PEMILU NASIONAL YANG RASIONAL DAN EMOSIONAL

(Harapan sederhana bagi Pemilu 2009)

Parpol peserta pemilu 2009 telah dipastikan akan diikuti oleh 44 Parpol. 40 partai nasional dan 4 partai lokal telah siap bersaing mengambil hati para pemilih di Pemilu 2009 yang sudah berada di depan mata. Bahkan, masa kampanye sudah dimulai sejak sekitar lebih dari sebulan yang lalu (8 Juli 2008). Dalam menarik simpati rakyat Indonesia, parpol parpol tersebut secara garis besar menjadikan ideologi dan kader serta utusan mereka sebagai penyalur aspirasi rakyat Indonesia yang plural. Parpol parpol tersebut dapat dibedakan menjadi dua bagian besar bila dilihat dari ruang lingkup pemilu, yaitu partai nasional yang berhak dipilih oleh seluruh rakyat indonesia di 33 provinsi di seluruh Indonesia dan partai lokal yang hanya menjadi peserta pemilu di NAD (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) saja. Partai partai nasional tersebut telah mengambil nomor urut dari nomor 1 hingga 34 dan nomor urut 41 hingga 44, sedangkan partai lokal yang hanya mengikuti pemilu di daerah otonomi khusus NAD yang berjumlah 6 Parpol mengambil nomor urut 35, 36, 37, 38, 39 dan 40.

Bila Parpol peserta Pemilu 2009 dibedakan berdasarkan persyaratan administratif yang harus dipenuhi, maka dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Parpol yang telah dipastikan lolos sebagai peserta Pemilu yang berjumlah 16 parpol. Parpol parpol tersebut adalah pemilik kursi di Senayan dari hasil Pemilu 2004 lalu. Sedangkan yang kedua adalah Parpol yang lulus verifikasi KPU ada sebanyak 18 parpol. Parpol tersebut dinyatakan lulus oleh KPU karena telah memenuhi standar yang telah ditentukan undang-undang (UU) Pemilu dan ketiga adalah 4 parpol yang cukup ‘meramaikan’ suasana Pemilu dengan memenangkan gugatan mereka kepada KPU di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) terkait keputusan KPU yang tidak meloloskan Parpol parpol tersebut. Parpol parpol di atas tidak termasuk Parpol lokal.

Bila dibedakan berdasarkan ideologi atau asas yang dianut Parpol parpol tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Parpol peserta pemilu mengambil dua ideologi dasar yang sudah dikenal rakyat Indonesia sejak Indonesia baru mengecap kemerdekaan, yaitu ideologi yang nasionalis dan Islamis serta ideologi yang telah ‘dimodifikasi’ sedemikian rupa, yang menjadikan ideologi yang dipakai seolah nasionalis, atau seolah islamis, bahkan ideologi yang seolah nasionalis islamis atau islamis nasionalis. Sebenarnya rakyat Indonesia cukup familiar dengan satu ideologi lagi yang telah absen dari perpolitikan Indonesia sejak ditetapkannya sebagai ideologi terlarang dengan adanya TAP MPRS No : XXV/MPRS/1966, yaitu ideologi komunis. Meskipun, sebagian kalangan berpendapat bahwa masih terdapat bibit bibit kecil ideologi komunis di beberapa partai yang menjadi peserta Pemilu 2009.

Berikut adalah Parpol yang berasaskan nasionalis dan atau Pancasila beserta nomor urutnya; nomor 2. PARTAI KARYA PEDULI BANGSA, nomor 3. PARTAI PENGUSAHA DAN PEKERJA INDONESIA, Nomor 4. PARTAI PEDULI RAKYAT NASIONAL, nomor 5. PARTAI GERAKAN RAKYAT INDONESIA RAYA (GERINDRA), nomor 7. PARTAI KEADILAN dan PERSATUAN INDONESIA, nomor 9. PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN), nomor 11. PARTAI KEDAULATAN, nomor 12. PARTAI PERSATUAN DAERAH (PPD), nomor 14 PARTAI PEMUDA INDONESIA (PPI), nomor 16. PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN, nomor 17. PARTAI KARYA PERJUANGAN, nomor 19. PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA, nomor 20. PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN, nomor 21. PARTAI REPUBLIK NUSANTARA (RepublikaN), nomor 22. PARTAI PELOPOR, nomor 23. PARTAI GOLONGAN KARYA, nomor 25. PARTAI DAMAI SEJAHTERA (PDS), nomor 26. PARTAI NASIONAL BENTENG KERAKYATAN INDONESIA, nomor 28. PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN, nomor 30. PARTAI PATRIOT, nomor 31. PARTAI DEMOKRAT, nomor 32. PARTAI KASIH DEMOKRASI INDONESIA dan nomor 33. PARTAI INDONESIA SEJAHTERA.

