SUMBER-SUMBER FORMAL HUKUM INTERNASIONALSUMBER-SUMBER FORMAL HUKUM INTERNASIONAL

(Perjanjian Internasional dan Kebiasaan Internasional)

Oleh : H.Akbar Hiban

PENDAHULUAN

Seperti halnya kaidah-kaidah hukum lainya, hukum internasional juga memiliki sumber yang darinya terlahir kaidah-kaidah hukum internasional.

Secara umum, doktrin membedakan antara sumber-sumber materil (the material sources/less sources matêrielles/ al mahsôdir al mâdiyyah) dan sumber-sumber formil(formal sources/less sources formelles/ al mashôdir al syakliyah).

Yang dimaksud dengan sumber hukum materil adalah sebab-sebab, peristiwa-peri

stiwa,kebutuhan sosial,dan nilai-nilai yang menyebabkan adanya kaidah hukum internasional. Sedangkan sumber formil adalah sumber-sumber yang mengakibatkan kaidah hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa.

Namun perlu diingat ketika dikatakan “sumber hukum internasional” maka yang dimaksud adalah sumber hukum formil. Hal ini karena doktrin hukum internasional jarang panjang lebar mebahas sumber hukum materil, karena sumber hukum materil sebenarnya sudah lebih dahulu menjadi perhatian hukum secara umum sebelum hukum internasional, maka ia ia lebih tepat masuk dalam kajian ilmu sosiologi hukum atau ilmu filsafat hukum internasional secara umum.

Sumber-sumber hukum internasional Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:

1.Perjanjian internasional (international conventions/al ittifâqôt al dauliyyah), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2.Kebiasaan internasional (international custom/al ‘urf al dauli);
3.Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law/ mabâdi al qônûn al ‘âmmah ) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4.Keputusan pengadilan (judicial decision/al qodlô) dan pendapat para ahli (al fiqh) yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197)

Penyebutan sumber-sumber secara urut dalam pasal ini bukan berarti adanya hierarki dalam sumber-sumber tersebut, namun pasal ini hanya ingin membedakan antara sumber yang pokok (al ashlî) dengan sumber pelengkap (al ihtiyâthi).

Yang termasuk dalam sumber pokok adalah perjanjian internasional dan kebiasaan internasional. Sedangkan yang termasuk ke dalam sumber pelengkap adalah prinsip-prinsip hukum umum serta keputusan pengadilan dan pendapat para ahli.

Mengenai sumber yang ketiga yaitu prinsip-prinsip hukum umum , doktrin hukum internasional berbeda pandang, yaitu dengan memasukanya ke dalam sumber-sumber pokok.

Dari keempat sumber diatas hanya dua sumber yang akan diulas dalam makalah ini yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan internasinal, atau yang dinamakan dengan sumber pokok.

A. PERJANJIAN INTERNASIONAL (international treaty/al mu’âhadah al dauliyyah)

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.

Bahasan perjanjian internasional cukup luas, diantara hal mendasar mengenai perjanjian internasional ini adalah definisi, macam-macam, ruang lingkup berlaku, revisi dan amandeman, serta gugurnya perjanjian internasional.

Berikut ini kita akan mencoba mengulas tentang peristilahan, definisi, macam-macam dan tahapan-tahapan pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional.

I. Peristilahan

Ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk perjanjian internasional, diantaranya adalah: Traktat (Treaty/traitê/al mu’âhadah), konstitusi (constitution/al dustûr), piagam (charter/charte/al mîtsâq), pakta (pacte/al ‘ahdu), statuta (statut/al nidzôm), konvensi (convention/al ittifâqiyât), persetujuan (agreement/accord/al ittifâq), pertukaran surat (êchange de lettres/al khitôbât al mutabâdilah), pertukaran nota (exchange of notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah), protokol (protocol/al brutûkûl), deklarasi (declaration/dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh), arrangement (attaswiyyah), modus vivendi ( modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah), Memorandum of Understanding, final act, Process Verbal, letter of intents.

