SUMBER-SUMBER PERIKATAN DENGAN KESEPAKATAN (AKAD)

Kadang kala suatu kejadian terjadi tanpa adanya rasa niat atau keinginan seseorang yang kemudian karena kejadian tersebut ia dibebani sebuah kewajiban. Maka seseorang tersebut wajib memenuhi segala kewajibannya sebagaimana halnya kewajiban yang harus dipenuhi berdasarkan naskah hukum, misalnya kewajiban hukum yang dilimpahkan kepada seorang, maka orang tersebut harus melaksanakannya meski tanpa adanya rasa keinginan untuk memenuhinya. Seperti kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada anak istrinya, telah diatur oleh undang undang dengan atau tidak dengan adanya keinginan dari seorang suami.

Kadang pula, sebuah kejadian terjadi karena adanya keinginan yang jelas dari pelaku dan yang berkenaan dengan keinginan itu sendiri dapat terjadi dari bermacam-macam keadaan, seperti akad (perjanjian) yang disepakati oleh dua orang atau lebih. Misalnya akad jual beli, akad sewa menyewa, jaminan dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akad (perikatan) adalah kenyataan atau sebab yang menghasilkan sebuah kewajiban dan yang menumbuhkannya. Dan kata ‘perjainjian’ atau ‘perikatan’ dalam bahasa Indonesia memiliki arti sama dengan ‘aqad dalam bahasa Arab.

Perjanjian, transaksi dan kontrak merupakan suatu aktifitas kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia. Dan perlu adanya aturan-aturan yang menata jalanya kebiasaan ini dalam mengantisipasi kerugian yang menimpa salah satu pihak, yang dapat mengakibatkan terjadinya persengketaan antar kedua belah pihak karena merasa telah dirugikan. Sedangkan Perikatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pada Hukum Perdata, yaitu hukum yang berisi ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu dalam masyarakat.

Khusus tentang permasalahan personal, bahwa telah diatur oleh aturan-aturan yang dinamakan hukum privat. Termasuk ke dalam hukum privat ini adalah Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Ketenagakerjaan, Hukum Laut dan Antariksa, Hukum Pertanian dan Hukum Perdata Internasinal. Kebalikan dari Hukum Privat adalah Hukum Publik, yaitu aturan-aturan yang mengatur kepentingan umum, seperti aturan yang mengatur hubungan antara warga negara dengan negaranya.

Pengertian Singkat Tentang Hukum Perdata

Dr. Ibrahim Ibrahim As Sholihi, dosen Fakultas Syariah wal Qanun Universitas Al Azhar Cairo, mengatakan bahwa Hukum Perdata adalah kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang dalam hubungan tersbut, seorang individu tidak berperan sebagai pemegang kehendak pribadi, kecuali (yang tidak termasuk Hukum Perdata) beberapa hal yang yang menjadi objek hukum lain, yang termasuk bagian hukum privat.

Dari definisi di atas tampak jelas bahwa hukum perdata adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur permasalahan-permasalahan yang muncul akibat hubungan antara individu yang satu dengan yang lainya dalam pengaturan orang, benda, perikatan dan pembuktian. Termasuk dalam pengaturan orang, hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan dan termasuk ke dalam pengaturan benda hal-hal yang berhubungan dengan pewarisan, piutang, wasiat, hak pakai hasil, gadai, hipotek dan lain sebagainya.

Adapun yang termasuk ke dalam pengaturan perikatan diantaranya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian kerja, pemberian kuasa. Sedangkan yang termasuk ke dalam pengaturan pembuktian antara lain; persangkaan, pengakuan, sumpah di hadapan hakim, serta lewat waktu (daluarsa).

Defenisi ini juga membedakan antara individu biasa dengan individu yang berposisi sebagai pemegang kedaulatan (aparat pemerintah), yang fungsinya untuk mengecualikan sebuah hubungan yang terjadi antara dua individu dan salah satunya mengatasnamakan Negara, sehingga tidak termasuk ke dalam Hukum Perdata, melainkan masuk ke dalam tidakan Pidana.

Defnisi tentang Hukum Perdata telah membedakan antara individu biasa dengan individu yang berposisi sebagai pemegang kedaulatan (aparat pemerintah), yang fungsinya untuk mengecualikan sebuah hubungan yang terjadi antara dua individu, yang salah satunya mengatasnamakan Negara, sehingga tidak termasuk ke dalam tindakan perdata.

