HUKUM PIDANA; ANTARA TEORI DAN APLIKASI

Berbicara mengenai Hukum Pidana, maka secara spontan kita akan langsung mengingat bahwa Hukum Pidana termasuk ke dalam hukum publik (pembagian hukum berdasarkan isinya). Sebagaimana kita ketahui berdasarkan isinya hukum dibagi menjadi dua; hukum publik dan hukum privat. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur antara subjek hukum dengan pemerintah sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu dalam masyarakat dengan bentuk kaedah tertentu.

Hukum Pidana Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang adalah hukum saduran dari Belanda, yang termuat dalam perundang-undangan yang kita sebut dengan KUHP(Kitab undang-undang Hukum Pidana) atau dalam bahasa belandanya dikenal dengan sebutan WvS (singkatan dari Wetboek van Strafrecht). Hukum ini terdiri dari tiga buku; buku ke-1 memuat Aturan Umum, buku ke-2 tentang Kejahatan, dan buku yang ke-3 mengatur tentang Pelanggaran. Hukum Pidana di Indonesia hanya mengenal dua jenis perbuatan, yang mana keduanya juga telah termuat di dalam KUHP; yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, kita ambil sebagai contoh mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya.

Hukum Pidana sebagaimana yang kita ketahui dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Sedangkan Hukum pidana formil mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP), adapun KUHP sendiri telah diberlakukan dengan keluarnya UU 1958 no.73 yang pokoknya telah memberlakukan UU no.1 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Lain lubuk lain pula ikannya, lain Indonesia lain pula Mesir. Di negeri Mesir sendiri, ditanah kita berpijak ini, hukum pidana( Qonun ‘Uqubat ) telah mengalami perkembangan yang cukup panjang menjelang abad ke-19. Karena di akhir abad ini Mesir mengadopsi Qonun produk negara Perancis, yang mana sebelum hukum yang terakhir ini, hukum Syariat Islam-lah yang diterapkan. Pada tahun 1883 bisa dikatakan bahwa tahun ini adalah tahun sejarah perkembangan hakiki untuk perundang-undangan Hukum Pidana Mesir dimana telah terbentuknya mahkamah-mahkamah nasional, selain itu Qonun ‘Uqubat al-Ahli dan Qonun Tahqiq al-Jinayah juga telah berlaku. Hingga keluarlah UU Pidana (Qonun ‘Uqubat) secara pasti no.58 tahun 1937 yang mulai diterapkan tanggal 15 Oktober 1937 dan masih berlaku hingga sekarang. Di masa perkembangan sejarah Hukum Pidana(Qonun ‘Uqubat) Mesir ini, di dalamnya terdapat beberapa pengamandemenan diantaranya UU no 169 tahun 1981, UU no.21 tahun 1982, UU nomor 34 tahun 1984, UU nomor 97 tahun 1992, UU nomor 93 tahun 1995, UU nomor 95 tahun 1996, dan UU nomor 95 tahun 2003.

Berhubung pembahasan tentang Hukum Pidana kali ini adalah pengantar dan pengenalan teori-teori begitu juga perangkat singkat dalam Ilmu Hukum Pidana, penulis mencoba untuk mengklarifikasi pembahasan mengenai kejahatan( pidana) dan unsur-unsur yang harus ada dalam perbuatan pidana dengan lebih memfokuskan pembahasan dari buku diktat, Syarh Qonun ‘Uqubat.

Kejahatan (al-Jarimah)

Dalam pembahasan mengenai Kejahatan ini, penulis akan membaginya ke dalam dua pembahasan:
• Definisi Kejahatan
• Klasifikasi Kejahatan.

