PRINSIP HUKUM UMUM/GENERAL PRINCIPLES OF LAW/MABADI ‘AMAH LIL QANUN

Oleh: Faruq

Dalam setiap sistem hukum, mungkin sekali timbul suatu situasi di mana pengadilan mempertimbangkan sebuah kasus sebelum menyadari bahwa tidak ada hukum yang membahas tentang kasus tersebut, baik undang-undang parlemen maupun keputusan yudisial. Dalam keadaan tersebut hakim akan menindak-lanjuti dengan menyimpulkan suatu aturan yang relevan dengan analogi peraturan yang ada atau prinsip-prinsip hukum umum yang menuntun sistem hukum, apapun bentuk relevansi tersebut apakah Ia terlahir dari keadilan, pemerataan atau pertimbangan kebijakan publik. Situasi tersebut lebih mungkin muncul dalam hukum internasional karena keterbelakangan sistem dalam kaitannya dengan kebutuhan yang dihadapi.

Dikarenakan terdapat lebih sedikit keputusan dalam kasus-kasus hukum internasional daripada kasus nasional, serta tidak adanya metode legislatif untuk menciptakan aturan untuk mengatur situasi-situasi baru yang muncul, maka hal tersebut mendorong Mahkamah Internasional untuk mencantumkan “Prinsip-prinsip Hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab” dalam pasal 38 sebagai sumber hukum, untuk menutup celah yang mungkin ditemukan dalam hukum internasional dan menyelesaikan masalah ini secara hukum yang dikenal sebagai non liquet.

Pertanyaan tentang celah dalam sistem sangatlah penting. Penting untuk diketahui bahwa meskipun tidak selalu ada aturan yang langsung dan jelas untuk setiap situasi internasional, tetapi “setiap situasi internasional mampu dijadikan sebagai masalah hukum.”

Ada berbagai pendapat mengenai prinsip-prinsip umum hukum yang dimaksud. Beberapa penulis menganggap hal itu sebagai suatu afirmasi konsep-konsep Hukum Alam, yang dianggap mendasari sistem hukum internasional dan merupakan metode untuk menguji validitas positif sebuah aturan. Penulis lain, terutama penganut paham positivisme, memperlakukannya sebagai sub-judul di bawah perjanjian dan hukum adat dan tidak mampu menambahkan sesuatu yang baru untuk hukum internasional kecuali mencerminkan persetujuan negara. Penulis dari Soviet, Tunkin, memilih pendekatan ini, yang menganggap prinsip-prinsip hukum umum sebagai pengulangan ajaran fundamental hukum internasional, misalnya, hukum hidup berdampingan secara damai, yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan hukum adat.

Di antara kedua pendekatan tersebut, mayoritas penulis menerima bahwa prinsip-prinsip hukum umum merupakan suatu sumber hukum yang terpisah tetapi dalam lingkup terbatas, dan ini tercermin dalam keputusan-keputusan Mahkamah Tetap Internasional dan Mahkamah Internasional. Tetapi tidaklah jelas apa yang dimaksud dengan prinsip hukum umum tersebut, apakah itu berkaitan dengan sistem hukum nasional atau internasional, walaupun ini bukanlah hal yang serius karena konsep hukum nasional dan yang muncul dari praktek internasional dapat didefinisikan dalam satu area yang sama.

Walaupun terdapat begitu banyak sumber tentang prinsip hukum umum dari berbagai Negara, tetapi tidak berarti bahwa seorang hakim harus menguasai seluruh sistem hukum tersebut, karena ada tema2 umum sama dalam pemerintahan yang berbeda. Sebagai contoh, hukum adat Anglo-Amerka yang tersebar pada banyak Negara, begitu pula dengan hukum perancis yang memberikan pengaruh pada hukum mesir, serta hukum Belanda pada hukum Indonesia.

Di bawah Ini Beberapa Kasus Terkemuka Sebagai Referensi Tentang Penggunaan Prinsip Hukum Umum Dalam Sebuah Kasus.

