PARTAI-PARTAI POLITIK DI PEMILU 2009: BANYAK PILIHAN, (TANPA) SEDIKIT PERUBAHAN

Untuk ketiga kalinya di era reformasi, Indonesia akan menyelanggarakan hajatan akbar Pemilihan Umum. Seperti dua Pemilu pasca reformasi sebelumnya, perhelatan demokrasi lima tahunan ini akan diikuti oleh banyak partai (multi participaties parties). Terdapat 34 partai politik nasional yang akan berlomba merebut suara rakyat pada 8 april 2009 nanti. Jumlah tersebut lebih banyak dari pada Pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol. Namun lebih sedikit jika dibandingkan dengan Pemilu pertama di orde Reformasi tahun 1999 dengan 48 peserta.

Semenjak pekan lalu hingga sekitar 8 bulan lebih ke depan, para penjaja jualan politik masing-masing partai berusaha mendapat simpati masyarakat. Persis perayu yang berusaha menaklukkan idaman hatinya, obral janji manis gombal nyaris tidak tidak bisa dihindarkan. Tidak usah heran jika ada tebar pesona di mana-mana.

Galib diketahui, penyelanggaraan pemilu yang diikuti partai dalam jumlah jumbo bukan pengalaman bangsa Indonesia masa reformasi saja. Sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia era orde lama sudah melaksanakan Pemilu dengan peserta puluhan partai politik. Tepatnya 29 partai politik serta sejumlah organisasi non parpol serta perorangan yang mencapai 118 peserta. Bahkan sebagian pakar menyatakan 172 peserta. Angka yang jauh lebih besar dibanding peserta Pemilu pasca Reformasi 1998.

Terlebih jika dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu pada masa orde baru. Dari 6 kali pelaksanaan pemilu masa rezim Soeharto, hanya tahun 1971 yang terhitung multi partai dengan 10 peserta pemilu. Selebihnya pesta demokrasi lima tahunan hanya diikuti oleh 3 peserta.
Bangsa ini patut bersyukur. Dalam setiap pelaksanaan pemilu Ibu Pertiwi nyaris tidak pernah terluka oleh tetesan darah sesama anak bangsa yang bertikai. Sengketa, perseteruan dan konflik adalah suatu hal yang wajar dalam setiap kompetisi. Namun hal tersebut belum, dan semoga tidak akan pernah menyeret bangsa ini dalam sejarah berdarah-darah.

Benar, bumi hijau zamrud khatulistiwa pernah kelam oleh aksi kolosal saling bunuh antar anak bangsa dan sederet mimpi buruk pelanggaran berat hak asasi manusia. Namun harus dicatat, catatan-catatan hitam itu bukan ekses langsung Pemilu. Ringkasnya, Bangsa Indonesia berpengalaman menahun serta terampil nan dewasa dalam penyelanggaran hajat demokrasi. Tidak perlu khawatir gemuknya angka peserta Pemilu 2009 menimbulkan chaos dan kerusuhan massal. Persoalan ini, agaknya, jauh-jauh hari sudah tuntas bagi bangsa Indonesia.

Persoalan yang tersisa sekarang adalah, sejauh mana aneka macam partai politik yang bertumpuk-tumpuk itu berhasil menjadi saluran aspirasi politik dan kehendak warga negara secara efisien? Mampukah pilihan politik masyarakat mengentaskan mereka dari kesempitan hidup menuju kesejahteraan? Tuluskah para aktivis partai memperjuangkan hak-hak warga negara?. Jelas tidak bijaksana, bila kita menjadi pengadil ketulusan para politisi calon-calon penguasa negeri ini. Ikhlas adalah persoalan sirri dan klise. Namun hak semua warga Negara Republik ini menuntut pemenuhan umbar janji-janji partai politik. Hak rakyat untuk dapat hidup sejahtera di atas tanah air mereka yang gemah ripah loh jinawi. Dan yang paling bertanggung jawab atas itu semua adalah penguasa, para penyelenggara Negara yang didominasi para kader partai-partai politik.

Presiden SBY benar, banyaknya partai politik dalam pemilu adalah kelanjutan logis dari demokrasi bangsa kita. Negara tidak boleh menghalangi hasrat poltik warganya untuk turut serta menentukan arah bangsa ini sebagai pemangku kebijakan. Berhasil tidaknya ia memenuhi ambisinya, biarlah berpulang kepada pilihan rakyat banyak.
Hanya saja, hasrat dan ambisi berkuasa semacam ini akan menjadi duri berpenyakitan jika tidak dibarengi dengan komitmen pengabdian pada bangsa. Padahal, fenomana gila kuasa seperti itu sungguh 'samar tidak samar' telah menjadi pemandangan panggung politik bangsa kita. Dengan dalih demokrasi, partai politik sesungguhnya lebih sering menjadi sekedar tunggangan menggapai kekuasaan. Pada saat kekuasaan dicapai, persoalan pun selesai. Tidak ada upaya penggunaan kekuasaan bagi kesejahteraan rakyat. Yang ada justru sebaliknya.