Untuk memperjelas perbedaan dari dua macam hukum di atas, Penulis melampirkan studi kasus yang kebetulan baru-baru ini terjadi untuk sama-sama dibahas dalam forum ini (FSQ). Yaitu tentang kasus dua nasabah Bank Internasional Indonesia (BII) yang juga penyewa safety deposit box (SDB) yang menggugat bank yang saham mayoritasnya dikuasai MayBank Malaysia itu. Dua nasabah tersebut, Ishwar Manwani dan Ivone Susanto, melayangkan gugatan karena BII menolak bertanggung jawab atas hilangnya barang berharga mereka yang tersimpan di SDB Plaza BII, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Sedangkan di lain pihak, melalui kuasa hukumnya, pihak BII membantah telah melakukan perbuatan melanggar hukum.

Untuk membahas hal di atas, ada baiknya kita membahas bagaimana definisi akad atau perjanjian dalam Hukum Perdata menurut pakar hukum, Perundang-undangan Mesir, maupun Hukum Islam.

Defenisi Akad dan Pembagiannya

Defenisi akad menurut pakar hukum adalah; “kesepakatan antara dua keinginan atau lebih dalam mewujudkan suatu komitmen hukum, baik itu komitmen dalam janji melaksanakan suatu kewajiban, memindahkan atau mengamandemen (mengganti) atau menghapuskannya (dihilangkan).”

Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari’ah adalah ikatan antara ‘ijab’ dan ‘qabul’ yang diselenggarakan menurut ketentuan syari’ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad tersebut diselenggarakan.

Para pakar hukum membedakan antara akad dan kesepakatan atas dasar bahwa kesepakatan (perikatan) lebih umum dalam pemakaiannya dibandingkan akad. Dengan demikian, pemakaian istilah akad lebih terperinci kepada hal yang lebih penting dan khusus kepada apa yang telah diatur dan memiliki ketentuan. Sedangkan istilah kesepakatan tidak harus demikian, akan tetapi dapat dipakai dalam hal apa saja yang serupa, misalanya untuk melengkapi kegiatan manusia untuk semacam janji yang tidak memiliki nama khusus atau aturan tertentu.

Kesepakatan antara dua keinginan dalam mencapai komitmen yang diinginkan pada waktu yang akan datang dan telah diketahui secara mutlak seperti jual beli atau pemindahan hutang piutang. Sedangkan akad dapat dipahami sebagai sebatas kesepakatan dalam mencapai suatu. Adapun yang membedakan antara keduanya adalah kecakapan pelaku.

Kecakapan pelaku akad berbeda dengan kecakapan dalam pelaku perikatan, karena keduanya memiliki nilai hasil masing-masing. Dan pelaku akad tidak dibebani tanggung jawab dan syarat sebanyak pelaku perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesepakatan atau perikatan memiliki arti lebih luas dibandingkan akad.

Dalam pelaksanaan akad, keinginan peribadi (individu) merupakan kekuatan yang paling besar dan mendasar dalam pembentukan akad dan juga berfungsi membatasi nilai-nilai yang dihasilkan. Kekuasaan (kekuatan) peribadi disandarkan untuk melindungi hak dan kebebasan individu. Dalam pelaksanaan akad pemberian (donasi), berbeda dengan pelaksaan akad peminjaman yang merupakan aktifitas serupa bila dikategorikan serupa dalam pelaksanaan akad, tapi yang membedakannya adalah dari segi kecakapan di pelaku.

Yang perlu diperhatikan adalah kesepakatan yang dimasukkan dalam pembahasan akad, yang dalam pemahaman ini, akad harus mengikuti pembahasan dalam hukum privat dari satu segi dan di sisi lain akad yang masuk dalam kategori aktifitas pengelolaan keuangan (mu’amalah al-maliyah).

Akan tetapi dalam hukum Romawi, kesepakatan untuk melaksanakan akad tidak bisa diterima apabila hanya berlandaskan keinginan peribadi semata tanpa memiliki kekuatan hukum, akan tetapi harus mengikuti bentuk administrasi tertentu (khusus).

