MENGENAL HUKUM PIDANA DAN MENYOAL KONTROVERSI PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF

(A Brief Study and A Most Told Issue Review)

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik Dalam Negeri merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

Di Indonesia, kritisme seputar Sistem Perundang-Undangan juga terus menghangat dan berkembang. Termasuk masalah kontroversi pemberlakuan Asas Retroaktif (Asas Berlaku Surut) dalam Hukum Pidana yang semakin marak terutama pasca membludaknya kasus pidana korupsi dan terorisme.
Makalah sederhana ini mengetengahkan pengantar singkat tentang Hukum Pidana dan seklumit review seputar Kontroversi pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia.

Defenisi Hukum Pidana

Wikipedia mendefenisikan Hukum Pidana sebagai “Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya.”
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”

Klasifikasi Hukum Pidana

Secara substansial, Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:

A. Hukum Kriminal

Yakni cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.

Sejarah Perkembangan Hukum Kriminal

Perkembangan Hukum Kriminal ini secara umum tercatat dalam dua fase, yakni sebelum Revolusi Prancis dan Setelah Revolusi Perancis hingga sekarang.
Pada fase sebelum Revolusi Prancis, Hukum Pidana yang notabene merupakan cabang hukum yang muncul pertama kali ini mengalami perkembangan dalam tiga tahap:
Perkembangan Pertama: Dalam bentuk “Balas Dendam Pribadi/self revenge/al-intiqâm al-fardiy,” yakni pada masa awal-awal jauh sebelum terbentuknya negara. Di mana pola kemasyarakatan yang ada saat itu adalah pola keluarga dan kelompok. Pada tahap ini, jika terjadi pelanggaran dari salah seorang individu terhadap individu lain yang sekeluarga dan sekelompok, maka pemimpin keluarga/keluarganya lah yang berhak memberikan hukuman kepada orang yang melanggar tersebut. Sedangkan jika pelanggarnya berasal dari keluarga/kelompok yang lain, maka keluarga dan kelompoknyalah yang menuntut pembalasan atas pelanggaran tersebut.

Perkembangan Kedua: Dalam bentuk “Denda/Ganti Rugi/al-Diyah.” Ini terutama dilaksanakan apabila keluarga/kelompok individu yang melanggar tidak sanggup untuk menghadapi balas dendam oleh keluarga/kelompok korban. Atau sebaliknya, apabila keluarga/kelompok korban tidak bisa melangsungkan balas dendamnya.
Perkembangan Ketiga: Dalam bentuk “Sanksi yang diperantarai negara.” Tahap ini terjadi di kala otoritas negara semakin menguat dan membesar. Di mana negara mulai berhak menjatuhkan sanksi kepada warganya yang merupakan salah satu cermin kedaulatan negara tersebut. Ada dua jenis sanksi yang dikenakan negara kala itu, sanksi untuk Kriminalitas Umum dan sanksi untuk Kriminalitas Khusus.
Kemudian, semenjak revolusi Prancis sampai saat ini, modifikasi Hukum Pidana termanifestasi via berkembangnya beberapa aliran pemikiran Hukum Pidana dan gerakan-gerakan berikut:

1. Madzhab Konvensional Klasik
Madzhab ini berdiri pada abad 18 yang secara umum mengumandangkan Penetapan Asas Legalitas Tindak Pidana dan Sanksinya serta seruan untuk meringankan kerasnya Sanksi.
Penganut madzhab ini—Salah satunya Syizary Bikaria, berpijak kepada Konsep al-‘Aqd al-Ijtimâ’iy yang ia tuangkan dalam bukunya: “Kriminalitas dan Sanksi” Tahun 1763. Buku ini menjelaskan hak-hak negara dalam memberikan sanksi—“Pada hakikatnya, sanksi hanya merupakan kumpulan hak-hak individu untuk mempertahankan harta dan jiwa mereka yang mereka gunakan untuk negara.” Dan pernyataan ini mengandung dua hal prinsipil, yakni pentingnya persamaan sanksi atas tiap individu dan warning akan kerasnya sanksi.

