HUKUMAN/'UQUBAH DALAM HUKUM PIDANA

Dalam hukum pidana kita akan mengenal dua bentuk balasan (jazâ) bagi pelaku tindak pidana, yang pertama adalah hukuman dan yang kedua adalah tindakan-tindakan prepentif atau rehabilitasi. Dalam makalah ini kita akan mencoba untuk lebih concern membahas tentang hukuman yang merupakan salah satu dari dua instrument diatas.

Dari statement diatas dapat kita ketahui bahwa hukuman merupakan salah satu perangkat dalam hukum pidana sebagai bentuk balasan bagi pelaku tindak kriminal, karena ia merupakan representasi dari perlawanan masyarakat terhadap para kriminil dan terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu ketika kita sepakati bahwa para kriminil dan tindak kejahatan yang dilakukannya merupakan objek dari pertanggung jawaban pidana (al masúliyah al jinâíyah) maka ketika seseorang terbukti melakukan tindakan pidana, ini mengharuskan dijatuhkannya hukuman bagi pelaku ini. Itu karena tindakan pidana yang berupa pelanggaran terhadap kaidah-kaidah dan norma-norma di masyarakat dan yang telah mengakibatkan adanya keresahan di masyarakat, mengharuskan tunduknya pelaku kejahatan terhadap hukuman. Karena merupakan sesuatu yang tidak dapat kita terima apabila pelaku kejahatan berkeliaran di tengah-tengah masyarakat sembari menebar keruksakan tanpa adanya halangan. Ini di satu sisi, sedangkan disisi lain agar kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman hidup masyarakat dapat ditegakkan dan dihormati masyarakat maka harus ada hukuman bagi yang melanggar kaidah-kaidah hukum ini.

Untuk lebih jelasnya, agar kita lebih mengenal tentang hukuman, maka kita akan mencoba mendiskusikannya, terutama bahasan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat prinsipil dari hukuman. Maka oleh karena itu kita akan membahasnya dari mulai definisi, karakteristik, tujuan, dan pembidangan hukuman.

Definisi Hukuman

Hukuman mempunyai beberapa definisi diantaranya adalah definisi yang diungkapkan oleh pakar hukum Indonesia Prof. Dr. Kususmaatmadja, S.H.,LL.M., beliau mengatakan bahwa hukuman adalah sanksi yang dijatuhkan pada seseorang yang melanggar hukum.

Menurut R. Susilo seorang Ajun Besar Komisari Polisi Pnw, hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang-orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Berdasarkan definisi ini bahwa hukuman yang biasa dijatuhkan oleh seorang guru kepada muridnya atau hukuman diciplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya karena melanggar tata tertib kepolisian bukanlah hukuman pidana karena tidak termasuk dalam pengertian ini.

Definisi lainya dikatakan oleh Dr. Samih As Sayyid Jad, seorang Professor hukum pidana Universitas Al Azhar Cairo, beliau mengatakan bahwa hukuman adalah balasan yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang dan telah diputuskan oleh hakim bagi orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.

