau yuridiksi negara yang berbatasan dengan selat tersebut atas perairan demikian dengan ruang udara, dasar laut serta tanah dibawahnya.

c. Aturan melintasnya kapal dagang dan pemerintah untuk komersial

Konvensi laut UNCLOS 1982, megatur kapal dagang dan kapal pemerintah untuk kegiatan komersial yang melintas dilaut territorial bahwa yuridiksi pidana negara pantai tidak dilaksanakan diatask kapal asing untuk menangkap siapapun atau mengadakan penyelidikan berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan diatas kapan asing selama tujannya lintas damai, kecuali: (1) apabila kejahatan itu mempengaruhi negara pantai; (2) apabila kejahatan itu menganggu kedamaian atau ketertiban negara pantai; (3) apabila diminta bantauan oleh nahkoda kapal atau perwakilan diplomatik/ konseler negara bendera atau; (4) apabila diperlukan untuk memberantas perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika, sebagaimana diatur dalam pasal 27 konvensi lau UNCLOS 1982.

d. Aturan Kapal perang dan kapal pemerintah untuk kegiatan non komersil

Pada padal 29-32 konvensi UNCLOS mengatur kerentuan mengenai kapal perang, yaitu kapal perang yang dimiliki angkatan bersenjara dengan memakai tanda yang menunjukkan kebangsaaannya dan dibawah komandi serta awak kapal yang tunduk pada disiplin militer. Kapal perang yang melintasi laut territorial tetap harus mematuhi peraturan perundang-undangan negara pantai dan apabila kapal perang itu menimbulkan kerugian negera pantai, maka kapal peran itu bertanggungjawab. Kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk kegiatan komersial mempunyai kekebalan.

e. Zona Tambahan

Setiap negara pantai yang lautnya melebihi 12 mill berarti ia juga aka memiliki zona tambahan yang memounyai peranan penting dalam keamanan dan pembangunan ekonominya. Permulaan rezim zona tambahan mempunyai sejaran tersendiri tterutama bermula dari praktek ingris dan amerika. Inggris pernah mengeluarkan peraturan pemberantasan penyelundupan tahun 1669 dan 1673 dimana ingris dapat menahan kapal yang diduga telah melakukan penyelundupan wool, the, minuman keras, dan barang-barang terlarang lainya yang terjadi pada jarak 6-12 mill dari pantainya. Inggris memperluas juridiksi anti penyelundupan terhadap kapal yang berlabuh atau mondar-mandir dan kapal tersebut dapat diperiksa dalam jarak 12- 25 mill.
Konsep zona tambahan ini diatur dalam konvensi UNCLOS 1982, yaitu yang terdapat pada pasal 33. Di zona tambahan setiap negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang dierlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundan-undangan beacukai, fiscal, imigran atau sanitasi, dan menghukum para pelakunya. Setipa negara pantai memiliki zona tambahan yang jauhnya tidak boleh melebihi 24 mill yang diukur dari garis angkal pantai dimana lebar territorial diukur atau sejauh 12 mill diukur dari laut territorial suatu negara pantai.
Status zona tambahan berbeda dengan status territorial, klu laut territorial adalah milik kedaulatan suatu negara pantai secara mutlak, sedangkan status zona tambahan adalah tunduk pada rezim juridiksi pengawasan negara pantai, bukan bagian dari kedaulatan negara.
f. Zona ekonomi eksklusif (ZEE) (exclucive economic zone)
Perkembangan mengenai zone ekonimi eksklusif mencerminkan kebiasaan internasional yang diteriman menjadi hukum kebiasaan internasional ( al ‘uref dauly) (international customs). Zona ekonomi eklusif bagi negara-negara yang mempunyai wilayah pantai yang luas seperti Indonesia, karena disalmnya terdapat kekayaan sumberdaya alam hayatio dan nonhayati, sehingga mempunyai peran penting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa dan negara.
Di dunia ini ada 15 negara yang mempunyai leading exclusive economic zone, diantaranya adalah Amerika Serikat, Prancis, Indonesia, selandia baru, Australia, rusia, jepang, brazil, kanada, meksiko, Kiribati, papua nugini, chili, norwegia, dan india. Indonesia termasuk negara yang memiliki zona ekonomi eklusif tiga besar setelah Amerika Serikat dan Preancis, yaitu sekitar 1.577.300 square nautical miles.
Konsep zona ekonimi eksklusif ini diatur dalam konvensi UNCLOS yang terdapat pada pasal 55 – 75. Pasal 55 yang berbunyi sebagai berikut, “zona ekonomi eklusif adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut territorial, yang tunduk pada rezim hukum kusus yang ditetapkan dalam babV ini berdasarkan mana hak-hak yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dalam konvensi ini.
Sedangkan lebar zona ekonomi eklusifbagi setiap negara adalah 200 mill, yang diatur dalah pasal 57, yang berbunyi “zona ekonomi eklusif tidak boleh melebihi 200mill laut garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur”.
Sedangkan hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eklusif diatur dalam pasal 58 yang berbunyi sebaai berikut: bagian (1) Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitandengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuanketentuanlain Konvensi ini. Bagian (2) Pada pasal 88-115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eklusif sapanjang tidak bertentangan dengan bab ini. Bagian (3) dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di zona ekonomi eklusif, negara-negara harus memperlihatkan sebagaimana mestinay hak-hak dan kewajiban negara pantai dah harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainya sepanjang ketentuan tersebut tudak bertentangan dengan kerantuan bab ini.
Dengan ini, di zona ekonomi eklusif ini semua negara baik pantai maupun tidak berpantai mempunyai hak dan kebebasan pelayaran dan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan sah lainya menutur hukum internasional dan konvensi UNCLOS.