Definisi Kejahatan

Tidak ada bentuk kesepakatan di dalam pendefinisian Kejahatan di antara para ahli hukum sendiri, dan keberagaman pendefinisian ini kembali pada pada cara pandang mereka yang berbeda mengenai hakikat Kejahatan itu sendiri. Ada yang memberikan pendefinisian (1)Kejahatan adalah Suatu perbuatan yang bersifat mengerjakan ataupun meninggalkan suatu perbuatan yang mana sangsinya telah ditentukan oleh hukum, (2) ada juga yang mendefinisikannya “ Suatu perbuatan atau kejadian yang dapat membahayakan dan undang-undang telah melindungi kemaslahatan ini di dalam Hukum Pidana dan dampak dari perbuatan kejahatan ini adalah hukuman yang akan diterima oleh si pelaku, (3)sebagian lagi ada yang mendefinisikannya sebagai “ Suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan yang bersumber dari keinginan untuk melakukan dan hukum telah menentukan sangsinya berupa hukuman atau semisal tindakan-tindakan preventif.
Dari berbagai pendefinisian diatas, maka pengertian yang terakhir lebih mendekati kepada ciri-ciri perbuatan kriminal atau kejahatan, yaitu “ Perbuatan atau tingkah laku yang tidak diperbolehkan (illegal)yang bersumber dari keinginan untuk melakukan kejahatan yang mana sangsinya telah ditetapkan oleh undang-undang.”
Terkadang pengertian kejahatan pidana yang merupakan perbuatan dan tingkah laku yang tidak diperbolehkan dapat terkontaminasi dengan pengertian perbuatan kejahatan yang lainnya seperti kejahatan sipil(perdata) dan kejahatan ta’dibiyyah.
• Yang pertama: adalah perbedaan antara kejahatan pidana dan kejahatan sipil; ke-illegal-an kejahatan pidana berpegang pada UU Hukum Pidana sesuai dengan asasnya ‘Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali ada undang-undangnya’. Sedangkan kejahatan sipil ketidak absahannya bersumber dari UU pasal 163 UU perdata Mesir “ Setiap perbuatan yang menyebabkan bahaya pada orang lain yang mewajibkan bagi si pelaku untuk mengganti rugi.” Dan perbedaan ini terlihat pada kejahatan pidana tertuang dalam teks undang-undang secara pasti, sedangkan undang-undang perdata tidak ada di dalamnya batasan untuk kategori kejahatan akan tetapi ada satu kaedah hukum yang membatasinya dengan asas ganti rugi, yaitu timbulnya bahaya pada orang lain karena bahaya disini dianggap sebagai unsur dalam kejahatan sipil dan sebaliknya tidak di dalam kejahatan pidana.

• Kedua: perbedaan antara kejahatan pidana dan kejahatan ta’dibiyyah
Yang dimaksud dengan kejahatan ta’dibiyyah disini adalah perbuatan atau tingkah laku yang salah yang dilakukan oleh seorang pegawai negara atau orang yang bertugas mengabdi untuk negara, yang mana perbuatannya dianggap sebagai kelalaian pada kewajiban atau tugasnya. Maka perbedaan keduanya terletak pada kejahatan ta’dibiyyah dapat dikenakan hanya pada golongan tertentu dari masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai negara atau orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk umum(masyarakat) seperti pegawai negeri, dokter, pengacara dll.

Klasifikasi Kejahatan

Secara umum Kejahatan dapat dibagi ke dalam beberapa pembagian:
1. Pembagian kejahatan menurut bentuknya dibagi menjadi tiga; Kejahatan( Jinayah) , Pelanggaran berat( Junhah) , dan pelanggaran ringan( Mukhalafah) , inilah pembagian yang disebutkan oleh pembuat undang-undang Mesir yang terdapat dalam pasal 9-12 Qonun ‘Uqubah.
2. Kejahatan dibagi juga menurut unsur materiil( ar-Ruknu al-Maddi) menjadi Kejahatan dalam waktu singkat( Jaraim Waqtiyyah) , Kejahatan yang berkelanjutan ( Jaraim Mustamirrah) , Kejahatan yang diikuti perbuatan-perbuatan yang selanjutnya( Jaraim Mutataba’atu al-Af’al) , Kejahatan biasa ( Jaraim Basithah) , dan Kejahatan berulang-ulang kali ( Jaraim ‘Itiyad) .
3. Sedangkan berdasarkan unsur immateril( ar-Ruknu al-Maknawi), Kejahatan dibagi menjadi dua; Kejahatan yang disengaja( Jaraim ‘Amdiyyah) dan Kejahatan yang tidak disengaja( Jaraim ghairu Amdiyyah) .
4. Dan yang terakhir pembagian Kejahatan berdasarkan jenis hak yang terancam dibagi menjadi empat; Kejahatan biasa ( Jaraim ‘Adiyah) , Kejahatan politik ( Jaraim Siyasiyah) , Kejahatan militer ( Jaraim ‘Askariyyah) dan Kejahatan umum( Jarimah ‘Ammah) .