Walaupun istilah-istilah ini bermakna sama yaitu digunakan untuk menyatakan substansi yang sama yaitu perjanjian internasional, akan tetapi berdasarkan sensus ada beberapa istilah mempunyai makna perjanjian internasional tertentu, yaitu:

Traktat (Treaty/al mu’âhadah)

Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah perjanjian persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) tertanggal 24 Februari 1976.

Konvensi (Convention/al ittifâqiyât)

Istilah konvensi mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum. Dengan demikian, menurut pengertian umum, istilah konvensi dapat disamakan dengan pengertian umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak.

Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.

Persetujuan (Agreement/ accord/al ittifâq)

Menurut pengertian umum, persetujuan (agreement) mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada traktat dan konvensi. Contohnya Treaty of Rome, 1957.

Protokol (Protocol/ al brutûkûl)

Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding treaty atau convention. Pengunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam keragaman yaitu:

a. Protocol of signature
b. Optional protocol
c. Protocol based on a framework treaty

Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya. Misalnya adalah “the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the basis of Arts.2 and 8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer.”

Piagam (Charter/al mîtsâq)

Pada umumnya, istilah charter digunakan sebagai perangkat internasional dalam pembentukan (pendirian) suatu organisasi internasional. Misalnya, the Charter of the United Nations of 1945 dan the Charter of the Organization of American States of 1952.

Deklarasi (Deklaration dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh)

Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Contohnya ialah Deklarasi ASEAN (ASEAN Declaration) tahun 1967 dan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) tahun 1948.
Pertukaran Nota (Exchange of Notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah)
Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, “each of the parties being in the possession of the one signed by the representative of the other.”

Arrangement /attaswiyyah

Adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk.

Agreed Minutes & Summary Records


Adalah merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini akan digunakan dalam perundingan selanjutnya.

Process Verbal

Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.

Modus Vivendi (modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah) yaitu, suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci.

Memorandum of Understanding.


Sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat.

Final Act

Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Contohnya ialah Final Act General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994.

II. Definisi Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai :
“An International agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”
“ Ittifâqun dauliyyun yu’qodu baina daulataini au aktsara kitâbatan wa yakhdlo’u li al qônûn al daulî sawâ’un tamma tadwînuhu fî watsîqotin wâhidatin au aktsara wa ayyan kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi”
Yaitu kesepakatan internasional yang dibuat oleh dua Negara atau lebih dan tunduk terhadap hukum internasional, baik dalam bentuk satu dokumen atau lebih dan apapun namanya.

Definisi diatas mengisyaratkan bahwa perjanjian internasional dapat dibuat oleh dua Negara atau lebih , itu artinya bahwa yang dikategorikan perjanjian internasional hanya terbatas pada kesepakatan yang berlangsung antar lembaga Negara saja, hal ini yang mendorong para pembuat naskah konvensi untuk meratifikasi konvensi ini dengan meletakan pasal 3 yang mengisyaratkan terjadinya perjanjian internasional antara Negara dengan subjek hukum internasional lainya seperti halnya organisasi internasional, dan juga mengisyaratkan bahwa tidak diterapkannya perjanjian internasional terhadap Negara, tidak mempengaruhi kekuatan hukumnya, selain itu pasal ini juga mengisyaratkan bahwa dapat diterapkanya kaidah-kaidah yang tertera dalam perjanjian internasional terhadap Negara yang memiliki sifat hukum internasional, yang berlaku untuk Negara dan organisasi internasional.

Dengan demikian kita dapat mendefinisikan perjanjian internasional sebagai berikut:
“Ittifâqun maktûbun baina syakhshoini min asykhôsh al qônûn al dauli al ‘am ayyan kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi yatimmu ibrômuhu wafqon li ahkâm al qônûn al dauli, bihadfi ihdâtsi âtsârin qônûniyyah”
Yaitu kesepakatan tertulis antara dua subjek hukum internasional- apapun namanya kesepakatan tersebut dan sesuai dengan aturan hukum internasional-dengan tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum.