g. Landasan Kontinental

Landasan kontinen sebelumnya diatur dalam konvensi jenewa 1958 yang sekarang sudah tidak berlaku lagi karena digantikan dengan konvensi hukum laut UNCLOS 1982. Dalam konvensi UNCLOS yang dimaksud landasan kontinen sebagai man ayang dijelaskan dalam pasal 76 ayat 1 dan 2 meliputi:
(a) dasar laut dan tanah dibawah yang terletak diluar laut teritorialnya sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggitan tepi kontinen; atau
(b) dasar laut dan tanah dibawahnya sampai jarak 200 mill laut dari garis pangkal dimana laut tertorial diukur;
(c) landasan kontinen dimungkinkan mencapai 350 mill laut dari garis pangkal dimana laut territorial diukur; atau
(d) tidak melebihi 100mill laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.

h. Negara Kepulauan

Pengertian negara kepualuan ini dijelaskan dalam konvensi UNCLOS 1982bab IV pasal 46 adalah suatu negeara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepualuan dapat mencakup pulau-pulau lain, sedangkan definisi kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan dan wujud alami lainya yang saling berhubungan satu dama lainnya dengan eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah tersebut membentuk kesatuan geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki atau secara historis dianggap demikian.
Mengenai garis pangkal kepulauan, Dalam konvensi UNCLOS memberikan hak bagi negara-negara kepulauan untuk menarik garis pangkal kepulauan sebagaimana yang diatur dalam pasal 47 ayat 1-9 adalah Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar termasuk pulau-pulau utama dengan perbandingan Negara kepulauan tersebut adalah antara laut dan daratan dengan satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu (1:1 dan 9:1). Panjang garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali 3 % dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelili setiap kepulauan dapat melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut. Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum, dan juga tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut (low-tide elevations) kecuali terdapat mercu suar atau instalasi permanen dan jaraknya tidak melebihi lebar laut territorial, yaitu 12 mil. Negara kepulauan tidak boleh menarik garis pangkal itu yang memotong laut territorial, atau zona ekonomi eksklusif Negara lain. Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan Negara kepulauan untuk menghormati hak-hak dan kepentingan sah dari Negara tetangganya. Penetapan garis pangkal ini harus dicantumkan dalam peta Negara tersebut dengan daftar koordinat geografis yang secara jelas merinci datum geodatiknya. Oleh karena itu, Negara kepulauan harus mengumumkan peta atau daftar koordinat tersebut dan mendepositkan salinanannya di Sekretaris PBB.

Mengenai status hukum wilayah laut dan udara negara kepulauan, hal ini dijelaskan dalam konvensi UNCLOS pasal 49, yang menegaskan status hukum perairan kepulauan, udara diatasnya, dan dasar laut dibawahnya, yaitu sebagai berikut:

1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
3. Kedaulatan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab ini.
4. Rezim lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan dalam Bab ini bagaimanapun juga tidak boleh di bidang lain mempengaruhi status perairan kepulauan, termasuk alur laut, atau pelaksanaan kedaulatan oleh Negara kepulauan atas perairan demikian dan ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Mengenai hak lintas damai dan hak lintas jalur, hal ini dijelaskan pula dalam konvensi UNCLOS pasal 52 yang menegaskan bahwa negara kepulauan dapat menunda sementara hak lintas damai di perairan kepulauan tersebut tanpa diskriminasi kepada semua kapal yang dimaksudkan untuk perlindungan keamanan negara kepulauan tersebut, dengan catatan penundaan tersebut harus diberitahukan terlebih dulu.

Kesimpulan

Pentingnya pengaturan unsur-unsur negara selain diatur dalam huk nasional juga didalam hukum internasional adalah sangat rawan terjadinya konfik antar negara terhadap peraturan-peraturan tersebut, seperti halnya mengenai pengaturan terhadap status kwarganegaraan serta wilayah territorial. Karena sampai saat ini banyak negara yang berakhir dengan konfik berkepanjangan bahkan dampai terjadi peperangan yang disebabkan oleh hal-hal tersebut, misalnya konflik berkepanjangan di wilayah perbatasan di wilayah ambalat antara Indonesia dan Malaysia, yang sampai saat ini belum menemui titik terang yang jalas. Dan masih banyak contoh, yang mengambarkan urgennya pengaturan tentang unsur-unsur negara yang disini kususnya wilayah territorial dibelahan dunia lainya.
Dalam hal ini penulis belum bisa menyajikan permasalah-permasalah keindonesia yang berkanaan dengan rakyat serta wilayah kedaulatan kedalam makalah ini, dan mungkin bisa kita bahas lebih lanjut dalam diskusi bebas ataupun dalam waktu yang lain. Demikian, terimakasih.

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 10:16 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home