PENGANTAR SINGKAT HUKUM PIDANA

Pada mulanya, manusia tidak mengenal pembagian hukum seperti saat ini, tetapi hanya dicukupkan dengan aturan-aturan yang dirasa perlu untuk dijadikan pijakan hidup bersosial, baik itu didasarkan atas kepercayaan maupun dibuat oleh seorang penguasa. Sebuah kaidah hukum kuno tertulis yang terkenal dan diamini oleh banyak ahli hukum sebagai aturan hukum yang tertulis pertama adalah Prasasti Hammurabi (1728-1686 SM) yang mencakup tentang hubungan manusia, tindak kriminal, keluarga dan sistem sosial. Kemudian datang setelah masa Hammurabi aturan-aturan Agama Samawi; Yahudi dan Nasrani yang mengatur beberapa segi dalam kehidupan manusia sesuai dengan perintah Tuhan melalui utusan-Nya.

Dilanjutkan dengan aturan kehidupan bersosial yang dibuat pada zaman imperium romawi, aturan tersebut banyak dijadikan kaidah dasar disiplin-disiplin ilmu modern saat ini. Islam menggantikan disiplin hukum Romawi-Yunani di Arab dan Afrika Utara, nafas baru rennaisance (1350-1600) muncul di Eropa yang berusaha menghidupkan kembali khazanah keilmuan Romawi yang salah satunya ilmu hukum, sehingga muncul apa yang disebut Hukum Kontinental (Akbar Hiban; Demokrasi, Bulletin FSQ, April 2005), di dalamnya terdapat pembagian-pembagian hukum yang juga mancakup pidana dan perdata. Selain itu, berangkat dari banyaknya perkara yang berada di lingkungan pidana, sehingga dirasa perlu pengembangan disiplin ilmu untuk memperkuat dan melandasi aturan-aturan yang termuat dalam undang-undang pidana.
Ilmu yang melandasi kaidah-kaidah hukum pidana. antara lain; pertama, Ilmu Kriminologi, yaitu ilmu yang mencakup pembahasan dan studi tentang tindak kriminal, pelaku kriminal, lingkungan, sebab terjadinya kriminal, prevensiasi terhadapnya sekaligus cara penanggulanganya. Kedua, ilmu pidana (Ilmu 'Iqab) yang membahas tujuan utama dari sebuah hukuman/pidana, dengan cara memilih cara yang paling layak untuk pelaksanaan pidana agar mencapai tujuan dari pelaksanaannya. Kedua ilmu di atas menjadi landasan utama dalam menentukan aturan-aturan yang tercakup dalam hukum pidana, dengan tidak menafikan adanya ilmu lain yang menjadi penyangga kriminologi dan pidana karena hubungan antara ilmu-ilmu tersebut sangat erat, seperti, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Sosial.
Ada sebuah teori menarik di dalam Ilmu Kriminologi, yaitu Teori Lombroso, nama teori diambil dari pencetusnya, Cesaria Lombroso, seorang Italian, guru besar Ilmu Kedokteran, Kehakiman dan Ilmu Kejiwaan (1835-1909). Menurut teorinya, seorang penjahat itu sejak lahir telah memiliki ciri-ciri tertentu, misalnya; hidung pesek, rahang bawah panjang, tengkorak asimetris, tahan sakit dsb. Lombroso menyimpulkan bahwa, orang yang mempunyai ciri-ciri tersebut cenderung untuk dapat melakukan tindak kejahatan. Walaupun teori ini sangat terkenal di awal abad 20, namun banyak kritik terhadapnya, karena penekanan bahasannya hanya terhadap jasmani pelaku kriminal.

Secara umum, hukum dapat dimengerti sebagai; keseluruhan daripada peraturan-peraturan yang mana tiap-tiap orang wajib menaatinya, bagi pelanggarnya terdapat sangsi. Tetapi, semakin hari kehidupan bermasyarakat menjadi semakin berkembang, konsep pengertian hukum di atas tidak dapat mengayomi semua elemen sosial yang semakin bermacam corak dan ragamnya, sehingga pada akhirnya hukum sendiri di dalam praktiknya terbagi menjadi bermacam-macam sesuai dengan disiplin dan konteks kajiannya. Pembagian kaidah hukum yang sudah maklum adalah, Hukum Publik dan Hukum Privat, Hukum Publik membawahi; Hukum Internasional, Undang-Undang Konstitusi, Hukum Administrasi, Undang-Undang Finansial dan Hukum Pidana. Sedangkan Hukum Privat mencakup; Hukum Perdata, Undang-Undang Keluarga (Ahwal Syakhsiyah), Hukum Dagang, Hukum Ketenaga-Kerjaan, Hukum Industri, Agraria, Hukum Acara (prosedur) dan Hukum Privat Internasional.
Sesuai dengan pembagian di atas, hukum pidana termasuk dalam bagian hukum publik, ketentuan-ketentuan dalam hukum publik mengandung kaidah-kaidah memaksa, maksudnya; tidak dibenarkan adanya kesepakatan untuk melanggar aturan-aturannya, karena aturan tersebut bersentuhan langsung dengan ketertiban umum, contohnya; tidak dibenarkan mencabut nyawa seseorang dengan cara apapun juga walaupun dengan persetujuan korban, bagi pelaku dapat dituntut secara pidana, karena jiwa manusia bersangkutan langsung dengan ketertiban umum. Lain halnya dengan kaidah yang mengatur hukum privat yang bersifat elastis, artinya; boleh melanggar ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Hukum Privat selama ada persetujuan dari pihak yang bersangkutan, contoh; dibolehkan sewa-menyewa tanpa upah (aslinya harus dengan upah sewa) jika yang menyewakan setuju dengan hal itu. Karena penyewaan tidak berhubungan dengan ketertiban umum, melainkan hanya menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja.