Dan Parpol peserta pemilu 2009 yang menyatakan berasaskan Islam beserta nomor urutnya adalah; nomor 8. PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS), nomor 18. PARTAI MATAHARI BANGSA (berasas Islam berkamajuan), nomor 24. PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP), nomor 27. PARTAI BULAN BINTANG, nomor 29. PARTAI BINTANG REFORMASI, dan nomor 34. PARTAI KEBANGKITAN NASIONAL ULAMA (yang berasaskan Islam ahlu sunnah wal jamaah).

Sebagaimana dipaparkan di atas, terdapat pula parpol peserta Pemilu yang memiliki asas tanpa embel embel ideologi yang tidak menyatakan apakah Parpol tersebut berasas Nasionalis atau berdasarkan Pancasila atau Islam, namun memiliki visi misi yang disampaikan untuk menunjukkan komitmen mereka sebagai parpol yang mampu berperan bagi Bangsa Indonesia. Parpol parpol tersebut, beserta nomor urutnya adalah; nomor 1. PARTAI HANURA (yang berasas, ciri dan bervisi misi; Ketakwaan, Kemandirian, Kebersamaan, Kerakyatan, Kesederhanaan), nomor 6. PARTAI BARISAN NASIONAL (yang berasas pemuda), nomor 13. PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) tidak menyatakan asas yang jelas, namun memiliki visi misi yang nasionalis dan agamis karena berbasis massa NU, nomor 15. PARTAI NASIONAL INDONESIA MARHAENISME (yang berasaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno), nomor 10 PARTAI PERJUANGAN INDONESIA BARU (yang hanya memberikan penyampaian visi misi yang bersifat nasionalis).

Hingga saat ini, proses pendaftaran partai untuk pemilu 2009 yang telah ditutup KPU masih menyisakan masalah di sana sini, terdapat beberapa partai yang tidak lolos sebgai peserta Pemilu mengajukan gugatan dan keberatannya kepada KPU dan atas keputusan PTUN, telah 4 partai tambahan yang sebelumnya dinyatakan belum sah sebgai peserta Pemilu 2009 disahkan oleh keputusan PTUN. Keempat partai tersebut akhirnya ditetapkan menjadi peserta pemilu. Namun meskipun telah memiliki nomor urut, namun keterangan tentang keempat partai tersebut masih sangat sulit untuk didapat karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPU, keempat partai tersebut ialah; PARTAI MERDEKA yang mendapatkan nomor urut 41, PARTAI PERSATUAN NAHDLATUL UMMAH INDONESIA mendapat nomor urut 42, PARTAI SARIKAT INDONESIA mendapat nomor urut 43, dan PARTAI BURUH yang mendapat nomor urut 44. Menurut opini penulis, selain PARTAI PERSATUAN NAHDLATUL UMMAH INDONESIA yang berasas Islam, ketiga partai lainnya berasaskan Nasionalis atau Pancasila.

Banyak partai banyak pilihan, mungkin demikian apa yang ada dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan, meskipun jumlah partai di Indonesia selalu ‘melimpah’, bahwa pada kenyataannya, sebagian dari Parpol parpol tersebut, mau tidak mau akan hanya sekedar menjadi peramai pesta demokrasi di Indonesia semata (tentu saja, tidak ada yang melarang sebuah pesta—dalam hal ini, pesta demokrasi—untuk diramaikan). Hanya saja, keramaian ini justru relatif terlalu ‘ribut’. Dalam keramaian dan keributan ini seperti inilah, yang patut menjadi perhatian adalah bahwa terdapat dua kelompok model pemilih; rakyat Indonesia yang memilih berdasarkan pertimbangan terhadap pilihan mereka. Pertimbangan yang didasarkan pada fakta yang dilihat maupun yang mereka rasakan maupun pertimbangan yang didasarkan dari penilaian pemilih tersebut setelah mempertimbangkan visi misi maupun janji janji rasional atau bahkan harapan harapan yang tidak rasional sekalipun. Di antara pemilih adalah pemilih rasional yang hanya menjadi bagian kecil saja dari bagian terbesar dari rakyat Indonesia, yaitu para pemilih emosional, demikian penulis menyebutnya.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah ideologi partai yang seharusnya menjadi dasar alasan utama seorang kontituen memilih partai tersebut memang telah dipahami oleh rakyat Indonesia, ataukah belum? Bagi partai besar, perkara pemilih rasional ataupun tidak bukanlah hal yang sulit dan rumit. Bisa dibuktikan pada hasil pemilu 2004, bahwa GOLKAR, PDI (yang meskipun telah menjadi PDI perjuangan) dan PPP ternyata masih menduduki peringkat teratas (atau lima besar). Ini menandakan, bahwa Partai Partai Politik besar tidak mudah kehilangan para simpatisan lamanya (tanpa harus menyesuailkan dengan atmosfer reformasi kala itu) semisal PARTAI GOLKAR yang tercatat sebagai pengusung ideologi Orba.