Unsur pertama dalam kejahatan(Rukun Syari’)

Telah kita ketahui sebelumnya bahwa di dalam sebuah perbuatan pidana ada tiga unsur penting pembentuknya; pertama unsur syari’ atau kita kenal dengan ketidak bolehan suatu perbuatan untuk dilakukan menurut UU, dan kata tidak boleh( ‘adamu al-masyrui’yyah) yang dimaksudkan adalah adanya UU yang mengatur bahwa perbuatan tersebut melanggar UU, dan juga terlepasnya perbuatan kejahatan ini dari alasan-alasan yang membenarkannya( asbabul ibahah). Yang kedua Rukun Maddi ( unsur materiil) yaitu perbuatan kejahatan yang dilakukan. Dan yang ketiga adalah Rukun Maknawi ( unsur immaterial) yang dimaksudkan di sini adalah niat pelaku atau kesengajaan untuk melakukan perbuatan tersebut.

Asas Legalitas pidana

Maksud dari asas legalitas pidana adalah suatu perbuatan termasuk dalam kategori kejahatan hanya dapat ditentukan oleh pembuat uu( legislator) saja begitu juga dengan penjelasan hukuman-hukuman yang termuat di dalam uu. Tidak adanya otoritas seorang hakim untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kejahatan atau tidaknya, dan seorang hakim juga tidak bisa untuk menentukan suatu hukuman atas suatu kejahatan kecuali apa yang telah termaktub di dalam uu.
Tidak diragukan lagi bahwa pada prinsipnya asas legalitas dalam pidana ini dianggap sebagai sebuah asas yang menjamin hak-hak seseorang dari peradilan, dan juga setiap warga negara akan mengetahui perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kategori kejahatan dan hukuman-hukumannya.

Adapun asal historitas asas legalitas ini bersumber dari uu Romawi yang diberlakukan pada masanya republik yang terkenal pada waktu itu, tetapi hal ini tidak berlangsung lama hingga peradilan diberikan kewenangan yang luas untuk menentukan suatu kejahatan dan hukumannya. Akan tetapi asas legalitas ini muncul kembali di Inggris pada tahun 1215 pada masa raja Jhon dan hal ini sesuai dengan dokumen yang dibuat pada tahun tersebut yang dinamakan dengan Magna Charter, dimana di dalam pasal 39 disebutkan tidak mungkin suatu hukuman itu diberikan kepada seseorang yang merdeka kecuali melalui peradilan hukum sesuai dengan undang-undang.
Kemudian asas legalitas ini berpindah hingga sampai ke Amerika Serikat yang dibawa oleh imigran Inggris, dan asas ini tertuang di dalam uu hak asasi manusia tahun 1774. Setelah revolusi Perancis 1789 para pembuat uu di negara itu juga memasukkannya ke dalam uu hak asasi manusia, dan di Mesir sendiri asas ini tertuang di dalam UUD Mesir tahun 1971 pasal 66 yang berbunyi “ Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali berdasarkan undang-undang.”
Asas ini juga tak lepas dari kritikan, misalnya asas ini bersifat non-retroaktif, karena pembuat undang-undang ketika menentukan hukuman hanya melihat pada bentuk kejahatan yang dilakukannya tanpa melihat latar belakang si pelaku. Kedua; asas ini juga bisa dikatakan tidak melindungi masyarakat karena pembuat uu tidak bisa menyesuaikan uu dengan perkembangan zaman.