Pembahasan Hukum Pidana juga menyangkut sub-sub hukum yang tercakup di dalamnya, seperti disebut di atas bahwa Hukum Pidana merupakan bagian dari Hukum Publik. Sudarsono S.H. Mendefinisikan Hukum Pidana sebagai; Hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang dirasa menyakitkan.
DR. Abdul Sami' Abulkhair, Dekan fakultas Syariah wal Qanun mendefinisikan hukum pidana dengan; kumpulan kaidah-kaidah memaksa, yang menentukan sebuah kriminal, hukumannya, dan tatacara pidana yang mencakup penyidikan, pengadilan serta pelaksanaan hukuman.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana sendiri terbagi menjadi dua pembahasan pokok, pertama, pembahasan substansi hukum pidana, yang mengandung; (a) Ketentuan menetapkan sebuah tindak kriminal dilihat dari faktor materil, seperti tindak pelanggaran hukum dan faktor moril, yaitu niat untuk melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja, (b) Ketentuan menetapkan pidana atas tindakan-tindakan yang dinyatakan kriminal. Kedua pembahasan tatacara pidana. Tatacara pidana mengatur proses penyidikan tindakan kriminal, mengangkat masalah kriminal ke pengadilan sekaligus prosedur pelaksanaan hukuman terhadap terdakwa yang dinyatakan bersalah.

Di Indonesia, Jika seseorang menyinggung tentang Hukum Pidana, maka yang dimaksud adalah substansi Hukum Pidana itu sendiri, yaitu aturan yang terdiri dari pasal-pasal pidana, terangkum dalam sebuah buku yang disebut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab tersebut mencakup tiga buku. Buku kesatu, Aturan Umum; yaitu aturan yang menetapkan sebuah prilaku sebagai tindak pidana atau bukan, waktu, tempat dan konteks di mana sebuah prilaku harus tunduk dalam batasan Hukum Pidana, aturan ini mencakup segala macam tindak pidana baik itu kejahatan maupun pelanggaran. Seperti konsep tentang percobaan kriminal (As-syuru'), gabungan delik (al musahamatu fi al jinayah), dll. Buku kedua, Kejahatan (jinayah); mengatur tentang tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan secara satu per satu dari segi faktor materiil, moril dan hukuman setiap tindak pidana tersebut, misalnya; kejahatan terhadap nyawa, pemerasan, pencurian, dll. Buku ketiga, Pelanggaran (junhah); mengatur tindak pidana yang tidak diatur di dalam buku kedua, tindak pidana yang termasuk dalam buku ketiga ini dikenakan hukuman lebih ringan, karena efek sosialnya tidak seberat aturan buku kedua, misalnya; pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran jabatan, dll.
Di samping KUHP, bagian kedua dari pembahasan hukum pidana di Indonesia adalah tatacara pidana, yang termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mencakup ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan dan dilaksanakan.

DR. Samih Gad mendefinisikan hukum acara pidana sebagai; kumpulan kaedah-kaedah hukum yang mengatur perkara pidana dari segi tatacaranya sejak dilakukan tindak pidana hingga diputuskannya vonis pengadilan oleh hakim, serta hak-hak dan kewajiban yang lahir dari tatacara tersebut baik yang berupa dakwaan pidana maupun perdata.
Dapat dirincikan, bahwa hukum acara pidana mengatur fase-fase yang harus dilalui oleh sebuah perkara pidana, pertama penyidikan dan pengumpulan bukti termasuk di dalamnya metode interogasi, kedua, fase pengadilan, seperti menentukan lembaga pengadilan yang berwenang dalam perkara yang diangkat dan memutuskan vonis, ketiga, fase naik banding atas vonis yang diputuskan. Lebih dari itu hukum acara pidana mengatur juga hak-hak perdata yang muncul sebagai akibat dari tindak pidana.

Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama, bahkan antara manusia dengan alam sekitar, tidak terlepas juga cakupan yang terkandung dalam Hukum Pidana. Islam membedakan antara tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja ('Amd) dan tidak sengaja (khata), ulama berbeda pendapat mengenai pembagian ini. Sedangkan dari segi Nash Syar'i nya, Islam membagi Hukum Pidana menjadi tiga bagian. Pertama, Hudud; menentukan aturan tindak pidana yang tidak menyangkut jiwa atau organ tubuh manusia, telah dijelaskan oleh nash tentang pengertiannya dan bentuk hukuman yang harus dikenakan. Seperti kejahatan pencurian, zinah, mabuk, dan murtad. Kedua, Qishash; kejahatan terhadap jiwa dan organ tubuh manusia, hukumannya telah ditentukan oleh syari'ah, berbentuk perbuatan semisal dengan tindakan yang dilakukan terhadap korban, seperti membunuh, menganiaya, dll. Ketiga, Ta'dzir; adalah kejahatan yang tidak termasuk dalam dua bahasan sebelumnya, dan diberikan kepada yang berwenang kekuasaan untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan tindakan kejahatan yang diperbuatnya demi kepentingan umum, seperti korupsi, pemalsuan, penipuan, dll.
Dengan demikian, secara singkat dapat diketahui secara global tentang Hukum Pidana dilihat dari disiplin ilmu yang malandasinya, pembagian hukumnya, kaidah yang mengaturnya, definisi serta pokok bahasan ketentuannya, sub-sub hukum dari segi pelaksanaannya dan cakupan hukum pidana yang diatur dalam Islam.

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 6:34 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home