Bintam—yang juga merupakan salah satu penganut madzhab ini, menyerukan dalam bukunya, “Norma-Norma Akhlak dan Hukum” tahun 1780, agar Asas Sanksi adalah merupakan manfaat.
Konsep madzhab ini berpengaruh banyak terhadap Hukum Pidana Prancis yang ditetapkan tahun 1791 yang menetapkan Asas legalitas Kriminalitas dan Sanksi dan meringankan kerasnya sebagian sanksi dan (bahkan) menghapus sebagiannya.
2. Madzhab Konvensional Modern
Kritik atas Madzhab Konvensional Klasik adalah bahwa madzhab ini hanya semata mengkritisi permasalahan kriminalitas tanpa diimbangi dengan pengkritisan terhadap pelaku kriminalnya, di samping juga seruan kesetaraan sanksi oleh madzhab ini ternyata berimplikasi pada kerancuan penerapan hukuman atas masing-masing pelaku pidana yang notabene memiliki kondisi dan kesiapan fisik berbeda-beda untuk menerima sanksi.

Madzhab ini dibawa oleh Rossue, dkk dengan bersandar pada pola pikir filsuf Jerman, Imanuel Kant yang menyerukan agar Asas Sanksi adalah berupa keadilan yang mutlak. Artinya, tujuan pemberian sanksi haruslah sebagai kepuasan rasa adil setiap pihak—“Sanksi haruslah memuat prinsip keadilan sekaligus prinsip manfaat.”
Madzhab ini banyak dijadikan landasan norma hukum di beberapa negara semisal, Hukum Prancis yang ditetapkan tahun 1833, Hukum Jerman tahun 1870 dan Hukum Italia tahun 1889.

3. Madzhab Positif Italia
Madzhab ini dibentuk oleh beberapa ilmuan Itali. Lemahnya otoritas hukum kala itu merupakan salah satu faktor pendorong digagasnya madzhab ini. Selain itu, tujuan pemberlakuan sanksi yang telah ditetapkan oleh Madzhab Konvensional Klasik dan Modern juga dinilai belum optimal jika hanya terbatas pada penegakan prinsip keadilan dan prinsip manfaat. Tetapi harus disertai dengan upaya untuk merehabilitasi pelanggar agar pasca pengenaan sanksi, pelanggar bisa kembali hidup normal dan tidak lagi membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakatnya. Karena itu, madzhab ini memfokuskan pada rehabilitasi pelanggar, mengingat dialah sumber kejahatan itu.
Madzhab ini sangat tidak menyetujui Asas Kebebasan Memilih terkait masalah sanksi kejahatan, karenanya madzhab ini juga tidak menyetujui sanksi moral dan budi pekerti sebagai asas dalam sanksi kejahatan, sebaliknya, upaya rehabilitasi yang sesuai dengan tingkat kejahatan pelanggarlah yang harus dioptimalkan.
Madzhab ini berpendapat bahwa pemberantasan kejahatan bukanlah dengan memperberat sanksi, tetapi justeru dengan mengenali faktor-faktor yang mendorong terjadinya kejahatan tersebut dan meminimalisir faktor-faktor tersebut sebesar mungkin. Faktor-faktor tersebut bisa berupa faktor internal si pelanggar maupun faktor eksternal semisal lingkungan sekitar si pelanggar.
Pendiri madzhab ini juga menyeru agar negara melakukan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya kejahatan di masyarakat.

4. Perhimpunan Internasional Hukum Kriminal

Munculnya perhimpunan ini merupakan respon positif atas beragam madzhab yang telah ada sebelumnya. Jika madzhab-madzhab sebelumnya berupa doktrin dan teori-teori, maka perhimpunan ini adalah semacam gerakan nyata yang mengakomodir konsep-konsep beragam madzhab yang ada sebelumnya.
Perhimpunan ini berpengaruh konstruktif kerena mendorong munculnya beragam afiliasi dan madzhab, salah satunya adalah Asosiasi Hukum Kriminal Internasional yang didirikan di Paris tahun 1924.
Peran dari Perhimpunan ini bukanlah peran yang menyumbangkan konsep tertentu seperti halnya madzhab-madzhab sebelumnya, tapi lebih menyerupai pengumpulan beragam solusi yang ditawarkan oleh madzhab-madzhab sebelumnya tersebut.
5. Gerakan Pembela Masyarakat
Gerakan ini merupakan tehnik pemberantasan tindak kriminal dengan cara yang tepat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan dasar-dasar konsep baru untuk menyiasati kriminalitas, yang pada dasarnya diupayakan untuk menjaga ketentraman masyarakat dan rehabilitasi pelaku kriminal.