Pembagian Akad

Akad memiliki jenis dan pembagian, yang setiap satu dari jenis tersebut memiliki pembahasan khusus yang membedakan akad. Di antaranya adalah;
1. ‘Aqad musammah’ dan ‘aqad ghairu musammah’
2. ‘Aqad ridla’iyah’, terdiri dari dua macam; ‘aqad syakliah’ dan aqad ‘‘ainiyah’
3. ‘aqad mulzimah’ yang terdiri dari tiga macam; ‘Akad mulzimah liljanibain’,aqad mulzimah lijanibin wahid’, ‘aqad mu’aridlah’ dan ‘tabarru’’
4. ‘Aqad muhaddadah’ dan ‘aqad ihtimali’
5. ‘Aqad basithah’ dan ‘aqad murakkabah’ atau ‘muhktalithah’

a. Aqad musammah, adalah aqad yang diatur khusus dalam aturan hukum (administrasi), sehingga dari aturan tersebut, dapat diketahui dengan nama nama khusus yang mencirikan jenis akad-akad yang telah banyak beredar dalam kegiatan hidup, dan ini berperan penting dalam akifitas mu’amalat dan kegiatan ekonomi dan sama halnya dalam hukum sipil atau hukum lainnya seperti jual beli, akad yang berkenaan dengan harta pemberian (hibah), sewa-menyewa, angsuran dan lain sebagainya.

b. Aqad goiru musammah, yaitu aqad yang tidak memiliki administrasi khusus (aturan khusus) yang terperinci, akan tetapi setiap individu dapat memiliki kebebasan dalam melakukan akad, sejauh pada batasan tidak melewati ‘norma umum’, dan akad ini tidak tidak terbatas pada jumlah tertentu, karena kewajiban dari akad ini tidak memiliki batasan batasan yang jelas.

c. Aqad Ridla’iyah adalah akad yang tidak monoton dalam satu bentuk, akan tetapi cukup dengan keridhoan antara pelaku akad dan keinginan mereka untuk melaksanakannya.

d. Aqad syakliah, yaitu akad yang tidak diterima dalam bentuk keridhoan saja (sukarela) antara pelaku akad, akan tetapi di atas itu harus mengikuti suatu administrasi khusus yang dibatasi hukum. Seperti penulisan dalam suatu catatan resmi oleh pegawai khusus.

e. Aqad ‘ainiyah, yaitu akad yang tidak cukup dengan keridhoan antara pelaku akad dan juga pengambilan bentuk administrasi tertentu, akan tetapi harus disertai penerimaan (penguasaan) atas barang yang dijadikan akad. Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah; apabila akad barang yang berpindah disertai dengan surat resmi dimasukkan dalam aqad syakliah. Dan apabila disertai dengan penguasaan barang dimasukkan dalam aqad ‘ainiah.

f. Aqad mulzimah liljanibain adalah akad yang di bentuk dengan setiap individu (pelaku) memperoleh tanggung jawab yang harus ditepati (timbal balik) seperti jual beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak pelaku akad (perikatan) mendapat keterikatan timbal balik yang harus dilakukan.

g. Aqad mulzimah lijanibin wahid, yaitu kebalikan dari pada aqad mulzimah liljanibain, yaitu yang mendapat tanggung jawab (terikat) hanya salah satu dari kedua pihak yang mengadakan perikatan saja seperti akad pinjam meminjam (kredit).

h. Aqad mu’aridhoh adalah akad yang setiap pelakunya memberikan barang untuk dijadikan sebagai jaminan, sedangkan tabarru’ adalah akad yang dilakukan tanpa adanya balasan dari pihak penerima, sebagaimana dalam perjanjian pinjam meminjam.

i. Aqad muhaddadah adalah akad yang setiap pelakunya bisa mengetahui dengan jelas ukuran yang akan di ambil ukuran yang akan di pakai dan lain sebagainya sedetail mungkin, sehingga tidak adanya keraguan dalam pelaksanaan akad tersebut

j. Aqad ihtimali, adalah apabila pelakunya tidak mengetahui masalah akad ini sedetail mungkin, ukuran yang dipakai, waktunya, objek apa yang akan diberikan dan sebagainya.

k. Aqad basithah adalah akad yang tergabung di dalamnya satu saja dan tidak ada bentuk lain atau terbatas dalam satu bentuk. Aqad murakkabah atau muhktalithoh, adalah akad yang di dalamnya tergabung dalam beberapa bentuk akad dan tidak terbatas dalam satu bentuk saja.

l. Di samping itu juga, dalam pelaksanaannya akad pun dapat dibagi menjadi dua, yaitu akad yang dilaksakan dengan tidak melihat keadaan waktu dalam pelaksanaannya, namun dapat dilakukan secara langsung. Dan akad yang di dalam pelaksanaannya diberikan tenggang waktu dan tidak harus dilaksanakan secara langsung.