Sedangkan bagi partai partai gurem atau sebagian partai baru, sebagian memang sedang berkembang pesat dengan bermodalkan semangat pembaharuan atau reformasi. Namun sebagian masih disibukkan dengan bolak balik KPU, dan sebagian yang lain masih kesulitan untuk mendapatkan kucuran dana untuk sekedar urusan kaos atau menjaring kader kader di seluruh pelosok Indonesia. Sebagian malah masih berharap banyak dari partai partai besar yang telah terpecah, sebut saja, PBR yang pecahan PPP, Partai Hanura yang mencitrakan diri sebagai pecahan Golkar, dan partai lain yang mencitrakan dirinya sebagai pecahan partai besar tertentu demi mengambil massa. Mayoritas dari partai peserta pemilu di Indonesia adalah kategori Gurem, bahkan sebagian bisa dikategorikan masuk dalam kategori sempalan.

Sepintas, keadaan ini tidak jauh berbeda dengan pemilu pemilu yang telah dilalui Indonesia sejak masa reformasi (Pemilu 1999), pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang berperan dalam politik praktis dengan aktif di parpol, masih memandang partai seakan menjadi tempat ‘iseng iseng berhadiah semata’. Dengan kata lain, rakyat Indonesia tidak menjadikan ideologi partai tersebut sebagai landasan dan pilihan pada Parpol tersebut. Bisa jadi, inti persoalannya karena semua perkara hati, batah atau tidak betahnya, membuat mood atau tidaknya, harapan yang tersimpan di hati inilah yang menjadi dasar pilihan pada Parpol panutan. Bahkan, cukup beralasan bila ternyata urgensitas visi misi dan ideologi partai ditetapkan di urutan belakang prioritas. Apakah semua ini adalah pemandangan yang menunjukkan bahwa batas pemahaman kader dan para pemilih yang memberikan suara dan peran serta demi mendapatkan hak demokrasi mereka dengan wadah partai? Atau mungkin hanya merupakan wadah untuk macam macam latar belakang dari demonstrasi (mulai dari demonstasi visi misi dan janji janji, hingga demonstrasi pinggul) atau jangan jangan hanya ‘demi nasi’ semata, di mana bukan rahasia lagi, di mana mana, bahwa partai dijadikan sebagai mata pencarian alternatif, lumayan juga, seorang pengangguran bisa mendapat 100.000 bila besedia rambutnya dicukur sesuai dengan bentuk lambang partai. Dan kita telah maklum bahwa demokrasi yang dipahami oleh rakyat Indonesia mayoritas terbatas pada kalimat berikut; “Demokrasi yang dari, untuk, dan oleh bersama” yang dianggap sarat kebutuhan materiil. Nampaknya, kata kata slogan yang terkenal; “Demokrasi bukan masalah roti atau perut” tidak berlaku lagi bila sampai di sini.

Kita telah mendapati bahwa Parpol yang meramaikan perpolitikan di Indonesia memandang Ideologi bukan prioritas. Lalu, apa fungsi dari partai di mata rakyat Indonesia? Secara umum, Rakyat Indonesia hanya menjadikan partai sebagai pilihan semata mata pilihan. Mayoritas penduduk di Indonesia, bahkan termasuk mayoritas dari kader kader partai itu sendiri hanya mendudukkan ideologi di nomor kesekian, bahkan bisa jadi berada pada urutan di belakang mencari rekan atau relasi baru. Bisa sekedar cari jodoh, cari pengalaman atau alasan materi lainnya. Bahkan, kata kata ‘memilih dengan hati nurani’ masih menjadi kata ampuh bagi iklan perpolitikan Indonesia, jauh melampaui kata kata ‘lihat, dengar, dan amati’. Bahkan sebuah partai baru telah menggunakan nama ‘Hati Nurani’ sebagai nama partai.