Dalam kasus Pabrik Chorz'ow, 1928, tentang penyitaan sebuah pabrik nitrat di Upper Silesia oleh Polandia, Mahkamah Tetap Internasional menyatakan bahwa “Merupakan sebuah konsep hukum umum bahwa setiap pelanggaran perjanjian terikat melibatkan obligasi untuk mengganti rugi.“ Mahkamah juga menyatakan: “Merupakan sebuah prinsip hukum internasional bahwa reparasi sebuah kesalahan bisa dalam bentuk ganti rugi yang sesuai dengan kerusakan yang diderita oleh Negara yang terluka akibat dari tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional.”

Mahkamah Internasional dalam kasus Terusan Corfu, ketika mengacu pada bukti, menyatakan bahwa “Bukti tidak langsung ini diterima dalam semua sistem hukum dan penggunaannya diakui oleh keputusan internasional.” Referensi kepada Peradilan Internasional juga dibuat dengan konsep res judicata, yaitu bahwa keputusan itu bersifat final, mengikat dan tanpa banding.

Contoh lain dari prinsip hukum umum diberikan oleh Arbitrase Pengadilan mengenai kasus AMCO vs Republik Indonesia, di mana pengadilan menyatakan bahwa "kompensasi penuh dari suatu prasangka, dengan memberikan kepada pihak terluka damnum emergens dan lucrum cessans adalah prinsip umum dari sistem utama hukum nasional Indonesia, oleh karena itu, prinsip hukum umum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum internasional,” atau prinsip lain tentang hak kepemilikan. Satu prinsip umum krusial dari hukum internasional adalah pacta sunt servanda, atau gagasan bahwa perjanjian internasional itu mengikat. Hukum perjanjian bersandar penuh pada prinsip ini, karena konsep perjanjian internasional bertumpu pada anggapan bahwa instrumen umum tersebut diterima sebagai hal yang memiliki kualitas mengikat.

Salah satu prinsip umum penting yang mendukung hukum-hukum internasional adalah Itikad baik. Prinsip ini diabadikan dalam Piagam PBB bab 2 pasal 2 “Semua anggota, dalam rangka untuk memastikan semua hak dan keuntungan yang dihasilkan dari keanggotaan, wajib dengan itikad baik memenuhi kewajiban diasumsikan oleh mereka sesuai dengan Piagam ini” dan elaborasi dari pasal ini yang diadopsi oleh Majelis Umum dalam resolusi 2625 (XXV), 1970, mengacu pada obligasi sebuah negara untuk memenuhi dengan itikad baik kewajiban mereka yang dihasilkan dari hukum internasional, termasuk perjanjian-perjanjian. Karena itu, Itikad baik merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari aturan-aturan hukum internasional secara umum.

Namun demikian, Mahkamah menegaskan bahwa itikad baik sebagai sebuah konsep adalah “tidak dengan sendirinya menjadi sumber kewajiban dimana tidak ada kalau tidak ada.” Karena itu, prinsip itikad baik adalah prinsip latar yang menginformasikan dan membentuk kepatuhan terhadap peraturan yang ada dan hukum internasional, di samping itu membatasi cara di mana aturan-aturan itu mungkin sah dilaksanakan. Prinsip itikad baik berkaitan “hanya dengan pemenuhan kewajiban yang ada.” Prinsip lain yang perlu dicatat adalah ex injuria jus non oritur, yang menyatakan bahwa fakta-fakta yang mengalir dari perilaku yang salah tidak dapat menentukan hukum.

Dengan demikian, hanya Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menerapkan prinsip hukum umum yang berlaku dalam kasus yang dipertimbangkan, dengan catatan tidak ditemukannya solusi dalam hukum adat dan hukum perjanjian.

Keputusan Pengadilan/Judicial Decision/Ahkamu al-Qodlo al Dauli

Yang dimaksud dengan keputusan pengandilan disini adalah keputusan Mahkamah Tetap Internasional, Mahkamah Internasional serta keputusan arbitrase internasional dan pengadilan nasional. Keputusan Pengadilan digunakan sebagai alat untuk menentukan aturan hukum bukan sebagai sumber utama hukum internasional. Hal itu didasarkan pada Pasal 59 Undang-undang Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa “Keputusan Pengadilan tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali antara Pihak berkepentingan dan yang berhubungan dengan kasus yang sedang dipertimbangkan.” Walaupun doktrin dalam hukum umum, dimana keputusan pengadilan tertentu harus diikuti oleh pengadilan lainnya, tidak ada dalam hukum internasional, tetapi masih banyak negara yang dalam menyelesaikan perselisihan mereka mengutip keputusan Mahkamah Tetap Internasional dan Mahkamah Internasional sebagai keputusan otoriter.