Dari definisi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa unsur-unsur perjanjian internasional adalah :
- Adanya suatu persetujuan internasional;
- Dibuat oleh subjek hukum internasional ;
- Dalam bentuk tertulis ;
- Didasarkan pada hukum internasional;
- Dibuat dalam instrumen tunggal atau lebih;
- Memiliki nama apapun.

III. Macam-Macam Perjanjian

Secara teori, doktrin hukum internasional membuat perbedaan antara perjanjian internasional yang satu dengan lainya, pembedaan ini bisa ditempuh dengan menggunakan prinsip meteril (al asâs al mâdî), yaitu berdasarkan isi dan kandungan perjanjian, serta karakter kaidah-kaidah dan kewajiban-kewajiban yang tertera dalam perjanjian tersebut. Dan bisa juga ditempuh dengan menggunakan prinsip formil (al asâs al syaklî) yaitu berdasarkan bentuk dan prosedur (tahap pembentukanya) yang dilalui oleh perjanjian internasional, atau berdasar pada jumlah Negara yang menjadi pihak perjanjian.

Bedasarkan prinsip materil doktrin hukum internasional membedakan kelompok perjanjian internasional, yaitu:

1. Perjanjian internasional “yang membuat hukum” (law making/al mu’âhadah al syâri’ah) dan Perjanjian internasional” kontrak “ (Treaty contracts/al mu’âhadah al ‘aqdiyah)
a. Perjanjian internasional atau traktat-traktat “yang membuat hukum” (law making/al mu’âhadah al syâri’ah) yaitu perjanjian yang menetapkan kaidah-kaidah, yang berlaku secara universal dan umum.
b. Perjanjian internasional atau traktat-traktat ”kontrak“ (Treaty contracts/al mu’âhadah al ‘aqdiyah) yaitu traktat yang tujuannya hanya sekedar melahirkan kewajiban-kewajiban bagi para pihak perjanjian berdasarkan kaidah-kaidah internasional. Misalnya, suatu traktat antara dua atau hanya beberapa Negara, yang berkenaan dengan pokok suatu permasalahan khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara itu.

2. Perjanjian internasional “umum” (al mu’âhadah al ‘âmmah) dan perjanjian internasional “khusus” (al khôshshoh).

Doktrin hukum internasional membedakan antara perjanjian umum dan perjanjian khusus. Hal ini termaktub pada pasal 38/1 (a) dari aturan pokok International Court of justice ketika menjelaskan “kesepakatan –kesepakatan internasional umun dan khusus yang dengan jelas menetapkan kaidah-kaidah yang diakui oleh Negara-negara yang bersengketa.” Hanya saja pembedaan ini tidak terlepas dari pembadaan yang pertama , itu karena perjanjian” yang membuat hukum” bersifat umum dan perjanjian “kontrak” bersifat khusus.

Adapun berdasarkan prinsip formil (al asâs al syaklî) maka perjanjian internasional dapat di bedakan dalam bebarapa kelompok, yaitu:

1.Perbedaan antara perjanjian internasional “yang detail” (al mu’âhadât bi al ma’na al daqîq) dan kesepakatan internasional dalam bentuk sederhana (executive agreement/ accord en forme simplifîe /al ittifâqôt fi al syakli al mubassith)
a. Perjanjian internasional “yang detail”(al mu’âhadât bi al ma’na al daqîq) yaitu perjanjian yang tidak mengikat kecuali setelah terlaksananya semua prosedur perjanjian dan telah diratifikasi oleh lembaga yang berwenang di Negara-negara anggota.
b. Kesepakatan internasional dalam bentuk sederhana (executive agreement/ accord en forme simplifîe/al ittifâqôt fi al syakli al mubassith) yaitu semua perjanjian selain perjanjian “yang detail,” seperti halnya kesepakatan-kesepakatan internasional. Itu karena kesepakatan tersebut agar dapat terlaksana tidak harus terlaksananya prosedur-prosedur yang lazim serta tidak tergantung pada ratifikasi dari lembaga yang berwenang.

