MENATAP NASIONALISME 2009

Acara besar sebentar lagi digelar. Suatu mekanisme politik yang akan mengantarkan seseorang menjadi RI 1 segera dimulai. Hiruk pikuk golongan elit semakin meningkat, mempersiapkan sebuah pesta demokrasi bernama pemilu. Lalu lintas media-media kampanye akan mengisi siang-malam anda. Pakar politik mati-matian memeras otak, menganalisa, mengurai, menyimpulkan dan mengungkapkan. Bahkan sebagian paranormal ikut rembug di keasyikan sebuah gegap gempita bertajuk: lima "menit" lima tahun sekali.

Pokoknya akan terjadi aktifitas politik di banyak bidang. Munculnya parpol, isu-isu menjelang pemilu, wacana politik anu, kebijakan dan metode manajerial tokoh anu, dan sebagainya, dengan frekwensi besar-besaran. Semua yang berkepentingan akan berlari kesana kemari menyiapkan atribut-atribut pesta demokrasi. Anda sibuk apa? Berapa prosentase konsentrasi pikiran anda untuk memahami ini semua?

Atau sebagian anda akan meninggalkan saja tema politik yang membosankan dan melangit, membiarkan mengalir seperti yang selama ini terselenggara. Sebab anda berpikir tidak pernah sungguh-sungguh di masukkan dalam agenda besar yang sebetulnya menyangkut nasib anda dan rakyat-rakyat lainnya secara keseluruhan. Apapun hasil politik yang muncul, selalu tidak ada hubungannya dengan nasib beras dan minyak keluarga anda dirumah.

Tapi mari setidaknya mempelajari cara berpikir dan berpolitik bangsa kita sendiri, untuk menyiapkan mental dan agar tidak terlalu kaget jika nanti menemukan "another shock story" berkaitan dengan pemilu beserta partai-partainya ini.

Namun tunggu dulu, jangan mengharapkan analisa politik secara dalam dan komprehensif dari tulisan ini. Sebab saya bukan politikus. Mari melihatnya dari mata pandang jelata saja. Analisa ringan yang bisa dikonsumsi siapapun tanpa perlu membayangkan idiom-idiom seram perpolitikan.

Kita mulai saja dengan menatap tahun 2009. Banyak isu mengenai krisis universal 2009. Dimulai global warming, krisis pangan dunia, naiknya harga minyak, masa-masa stress nasional, bencana dan rencana-rencana bencana, tapi saya ajak anda untuk optimis khusus untuk apa yang akan terjadi di Indonesia: Indonesia semakin asyik saja. Indonesia "cemerlang" di 2009.

Masalah hutang luar negeri sebaiknya cukup wakilkan kepada konsorsium sarjana akuntan nasional. Undang mereka rembugan sebentar dan minta kasih rekomendasi, nanti akan ditemukan betapa simpel sesungguhnya masalah itu untuk kita atasi, kalau kita mau.

Soal mencari pemimpin juga tidak susah. Negeri kita gudangnya. Indonesia punya stok sangat banyak pemimpin. Siapapun bisa jadi pemimpin dan bangsa Indonesia sepanjang sejarah berdirinya, tak pernah kesepian seputar masalah pemimpin ini. Tinggal diambil dari parpol mana, golongannya apa, agama, suku, dan apapun saja, sangat siap menjadi pemimpin Indonesia, bahkan kelas-kelas selebritis pun bisa dwifungsi menjadi entrepreneur sekaligus siap memimpin Indonesia. Terbukti dengan sangat banyak urusan yang diserahkan kepada mereka akhir-akhir ini.

Namun yang paling nyata adalah tercapainya persatuan nasional menjelang 2009. Kita bangsa bersuku-suku, tapi cita-cita satu. Kita punya banyak ragam budaya, namun cita-cita satu. Bahasa kita berbeda-beda, obesi kita sama dan satu. Kita agama bermacam-macam, gawang kita tetap satu.

Teman-teman memilih masuk kuliah di fakultas kedokteran, sastra, tehnik, bahkan tarbiyah dan ushuluddin, namun tujuan hidupnya satu. Satu cita-cita itu adalah banyak duit dan menjadi kaya. Memakai idiom salah seorang budayawan: Ada kerbau, ada macan, berang-berang, buaya, cacing, badak dan jutaan macam hewan lagi, tapi cita-citanya sama: ingin terbang dengan pakaian kemewahan.

Profesi boleh bermacam-macam, taktik dan metodenya juga beragam, partai politiknya beda-beda, kostum dan ayat-ayatnya berbagai-bagai, namun fokus utamanya menyatu secara bangsa: ialah menjadi kaya.

Munculnya banyak parpol sebagai partisipasi dan bukti betapa sehatnya demokrasi di Indonesia, barangkali ada alasan-alasan idealisme dan implementatif: ingin mengabdi kepada bangsa dan Negara. Ingin berguna untuk agama dan masyarakat. Dan mungkin benar memang itu awal cita-citanya mendirikan atau bergabung dipartai politik. Tapi begitu ketemu dengan ladang-ladang keuangan: menjadi penuh kepalanya oleh cita-cita tunggal itu.

Sebab di Indonesia, seperti layaknya di banyak Negara kapitalis, uang berlimpah lebih menarik daripada Tuhan. Orang lebih tertarik mengurusi uang banyak ketimbang memupuk keluhuran kepribadian. Terbukti korupsi dan maling uang Negara dipercaya lebih efektif daripada mekanisme rejeki Tuhan.

Sejumlah orang akan membantah pandangan-pandangan ini. Namun saya, dan barangkali anda, sudah dituntut untuk harus waspada terhadap atmosfer budaya teman-teman dan bapak-bapak kita yang berdiri di singgasana politik republik Indonesia. Yang setelah sekian kali gonta-ganti pemimpin, tembok rumah kita yang roboh karena tidak terpenuhi standar bangunannya tetap kita juga yang mengupayakan pembetulannya. Tanpa pernah sekalipun pemerintah tertarik untuk memberesinya.

Jadi sangat sulit menemukan argumen ilmiah atau tidak ilmiah untuk membantah kalimat-kalimat diatas. Sebab sejak lahir kita sudah ditipu mentah-mentah oleh fakta-fakta kehidupan nyata dilingkaran NKRI.

Parpol-parpol didirikan. Dengan niat awal yang jelas, tapi dengan tujuan final yang jauh lebih jelas lagi.

Menjadi kaya adalah isi primer di kepala manusia Indonesia. Dan untuk itu semua, kalau perlu dipilihlah cara yang paling malas dan bodoh: misalnya akting menjadi pemimpin, di tingkat parpol. Akting menjadi ustadz atau kiai, di lingkungan agama. Akting menjadi wakil rakyat, di tingkat politik. Akting di lembaga-lembaga LSM sampai lembaga zakat infaq. Serta akting-akting lain di berbagai segmen dan lapisan-lapisan lainnya.

Dan kekuasaan adalah jalan yang paling ampuh dan popular untuk mencapai cita-cita tunggal itu. Maka parpol memunculkan dirinya. Wacana politik digulirkan. Slogan dibentuk. Dan memang tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan melebihi agenda politik.

Oleh: Nazeem Adabi
Mahasiswa Syariah wal Qanun, Al-Azhar

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:40 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home