Klasifikasi Hukum Kriminal:

Hukum Kriminal terbagi menjadi dua konsentrasi:
1. Hukum Kriminal Umum, yaitu “hukum yang menjelaskan hukum-hukum umum, yakni kaidah-kaidah yang diberlakukan atas semua tinak kriminal dan sanksinya, kecuali yang dikhususkan Dewan Legislatif dengan teks-teks tertentu.”
Secara gamblang, Hukum Kriminal Umum mengatur permasalahan-permasalahan berikut:
a. Penjelasan tentang kaidah-kaidah umum Sanksi Kriminal tanpa pemaparan detail tentang hukum masing-masing kejahatan.
b. Penjelasan tentang jenis-jenis kejahatan yang terbagi menjadi, pelanggaran, pelanggaran hukum dan kriminalitas.
c. Penjelasan tentang sanksi dan jenis-jenisnya, jatuhnya sanksi dan pembatalannya, unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan Hukum—berat maupun ringannya, serta corak kriminalitas pelaku kejahatan.
2. Hukum Kriminal Khusus, yaitu “Hukum yang menyerupai indeks kejahatan yang dikenai sanksi oleh hukum. Dan indeks ini berisi batasan detail rukun-rukun kejahatan tertentu berikut sifat-sifatnya yang beragam, ditambah penjelasan tentang beragam sanksi atas kejahatan-kejahatan tersebut.”
Dewan Legislatif Mesir juga mengklasifikasi Hukum Kriminalnya ke dalam Hukum Kriminal Umum dan Khusus. Di mana Kitab pertama Undang-undang Pidananya berisi Hukum-Hukum Umum (Pasal 1-76). Sedangkan, Hukum Kriminal Khusus-nya mengatur Pasal 38-77 dari kumpulan asli Hukum Kriminal ditambah dengan Hukum-Hukum Kriminal Pelengkap yang juga tunduk pada Hukum Kriminal Umum.
Para ahli Hukum Pidana telah bersepakat atas klasifikasi ini. Dan pada kenyataannya, Hukum Kriminal Khusus memang lebih dahulu berkembang dibanding Hukum Kriminal Umum. Undang-Undang zaman dulu memang hanya terbatas pada tindakan-tindakan yang mendorong terjadinya beragam kriminalitas dan penjelasan sanksinya tanpa memperhatikan urgensi perumusan kaidah-kaidah Umum Hukum Kriminal.

Hukum Kriminal Khusus memberikan batasan-batasan detail setiap tindak kriminal dan sanksi-sanksi yang tercantum jelas dalam teks Undang-Undang. Hal ini tentu penting, karena akan meniadakan pengingkaran terhadap Asas Legalitas Tindak Kriminal dan Sanksi-nya yang notabene ditetapkan untuk menjamin kebebasan rakyat serta mencegah kesewenang-wenangan pemerintah.
Dengan begitu, Undang-Undang yang tertuang dalam Hukum Kriminal Umum tak lain hanya merupakan pasal-pasal yang bersifat maklumat, sementara Undang-Undang Hukum Kriminal Khusus tidak demikian.
B. Hukum Acara Pidana

Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”

Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
1. Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya. Yaitu, pelaksanaan dan peradilan, tata cara dalam peradilan, lembaga-lembaga yang berwenang dalam melaksanakan dan mengadilinya, juga termasuk prosedur-prosedur yang harus dipenuhi dalam mengajukan dakwa pidana yang kerap disebut sebagai fase pengumpulan bukti.
2. Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
2. Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Pemberlakuan Acara Pidana dinilai Urgen baik dari sisi stabilitas dan keamanan masyarakat yang tertimpa kejahatan maupun dari sisi si pelaku kejahatan yang terkadang belum pasti pembuktian bersalah atau tidak bersalahnya.
Sistem Acara Pidana beragam, tapi secara umum, bisa dikelompokkan menjadi dua sistem inti:
1. Sistem Tuntutan
Yakni sistem yang berlaku di Inggris, Amerika dan negara-negara yang mengadopsi sistem Hukum Inggris. Sistem ini sebenarnya serupa dengan Sistem Tuntutan Individu yang berlaku pada masa awal-awal. Dalam sistem ini, prosedur dakwa pidana tidak berbeda jauh dengan prosedur dakwa perdata. Dakwa dilangsungkan antara kedua belah pihak, yakni Si tertuntut, yang melakukan tindak pidana, dan si penuntut, yakni si korban. Sementara Hakim merupakan pihak yang berwenang menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dengan berdasar pada lemah/kuatnya bukti.
2. Sistem Sidikan.
Secara historis Sistem Tuduhan muncul lebih awal dibanding Sistem Sidikan. Sistem ini teradopsi dari Hukum Romawi pada era republik, lalu diberlakukan juga dalam Hukum Gereja di abad pertengahan, kemudian diberlakukan juga untuk peradilan Hak Milik dalam Sistem Hukum Klasik di Prancis. Dalam sistem ini, pemerintahlah yang berwenang penuh melangsungkan tuntutan. Kemudian sistem ini diberlakukan lebih meluas lagi di Benua Eropa. Sistem ini terus diberlalukan dengan ekstrim sampai terjadinya Revolusi Prancis. Dan pada kenyataanya,sampai sekarang sistem Hukum Acara di Prancis memakai Sistem Sidikan ini.

Menyoal Kontroversi Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam Ilmu Hukum Pidana, dikenal pemberlakuan Prinsip Asas Legalitas yang menghendaki penjatuhan hukuman atas dasar peraturan yang telah ditetapkan (nullum delictum, noella poena, sine praevia lege poenali/lâ jarîmah wa lâ ‘uqûbah illâ bi al-nash). Dalam artian, Asas Legalitas selalu menuntut agar penetapan hukuman atas suatu perbuatan harus didahului oleh penetapan peraturan. Di Indonesia, Asas legalitas ini sendiri merupakan amanat fundamental KUHP Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang bertujuan jelas untuk memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalah-gunaan kekuasaan dan memperkokoh rule of law.

Terlepas dari penilaian bahwa Asas Legalitas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, muncul juga wacana bahwa asas ini dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespon pesatnya perkembangan kejahatan. Dan (bahkan), ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar, yang oleh E Utrecht (1966) disebutkan sebagai ke'kurang-mampuan' Asas Legalitas dalam perlindungan kepentingan-kepentingan kolektif, karena memungkinkan pembebasan pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan kelemahan Asas Legalitas tersebut, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan Asas Retroaktif (berlaku surut/al-asâs al-raj’iy) yang berperan melakukan penyurutan terhadap imunitas tersangka yang telah secara yuridis di'power'i oleh Pasal 28 I ayat (1) Amandemen ke-4 UUD 1945 yang berbunyi: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diketahui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi jelas sekali tersurat bahwa Asas Legalitas sangat tidak membenarkan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif karena mengkhianati pengakuan terhadap hak asasi manusia.

Polemik tentang perlu-tidaknya Asas Retroaktif ini diberlakukan sangat gamblang terwacanakan terutama saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan berlakunya UU No. 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali. Keputusan ini ditetapkan dengan dalih utama bahwa Undang-Undang tersebut telah tercemar Asas Retroaktif yang sangat memojokkan tersangka, menetapkannya berarti pengkhianatan atas Asas Legalitas yang kesakralannya nyaris menyeimbangi kesakralan UUD. Di samping mereka juga mengklaim bahwa peledakan bom di Bali tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif. Betapa sikap Mahkamah Konstitusi saat itu sangat mengejutkan publik, karena selain keputusan itu dilegalkan tepat pasca penghargaan dunia internasional terhadap ketegasan pemerintah Indonesia dalam mengadili para pelaku terorisme bom Bali, keputusan tersebut juga dinilai berbagai pihak sebagai pencederaan terhadap rasa keadilan korban dan keluarganya sekaligus peng'hangat'an kembali kecemasan masyarakat akan impunitas yang kemungkinan besar didapatkan oleh para teroris via keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Di sisi lain, keputusan ini juga kurang mencerminkan penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Bom Bali tersebut.