2. Perjanjian internasional bilateral (traitês bilatêrux/al mu’âhadât al tsunâiyyah) dan perjanjian internasional multilateral (traitês plurilatêraux/al mu’âhadât al jamâiyyah).
Pembedaan ini adalah berdasarkan banyaknya Negara yang terlibat dalam perjanjian. Maka seandainya terjadi perjanjian antara dua Negara saja namanya perjanjian bilateral, dan kalau melibatkan banyak Negara maka namanya adalah perjanjian multilateral. Maka dari segi bentuk tampaklah perbedaan kedua jenis perjanjian ini.

3. Perjanjian internasional regional (conventions rêgionales/al mu’âhadat al iqlîmiyyah) dan perjanjian internasional yang bersifat universal (conventions a vocation universelle/al mu’âhadat dzâtu al thôbi’ al ‘âlamî).

Perjanjian juga dapat dibedakan bedasarkan sifat goegrafis. Oleh karenanya kita mengenal perjanjian regional dan perjanjian universal. Perjanjian regional adalah perjanjian yang sifatnya terbatas pada letak geografik tertentu. Sedangkan perjanjian universal sifatnya menyeluruh tidak terbatas pada letak georafik tertentu.

IV. Pelaksanaan Perjanjian

Perjanjian internasional berdasarkan bentuk dan tahap pembuatannya kita mengenal pembedaan perjanjian internasional “yang detail’ dan perjanjian internasional dalam bentuk sederhana. Seperti yang telah diulas bahwa perjanjian internasional dalam bentuk sederhana adalah transaksi sukarela yang tidak mengharuskan prosedur tertentu, sedangkan perjanjian internasional “yang detail” berdasarkan definisinya, ia merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui sampai terlaksananya perjanjian.
Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan perjanjian ini adalah negosiasi (al mufâwadloh), pembuatan naskah dan penandatanganan (al tahrîr wa al tauqî’), ratifikasi (al tashdîq), reservasi (al tahaffudz), pendaftaran (al tasjîl).

Secara singkat berikut penjelasan tahapan-tahapan di atas:

Tahap pelaksanaan perjanjian:

Negosiasi (negotiation/al mufâwadloh), yaitu transaksi tawar menawar antara pihak yang bermaksud melangsungkan perjanjian sekitar materi perjanjian dengan tujuan tercapainya mufakat dalam transaksi ini.

Pembuatan Naskah dan Penandatanganan (al tahrîr(redaction) wa al tauqî’), setelah selesai proses perundingan, maka mufakat yang dihasilkan dalam perundingan tersebut dituangkan dalam sebuah naskah yang selanjutnya ditandatangani oleh seluruh pihak.
Untuk dikatakan sebuah naskah perjanjian setidak-tidaknya harus terpenuhi dua unsur pokok sebuah naskah perjanjian, yaitu sebagai berikut:
Mukaddimah/ Konsideran (al dîbâjah/Preambule )
1.Paragraf pertama perlu menyebut “Para Pihak” dalam perjanjian.
2.Paragraf selanjutnya menyebutkan maksud dan tujuan yang akan dicapai dengan perjanjian tersebut (political will).
3.Paragraf ini biasanya menyatakan maksud dari Kedua Pihak untuk mencapai mutual benefit, menghormati kedaulatan dan hukum yang berlaku di masing-masing negara, dan sebagainya.
4.Pernyataan maksud kedua pihak untuk menggantikan/ melanjutkan/ menghentikan perjanjian (agreement) yang ada sebelumnya, bila memang ada dan dimaksud demikian.
5.Paragraf teerakhir adalah pernyataan bahwa perjanjian dibuat sesuai UU dan peraturan yang berlaku di kedua negara (dalam perjanjian tertentu bahkan dimuat sesuai dengan kebijakan negara/ pemerintah daerah maupun tradisi setempa

Batang Tubuh (sholbu al mu’âhadah/Body)

Memuat Pokok-Pokok masalah yang diperjanji-kan para pihak.
1. Definisi.
2. Tujuan.
3. Ruang Lingkup.
4. Materi Muatan/ Prosedural