Menyikapi hal ini, Mahkamah Internasional terus mengupayakan untuk mengikuti keputusan-keputusan Pengadilan sebelumnya dan memasukkan kepastian dalam proses pengambilan keputusan. Penafsiran kasus yang sedang dipelajari merupakan hak mutlak hakim, terkadang mereka melakukan lebih dari sekedar menentukan aturan hukum seperti yang terjadi dalam kasus Perikanan Anglo-Norwegia dengan pernyataan tentang kriteria untuk pengakuan garis belakang untuk mengukur laut teritorial yang kemudian diabadikan dalam Konvensi Jenewa tahun 1958 di Laut Teritorial dan Zona Bersebelahan.

Contoh dari keputusan arbitrase internasional yang menjadi sumber hukum internasional adalah kasus Pulau Palmas, terletak antara Mindanau dan kepulauan utara Hindia Belanda Nanusa, yang melibatkan sengketa teritorial Pulau Palmas antara Hindia Belanda dengan Amerika. Keputusan Mahkamah Arbitrase internasional dalam kasus ini memiliki signifikansi besar dalam memutuskan subjek kedaulatan wilayah.

Selain empat sumber hukum di atas, terdapat sumber hukum lainnya yang mempengaruhi hukum internasional, semisal penulis, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 38 undang-undang Mahkamah Internasional “ajaran-ajaran penerbit berkualifikasi tinggi dari berbagai negara.” Konsep Ekuitas dan keadilan, serta perangkat yang mampu melembagakan aturan-aturan baru seperti Perjanjian tengang pembuatan hukum, hukum adat dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional lainnya yang secara tidak langsung bisa mempengaruhi dan mengidentifikasi hukum internasional baru.

Komisi Hukum Internasional

Komisi Hukum Internasional didirikan oleh Majelis Umum pada tahun 1947 dengan tujuan kodifikasi serta mempromosikan perkembangan progresif hukum internasional. Komisi ini terdiri dari tiga puluh empat anggota dari Afrika, Asia, Amerika dan Eropa, yang menjabat selama lima tahun dan ditunjuk dari daftar yang diajukan oleh pemerintah nasional.

Banyak konvensi internasional yang lahir dari kerja keras lembaga ini. Selain mempersiapkan draft-draft konvensi internasional, Komisi Hukum Internasional juga mengeluarkan laporan dan studi hukum internasional.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa Komisi Hukum Internasional terlibat dalam setidaknya dua dari sumber utama hukum internasional. Draft yang disusun dapat membentuk dasar Perjanjian internasional yang mengikat negara yang menandatangani dan meratifikasinya, dan yang dapat terus membentuk bagian dari hukum internasional secara umum, serta bisa mengarahkan pada aturan-aturan baru dari hukum adat. Kedua, draft tersebut mengandung bukti dari kebiasaan internasional yang dapat mempengaruhi hukum baru dan bukti dari adanya opinio juris.

Hierarki Sumber Hukum dan Jus Cogens

Pertanyaan tentang tingkatan sumber hukum internasional lebih kompleks daripada yang terlihat pada awalnya. Meskipun ada sebuah anggapan tentang konflik normatif, daftar urutan kewenangan konstitusional di dalam hukum internasional tidak begitu jelas seperti undang-undang domestik. Hal ini diperumit oleh perkembangan pengadilan internasional dan pengadilan yang ada dalam kondisi non-hierarkis, serta perluasan signifikansi hukum internasional, baik secara substantif dan prosedural.