Selain kasus bom Bali, pro-kontra senada juga tampak jelas saat terjadi perdebatan dalam sidang Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai boleh-tidaknya Asas Retroaktif digunakan dalam penyidikan suatu tindak pidana korupsi. Ketika itu kubu kuasa hukum Bram Manoppo yang notabene merupakan pemohon judisial review dengan dikomandoi advokat senior Mohammad Assegaf menilai penyidikan oleh KPK tidak sah karena dalam tindak pidana korupsi, Asas Retroaktif yang tanpa batas tidak dapat dibenarkan. Argumen kubu ini dikuatkan oleh dua orang ahli, Prof. Indriyanto Senoaji dan Prof. Andi Hamzah yang selain terkenal sebagai ahli hukum pidana, keduanya juga terkenal sebagai anggota tim penyusun Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri. Dalam pernyataannya, keduanya menegaskan bahwa tindak korupsi bukanlah kejahatan luar biasa sebagaimana selama ini digembar-gemborkan pemerintah, sebaliknya, korupsi tak ubahnya hanya seperti mencuri. Dan terkait dengan wewenang KPK dalam kasus itu, keduanya mengatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih semua perkara tindak pidana korupsi, karena wewenangnya dibatasi oleh tempus delictie (waktu terjadi tindak pidana yang disidik). Pernyataan-pernyataan tersebut tentu membuat berang KPK dan beberapa ahli yang tidak berkenan, seperti Mantan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Romli Atmasasmita. Dia mengecam tindakan Prof. Indriyanto dan Prof. Andi hamzah sebagai tindakan pengkhianatan atas eksistensi keduanya sebagai penyusun UUKPK yang seyogyanya justeru mempertahankan semangat penyusunan dan substansi UUKPK, bukan justeru melemahkannya.

Begitulah singkatnya kontradiksi kedua asas tersebut dalam dua kasus terdahulu. Di kasus pertama, Mahkamah Konstitusi mampu bersikap dengan keputusannya akan pembatalan berlakunya UU No. 16/2003 yang dinilai mengandung Asas Retroaktif tersebut, meski sikap ini harus ditebus dengan persepsi yang menganggap inkonsistensi pemerintah saat itu sebagai tindak hukum yang 'plin-plan'. Berbeda hal dengan kasus kedua, di sini ternyata perdebatan para ahli melebar ke permasalahan teknis aplikasi retroaktif itu sendiri. Mereka sibuk mempermasalahkan batasan larangan pemberlakuannya. Apakah hanya untuk Hukum Materil? Ataukah juga untuk Hukum Formil (Hukum Acara)?

Tersirat dalam paparan singkat pengantar Hukum Pidana sebelumnya bahwa secara umum, dan di manapun juga, Hukum Pidana memang meniscayakan kesakralan Asas Legalitas Tindak Pidana dan Sanksi. Namun bagaimanapun, terkait wacana kontroversial tentang Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia, kiranya ada beberapa pertanyaan kritis terhadap Mahkamah Konstitusi Indonesia sebagai satu-satunya pihak yang berhak menjustifikasi mungkin atau tidaknya pemberlakuan Asas Retroaktif ini: Akankah wacana Asas Retroaktif yang oleh beberapa pihak telah secara empiris dibuktikan ke-urgen-annya dalam penanganan kasus pidana masa kini tetap SEMATA dianggap sebagai pergeseran paradigma dalam Ilmu Hukum Pidana? Akankah Mahkamah Konstitusi tetap bersikeras mensakralkan Asas Legalitas di tengah derasnya opini yang menyuarakan urgensi pemberlakuan Asas Retroaktif ini? Benarkah pemberlakuan asas ini hanya akan menimbulkan 'bias hukum', ketidak-pastian hukum atau bahkan kesewenang-wenangan yang bemuara pada political revenge (balas dendam politik)? Benarkah asumsi yang mengatakan bahwa Asas Retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam)?


Desi Hanara
Mahasiswi Tk. III, Fak. Syariah wal Qanun

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 4:25 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home