Dari tiga definisi diatas barangkali definisi yang kedua dan ketigalah merupakan definisi yang lebih paripurna dan lebih sesuai dengan kaidah pembuatan definisi dalam ilmu logika, karena ia tampak lebih menyeluruh atau dalam istilah ilmu logikanya adalah jami’dan mani’. Setelah melihat dua definisi terakhir ini jelaslah bahwa hukuman atau sanksi hanya merupakan balasan bagi tindakan pidana yang tercermin pada tersakitinya orang yang dikenai sanksi yaitu dengan cara merampas hak dari hak-hak yang dimilikiya baik dalam bentuk perampasan kebebasan (hukuman penjara), harta benda (denda atau penyitaan),kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati) dan terkadang berbentuk perampasan hak lainya seperti hilangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau hak berpolitik yang merupakan akibat dari melakukan tindak kriminal. Hanya perlu ditekankan disini bahwa kendatipun hukuman atau sanksi memiliki sifat menyakiti tapi bukan berarti tujuanya untuk menyakiti, akan tetapi untuk mewujudkan tujuan social yang dimaksudkan oleh hukuman. Dalam pandangan yang lebih luas sanksi hukum selain berbentuk sanksi pidana, bisa juga menjelma dalam bentuk lain yang berbentuk sanksi perdata seperti kewajiban membayar ganti rugi karena perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, dan sanksi administratif. Dari dua definisi ini juga dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa hukuman yang dapat dijatuhkan hanya hukuman yang tercantum dan diatur dalam undang-undang, ini merupakan penekanan dari konsep atau asas yang melarang diadakanya penuntutan tanpa adanya ketentuan undang-undang yang menetapkan bahwa tindakan atau perbuatan pidana merupakan tindak pidana (nullum crimen sine lege / mabda’ syar’iayatil jarâim wal uqûbat), begitupun juga bahwa hukuman yang akan dijatuhkan harus berdasarkan putusan hakim di pengadilan, yang dalam undang-undang Mesir ditekankan dalam UUD pasal 66 yang berbunyi ” tidak boleh dijatuhkan sebuah hukuman kecuali berdasarkan keputusan pengadilan”.

Karakteristik Hukuman

Ada beberapa sifat yang menjadi karakteristik hukuman diantaranya:

a. Tunduknya Hukuman Terhadap Asas Legalitas

Artinya bahwa hukuman yang akan dijatuhkan harus tercantum dan ditentukan dalam undang-undang, ini merupakan penegasan atas asas Syaríyatul jarôim wal uqûbat dan hal ini juga ditegaskan dalam UUD Mesir pasal 66. Konsep ini juga merupakan jaminan yang sangat penting bagi masyarakat untuk menghindari putusan pidana yang dijatuhkan hakim yang tidak diatur dalam undang-undang. Sehingga hakim tidak dapat semena-mena untuk menambah atau mengurangi hukuman pada kondisi-kondisi yang tidak diatur oleh undang-undang.

b. Hukuman Bersifat Privasi

Maksudnya bahwa hukuman tidak dapat dijatuhkan kecuali terhadap pelaku tindak pidananya saja, atau terhadap orang yang turut serta dalam kejahatan baik sebagai pelaku asli atau pembantu. Oleh karena itu hukuman tidak dapat diwariskan kepada keluarga pelaku tindak pidana atau terhadap kerabatnya, teman-temannya, seperti yang pernah berlaku pada zaman kuno. Memang kita akui bahwa penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan secara tidak langsung menimbulkan pengaruh negatif juga terhadap keluarga atau kerabatnya, baik pengaruh fisik, moril atau fisik dan moril sekaligus. Namun hal ini bukan berarti gugurnya sifat privasi pada hukuman yang telah ditentukan undang-undang. Dan jikalau pengaruh terhadap keluarga pelaku itu dikategorikan sebagai cela dalam undang-undang pidana, mungkin saja dapat diterima, tapi tidak lebih hanya sebagai salah satu jenis dari bahaya social.

c. Jenis dan Takaran Hukuman Telah Ditentukan Dalam Nas Undang-Undang

Oleh karena itu hakim tidak diperkenankan untuk menjatuhkan hukuman yang tidak tidak diatur dalam undang-undang. Ketentuan jenis dan takaran hukuman dalam undang-undang dimaksudkan agar ada kesesuaian antara berat ringannya hukuman dengan jenis tindakan pidana yang dilakukan atau dengan tingkatan bahaya yang ada pada pelaku. Dengan demikian ada kejelasan jenis dan takaran hukuman bagi seorang hakim ketika akan memutuskanya sesuai ketentuan pembuat undang-undang dalam nas undang-undang.

