Zakat Dan Penguatan Ekonomi Umat

Oleh: Purnama Hasido

Tahun 2011 merupakan tahun yang berat bagi banyak Negara muslim akibat krisis global sejak tahun 2009, karena mayoritas Negara-negara yang didiami oleh mayoritas umat islam bukanlah 'Negara maju', bahkan beberapa di antaranya adalah 'Negara-negara dengan predikat Negara termiskin', bahkan di antara negara-negara muslim termiskin ini ada yang mendapat predikat 'Negara gagal', tiga negara tergagal yang dimaksud adalah; Somalia, Sudan dan Chad, ketiganya--bagaimanapun--adalah negara dengan presentase penduduk muslim relatif besar.

Problematika lain yang harus dihadapi pada tahun 2011 adalah kenyataan bahwa tahun ini menjadi masa transisi yang harus dijalani dengan berat oleh rakyat di Negara-negara di Timurtengah, gelombang revolusi berpengaruh besar pada pendapatan devisa di negara-negara tersebut. Sebut saja Mesir, Tunisia, Libya, Bahrain, Yaman dan Syiria. Negara-negara ini adalah negara dengan gelombang protes terbesar, yang harus menghadapi konsekuensi dari gerakan revolusi karena krisis politik dan ekonomi, pun harus mengalami intabilitas sosial yang menyeluruh. Inflansi yang kian menanjak tidak diiringi pertumbungan ekonomi dan kenaikan upah, menyebabkan resesi dan kelesuan ekonomi, ditambah lagi belum adanya stabilitasi keamanan, resesi pun membayangi pasar komoditas maupun pasar saham di negara-negara ini, karena kelesuan investasi dari luar, dan tentu saja resesi ini berimbas pada derivatif (yang berada di tengah-tengah pasar saham dan obligasi dan pasar komoditas).

Krisis pun berimbas tidak hanya pada ekonomi mikro namun juga berpengaruh pada ekonomi makro negara-negara di dunia, diperparah lagi dengan guncangan ekonomi di Negara US yang konon merupakan tempat investasi paling prospek bagi taipang-taipang timur tengah. US yang sebenarnya merupakan negara dengan rating AAA (tertinggi) dalam standar hutangnya pun mengalami resesi dan inflansi yang tak sehat-sehat, dan masalah yang konon sudah berlarut-larut dan tidak tersesaikan di negara adidaya ini diikuti guncangan ekonomi di Negara-negara “zona euro” di eropa.


Bagaimana semua hal ini bisa terjadi...? Bagaimana banyak negara-negara muslim justru berada di tempat yang terendah dalam percaturan ekonomi dunia? Termasuk negara Indonesia yang konon pertumbuhan ekonominya tidak begitu menggembirakan.

Salah satu yang sangat ingin kita bicarakan di sini diwakili kalimat pertanyaan berikut; bahwa jika iman kita menuntut kita untuk percaya bahwa Islam adalah “dien” yang dijamin eksistensinya sebagai agama yang rahmatan lil alamin, bukankah kita pun harus meyakini pula bahwa rahmatan lil alamin-nya Islam pun tak terbatas dalam lingkungan spiritualitas dan akhlak (moral) semata, tapi juga mencakup segala aspek ras manusia sekaligus bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi? Bukankah Rahmatan lil alamin dalam Islam menyentuh segala aspek sosial, budaya, politik, ekonomi hingga iptek? Dengan demikian, kalimat 'rahmatan lil alamin' pun harus berarti bahwa nilai-nilai Islam pun dapat menyelamatkan ekonomi sebuah negara dan mensejahterahkan rakyat negara tersebut, bahkan 'Rahmatan Lil Alamin'  bagi Islam dapat pula dimengerti sebagai satu poin dasar yang dapat menyelamatkan ekonomi dunia.

Rasulullah telah mewariskan syari’at Islam kepada umatnya untuk dijaga dan dilestarikan. Dan dalam perkembangan yang kita nikmati sekarang, bahwa di antara beberapa dari warisan syari’at dari kenabian Nabi Besar Muhammad SAW ternyata tidak saja mengalami proses 'pelestarian'. Sebagian dari syari’at Islam bahkan mengalami pengembangan dan beberapa inovasi. Syari’at telah dan sedang, berkembang, menyesuaikan dan disesuaikan dengan politik, hukum, ekonomi, budaya dan 'worldview' umatnya. Pengembangan dan inovasi ini telah mengalami rancang bangunnya sejak generasi pendahulu (turast), maupun oleh generasi kita sekarang.