Cara main partai, dengan logika, atau nurani? Tidak salah bila menjadikan partai sebagai objek eksplorasi banyak kepentingan, tapi bagaimanapun, ini tidak tepat dan menyeleweng dari maksud utama dibentuknya partai. Memang benar bahwa sisi sisi sosial tidak dapat dilepaskan dari bagian politik, dan masing aspek aspek Negara, Bangsa, dan rakyat saling terkait satu sama lain. Namun alangkah baiknya bila semakin lama Indonesia menjalani proses perpolitikannya, semakin banyak dapat belajar dari proses dan sejarah dengan pengalaman pengalaman tersebut agar pemilu yang telah diadakan dan dirasakan hingga ketujuh kalinya dapat memberikan manfaat lebih banyak pada pemilu 2009 nanti. Sebut saja misalnya pemilu tahun 1955 yang disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia, ternyata telah membentuk pemerintahan pertama dan telah memberikan kesempatan pada para founding father negara ini untuk leluasa memerintah. Namun hasil pemilu pertama ini berujung pada ketidakberdayaan orde lama dalam mengemban amanat rakyat, sehingga rakyat sendiri memberikan pilihan pahit bagi pemerintah.

Dan pemilu berikutnya (pemilu 1971), setelahnya dan setelahnya lagi hanya diwarnai oleh pemandangan yang membosankan dan terkesan itu itu saja, sehingga memberikan pandangan bagi rakyat bahwa Indonesia sedang berada dalam keadaan ‘Demokrasi terbimbing’, yang tak jauh berbeda dengan demokrasi terpimpin yang ambruk sebelumnya. Hingga pada tahun 1998, harapan, pemandangan baru dan angin segar demokrasi berhembus di seluruh Indonesia. Sebuah keadaan yang memberikan kesampatan bagi Rakyat Indonesia, dengan kata lain, Rakyat Indonesia seolah mendapatkan himbauan; “Bagi yang ingin berbendah, maka berbenahlah!” Tapi apa yang kita rasakan sebagai Rakyat Indonesia? Kata kata itu lebih tepat seolah hanya diperuntukkan bagi para pemimpi yang sebelumnya hanya bisa bermimpi untuk berkuasa dapat berkesempatan untuk mencapai mimpi mimpi tersebut.

Saat ini, kebebasan, keterbukaan dan demokrasi semakin terbuka lebar, bagi para calon pemilih, sebenarnya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menjadikan pilihan mereka adalah pilihan bijak, dalam artian, adalah pilihan yang rasional, tidak hanya pilihan yang penuh angan angan dan harapan semata dan bukan pilihan yang sarat perasaan, akan tetapi pilihan yang menunjukkan komitmen sebagai pemilih yang paham apa dan bagaimana pilihan mereka dibuat dan bagi siapa pilihan diberikan.

Menjadi pemilih rasional adalah ideal, sedangkan memilih berdasarkan emosi adalah realitas yang tak terbantahkan, para pemilih emosional memang masih menjadi bagian dari mayoritas Rakyat Indonesia, bahkan untuk beberapa Pemilu pemilu mendatang, Pemilih emosional masih menjadi bagian mayoritas dari seluruh pemilih dalam pemlilihan umum yang digelar. Sehingga mau tidak mau, partai partai, balon maupun calon sebagai peserta pemilu yang mnggantungkan pada keberadaan mereka pada pilihan mereka tentu saja masih memakai ‘jurus lama’, misalkan apakah partai tersebut Islami atau tidak Islamikah? Parpol yang bisa memberikan janji jembatan atau jalan raya atau partai yang hanya mampu memberikan kata kata bukti dan tidak bersedia berjanji, partai yang mampu memberikan ‘efek ngebor’ yang menghibur kesulitan hidup atau tidak pada masa kampanye dan lain lain masih menjadi bagian dari pola pilkir para pemilih, bahkan termasuk sebagian dari kita (pelajar dan mahasiswa) yang dianggap sebagai kelompok intelek. Demikian pula dengan para calon pejabat hingga presiden, faktor calon gubernur ganteng atau gagah (punya basic selebritis atau tidak), calon bupati tamatan luar negeri atau lokal, capres yang banyak pengalaman tau capres newbe, bahkan calon alternatif atau calon bukan alternatif, capres muda atau tua masih menjadi bagian dari kampanye kampanye yang dianggap masih ampuh untuk menarik massa. Namun, bagaimana dengan capres yang mampu menunjukkan royalitas mereka atau kemampuan mereka bagi perbaikan Indonesia ke depannya, setidak tidaknya calon yang analisanya tajam, saat ini masih kalah pamor dibandingkan calon yang dianggap sakti atau suci. Antara pemilih dan dipilih masih dikungkung oleh rasio perasaan sangat sempit dan sentimentil.