Ratifikasi (ratification/al tashdîq), yaitu perbuatan hukum berupa pengesahan lembaga yang berwenang di Negara anggota terhadap perjanjian yang telah berlangsung. Konstitusi setiap Negara berbeda-beda dalam memberikan wewenang ratifikasi ini kepada lembaga-lembaga yang ada di dalam Negara. Maka ada sebagian konstitusi memberikan hak ini kepada lembaga eksekutif saja, ada juga yang memberikan wewenang ini kepada lembaga legislatif saja, dan ada juga yang memberikan wewenang ini kepada kedua-duanya.

Reservasi (reservation/rêserves/al tahaffudz), Konvensi Wina 1969 pasal 2 (1/d) mendefinisikan reservasi sebagai berikut “a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when signing, ratifying , accepting, approving, or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of the treaty in their application to that State” ( pernyataan sepihak dari negara, apapun redaksinya atau namanya, ketika penandatanganan , ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau bergabung dalam perjanjian, dengan maksud menghindari, atau mengamandemen akibat hukum (al atsar al qônûnî) dari hukum-hukum tertentu dari perjanjian yang berlaku bagi Negara tersebut).

Pendaftaran Perjanjian (the registration of treaties/enregistrement des traitês/ tasjîl al mu’âhadah), yaitu dengan mendaftarkan perjanjian di Treaty Room (al amânah al ‘âmmah) PBB yang kemudian disanalah naskah aslinya di simpan. Hal ini berdasarkan Pakta PBB pasal 102 yang mewajibkan didaftarkannya perjanjian international di Treaty Room (al amânah al ‘âmmah)PBB.

V. Ruang Lingkup Berlakunya Perjanjian Terhadap Pihak Penandatangan dan Pihak Bukan Penandatangan.

Perjanjian internasional apabila sudah terpenuhi syarat-syarat formil dan materilnya, maka telahirlah darinya akibat-akibat hukum. Biasanya naskah perjanjian tersebut menjelaskan tata cara pelaksanaan dan tanggal mulai berlakunya.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah akibat-akibat hukum dari perjanjian internasional itu hanya berlaku bagi pihak penandatangan, atau berlaku juga bagi pihak bukan penandatangan?
Untuk menjawab pertanyaan ini Prof.Dr.Abdul Ghoni, guru besar Hukum Internasional fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Al Azhar Cairo menjelaskan bahwa perjanjian internasional ketika sudah masuk pada tahap pelaksanaan (tanfîdz) maka ia menimbulkan akibat-akibat hukum bagi para pihak penandatangan, yaitu dengan lahirnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu bagi semua pihak penandatangan , dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban ini wajib diperhatikan dan dilaksanakan. Inilah yang dinamakan “sifat mengikat sebuah perjanjian internasional terhadap para pihak penandatangan” (iktisâb al mu’âhadah al quwwah al qônûniyyah al mulzimah li athrôfiha).

Selanjutnya beliau menjelaskan:”kaidah umum yang ditetapkan oleh doktrin dan yurisprudensi menerangkan bahwa akibat hukum perjanjian internasional tidak berlaku bagi selain pihak penandatangan, oleh karenanya Negara yang bukan termasuk pihak perjanjian tidak mempunyai hak-hak dan tidak juga menanggung kewajiban-kewajiban yang terlahir dari perjanjian internasional, hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini hanya berlaku bagi pihak dalam perjanjian. Inilah yang dinamakan dengan prinsip nisbiyyatu âtsâri al mu’âhadah .”
Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa akibat hukum dari perjanjian internasional tidak berlaku bagi selain pihak penandatangan.