d. Tunduknya Hukuman Terhadap Asas Persamaan

Ini artinya bahwa hukuman itu dapat dijatuhkan kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tanpa ada perbedaan, baik itu kelas bangsawan atau rakyat biasa, baik pejabat atau rakyat, semuanya dapat dijatuhi hukuman ketika melanggar undang-undang. Namun asas persamaan ini bukan berarti mengharuskan samanya hukuman untuk semua jenis pelanggaran, akan tetapi penentuan hukuman sesuai jenis pelanggaran, diberikan wewenangnya kepada hakim, apakah akan menjatuhkan hukuman berat atau hukuman ringan tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan. Justru dengan seimbangnya antara hukuman dan pelanggaran terwujudlah asas persamaan dalam hukuman.

e. Hukuman Bersifat Menyakiti

Hukuman mempunyai sifat meyakiti bagi yang dikenainya, hal ini karena hukuman dijatuhkan terhadap pelaku kesalahan, dan dengan adanya hukuman diharapkan dapat tercapai tujuan yang diharapkan yaitu membuat takut atau jera bagi pelaku kejahatan agar tidak diulangi di masa yang akan dating, dan tujuan ini tidak akan tercapai kecuali apabila hukuman bersifat menyakiti.

f. Harusnya Sebuah Hukuman Bersumber dari Pengadilan

Artinya bahwa sebuah hukuman tidak dapat dijatuhkan kepada kriminil kecuali apabila hukuman itu merupakan hasil keputusan pengadilan yang merupakan lembaga khusus yang berwenang untuk itu. Barangkali ini cukup beralasan karena proses seperti ini merupakan penegasan terhadap perlindungan kebebasan individu masyarakat.

Selama putusan pidana hanya merupakan wewenang pengadilan maka secara otomatis hukuman ini dapat ditinjau ulang ketika terbukti terjadi kesalahan dalam putusan pidana itu, tentunya peninjauan ulang dalam putusan pidana hanya terdapat pada hukuman yang bersifat mâliah, adapun hukuman lainya apabila sudah berlalu maka tidak dapat ditinjau ulang hanya terpidana akan mendapatkan ganti rugi, dan tentunya dengan menggugurkan dampak yang muncul di masa yang akan datang atau ganti rugi itu dapat diberikan kepada ahli warisnya apabila terpidana telah tiada.

Tujuan Adanya Hukuman

Hukuman memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, sebagian darinya adalah tujuan jangka panjang dan sebagian lagi adalah tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang dari hukuman yaitu untuk mengentaskan tindak kriminal, sedangkan tujuan jangka pendek darinya ada dua jenis yaitu, pertama tujuan yang bersifat moril dan itu tercermin pada terwujudnya keadilan, dan kedua adalah tujuan yang bersifat manfaat, hal ini terlihat pada ar rod’u baik khos ataupun ám.

Untuk lebih jelasnya kami paparkan beberapa tujuan diatas sebagai berikut:

a. Terwujudnya Keadilan

Tidak diragukan lagi bahwa para kriminal ketika melakukan tindak kejahatan berarti telah melakukan sebuah tindakan yang dianggap tidak mengindahkan kaidah hukum, dan juga dengan melakukan tindakan itu ia telah mengebiri rasa keadilan atau membuat resah masyarakat. Hal inilah yang akan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan ini, begitu juga hal ini akan menumbuhkan rasa dendam dari korban terhadap pelaku kejahatan. Oleh karena itu rasa marah dan dendam yang ada pada korban terhadap pelaku kejahatan tidak akan terobati kecuali setelah melihat pelaku kejahatan itu dijatuhi hukuman sebagai balasan atas apa yang telah dilakukanya. Maka hukuman ini telah mengembalikan rasa keadilan yang sempat hilang karena akibat tindak kejahatan yang dilakukan kriminil, dan hukuman ini juga dapat mengembalikan rasa tentram di masyarakat terlebih pada korban dan keluarganya.