Sumber-sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana disini dapat dibagi menjadi dua; yang pertama adalah sumber langsung dan sumber yang tidak langsung.
Sumber Hukum Pidana secara langsung
* Undang-undang dasar
Di dalam sebagian pasal Dustur tahun 1971 disebutkan: bahwa UU dasar merupakan sumber langsung untuk Hukum pidana, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 66 hukum pidana yang memuat asas legalitas pidana.
*Undang-undang; sesuatu yang dibuat oleh pembuat undang-undang( legislator), dan undang-undang disini menempati posisi yang kedua setelah undang-undang dasar dalam rujukan atau sumber Hukum Pidana.
* Keputusan untuk mengeluarkan hukum; yang bersumber dari kepala negara, baik berdasarkan keputusan penyerahan dari DPR yang terjadi pada saat-saat tertentu saja dan hanya berlaku dalam beberapa perkara saja, atau juga bisa dikeluarkan karena ketidak hadiran anggota dewan jika hal untuk mengeluarkan uu membutuhkan waktu yang cepat.
Sumber Hukum Pidana yang tidak langsung:
* Kebiasaan
* Syariat Islam
* Perjanjian Internasional dan kebiasaan Internasional
* Undang-undang asing

Interpretasi teks Undang-undang Pidana

Salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan- rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan sesungguhnya hanyalah merupakan bentuk dari usaha untuk menyampaikan suatu ide atau pikiran. Sehubungan dengan hal yang sering disebut belakangan ini tentang adanya “ semangat” dari suatu peraturan. Oleh karena itu usaha menggali semangat yang demikian itu merupakan bagian dari keharusan yang melekat pada hukum perundang-undangan. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi hukum.
Interpretasi atau konstruksi adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapat kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk bentuk otoritatif itu .
Sebenarnya keadaan yang ideal adalah manakala interpretasi tersebut tidak diperlukan atau sangat kecil peranannya. Suatu keadaan dimana tercapainnya maksud apabila perundang-undangan itu bisa dituankan dalam bentuk yang jelas.

Interpretasi teks undang-undang dapat dibagi menjadi tiga:

1. Interpretasi legislatif : yaitu interpretasi yang bersumber dari lembaga yang membuat teks undang-undang pidana. Yang bertujuan untuk memperjelas maksud dari undang-undang yang dibuat.
2. Interpretasi doktrin: interpretasi yang bersumber dari sarjana hukum yang ditulis dalam karangan-karangan mereka dan penelitian mereka dengan tujuan untuk memperjelas teks uu. Walaupun pada hakikatnya bentuk dari interpretasi ini tidaklah memiliki sifat yang wajib diikuti.
3. Interpretasi yurisprudens: interpretasi yang dibuat seorang hakim untuk memecahakan suatu perkara dari teks uu, dan dimaksudkan untuk sampai kepada tujuan yang diinginkan oleh pembuat uu. Dan bentuk interpretasi ini juga tidak memiliki sifat wajib diikuti .

Untuk mengetahui bentuk interpretasi atau penafsiran terhadap teks uu ini, Montesquieu mengajukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana.
Istilah-istilah yang dipakai hendaknya sejauh mungkin bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga dengan demikian membuka sedikit kemungkinan bagi perbedaan pendapat individual.
2. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat hipotesis.
3. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi.
4. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan pengecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.
5. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi.
6. Harus dipertimbangkan dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan janganlah hendaknya mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan.


Metode interpretasi


Kembali kepada masalah interpretasi, maka secara garis besar interpretasi dapat dibedakan ke dalam dua bentuk; yaitu interpretasi secara harfiah dan fungsional. Misalnya: pada pasal 236 ,240 ,244, 265 Qonun ‘Uqubat di Mesir hal yang berkaitan dengan kejahatan seperti pemukulan, pelukaan dengan sengaja ataupun tidak sengaja dan pemberian zat-zat yang dapat membahayakan, maka kita dapatkan tujuan dari pembuat uu adalah untuk melindungi hak seseorang dalam keselamatan dirinya. maka interpretasi dari teks uu ini adalah segala sesuatu perbuatan yang termasuk dapat mengganggu dan mengancam keselamatan diri seseorang masuk kedalam kategori kejahatan ini, seperti menebarkan kuman-kuman penyakit pada tubuh seseorang.