Namun kesimpulan ini bukanlah harga mati, hal ini karena ada beberapa pengecualian dari prinsip yang terakhir disebutkan, mengingat prinsip tersebut bukanlah prinsip mutlak yang tidak menerima pengecualian . Artinya perjanjian internasional, akibat hukumnya dapat berlaku juga bagi selain pihak perjanjian sebagai pengecualian dari prinsip nisbiyyatu âtsâri al mu’âhadah , yaitu dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.Bergabungnya pihak lain dalam perjanjian atau menerima perjanjian;
2.Adanya pensyaratan dalam perjanjian untuk kemaslahatan pihak lain;
3.Adanya pelimpahan kewajiban yang timbul dari perjanjian terhadap negara yang bukan anggota;
4.Adanya perjanjian yang akibat hukumnya melintas Negara-negara bukan anggota, karena perjanjian tersebut mempunyai karakter yang khusus;

B.KEBIASAAN INTERNASIONAL (international custom/al ‘urf al dauli)

Sampai saat ini, hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional. Kaidah-kaidah kebiasaan tradisional yang besar tersebut makin menyusut sebagai akibat dari adanya sejumlah besar traktat “yang membentuk hukum” (law-making/al mu’âhadah al syâri’ah) yang banyak dibuat sejak pertengahan abab lalu, dan makin berkurang lagi karena pekerjaan Komisi Hukum Internasional dalam mengkodifikasi dan menyatakan kembali kaidah-kaidah kebiasaan di dalam traktat-traktat seperti Konvensi-Konvensi Wina tanggal 18 April 1961, 24 April 1963 dan 22 Mei 1969, berturut-turut mengenai Hubungan-hubungan Diplomatik, Hubungan-hubungan Konsuler dan Hukum Traktat. Sedangkan menurut pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh beberapa penulis bahwa kebiasaan internasional masih tetap akan memainkan peranan penting sebagai sumber dinamis kaidah hukum internasional yang baru, di mana masyarakat internasional mengalami perubahan-perubahan di bidang baru yang tidak/belum terjamah oleh traktat-traktat, keputusan-keputusan yudisial ataupun tulisan-tulisan para ahli hukum.

Yang dimaksud dengan kebiasaan internasional di sini adalah kebiasaan yang telah memperoleh kekuatan hukum, yaitu adat-istiadat yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat internasional yang sifatnya seakan-akan mengikat, dan ketika dilanggar dilanggar ada semacam perasaan melanggar hukum. inilah maksudnya kebiasaan yang memperoleh kekuatan hukum.
Oleh karenanya Vinner’s Abrigement , berkenaan dengan kebiasaan, dalam hukum inggris mengemukakan hal tersebut secara singkat:
“Kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum adalah suatu adat-istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.”

Pasal 38 (a) Statuta Mahkamah “International Court of Justice,” mengisyaratkan bahwa kebiasaan internasional adalah “al âdât al dauliyah al mar’iyyah al mu’tabaroh bi matsâbati qônûnin dalla ‘alaihi tawâtur al isti’mâl” (adat-istiadat internasional yang dilestarikan dan dianggap sebagai hukum yang ditunjukan oleh praktek mayoritas).
Dengan demikian jelaslah urgensi kebiasaan internasional dalam perannya sebagai sumber hukum internasional serta definisinya. Selanjutnya berkenaan dengan kebiasaan internasional ini ada beberapa hal pokok lainya yang harus dijadikan bahasan dalam tulisan ini, yang akan diuraikan di bawah ini, yaitu tentang unsur-unsur dan ruang lingkup berlakunya kebiasaan internasional.

I. Unsur-Unsur Kebiasaan Internasional

Dari definisi diatas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa sebuah adat-istiadat agar memperoleh kekuatan hukum sehingga menjadi kebiasaan internasional, harus terpenuhi dua unsur yaitu unsur materi (l’âlêment materiel/consuotudo/al ‘unsur al mâdî) dan unsur psikologis (l’âlêment psycologique/al ‘unsur al ma’nawi).