Pelaksanaan Akad

Dalam pelaksanaan akad atau pembentukannya, baru dapat dikatakan benar, sah atau diakui keberadaannya oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di antaranya adalah adanya unsur unsur‘ridla’, unsur objek akad (‘mahal’) dan unsur sebab akibat (‘sabab’) serta ‘ganjaran’ apabila asas (rukun)-nya tidak dipenuhi (konsekuensi). Sebelum melakukan akad (perikatan) pelaku akad harus menentukan jenis, hakikat tujuan, bentuk dan nama yang sudah umum. Sehingga pihak hakim bisa mengambil kesimpulan dari bentuk pelaksanaan akad itu.

Dan apabila didapati kesamaran (keraguan) dalam bentuk, jenis, nama dan sebagainya, yang dengan kesamaran tersebut, hakim tidak bisa menyimpulkan bentuk akadnya, maka pihak hakim berhak mengambil kesimpulan dengan lebih memprioritaskan pihak yang berhutang.

Syarat Syarat Terbentuknya Akad

Syarat Pertama, Ridla

Ridla (kehendak pribadi tanpa paksaan) merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi, dengan itu keinginan (kata sepakat) harus ditekankan antara pelaku akad dalam mewujudkan komitmen akad tersebut. Dengan demikian keridla-an ada dan dinyatakan sah dengan adanya kesepakatan yang dihasilkan oleh dua orang yang melaksanakan akad. Akan tetapi, tidak cukup hanya disandarkan atas dasar sukarela, pelaksanaan perikatan yang baik juga harus memperhatikan ke-absahan (kesahan) akad tersebut jika dipandang dari sisi hukum. Di antaranya, bisa dengan memperhatikan sejauh mana kehendak pribadi si pelaku akad dalam melaksanakan perikatan tersebut.

Dalam pasal 89 hukum sipil baru (Mesir) telah dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan ‘sukarela’ (perijinan); yaitu adanya kebebasan pelaku akad untuk saling bergantian mengungkapkan keinginannya masing-masing.

Adapun pembahasan yang mendasar dalam keridla-an ini adalah sebagai berikut;

1. Pengungkapan (ucapan) keinginan (sukarela)
2. Kesesuaian dua keinginan
3. Teori perwakilan dalam akad
4. Adanya perjanjian untuk melaksanakan akad

Dengan demikian, adanya rasa sukarela membentuk hasil dalam komitmen hukum. Oleh karena itu 'ridla' pelaku akad harus diungkapakan (diikrarkan) dengan benar dan jelas sesuai dengan kaidah bahasa yang bisa dipahami, sehingga tidak membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Sehingga kebenarannya dapat diakui dengan ucapan. Persetujuan dalam akad bisa dibagi dalam dua bentuk, yaitu pesetujuan eksplisit (jelas) dan persetujuan implisit (diam-diam). Ungkapan yang jelas dapat di kategorikan sebagai berikut;

a. Persetujuan dengan perkataan, yaitu lafaz memberikan arti dan maksud secara langsung bahwa pelaku ridla dalam pelaksanaannya, baik itu dengan ikrar secara langsung atau tidak langsung seperti ucapan atau pembicaraan lewat telepon.

b. Persetujuan dengan tulisan, yaitu persetujuan yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang artinya memberikan persetujuan dalam pelaksanaan akad tersebut. Baik itu dengan tulisan tangan, komputer atau alat tulis lainnya. Yang intinya memberikan arti persetujuan, sehingga tidak mendatangkan perbedaan pendapat.

c. Ungkapan dengan isyarat yaitu persetujuan yang disandarkan kepada isyarat yang telah diketahui oleh orang banyak dan berlaku secara umum, yang intinya memberikan arti persetujuan dalam pelaksanaannya.

d. Mengambil posisi tertentu, yaitu posisi yang tidak mendatangkan keraguan dalam upaya pencapaian tujuan baik itu pada situasi tertentu maupun kondisi tertentu. Seperti bus yang diparkir di terminal, dengan demikian, setiap orang dapat mengerti bahwa bus tersebut digunakan untuk mengangkut orang yang ingin bepergian.