b. Ar rod’u al‘âm

Ialah sifat menakut-nakuti terhadap seluruh masyarakat dengan akibat yang timbul karena melakukan tindakan kejahatan dan dengan ancaman hukuman. Jadi dengan adanya ancaman hukuman terhadap pelaku kejahatan, seluruh elemen masyarakat diharapkan akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana, sehingga dengan rasa takut ini masyarakat terhindar dari melakukan tindak pidana.

c. Ar rodú al khôs

Tujuan ketiga dari adanya hukuman, yaitu untuk meredam potensi kejahatan yang ada pada diri pelaku, dan itu dapat terwujud dengan cara menghakiminya atau meminimalisirnya semaksimal mungkin, karena dengan cara ini akan memungkinkan tercegahnya dan tidak terulangnya tindak kriminal yang telah dilakukan oleh pelaku. Dan dengan cara ini pula akan memungkinkan terbantunya pelaku untuk dapat menempuh yang lurus sesuai tuntutan nas undang-undang. Oleh karena itu bahwa Ar rodú al khos hanya akan terwujud dengan cara menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan sebagai balasan atas tindakannya dan sebagai upaya perbaikan terhadap dirinya agar tidak mengulangi perbuatanya untuk yang kedua kali.

Pendapat hukum modern lebih cenderung mengutamakan tujuan Ar rodú al khôs dibandingkan dua tujuan hukuman lainnya (terciptanya keadilan dan ar rod’u al ‘âm). Namun pengutamaan ini tidak berarti sampai melalaikan dua tujuan hukuman lainya atau tanpa memperhatikan keduanya, bahkan siasat hukuman yang ada seyogyanya terus berupaya untuk dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, terutama tujuan-tujuan diatas, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi sesusai kapasitasnya.

Pembidangan Hukuman

Pada tingkat perkembangan ilmu hukum di Indonesia sekarang ini belum tercapai tingkat kemapanan penggunaan istilah secara baik, sehingga masing-masing penulis masih bisa “menawarkan” pilihannya masing-masing. Saat ini misalnya, kita dihadapkan pada istilah ‘penggolongan’, tetapi juga ‘pembidangan’, sehingga tentunya juga akan melahirkan ‘golongan’ dan ‘bidang hukuman’. Tetapi penulis lain akan menggunakan “lapangan”untuk keperluan yang sama (J.B. Dallyo dkk.1989). Di tempat lain lagi orang menggunakan “klasifikasi” (Sudikno, 1988). Mungkin masih ada lagi istilah-istilah lain yang digunakan. Kendati terdapat keanekaragaman yang demikian itu, keperluan untuk menggunakan istilah yang berbeda-beda memang ada. Yang penting adalah, pada saat berhadapan dengan sebuah istilah kita berusaha untuk mengerti maksud yang di kehendaki oleh penulisnya.

Pembidangan hukuman apabila ditinjau dari berat-ringannya sanksi maka akan ada sanksi kejahatan (jinâyat) , sanksi kurungan (junhah) dan sanksi pelanggaran (mukhôlafah) . Hal ini ditegaskan dalam undang-undang pidana Mesir, tepatnya pada bab ke II dari kitab pertama. Hanya dalam KUHP Indonesia pembagian hukuman berdasarkan tinjauan ini hanya dikenal dua jenis hukuman yaitu sanksi kejahatan dan pelanggaran, hal ini tersirat dan tersurat dalam KUHP Indonesia Kitab Kedua dan Ketiga.