Bagiamanapun, peran serta KPU, paserta pemilu, dan para pemilih haruslah saling mendukung satu sama lain, mendukung dalam artian, bagaimanapun pemilu 2009 masih jauh dari ideal, namun ketertiban dan pemilu yang sehat adalah satu hal penting yang tidak bisa ditawar tawar urgensitasnya. Semua ini demi pemerintahan yang sehat pula, pemilu yang tidak sehat akan membentuk pemerintahan yang akan sakit sakitan. Namun pemilu yang sehat akan memberikan setidaknya suntikan dan vaksinasi awal yang baik pula bagi proses demokrasi lima tahunan bangsa kita. Dan bagi sebagian besar kita, para pemilih, tidak memilih bukanlah pilihan yang bijak. Jadilah pemilih rasional, yang memilih karena berfikir, bukan memilih karena 'merasa' berhak.

(H P Hasido (AbHas), mahasiswa Al Azhar jurusan Syari'ah wal Qanun Tk: 2)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 1:26 PM  

REKONSTRUKSI HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA TIMUR TENGAH


Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, memiliki hubungan emosional yang tinggi dengan kawasan Tim-Teng (dibaca Timur Tengah) yang notabanenya identik dengan Islam. Secara historis, Indonesia sudah lama sekali menjalin hubunan dengan kawasan Tim-Teng, akan tetapi akibat dari pasang surutnya hubungan kedua belah pihak, sehingga hasil diharapkan dapat dicapai dari apiknya hubungan ini, dirasa kurang maksimal.

Sejarah Awal Hubungaan Indonesia Dengan Negara Tim-Teng

Hubungan antara Indonesia dengan kawasan Tim-Teng, sudah terjalin ratusan tahun yang lalu ketika Islam menyebarkan ajarannya ke seluruh pelosok Bumi yang banyak dilakukan oleh para pedagang muslim, baik mereka yang berbangsa Persia, Arab, maupun India (Gujarat).

Negara Mesir yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah salah satu negara yang mempunyai hubungan erat dengan Indonesia. Secara historis, ketika Indonesia meyatakan kemerdekaanya pada 17 Agustus 2007, Mesir segera mengadakan sidang menteri luar negri dengan Negara-negara Liga Arab. Pada 18 November 1946 tepatnya, mereka menetapkan resolusi tentang pengakuan kemerdekaan RI sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Untuk menyampaikan pengakuan ini Sekretaris Jenderal Liga Arab ketika itu, Abdurrahman Azzam Pasya, mengutus Konsul Jenderal Mesir yang berada di India, Mohammad Abdul Mun’im, untuk pergi ke Indonesia. Setelah sampai di Ibu Kota RI, Yogyakarta , dan diterima secara kenegaraan oleh Presiden Sukarno pada Sabtu 15 Maret 1947. Ini adalah pengakuan pertama atas kemerdekaan RI oleh negara asing.

Hubungan Indonesia dengan Tim-Teng


Hubungan antara Indonesia dengan Mesir semakin baik, dengan dibukanya perwakilan RI di Mesir dengan menunjuk HM Rasyidi sebagai Kuasa Usaha. Perwakilan tersebut merangkap sebagai misi diplomatik untuk seluruh negara-negara Liga Arab. Hubungan yang makin erat ini memberi kontribusi besar kepada Indonesia, ketika terjadi perdebatan Indonesia di forum Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB yag membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, para diplomat Arab dengan gigih mendukung Indonesia.

Presiden Sukarno pun membalas pembelaan negara-negara Arab di forum Internasional dengan mengunjungi Mesir dan Arab Saudi pada Mei 1956 dan Irak 1960. Pada 1956, ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir, Indonesia mendukung keputusan itu dan untuk pertama kalinya mengirim Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir yang dinamakan dengan Pasukan Garuda I.

Indonesia yang telah megikat hubungan harmonis sejak dulu dengan negara Tim-Teng, mempunyai dampak positif untuk memperluas perdagangannya khususnya. Lebih-lebih kencangnya isu terorisme yang banyak digembor-gemborkan AS, membuat investor-invostor dari Tim-Tengah mengalihkan investasinya ke negara lain. Pengalihan ini di prioritaskan kepada negara lain terutama negara yang bermayoritas memeluk Islam. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, lebih menjadi sorotan negara Tim-Teng dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti, Malaysia, Thailand, Vietnam dll.

Reputasi Indonesia di bidang percaturan politik internasional juga mempunyai posisi yang terhormat, misalnya ketika menjadi inisiator Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Indonesia, bersama India. Mesir dan Yugoslavia menajdi pelopor berdirinya Gerakan Non-Blok. Selain itu juga, potensi alam Indonesia yang kaya dengan bahan mentah dapat diolah menajdi komoditi perdagangan ke Tim–Teng, karena lebih dari 70 persen kebutuhan negara-negara tersebut dari impor.

