BUDAYA KITA?

Membincangkan budaya, tentu saja juga membincangkan masyarakat sebagai pelaku dan aktor dari terbentuknya sebuah kebudayaan. Dan komponen penting yang selalu berkaitan dengan budaya juga adalah sejarah dan peradaban. Kedua tema tersebut pun tak terlepas dari objek kajian masyarakat dan manusia sebagai pelaku utama sebuah sejarah dan peradaban.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang berbudaya, dan itu adalah fitrah yang tak hanya diakui Allah dalam kitab suci Al-QurĂ¡n, namun juga dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, yang mambuktikan bahwa pada salah satu dari bagian otak manusia terdapat bagian yang khusus menjadi penanggung jawab atas bahasa, dan budaya manusia.

Budaya kini mencakup tema yang lebih luas. Bila di jaman kolonialisme, budaya, secara gamblang dipisahkan oleh masyarakat Barat yang membedakan antara masyarakat yang berbudaya, maupun yang tak berbudaya. Masyarakat yang berbudaya digambarkan sebagai masyarakat yang mewakili komunitas yang mengenal tulis menulis, hidup menetap dan gambaran-gambaran lain untuk menjelaskan perbedaan antara masyarakat yang berbudaya maupun yang tidak berbudaya. Dalam hal ini terkait erat dengan tema-tema fundamental tentang sebuah peradaban, maupun tema politis dalam kaca mata orientalis dan kepentingan-kepentingan imperialis. Hal itu tentu berkaitan erat pula dengan latar belakang, maksud serta isi dari yang disampaikan dan yang oleh Barat pahami, misalnya, kebijakan politik, ekonomi, maupun kultural. Namun saat dunia telah mulai terbuka dengan globalisasi antar negara bahkan lintas agama, tema itu kini semakin diperluas, berbanding lurus dengan adanya kepentingan dan kebutuhan. Bahkan kadang, perluasan tema yang dikaji terlalu luas, hingga hasil yang diperoleh kadang sempit dan ‘menyempitkan’.

Budaya Barat, meski dengan dominasi bahasa, politik, maupun ekonominya, tidak pernah terlepas dari therma-therma budaya asal yang menjadi sebuah backround besar yang mendarah daging pada mereka, yaitu budaya Yunanai dan Romawi serta warisan dunia Kristen. Begitu pula dunia Timur, dan non Barat lainnya. Bisa saja dibuktikan bahwa Barat telah semakin mendunia dengan telekomunikasi dan industrinya, namun bagi non Barat sendiri—disini termasuk di dalamnya Islam, Arab, Cina, Afrika, Jawa, serta melayu—selalu saja akan menemukan jati diri mereka sebagai bagian pemilik Bumi yang berbeda. Dan identitas-identitas itu telah, dan akan terus bertahan, ada, bahkan akan bermunculan, baru, maupun bangun dari mati surinya.

Memahami budaya, yang saat ini barat menganggap mereka sebagai kiblat sebuah kebudayaan juga kadang tak mampu untuk bertindak proporsiaonal dalam memandang kebudayaan selain mereka. Barat menganggap bahwa budaya Barat adalah budaya global yang mampu merasuk ke dalam setiap sendi-sendi masyarakat di manapun ia di sudut dunia, sehingga setiap manusia mampu meniru, bahkan mengikuti dan menjadi bagian budaya mereka. Padahal itu mustahil terjadi, karena sebuah norma tak dapat bila hanya terbentuk dari adanya dorongan kekuatan politis, ekonomi maupun sosial saja. Namun ia adalah hasil dari sebuah perjalanan panjang sebuah komunitas masyarakat. Dan dunia Barat modern, sejak bangkitnya pada sekitar tujuh abad yang lalu belum mampu membaratkan dunia. Meskipun mereka telah mampu menguasai wilayah serta budaya tuan rumah yang mereka jajah dalam waktu yang tak sebentar. Sebuah contoh kecil saja, pemakaian alas kaki di dalam rumah adalah budaya yang sangat wajar di Barat, seorang tamu dianggap tidak sopan bila membuka alas kakinya di rumah yang ia kunjungi, namun tidak demikian dengan budaya yang disepakati mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.

Indonesia, sebagai negara yang patut dibanggakan atas keragaman budaya Rakyatnya, sebenarnya memiliki tugas yang tak ringan, karena diakui atau tidak, Indonesia tak hanya sebuah wilayah yang terdiri dari warisan daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan besar semisal Sriwijaya maupun Majapahit, juga tak hanya sebuah tanah air yang menjadi bagian dari satu bangsa penjajah yang sama. Tapi ruh persatuan Indonesia perlu dipahami sebagai wujud adanya ukhuwah Islamiyyah. Sekecil atau seringan apapun bentuk ukhuwah itu. Maka, kini ia telah berwujud sebuah negara yang berbendera merah putih dan berlambang Garuda. Tugas tak ringan tersebut, bisa jadi bertambah, bisa pula berkurang. Bertambah, saat komponen-komponen utama yang merupakan kekuatan atas dasar kesamaan historis, ternyata rusak. Bisa disebabkan oleh suber daya Manusia yang merupakan kekayaan intelektual yang tak seimbang dan merata, ego rasis, atau bahkan perpindahan agama. Bisa pula tugas tersebut bertambah ringan, bila hal-hal yang diharapkan di atas telah dapat terealisasikan.

