TUAN KUNING TUA (cerpen)

Hah?! Pak Harto meninggal? Apakah ini hanya isu seperti isu yang sudah beberapa kali kudengar sebelumnya saat pak harto sedang kritis? Tapi bukan! Kali ini, Ardian meyakinan padaku bahwa beliau, Pak Harto, mantan orang nomor wahid Republik Indonesia, Bapak Pembangunan dan pemilik hak kuasa atas mata uang terbesar kala itu telah tiada, inna Lillahi wa inna ilaihi raji’uun. Berita benar, benar benar berita! Dan aku tak boleh kelewatan berita penting ini.

Selepas dari kantor polisi dengan hati mendongkol, karena pihak kedutaan yang tak kunjung tiba… aku langsung menuju warnet, dengan terburu buru pula, seakan, detik dot com benar benar akan tutup lima menit lagi… haha! Padahal aku tahu betul kalau warnet bukanya hampir 24 jam.

Dan, ya, memang benar Pak Harto meninggal, beliau sudah dimakamkan dengan upacara adat yang tertutup untuk umum, aku pun cukup puas menyaksikan keramaian di sekitar lokasi itu lewat video di liputan6.com, beliau dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar.

Dan… tiba tiba hp-ku berbunyi pertanda masuk sms.
“Dik, do’akan Pak Harto! Ajak teman-temanmu sholat ghaib!” itu sms dari bapak, yang kemudian disusul sms yang bersahut sahutan antara aku dengan beliau, tentu saja aku mendo’akan pak Harto, sebagai sesama muslim, aku memang harus seperti itu, tanpa perlu diminta bapak…

Ah bapak ini, ada ada saja, repot sekali sepertinya dengan meninggalnya Pak Harto, sampai sampai menyuruhku Sholat ghoib, sholat ghoib dengan siapa ya...? Sepertinya tak ada yang mau kuajak.
Hingga sudah lelah di warnet hingga membuat kepalaku sedikit pusing, aku pun terbayang kelezatan dari segelas teh yang akan kunikmati bila aku pulang dan segera mamasak air…

***

“Man, sudah dengar kabar kalau Pak harto meninggal kan?” ujarku pada Iman yang sedang menikmati kopinya.
“Iya, udah tu, kenapa?”
“Ya Allah, kasihan banget beliau, sampai beliau meninggal tidak sepi juga dari kontroversial.” Ujarku.
“Yah… betul betul sial… he he heh” Ujar iman dengan asal dan tersenyum. “Makanya, kalau jadi orang besar nanti, jangan jadi koruptor Dik, kalok mau hidupmu tenang.”
Iman paham betul dengan cita-citaku yang ingin punya cita cita sebagai Birokrat.
Wah! Tiba tiba aku merasa kurang bersahabat dengan Iman.
“Eh man, menurutmu, Pak Harto benar korupsi ya?”
“La iyalah Dik, kalok ngak ada salah, kenapa coba, orang kok ramai tahu?”
“Wah, kamu ini Man, Pak Harto ‘kan pernah sebagai tersangka saja, tapi setelah itu tidak terbukti kan... malah kasusnya ditutup, jadi kita ngak bisa mengklaim beliau korupsi Man. Itu juga kata media.”
Dan iman memandangku aneh, “Oooh, jadi antum menganggap Pak Harto bukan koruptor?!” katanya dengan nada yang menuding.
“Bukan begitu maksudku Man… ”
“Nah, kalau tidak pilih kanan, jelas pilih kiri, kalau menganggap Pak Harto korupsi, ya korupsi, kalau ngak, kan ngak?!”
Dan Iman kembali bergejolak, seperti biasanya kalau dia sedang berulah menjengkelkan… sok tahunya kumat.
“Eh, gini mas ya… Pak Harto korupsi, anak anaknya korupsi, mentri mentrinya korupsi, partainya korupsi, dan uang kotor itu mengalir keeeemana mana! Alirannya berkelok kelok! Mengucur, merembes, keeemana mana, sampai ke petani petani yang padinya diajak action sama pak harto buat bual bualin rakyat dengan Pelita, juga kena rembesannya!”
Dugh! Aku tahu, Iman tak sengaja, aku tahu, ini di luar kesadarannya, dia hanya sok tahu saja… aku harus tekankan bahwa Iman sok tahu. Tapi… berkilatan di mataku kenangan lama saat itu aku saat itu masih SD, dan kecamatan kami benar benar meriah, kata Bapak, Pak Harto akan ke kecamatan kami untuk menghadiri Panen Raya, dan koperasi yang dipimpin bapak akan menjadi salah satu lokasi yang akan dikunjungi Pak Harto. Wah, gembiranya aku kala itu, merasakan kebahagiaan dengan kenyataan bahwa aku, keluargaku, dan rumahku akan masuk TV! Dan itu merupakan kehormatan yang luar biasa mewahnya bagi kami, sampai sampai, setelah acara Panen Raya selesai, keluargaku merayakan kendurian untuk mensyukurinya. Dan Iman menyebut nyebut profesi bapakku yang petani dan pengelola KUD sebagai bagian dari penadah penadah aliran dana dari Almarhum Soeharto?! Entah itu dana APBN-kah? APBD-kah?! Atau sekedar hadiah seorang dari Seorang Soeharto atau apalah...? Semua digeneralisirnya sebagai bagian dari uang kortor korupsi. Dan parahnya, aku menjadi mencak mencak demi tidak rela, seolah, yang kubela benar benar kebenaran. Salah besar! Setelah itu malah memperkeruh suasana. Teman serumah ikut andil dalam perdebatan itu, beringin disebut sebut, KORPRI diungkit ungkit, dan uang lima puluh ribu jadi ejekan. Setiap semuanya disebut, aku dituding, kami berdebat, aku dikeroyok, seperti rampok yang tertangkap tadi maghrib...
“Huh! Tak usah munafik lah! Toh dulu kalian juga mengidam idamkan gambar Pak Harto di dompet kalian kan?! Ujarku sambil melengos pergi tak memperdulikan tertawaan mereka yang masih terbawa komedi berjudul “Pak Harto Naik Helikopter dan Limapuluhribu.”
“Eh, Dik, Dika! Uang monyet juga, kalok tahun jebot waktu itu, kita kita juga mau! ha ha ha!”