Euforia haus kuasa laksana air bah yang tumpah ruah setelah kran kebebasan dibuka oleh gerakan reformasi. Dan sangat disayangkan, gelombang euforia tersebut hampir-hampir tidak terkendali. Dalam keadaan yang demikian, rakyat kecil lagi-lagi menjadi korban. Rakyat kebanyakan hanya sapi perah politik yang diperas di ajang pilkada dan pemilu. Tidak perlu repot-repot mencari bukti atas semua itu. Partai-partai politik yang turut serta pada pemilu 2009 nanti juga 'orang orang itu itu' saja. Mereka yang silih berganti menahkodai negeri ini tanpa perubahan berarti. Para calon penguasa negeri ini, pada tahun 2009 masih orang-orang yang pernah ikut andil dalam pemerintahan negeri ini belum lewat hitungan sewindu.

Baiklah, lebih jelasnya mari kita petakan partai-partai politik pemilu 2009 menjadi 4 tipologi yang membuktikan tidak ada perubahan fundamental yang mereka usung. Pertama adalah partai besar menengah mapan yang lolos electoral threshold pemilu 2004. Jenis pertama ini berisi politisi-politisi gaek yang telah kita saksikan bersama kepimpinan mereka atas negeri ini. Orang-orang di partai politik jenis ini masih merupakan oknum-oknum yang telah kita saksikan apa yang mereka perbuat saat berkuasa. Nyaris tidak ada yang mereka persembahkan bagai kemakmuran negeri ini. Benar, sangat sukar berjiwa besar seperti Nelson Mandela yang legowo dan suka rela menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada yang lebih muda saat ia memasuki usia pensiun.

Anehnya, mereka merasa bahwa hanya mereka sendiri dan tidak orang lain yang mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Padahal sangat kasat mata betapa tipisnya komitmen mereka bagi kesejahteraan rakyat.

Kedua, adalah partai politik yang memenuhi electorald threshold namun mempunyai kesamaan ideologis dengan partai lainnya. Para politisi negeri kita memang sungguh mengherankan. Kita sebagai rakyat sering tidak mafhum dengan apa yang mereka perjuangkan. Mari kita telisik beberapa partai yang mengaku berlandaskan Islam contohnya. Dengan platform perjuangan sama, semisal mengkonstitusionalisasikan Piagam Madinah atau Jakarta namun berseberangan dalam jalur politik praktis yang mereka tempuh. Misi perjuangan partai dengan sendirinya menjadi sekunder. Yang utama adalah golongan dan kelompok. Padahal, semestinya titah perjuanganlah yang menjadi acuan utama. Siapanya yang berkuasa adalah sekunder.

Termasuk dalam kategori ini adalah partai-partai yang punya basis massa sama. Tengoklah beberapa partai yang mengaku sebagai saluran aspirasi dua ormas besar. Sungguh membingungkan perilaku politisi partai-partai ini. Seakan tidak masuk akal, bahwa mereka kehilangan kalkulasi akal sehat.

Ketiga adalah tipologi partai politik baru sempalan dari partai lama. Selain partai jenis kedua ini juga berisi orang-orang lama, pembentukan partai politik baru sesungguhnya tidak lebih dari ambisi pendiri partai yang tidak mendapat kesempatan mencapai puncak dipartainya yang lama. Artinya, tidak ada ideologi yang diusung partai jenis kedua ini. Rasanya tidak perlu mendirikan partai baru jika misi perjuangan yang ia jalankan adalah demokratisasi dan kesejahteraan rakyat. Bukankah membersihkan tikus di sebuah rumah tidak harus meninggalkannya dan membuat rumah baru??? Bukankah cukup memusnahkan tikusnya tanpa harus merusak atau meninggalkan rumahnya??? Agaknya, sangat sulit mempercayai komitmen kebangsaan orang-orang partai jenis kedua ini, jika komitmen kepartaian mereka saja telah teramat lemah.

Keempat adalah partai baru yang merupakan alih bentuk dari partai lama yang tidak lolos electoral threshold. Pada pemilu 2004, sejumlah partai politik tidak memenuhi electoral threshold seperti yang diatur Undang-undang. Artinya, tingkat kepercayaan masyarakat sangat rendah atas partai ini. Sungguh sangat masygul, ketidak percayaan masyarakat seakan tidak disadari oleh elite partai politik jenis ketiga ini. Yang mereka lakukan justru bermetaforsa dengan tunggangan baru politik mereka. Kasarnya, ada unsur penipuan publik dengan partai yang seakan-akan baru. Padahal, subtansinya partai lama yang tidak mendapat kepercayaan.

Barangkali, tipologisasi ini belum mampu mencangkup semua fenomena partai di negeri kita. Yang jelas, dambaan masayarakat akan partai yang loyal kepada narasi janji mereka masih merupakan impian di negeri antah berantah sana. Agaknya, bangsa Indonesia masih butuh waktu untuk mendewasakan elite politik sekaligus konstituennya untuk menyelanggarakan pemilu yang nyata-nyata menuntaskan persoalan bangsa. Bukan malah menetaskannya. Kelihatannya, tanpa ada keajaiban berupa perubahan komitmen secara radikal, angan utopis ini belum akan terwujud pada 2009.

Arif Reza Syah
Mahasiswa Syariah Wal Qanun, Al-Azhar

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:42 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home