Adapun pembidangan hukuman apabila dilihat dari segi keutamaannya, maka akan kita temukan hukuman pokok (al ‘uqûbah al ashliyyah), hukuman pengikut (al ûqubah at tab’iyyah), dan hukuman tambahan (al uqûbah at takmîliyyah). Dalam KUHP Indonesia dalam tinjauan ini hukuman hanya dikenal dua jenis saja yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok adalah sebuah hukuman yang berdiri sendiri ia ada dan dapat dijatuhkan tanpa ada ketergantungan terhadap keberadaan hukuman yang lain. Hukuman pokok mempunyai kekuatan memfonis, itu karena ia memiliki sifat asal sebuah hukuman. Dalam KUHP Indonesia, tepatnya pada pasal 10 bab II dari Buku Pertama bahwa yang termasuk hukuman pokok adalah hukuman mati , hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda. Begitu juga dalam undang-undang pidana Mesir bahwa yang termasuk hukuman pokok adalah seperti yang tercantum dalam KHUP Indonesia, hanya saja dalam undang-undang pidana Mesir lebih terperinci lagi dalam penentuan hukuman penjara, maka disini dapat kita kenal istilah as sijnul mua’bbad , as sijnul musyaddad , as sijnu , dan alhabsu yang semuanya ini akan kita perjelas dalam pembahasan berikutnya. Sedangkan hukuman pengikut adalah hukuman yang senantiasa mengikuti hukuman pokok dikarenakan adanya kekuatan hukum. Sebagai contoh dalam undang-undang Mesir yang termasuk dalam hukuman tambahan adalah pencabutan beberapa hak dan keistimewaan yang termaktub dalam pasal 25 bagi terpidana hukuman berat (jinâyat), begitu juga peletakkan dalam pengawasan polisi bagi pelaku tindakan jenis kriminal yang tercantum dalam pasal 234/2, 355,367/ع setelah divonis dengan as sijnul mua’bbad, as sijnul musyaddad, dan as sijnu . Adapun dalam KUHP Indonesia pasal 10 bab II dari buku pertama dijelaskan bahwa yang termasuk hukuman jenis ini adalah pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Namun dalam istilah KUHP Indonesia untuk macam-macam hukuman tersebut tidak digunakan istilah hukuman pengikut akan tetapi digunakan istilah hukuman tambahan untuk jenis hukuman-hukuman ini, walaupun substansinya adalah macam-macam hukuman yang dalam undang-undang Mesir menjadi cakupan jenis hukum pengikut. Karena untuk jenis hukuman tambahan undang-undang Mesir mempunyai criteria tersendiri seperti yang akan kita bahas kedepan. Hanya perlu dijadikan catatan disini bahwa dalam penentuan hukuman pengikut tidak disyaratkan baginya bersamaan dengan hukuman pokok dalam satu nas undang-undang.

Jenis ketiga hukuman apabila ditinjau dari segi keutamaanya adalah hukuman tambahan. Hukuman tambahan adalah sanksi yang serupa dengan hukuman pengikut dimana snksi ini tidak dijatuhkan terhadap terpidana kecuali setelah adanya hukuman pokok bagi terpidana, hanya perbedaanya dalam hukuman tambahan agar dapat dijatuhkan bagi terpidana, ia harus bersamaan pencantumannya dalam undang-undang dengan hukuman pokok. Sebagai contoh adalah meletakkan terpidana dalam pengawasan polisi ababila yang dilakukanya jenis-jenis pidana junhah yang tertuang dalam pasal 320, 336, 337. Pengelompokan jenis ketiga ini secara substansial hanya terdapat dalam undang-undang Mesir, walaupun secara istilah KUHP Indonesia pun mengenalnya namun tidak secara substansial.

Ada tinjauan lain untuk pembidangan hukuman yaitu pembagian hukuman apabila ditilik dari segi waktu. Dari segi ini hukuman dapat kita kelompokan menjadi hukuman abadi (al uqûbah al mu’abbadah) dan hukuman sementara (al uqûbah al muáqqotah). Pembidangan hukuman pada dua kelompok ini hanya terdapat pada hukuman yang bersifat mengikat dan merampas kebebasan. Hukuman abadi adalah sanksi yang tidak dibatasi oleh waktu bahkan hukuman ini bersifat selamanya. Salah satu contoh sanksi dari jenis ini adalah seperti sanksi yang terdapat dalam undang-undang Mesir yaitu hukuman penjara selamanya, ia adalah hukuman pokok satu-satunya yang bersifat abadi, ada juga hukuman pengikut yang bersifat abadi seperti halnya sanksi pencabutan beberapa hak dan keistimewaan yang termaktub dalam undang-undang pidana Mesir pasal 25 pada keadaan pertama, kedua, kelima dan keenam. Adapun jenis kedua dari hukuman apabila dilihat dari segi waktu adalah hukuman sementara, ialah sanksi yang dibatasi oleh waktu tertentu. Sebagi contoh dari jenis sanksi ini adalah hukuman penjara berat dan hukuman kurungan, ini yang termasuk dalam hukuman pokok. Sedangkan yang dari hukuman pengikut yang termasuk dalam hukuman sementara adalah sanksi pencabutan hak-hak dan keistimewaan yang tercantum dalam undang-undang pidana Mesir pasal 25 pada keadaan ketiga dan keempat.