Budaya Melayu, sebagai bagian dari budaya-budaya yang mewarnai khazanah budaya Indonesia tak dapat dilepaskan dari kajian kebudayaan ini, dan Islam sendiri juga tak dapat dilepaskan dari sejarah Melayu. Hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa sopan santun melayu dan tata karma melayu adalah sopan santun Islam dan tata krama Islam.

Sedangkan Islam, tak hanya sekedar agama yang memiliki daya elastisitas yang sangat baik pada budaya-budaya yang diwarnainya, namun juga dapat menjadi budaya yang seakan menjadi satu dengan budaya tersebut, bahkan dapat membentuk sebuah budaya yang seakan sama sekali baru. Sebagaimana yang terjadi pada budaya Melayu Islam.

Islam Melayu-Indonesia sejak awal telah menjadi perhatian para sosiolog maupun sejarawan. Meskipun pada masa-masa awal penelitian dan perhatian tersebut atas dorongan semangat Kolonialisme dan kepentingan ekonomi dan politik penjajahan. Banyak hal dalam Islam Melayu-Indonesia memang menjadi daya tarik bagi para sarjana, antara lain karena watak atau karakteristik Islam Melayu Indonesia Malaisia yang memiliki kekhasannya tersindiri. Yang berbeda dengan watak Islam di wilayah lain khususnya di Timur Tengah. Selain itu, perkembangan Islam di wilayah ini juga mengalami fase yang begitu mengesankan, menunjukkan adanya dinamika dan kreatifitas bangsa Melayu Asia Tenggara, baik menyangkut wacana maupun praktek-praktek keagamaannya.

Corak dan karakteristik Islam di Melayu-Indonesia ini tak hanya menimbulkan berbagai apresiasi, tapi juga pandangan-pandangan yang bernada kritis. Tidak sedikit yang menilai Islam Melayu-Indonesia terlalu ‘jinak’ dan terlalu akomodatif terhadap berbagai kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Sehingga disebabkan itulah, Islam Idonesia bersifat sinkretik, tidak murni, dan telah lepas dari arus utama Islam di Timur Tengah, sebagai pusat Islam.

Bahkan hal ini juga yang menyebabkan beberapa ilmuwan menganggap bahwa Islam Melayu-Indonesia adalah ‘bukan Islam yang sebenarnya”. Namun, di sisi lain, kekhasan ini juga tidak jarang dipandang sebagai kekuatan dan daya tarik tersendiri, karena hal tersebut berarti menunjukkan adanya respon, dinamika dan kreasi dari masyarakat Melayu Indonesia, dan juga negara negara Jiran dalam meresepsi Islam.

Eksistensi Melayu, sama halnya dengan eksistensi kebudayaan kebudayaan-kebudayan minor di dunia, sedang mengalami ancaman dengan terkiskisnya oleh eksistensi budaya mayor yang mendunia dan lebih bersifat global. Dan begitu juga yang terjadi pada kebudayaan dan kekayaan kebudayaan yan telah dibangun umat Islam—yang dalam hal ini Islam dalam tema kajian kebudayaan, meskipun Islam sendiri adalah agama, bukan sebuah kebudayaan—budaya Islam, telah terbentuk dengan demikian rupanya budaya tersebut. Islam tak sekedar menara-menara yang menjulang serta alunan Adzan serta lantunan Tahlil dan Barzanji, tak sekedar pergaulan yang terbatas atas hubungan laki-laki dan perempuan, akad nikah serta akad perceraian. Namun Islam menjadi bagian darah mereka yang menganutnya, karena ia telah menalir bersama darah bapak ibu serta nenek moyangnya. Ia juga berkembang bersamanya hingga saat gilirannya melahirkan generasi-generasi baru. Budaya Islam Melayu bahkan telah mengakar begitu kuat, sampai-sampai meski budaya Islam Murni yang ke Araban telah tercerabut dari dirinya, budaya Islam Melayu masih mampu menjadi pembangun sebuah kesadaran lain yang masih begitu kuat dalam diri seorang Musli Melayu. Hingga ada slogan yang populer di tengah masyarakat, yang berbunyi “Memang aku tak sholat, aku pun tak puasa, tapi kalau Islam dihina, aku tak kan rela.”
inspired with "The clash of civilization - Samuel P Huntungton"
*hasido*

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 8:33 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home