Keputusan peradilan dan tulisan-tulisan jelas memiliki fungsi subordinat dalam hierarki sebagaimana yang tercantum dalam pasal 38 dari undang-undang Mahkamah Internasional, sedangkan peran prinsip prinsip umum hukum sebagai cara untuk melengkapi hukum perjanjian dan hukum adat menempatkannya pada posisi ketiga. Hal yang paling rumit adalah memposisikan antara hukum adat dan hukum pernjanjian. Sebagai aturan umum Perjanjian biasanya dirumuskan untuk menggantikan atau mengkodifikasi adat yang ada, sebaliknya perjanjian bisa menjadi usang dalam penggunaannya dan digantikan dengan aturan adat baru.

Namun, di mana aturan yang sama muncul dalam perjanjian dan kebiasaan, tidak ada anggapan bahwa kebiasaan dimasukkan dalam perjanjian karena keduanya bisa berdampingan. Di samping itu ada sebuah prinsip yang menyatakan bahwa aturan khusus berada di atas aturan umum (lex specialis derogat legi generali), sehingga aturan perjanjian antar negara sebagai lex specialis lebih diprioritaskan dibandingkan aturan umum perjanjian atau hukum adat antara negara yang sama, kecuali bila aturan umum tersebut adalah salah satu dari jus cogens.

Situasi ini diperumit dengan adanya norma-norma atau obligasi yang statusnya lebih tinggi dibandingkan lainnya yang berasal dari kebiasaan atau perjanjian. Obligasi tersebut bisa berbentuk erga omnes atau aturan jus cogens. Meskipun ada tumpang tindih yang signifikan antara kedua norma tersebut dalam kaitannya dengan isi aturan-aturan yang berhubungan, tetapi pada dasarnya keduanya berbeda. Konsep yang pertama menyangkut lingkup penerapan peraturan yang relevan, yaitu sejauh mana negara mampu tunduk pada aturan yang bersangkutan dan dapat dilihat memiliki kepentingan hukum dalam hal ini. Karena itu erga omnes mempunyai fokus utama pada prosedur. Di sisi lain, aturan jus cogens adalah aturan-aturan substantif yang diakui mempunyai status lebih tinggi daripada aturan lainnya.

Dalam kasus Barcelona Traction Mahkamah Internasional menyatakan “ada perbedaan penting antara kewajiban suatu negara terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan dan yang timbul sehubungan dengan negara bagian lain di bidang perlindungan diplomatik. Sesuai dengan sifatnya yang pertama bersangkutan dengan semua negara dan semua negara dapat dikatakan memiliki kepentingan hukum dalam perlindungan mereka. Hal itu adalah kewajiban erga omnes.” Contohnya adalah pelarangan agresi dan genosida, perlindungan dari perbudakan, serta diskriminasi rasial. Mahkamah Internasional juga menegaskan dalam kasus Timor Timur bahwa hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri mempunyai karakter erga omnes.

Pasal 53 dari Konvensi Viena mengenai aturan perjanjian menyatakan bahwa suatu perjanjian akan menjadi batal bila bertabrakan dengan norma yang ditaati oleh hukum internasional secara umum. Lebih lanjut dalam pasal 64 menyatakan bahwa apabila ada “norma yang ditaati” oleh hukum internasional secara umum muncul, seluruh perjanjian yang bertentangan dengan norma tersebut menjadi batal.

Yang dimaksud dengan “norma yang ditaati” disini adalah jus cogens. Jumlah norma yang ditaati ini terbatas tapi tidak secara eksklusif di katalog. Norma tersebut tidak terdaftar atau didefinisikan oleh badan yang berwenang, tetapi timbul dari kasus hukum dan perubahan sosial dan sikap politik. Contoh umum yang termasuk a jus cogens adalah larangan agresi perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan maritim, genosida, perbudakan, dan penyiksaan.

Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa pembagian hierarki sumber hukum internasional antara Kebiasaan internasional dan Perjanjian Internasional adalah hal yang rumit. Hal yang terbaik adalah mendasarkan urutan sumber tersebut berdasarkan kasus yang sedang ditangani, tanpa melupakan norma dan obligasi internasional semacam jus cogens dan erga omnes, dan kemudian memilih mana yang lebih didahulukan sebagai sumber hukum internasional.

Sekian.
Sumber:
International law, edisi ke-enam, Malcolm N. Shaw.
Muqorror Qanun Dauli Aam Universitas Al Azhar.
Makalah dari internet.
Dll.

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 2:51 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home