Pembidangan lainya untuk hukuman dapat dilihat dari segi hak-hak terpidana yang terkenai hukuman. Berdasarkan tinjauan ini kita dapat mengelompokan hukum pada hukuman badan, hukuman perampasan kebebasan atau hukuman pengikat kebebasan, hukuman terhadap reputasi, hukuman pencabutan hak-hak dan hukuman harta. Hukuman badan adalah sanksi yang menimpa badan terpidana yang mengakibatkan hilangnya hak hidup terpidana seperti sanksi eksekusi. Adapun hukuman perampas kebebasan adalah sanksi yang mengakibatkan terampasnya kebebasan terpidana selama ia masih dalam masa penjatuhan hukuman seperti halnya hukuman penjara dan kurungan. Sedangkan hukuman pengikat kebebasan adalah sanksi yang mengakibatkan terikatnya kebebasan terpidana tanpa mengakibatkan hilangnya kebebasan sebagai contoh misalnya sanksi peletakan terpidana dalam pantauan polisi. Adapun hukuman terhadap reputasi adalah hukuman yang mengenai kehormatan, dan citra terpidana di lingkungan masyarakatnya seperti perintah kehakiman untuk mempublikasikan sebuah putusan terhadap terpidana pada media cetak, ini merupakan sanksi yang membuat reputasi terpidana menjadi buruk di lingkungan masyarakatnya. Dan yang dimaksud dengan hukuman harta adalah hukuman dalam bentuk tanggungan harta terpidana, sehingga hartanya menjadi berkurang, seperti hukuman denda dan penyitaan. Dan terakhir adalah hukuman pencabut hak-hak terpidana, ialah sanksi yang menjadikan tercabutnya hak-hak terpidana baik hak sipil atau hak berpolitik.

Dari berbagai pengelompokan hukuman diatas ada satu pengelompokan yang menimbulkan atau mengharuskan adanya penjelasan hukum yang tunduk terhadapnya yaitu pembidangan hukuman pada hukuman pokok, hukuman pengikut dan hukuman tambahan.

Seperti telah disampaikan di muka bahwa yang akan disampaikan dalam makalah ini adalah hal-hal prinsipil atau mendasar dari sebuah hukuman, dan itu seperti apa yang telah kita lihat bersama pada pembahasan diatas. Namun tentunya juga isi makalah ini belum dapat mewakili kajian dasar-dasar hukuman sacara paripurna, ini karena masih banyaknya pokok bahasan tentang hukuman atau sanksi yang belum sempat dibubuhkan dalam makalah ini, itu karena keterbatasan waktu dan referensi yang kami miliki. Diantara yang perlu ditambahkan dalam makalah ini adalah pejelasan tentang aplikasi hukuman, macam-macam tindak pidana dan pengaruhnya terhadap hukuman, habisnya masa hukuman, dan hilangnya dampak (atsar) hukuman. Itu semua belum sempat kami susun, mudah-mudahan dapat dilengkapi di masa yang akan datang.

Akhirnya kami mohon maaf dari segala kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, semoga makalah ini bermanfaat. Amin!

Oleh: Mang Akbar

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:20 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home