Ruang Lingkup Hukum Pidana


Berlakunya perundang-undangan hukum Pidana menurut waktu
Perundang-undangan pada umumnya memiliki masa berlaku yang terbatas, suatu keadaan dimana ia masih memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan, dan waktu itu dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan hingga tanggal berakhirnya masa undang-undang tersebut. Adapun waktu sebelum uu dikeluarkan dan sesudah habisnya masa uu tersebut, maka uu ini tidak dapat diterapkan dan diaplikasikan untuk kejadian yang ada pada waktu-waktu tersebut. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 188 UUD Mesir 1971 dimana waktu mulai berlakunya uu setelah sebulan dari tanggal diumumkannya uu tersebut di koran-koran resmi pemerintah, sebagaimana pasal ini juga memberikan batasan waktu untuk publikasi di koran resmi hanya dalam waktu dua minggu dari tanggal dibuatnya uu.

Kaedah dasarnya adalah bahwa teks undang-undang Qonun ‘Uqubat (Hukum Pidana) ini berlaku dengan cepat dan segera di terapkan untuk segala perbuatan yang terjadi pada waktu uu ini dikeluarkan, dan uu ini tidaklah berlaku dan tidak dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan pidana yang ada sebelum uu ini dikeluarkan, sebagaimana uu ini juga tidak berlaku setelah tanggal penghapusan uu. Tidak diragukan bahwa kaedah ini( Qa’idatu al-atsar al-fauri wa al-mubasyir) yang merupakan asas berlakunya uu Hukum Pidana menurut waktu adalah sebagai penguatan pada asas legalitas, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1971 pasal 66 : “ Tidak ada hukuman kecuali atas perbuatan-perbuatan pidana yang terjadi pada waktu dikeluarkannya suatu uu.”

Akan tetapi kaidah dasar dalam Qonun ‘Uqubat ini juga mengenal pengecualian, dimana uu yang baru dapat berbalik ke belakang atau dapat diterapkan untuk perbuatan-perbuatan pidana sebelum uu ini dikeluarkan, diterapkanlah asas raj’i(retroaktif). Dan keadaan seperti ini terjadi apabila penerapan uu baru tersebut lebih sesuai dan cocok bagi tersangka dibandingkan dengan uu yang berlaku ketika ia mengerjakan perbuatan pidana tsb. Penerapan asas retroaktif ini bertujuan untuk kebaikan si terdakwa dan bukan berarti ‘mengotak-atik’ asas legalitas, karena asas retroaktif ini tidaklah membahayakan si terdakwa akan tetapi sebaliknya untuk memberikan kemaslahatan pada dirinya.

Di dalam KUHP Indonesia sendiri batas –batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan menurut waktu termaktub dalam buku ke-1, bab ke-1 pasal 1 ayat 1 & 2 yang berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”, dan “ Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, di pakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.”

Berlakunya perundang-undangan pidana menurut tempat

Berbicara mengenai Hukum Pidana, maka secara spontan kita akan langsung mengingat bahwa Hukum Pidana termasuk ke dalam hukum publik (pembagian hukum berdasarkan isinya). Sebagaimana kita ketahui berdasarkan isinya hukum dibagi menjadi dua; hukum publik dan hukum privat. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur antara subjek hukum dengan pemerintah sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu dalam masyarakat dengan bentuk kaedah tertentu.

Hukum Pidana Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang adalah hukum saduran dari Belanda, yang termuat dalam perundang-undangan yang kita sebut dengan KUHP(Kitab undang-undang Hukum Pidana) atau dalam bahasa belandanya dikenal dengan sebutan WvS (singkatan dari Wetboek van Strafrecht). Hukum ini terdiri dari tiga buku; buku ke-1 memuat Aturan Umum, buku ke-2 tentang Kejahatan, dan buku yang ke-3 mengatur tentang Pelanggaran. Hukum Pidana di Indonesia hanya mengenal dua jenis perbuatan, yang mana keduanya juga telah termuat di dalam KUHP; yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, kita ambil sebagai contoh mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya.

Hukum Pidana sebagaimana yang kita ketahui dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Sedangkan Hukum pidana formil mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP), adapun KUHP sendiri telah diberlakukan dengan keluarnya UU 1958 no.73 yang pokoknya telah memberlakukan UU no.1 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Oleh: Ade Irma Suryani

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:09 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home