Tentang kedua unsur ini J.G.Starke,Q.C. dalam bukunya Introduction to International Law menjelaskan:
“Mengenai aspek materi, dalam hal ini harus ada satu tindakan berulang-ulang yang melahirkan kaidah kebiasaan. Sebuah pengadilan Jerman dalam perkara Lubeck v.Mecklenburg Schwerin menyatakan bahwa satu tindakan tunggal badan atau otorita Negara tidak dapat begitu saja menciptakan kebiasaan yang dapat dimanfaatkan Negara lain yang telah diuntungkan oleh tindakan tersebut; karena tindakan untuk terciptanya hukum kebiasaan harus dilakukan secara teratur dan berulang-ulang. Permulaan dari kebiasaan berpangkal dari suatu praktek dapat saja dari tidak adanya suatu kaidah kebiasaan, tetapi penyimpangan-penyimpangan kecil mungkin tidak perlu mendapat konsekwensi negatif ini. Selain dari pengulangan kebiasaan lamanya usia tindakan-tindakan itu juga dapat menjadi pertimbangan yang dianggap perlu. Namun waktu yang singkat juga mungkin mencukupi apabila praktek negara itu telah meluas dan keseragaman dalam semuan tujuan praktis (misalnya berkaitan dengan evolusi pada prinsip bahwa suatu negara pantai memiliki hak-hak untuk mengeksploitasi, dan lain-lain landas kontinennya; lihat dalam bab 9 buku ini).

Aspek psikologis yang lebih banyak dikenal opinion juris sive necessitas, atau sebagaimana diistilahkan oleh seorang ahli “keyakinan bersama bahwa tindakan pengulangan itu…merupakan akibat dari suatu kaidah yang memaksa”. Mengenai hal ini perlu diterangkan lebih lanjut. Pengulangan adat-istiadat atau praktek cenderung untuk memperkuat dugaan bahwa , dalam keadaan serupa di masa mendatang, tindakan atau sikap tidak melakukan tindakan (abstention) demikian akan terulang lagi. Apabila dugaan ini berkembang lebih jauh menjadi suatu pengakuan umum oleh Negara-negara bahwa tindakan atau tidak melakukan tindakan merupakan persoalan hak dan kewajiban, maka peralihan dari adat-istiadat menjadi kebiasaan dapat dianggap telah terwujud. Dalam proses ini, terlibat, hingga tarap tertentu, suatu unsur penerimaan atau persetujuan dari pihak Negara-negara pada umumnya. Keyakinan ini, yaitu opinio juris, merupakan pengujian yang tepat atau kalau tidak dikatakan tidak ada kecualinya bahwa suatu adat-istiadat atu praktek telah menjelma menjadi kebiasaan; misalnya, terdapat suatu ketiadaan opinio juris apabila Negara-negara menyesuaikan diri terhadap suatu adat-istiadat semata-mata karena penghormatan atau kesopanan saja. Dalam hal tersebut, opinio juris bukan merupakan unsur esensial dari kebiasaan, tetapi seandainya hal itu ada, opinio juris berguna sebagai yang membedakan kebiasaan dari serangkaian tindakan yang diikuti secara sukarela atau karena alasan-alasan lain.”

PENUTUP

Bahasan sumber pokok hukum internasional–perjanjian internasional dan kebiasaan internasional- secara utuh, sulit sekali kalau harus dituangkan dalam makalah yang singkat ini, mengingat cukup luasnya bahasan sumber ini.

Dalam makalah ini penulis hanya dapat menyampaikan beberapa hal penting saja mengenai dua sumber diatas khususnya tentang peristilahan, definisi, macam-macam, pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional, serta definisi dan unsur-unsur kebiasaan internasional.

Semoga bermanfaat dan mudah-mudahan di masa yang akan datang makalah ini dapat lebih disempurnakan. Dan demi lebih baiknya makalah ini, walaupun terasa “ngeri” kritik dan saran tetap dibuka.

Kebenaran mutlak hanya milik Yang Maha Kuasa. Salah dan Khilaf adalah semata-mata kekeliruan dari kami. Wallâhu a’alam!

NB: Makalah ini disampaikan pada kajian reguler Forum Studi Syari’ah wal Qônûn (FSQ), 23 Maret 2010.
(Penulis adalah Mantan Ketua Senat FSQ 2007-2008)



Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:53 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home