Hubungan yang sudah terjalin sudah lama, hubungan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk meraih kerja sama dalam bidang perdagangan maupun untuk mendapatkan hibah dan bantuan kemanusian. Aplikasi dari hubungan ini terlihat ketika Menteri Perdagangan dan Industri Kuwait berkunjung ke Indonesia tahun 2000, ia menyatakan akan tetap menanamkan investasinya sebesar 1,2 milyar dolar AS, untuk menolong keluar dari krisis.

Selain itu juga, Indonesia memiliki kekuatan transaksi keuangan yang jumlah bertriliun-triliun rupiah terhadap suatu negara yang berada di Tim-Teng, yaitu suatu transaksi yang terkait dengan penyelenggaraan haji tiap tahun. Pada tahun 2006 Indonesia memberangkatkan sekitar 205.000 jama’ah haji. Jika biaya haji sekitar 2.577,00 dolar AS, maka dana yang terkumpul adalah sekitar 528.285.000,00 dolar AS atau Rp 4.860.222.000.000,00. Dari jumlah tersebut akan menjadi devisa Arab Saudi dalam bentuk living cost, akomodasi, konsumsi di Airport King Abdul Aziz dan Madinah, dan biaya-biaya lainnya.

Namun demikian, masih banyak kekurangan-kekuarangan khususnya dari pihak Indonesia sendiri. Seperti halnya yang diungkapan oleh Alwi Sihab Mantan Menko Kesra “Hubungan dagang Indonesia dengan Tim-Teng memiliki beberapa kelemahan, yaitu pendekatan yang masih rendah dan pengusaha Indonesia lebih berorientasi ke Amerika Serikat, Eropa dan Japang”. Kurangnya pendekatan dan menyepelekan pasar Tim-Teng mengakibatkan beberapa pengusaha Arab mengalihkan pandangannya ke Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina. Kesadaran promosi pegusaha Indonesia masih sangat rendah, mengakibatkan kurangnya peminat yang bekerja sama dengannya.

Harapan di Masa Yang Akan Datang

Harapan ke depan, hubungan Indonesia harus lebih banyak digerakkan secara agresif, baik di dunia politik, kebudayaan, perdagangan, maupun pendidikan. Peluang itu masih sangat terbuka lebar. Secara ekonomi, kawasan Tim-Teng ini dihuni sekitar oleh 300 juta jiwa yang tergolong konsumtif. Misalnya, Uni Emirat Arab berpenduduk 3 juta jiwa mengimpor produk senilai 23 miliar dolar AS per tahun dan porsi Indonesia baru 3,2 persen. Yordania berpenduduk 4,1 juta jiwa mengimpor produk senilai 2,59 miliar dinar Yordan per tahun. Sementara Indonesia baru 38,42 juta dinar Yordan (1,48 persen) di bawah Malaysia yang memiliki pangsa pasar 2,92 persen. Arab Saudi pada tahun 1994 mengimpor barang seharga 23 miliar dolar AS dan Indonesia hanya dapat mengekspor ke Saudi 1,15 persen kebutuhannya. Sangat disayangkan sekali prestasi yang telah dicapai oleh Indonesia di bidang perdagangan dengan Tim-Teng. Sedangkan Indonesia tiap tahunnya memberikan devisa besar ke Saudi, dengan memberangkatkan beribu-ribu jama’ah haji. Keadaan seperti ini merupakan PR besar bagi pemerintah, dikarnakan Saudi bukan hanya pintu gerbang untuk barang-barang kebutuhan Arab Saudi, tetapi juga pintu untuk masuknya barang-barang ke wilayah Afrika.

Dalam bidang politik, sudah saatnya Indonesia mengambil inisiatif untuk memelopori kerja sama antara negara-negara Islam termasuk negara-negara Arab, di waktu negara-negara Arab dalam situasi tidak saling percaya pasca-Perang Teluk III. Romantisme sejarah Sukarno dan Abdul Nasser Mesir dapat ditengok sebagai referensi, bahwa kedua kawasan dapat menjalin hubungan positif. Pada sisi lain, Indonesia dan negara-negara Tim-Teng termasuk negara yang dicurigai sebagai sarang teroris oleh Barat, khususnya Amerika, sehinga menjadi objek tekanan dan permainan politik Barat. Oleh karena itu Indonesia perlu bekerja sama dengan negara kawasan Tim-Teng untuk bersama-sama membuat kesepakatan tentang makna terorisme, agar isu tersebut tidak dijadikan alat kolonialisme dan imperialisme modern.
(Oleh: Andi M Sadli, ketua FSQ 08-09)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 1:17 PM  

SEPUTAR HUBUNGAN INTERNASIONAL

Berbicara tentang Hubungan Internasional, pastinya tak terlepas dari hubungan antar satu bangsa atau Negara ke yang lainya, akan tetapi, pandangan tentang pemikiran Hubungan Internasional sendiri berawal dari sebuah traktat atau Perdamaian Westphalia yang juga dikenal dengan nama Perjanjian Munster dan Osnabruck pada tahun 1648, adalah serangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan secara resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swis ketika sistem negara modern mulai dikembangkan.

Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Dalam perdamaian Westphalia terbentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai.

Sistem pemikiran Westphalia mendorong bangkitnya negara sampai bangsa, institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem pemikiran ini kemudian ‘diexpor’ ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan standar-standar peradaban. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama Perang Dingin. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap modern, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai pra-modern. Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap pasca-modern. Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. Level-level analisis adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unit, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.

Besamaan dengan perkembangan peradaban dan pemikiran manusia, teori tentang Hubungan Internasional berkembang berdasakan fase-fase yang kesemua itu bermula dari:
Current History: sebagai ladang penyelidikan intelektual yang sebagian besar dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik yang merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.

Idealisme Politik: Berawal setelah Perang Dunia I yang membuka pintu terhadap revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian, aliran current history masih memiliki pengikutnya. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
Realisme Politik: perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

The Behavior approach (pendekatan perilaku): aliran realism klasik menyiapkan secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan empiris. Namun demikian ketidak-kuasaan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesuliran dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an. Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi Hubungan Internasional maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian.

The Neoralist Structural Approach (pendekatan Neoralisme Struktural): pandangan ini membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori sistem.

Institutionalisme Neoliberal: Seperti halnya neoliberal, institutionalis neoliberal menggunakan teori structural politik internasional. Mereka terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit di dalamnya, namun mereka member lebih banyak perhatian pada bagaimana cara lembaga internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja sama internasional. Daripada halnya menggambarkan dunia di mana negara-negara di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan terancam oleh yang lainya, Institusionalis Neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih di antara entitas politik yang berdaulat.

Kalau kita lihat pada sejarah klasik hingga modern, Hubungan Internasional berawal dari hubungan antar negara, namun dalam perkembangannya, konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya Hubungan Internasional diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep atau teori modern hubungan internasional. Aktor-aktor non negara seperti organisasi internasional mempunyai peran yang sangat penting. Bahkan Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan akan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi
(Oleh: M Sulthon Aziz, Mahasiswa Al Azhar jurusan Syari'ah wal Qanun, Tk 3)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 1:12 PM  

SEKILAS HUBUNGAN INTERNASIONAL

Hubungan Internasional adalah studi tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara dalam sistem internasional. Disiplin ilmu ini selanjutnya juga mencakup peran negara-negara, organisasi-organisasi antar pemerintah, organisasi-organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional.
Hubungan Internasional adalah suatu bidang akademis sekaligus kebijakan publik dan dapat bersifat positif atau normatif, karena Hubungan Internasional berusaha menganalisa serta merumuskan konsep kebijakan luar negeri negara-negara tertentu.

Sejarah

Sistem Internasional, Sejarah Hubungan Internasional sering dianggap berawal dari Perdamaian Westphalia pada tahun 1648, ketika sistem negara modern dikembangkan. Perjanjian Westphalia yang juga dikenal dengan nama Perjanjian Munster dan Osnabruck, merupakan serangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun, dan secara resmi mengakui kedaulatan Republik Belanda dan Konfederasi Swiss. Perjanjian ini ditandatangani pada 24 Oktober 1648 antara Kaisar Romawi Suci Ferdinand III, dan para pangeran Jerman lainnya, perwakilan dari Belanda, Perancis, dan Swedia.

Sebelum Westphalia, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Pada dasarnya, otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai.

Teori Hubungan Internasional

Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, namun teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya.
Secara garis besar, teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis yaitu 'positivis' dan 'pasca-positivis'. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisa dampak kekuatan-kekuatan material pada hubungan antar negara. Teori-teori ini biasanya berfokus pada berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Sedangkan epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan 'bebas nilai'. Pendukung pasca-positivis ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa untuk menjadi suatu suatu 'ilmu', HI tidak layak.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa, beberapa teori-teori positivis seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti; mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh; apa yang dimaksudkan dengan 'kekuasaan'? Hal-hal apa saja yang membentuknya? Serta bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi? Teori-teori pasca-positivis secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam penelitian HI 'tradisional', karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara 'fakta-fakta' dan penilaian-penilaian normatif, atau 'nilai-nilai'.