***

Suntuk! Suntuk… suntuk! Seperti itulah yang kurasakan di malam ini… tak ada lagi perdebatan, teman teman serumah juga sebenarnya tidak banyak ambil pusing dengan perdebatan tadi maghrib… dan mereka tak meneruskan ejekan mereka lagi dan tak mengungkit ungkitnya kembali… ya iyalah! Mereka merasa menang, dan nasib orang yang dikeroyok seperti aku adalah ‘the poor looser’ dan aku yang tidak punya kesempatan untuk membela diri kini hanya terpekur dalam kesendirian…
Ya Allah, kalau rumahku, sawah bapak, KUD kami yang yang sudah bangkrut itu memang mengalir uang haram, ampunilah dosa ibu bapakku ya Allah! Jangan kau adzab kami Ya Allah. Hanya Engkau yang Maha pengampun… Ibu bapakku seperti aku, mereka orang yang tidak tahu, kami hanya cari makan, kami hanya butuh beras…. Ya Allah… ah! Akhirnya timbul juga dilema seperti ini, tentu saja, aku yang tadinya ngotot bukan main, ternyata akal dan nuraniku tidak luput dari apa yang disebut relatifitas oleh Einsten…. Dan aku seakan tiba tiba menjadi makhluk yang cepat terpuruk dalam ketakutan akan sesuatu yang tak pasti. Dilema, ya dilematis…
Oh! Sudah jam 4 dinihari! Sedang aku belum juga mampu memejamkan mata, hingga kemudian hp berbunyi pertanda sms datang,
Ups, dari bapak, ada apa ini, perasaan, masalah duit sudah dikirim, kemaren juga kami sudah berkelakar banyak…
Isi sms itu berbunyi… “Dika, pa kabar? Eh Dik, Bapak dengar di Kairo dibuka cabang Golkar ya? Bagus itu, kau masuk anggota ya.”
Ah, ada ada saja bapak ini, kubalas…
“Wah, pak, itu juga baru isu. Lagipula, Dika juga tak begitu minat kok, emang apa pentingnya? Biar Dika disini belajar sajalah”
“Dik, kau harus masuk,demi kluarga,tadi Pak Iman ayahnya Ruli krumah, nawarin bapak proyek pmbngunn KUD kmbali, Ruli ketua Golkar Kairo kan? Kau harus masuk! Sebentar lagi tahun 2009 lho!”
Bip bip bip!
Hp berdering lagi… sms baru.
kutinggalkan saja, kepalaku pusing…

Heru Purnama Hasido
Mahasiswa Syariah wal Qanun, Al-azhar

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:33 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home