Syarat Kedua, Kesesuaian Dua Keinginan

Kesesuaian dua keinginan yaitu mengerahkan semua keinginan pelaku akad kepada satu pandangan khusus yang terikat dalam permasalahan khusus. Dengan demikian pelaku akad harus menyesuaikan dengan jelas tentang akad yang akan disepakati, baik itu dari segi ‘rukun’, syarat, dan segala sesuatu yang menyangkut akad tersebut, yang kemudian dapat disederhanakan dalam ‘ijab’ (penetapan) dan ‘qabul’ (persetujuan), yang pada akhirnya setiap pelaksanaan akad mengucapkan kerelaannya dalam melaksanakan akad tersebut secara bergantian.

Dr. Jamal Zaky Sabik dalam bukunya mengungkapkan bahwa ‘ijab’ (penetapan) adalah akhir dari keinginan yang diselenggarakan dengan akad apabila tidak bertemu (sesuai) dengan ‘qabul’ (persetujuan). Dua kalmat di atas adalah dua kalimat yang diucapkan dengan ungkapan yang berbeda tapi memiliki arti dan maksud yang sama, Dr. Sabik juga mengatakan bahwa persetujuan atau perikatan adalah apa yang diungkapkan seorang dengan keinginannya untuk mengesahkan akad tertentu dan apabila didapati perbedaan antara penetapan dan persetujuan dalam akad, akad tetap dapat dilaksanakan atau dilanjutkan.

Wakil Dalam Akad

Terkadang, seorang mengungkapkan keinginannya (dengan membuat persetujuan) dalam pengesahan akad, kemudian hasil dari persetujuannya itu kembali kepada dirinya sendiri. Dan terkadang pula seorang mengungkapkan persetujuan orang lain dalam pengesahan akad, kemudian hasil pengesahan tersebut merujuk kepada orang lain (yang mewakilkan). Perwakilan dalam akad adalah pelaksanaan seseorang untuk menggantikan posisi orang lain dalam administrasi untuk menjalankan hukum.
Dan dalam menjalankan hukum, kelayakan (kecakapan) seseorang harus menjadi perhatian. Apabila didapati adanya kekurangan dalam kelayakan (kecakapan), maka pelaksanaannya menjadi tidak sah.

Pelaksanaan hukum ditinjau dari segi kelayakan (kecakapan) secara langsung dapat dibagi menjadi tiga.

1. Pekerjaan yang semata-mata bermanfaat.
2. Pekerjaan yang semata-mata merugikan.
3. Pekerjaan yang dapat berada di dalam lingkaran untung rugi.

Dengan demikian kesepakatan secara langsung disetujui oleh pelaksana akad ataupun dengan persetujuan yang diwakilkan, keduanya tunduk dalam semua kaidah hukum dan peraturan yang berlaku.

Janji Dalam Pelaksanaan Akad

Janji adalah pemberitahuan untuk melaksanakan sesuatu yang sudah diketahui di masa yang akan datang. Dr. Ibrahim Ibrahim Asahalih mendefenisikan bahwa janji melaksakan akad sesuai dengan pasal. 101 Qonun Madany (Undang Undang Perdata Mesir) yaitu kesepakatan dari dua sisi untuk melaksanakan akad di masa yang akan datang. Adapun syarat yang harus dipenuhi ketika melaksanakan akad adalah menetapkan semua landasan permasalahan dengan jelas dan memberikan batasan waktu.

Kesepakatan Pertama dan Akad Dengan Uang Muka.

Kesepakatan ini dinamakan juga kesepakatan akhir, akan tetapi kedua pelaku akad memulai kesepakatan melalui proses pelaksanaan dari fase pertama yaitu dengan mewajibkan setip pelaku akad melaksanakan administrasi wajib untuk pengesahan akad, dengan demikian kesepakatan pertama merupakan awal kesepakatan akhir.

Adapun hal yang harus di perhatikan adalah tidak boleh menggabungkan antara janji pelaksanaan akad dengan kesepakatan pertama, karena janji yang pelaksanaan akad tidak bisa memberikan pengaruh (bekas) terhadap kesepakatan akhir ataupun sebaliknya.

Mahal (objek).

Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa objek dalam kesepakatan berbeda dengan objek dalam perikatan. Obyek kesepakatan ialah kesepakatan hukum yang ditujukan untuk mencapai target (dorongan dari belakang). Adapun objek dalam perikatan ialah pelaksanaannya yang diwajibkan terhadap pihak yang berhutang untuk kemaslahatan pihak yang berpiutang, apakah itu larangan unuk melaksanakan sesuatu atau memberikan sesuatu dan lain sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kewajiban hukum yang dimaksudkan dalam objek akad adalah pemberian kewajiban terhadap pelaku akad atau salah satu di antaranya.

Sebab/kausa perikatan

Banyak pengertian dan penafsiran kata ‘sabab’ (sebab) sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing. Adapun maksud ‘sebab’ dalam pembahasan ini adalah maksud dan tujuan langsung yang di harapkan realisasinya dan untuk mendorong pengesahan kesepakatan.

Sangsi Apabila Tidak Memenuhi Syarat/Rukun

Sudah sama-sama kita ketahui, bahwa kesepakatan tidak akan ada apabila syarat atau rukunnya tidak terpenuhi dan tidak akan memberikan pengaruh atau bekas pada perikatan tersebut. Sangsi yang diadakan terjadi apabila ketentuan tersebut tidak dapat terpenuhi, dan sangsi nerupakanbagian dari kesepakatan, apabila kesepakatan atau perikatan tersebut tidak sah atau batal.

Kata ‘perikatan’ dan ‘perjanjian’ dalam tulisan ini digunakan dalam makna yang sama dengan kata ‘aqad’ dalam bahasa Arab. Mengingat luasnya cakupan hukum perikatan dan perjanjian, tulisan ini membatasi diri hanya pada aspek syarat-syarat perikatan dan perjanjian saja.

Sangsi Dalam Perikatan Dalam Undang Undang Indonesia

Dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia dinyatakan bahwa untuk sahnya perikatan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu;

1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat perjanjian (toestemming);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid).
3. Mengenai suatu hal atau obyek tertentu (bepaalde onderwerp).
4. Adanya sebab (kausa) yang dibenarkan (georloofde oorzak).

Meski berbeda urutannya, KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Mesir sama-sama mencantumkan ‘kesepakatan’ sebagai syarat sahnya perikatan atau akad. Keberadaan syarat ini logis, karena perikatan melibatkan dua pihak yang sama-sama mempunyai kehendak.

Kehendak adalah proses batin yang hanya diketahui oleh masing-masing pihak. Untuk melahirkan kesepakatan, kehendak tersebut pun harus dinyatakan. Ketika pernyataan kehendak itu bertemali, dalam arti masing-masing menyatakan kerelaannya untuk menerima kehendak pihak lain, maka lahirlah apa yang dinamakan ‘perikatan’ atau ‘kesepakatan’.

Menurut J. Satrio, pernyataan kehendak dapat dilakukan secara tegas dan dapat pula dilakukan secara diam-diam. Pernyataan kehendak secara tegas bisa dilakukan secara tertulis, lisan, atau dengan ‘sebuah tanda’.

Jika terjadi perbedaan antara kehendak batin dengan pernyataannya, maka−menurut Teori Kehendak (Wils Theorie)− yang dijadikan pedoman adalah kehendak batin, yakni kehendak yang sesungguhnya seperti yang terbetik di dalam hati pihak yang bersangkutan. Tetapi menurut Teori Kepercayaan (Vertrouwens Theorie), yang dijadikan pedoman utama adalah pernyataan eksternal pihak yang bersangkutan. Karena kehendak batin hanya bisa diketahui melalui manifestasi eksternal yang dinyatakannya.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, KUH Perdata Indonesia dan UU Mesir sama-sama menyebut aspek-aspek yang sama meskipun dengan urutan yang berbeda atau terdapat perbedaan pada pembagian sub bagiannya. Aspek-aspek tersebut adalah; kesepakatan, kecakapan pihak pihak yang membuat perikatan, obyek perikatan yang nyata, dan kausa perikatan yang dibolehkan.

Aspek-aspek yang disebut sebagai syarat-syarat sahnya perikatan tersebut dapat ditemukan padanannya dalam Syari'at Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, kita mendapatkan prinsip-prinsip syar’i eksis di dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Mesir.

Adapun yang membedakan kedua Undang Undang Perdata Mesir dan KUH Perdata Indoesia adalah pada sangsi apabila syarat rukun tidak terpenuhi. Wallahu a’lam.


Oleh: Mirwan Rosyadi Nasution (Uccok Padang)



(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:02 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home