Konsep-konsep dalam Hubungan Internasional

Kekuasaan

Konsep Kekuasaan dalam Hubungan Internasional dapat dideskripsikan sebagai tingkat sumber daya, kapabilitas, dan pengaruh suatu Negara dalam persoalan-persoalan internasional. Kekuasaan sering dibagi menjadi konsep-konsep kekuasaan yang keras (hard power) dan kekuasaan yang lunak (soft power). Kekuasaan yang keras identik dengan kekuasaan yang bersifat memaksa, seperti penggunaan kekuatan, sedang kekuasaan yang lunak biasanya mencakup ekonomi, diplomasi, dan pengaruh budaya. Namun, pada dasarnya tidak ada garis pembagi yang jelas di antara dua bentuk kekuasaan tersebut.

Polaritas

Polaritas dalam Hubungan Internasional berarti penyusunan kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut mulai muncul dari realita terjadinya bipolaritas selama Perang Dingin. Pada waktu itu sistem internasional didominasi oleh konflik antar dua negara adikuasa. Selanjutnya, menurut teori polaritas ini, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan sebagai sistem yang terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan yang dibagi-bagi antara negara-negara besar. Akhirnya, keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan AS, sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori Hubungan Internasional menggunakan ide polaritas tersebut.
Secara teori, 'Keseimbangan Kekuasaan' adalah konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan, akan menciptakan stabilitas dan mencegah terjadinya perang dunia.
Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya dalam keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional. Dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil, karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang lain, dari satu sama lain dalam sistem internasional. Namun teori ini pada perkembangannya, bertentangan dengan banyak argumen Neorealis, yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil, yang secara tidak terelakkan berpotensi menumbuhkan konflik baru.
Sebagaimana diungkapkan dalam teori peralihan Kekuasaan yang menyatakan bahwa mungkin suatu negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni (hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Pendukung utama teori tersebut, A.F.K. Organski, yang mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda.

Dependensi

Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan Marxisme, yang menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok 'negara pinggiran' yang lebih lemah. Pelbagai versi teori ini mengemukakan bahwa hal ini merupakan keadaan yang tidak terelakkan (teori dependensi standar), atau menggunakan teori tersebut untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-Marxisme).

Perangkat-perangkat sistemik dalam Hubungan Internasional

Diplomasi

Diplomasi adalah praktek komunikasi dan negosiasi antara pelbagai perwakilan negara-negara. Merupakan seni dan praktek bernegosiasi yang dilakukan oleh seseorang (yang disebut diplomat), biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan Diplomasi Internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus.

Perang

Penggunaan kekuatan bersenjata sering dianggap sebagai perangkat utama dalam Hubungan Internasional. Definisi perang yang diterima secara luas adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “Kelanjutan politik dengan cara yang 'lain'”. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengembangan studi tentang 'perang-perang baru' yang melibatkan aktor-aktor selain Negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional tercakup dalam disiplin 'Studi Perang' dan 'Studi Strategis'.

Internasionalisasi

Mobilisasi tindakan memperlakukan secara internasional juga dapat dianggap sebagai alat dalam Hubungan Internasional. Hal ini adalah untuk mengubah tindakan negara-negara lewat 'menyebut dan mempermalukan' pada level internasional. Penggunaan yang terkemuka dalam hal ini adalah prosedur Komisi PBB untuk Hak-Hak Asasi Manusia 1235, yang secara publik, memaparkan negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

Penutup

Alhasil, dengan perkembangan yang semakin global dewasa ini, bidang studi Hubungan Internasional menjadi salah satu ujung tombak dalam rangka memelihara eksistensi Negara dalam percaturan dunia. Apalagi dengan derasnya arus informasi yang bersumber dari kemajuan tekhnologi, dunia semakin menjadi sempit dan interaksi antarbangsa adalah sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Hingga akhirnya internasionalisasi menjadi kata kunci dari permasalahn-permasalahan mutakhir dalam pelbagai bidangnya.
Coretan ini tidaklah bisa mencakup keseluruhan disiplin ilmu Hubungan Internasional yang menjadi satu jurusan tersendiri dalam fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Namun penulis berharap, semoga coretan ini dapat membantu sebabagi pembuka cakrawala pembaca untuk lebih intens lagi dalam mengikuti percaturan dunia yang terus berputar cepat. Wallahu a’lam.

*disarikan dari beberapa sumber, khususnya situs www.id.wikipedia.org
* Nur Fu'ad Shofiyullah, Lc


(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 1:08 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home