Di antara inovasi yang dapat dilihat dengan jelas, adalah zakat, yang merupakan salah satu pilar utama hukum Islam. Zakat yang pada masa awal perkembangan Islam setelah wafatnya Rasul, difasilitasi dengan 'Baytul Mal' untuk kemudian diolah sebagai sumber pendanaan negara dan masyarakat, menopang kekhilafahan Islam. Inovasi dalam zakat tidak berhenti sampai di sini, hingga pada perkembangannya saat ini (di masa sekarang) dimunculkanlah konsep 'zakat penghasilan' atau 'zakat profesi', dan 'zakat profesi' ini tak lain adalah hasil ijtihad ulama kontemporer di abad kedua puluh. Demikian sedikit contoh daripada inovasi dalam syariat yang dimaksud di atas.

Zakat yang sudah jelas merupakan salah satu kewajiban seorang muslim, sesuai ketentuannya, diambil dari harta Seorang muslim yang hartanya mencapai nishab 85 gram emas, sebagaimana petunjuk Nabi Muhammad SAW. Kewajiban zakat pun harus dipahami dari awal sebagai perintah Allah yang berkaitan dengan harta dan penghasilan yang halal, agar dengan harta yang diinfakkan itu, seorang muslim mengalami proses “penyucian” bagi sisa harta yang tetap menjadi haknya untuk disimpan. Di lain sisi, pemahaman atas kewajiban zakat ini bersifat global (ijmali), yaitu kesadaran penuh dari seorang muslim bahwa membayar zakat adalah perbuatan yang wajib ditunaikan untuk menyempurnakan rukun Islam, dan 'wajib' di sini diartikan sebagai; “perbuatan yang diberlakukan hukuman bagi yang meninggalkannya dan imbalan pahala bagi mereka yang mengerjakan.” Maka, zakat tak hanya merupakan perbuatan yang bernilai batiniyyah, berdasarkan kesadaran ruhiyyah, itulah iman yang dilengkapi oleh kesadaran dalam mentaati perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Jika ditinjau dari sisi pragmatis, maka kesimpulan yang kita dapatkan justru lebih jauh dan lebih dari itu, zakat tak lain adalah bagian dari bentuk “sakralisasi” dalam mengalokasikan dana, atau sakralisasi dalam berinvestasi (investment). Dan sepertinya tidak salah, jika makna zakat, infaq maupun shadaqah yang ada dalam institusi syariat Islam disejajarkan dengan kata investment dalam konteks ekonomi. Untuk lebih jelasnya, silahkan perhatikan ayat-ayat berikut ini, dan perhatikan pula pada kata-kata yang dicetak tebal;

Allah berfirman; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mereka yang mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al Baqarah: 277),

Kemudian ayat;“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At Taubah ayat 103). Allah SWT juga memerintahkan umat Islam untuk bisa menafkahkan sebagian harta yang dicintainya sehingga bisa dikatakan kebajikan yang sempurna sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an, surat Ali Imran ayat 92.

Kemudian perhatikan pada petikan hadist berikut; bahwa “Tidak sempurna shalat bagi seseorang yang tidak membayar zakat”. Di ayat yang lain dalam hal menafkahkan harta, Allah memberi perumpamaan bagi mereka yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, selayak benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir yang menghasilkan seratus benih yang lain (Al Baqarah: 261),

Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan muttafaq ‘alaih, Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkembangkan oleh Allah dengan berlipat ganda.”

Satu demi satu ayat dan nash hadist di atas, dapat ditadabburi secara ringkas, pada ayat pertama, dalam sejarahnya, ayat ini adalah ayat pertama di mana Allah memaklumkan kewajiban zakat di samping ayat kewajiban menjalankan ibadah shalat wajib, dalam ayat ini, Allah mengakhirinya dengan  kalimat “Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Kemudiaan pada ayat kedua, ayat tersebut mengandung kata;“ketentraman jiwa”, dari kedua kata dalam kedua ayat tadi, Allah seperti memberikan alasan utama dari menunaikan kewajiban zakat adalah sebagai salah satu penawar dari kekhawatiran dan kesedihan yang mana, kedua hal ini berimplikasi langsung pada yang bersangkutan. Dijanjikan-Nya ketentraman jiwa sebagai pengganti bagi kesedihan dan kekhawatiran itu, tidak hanya bagi sang pelaku saja, namun juga bagi mereka yang mendapatkan bagian dari apa yang diperbuat oleh orang yang mengamalkan amalan-amalan ini, pun mendapat kebahagiaan dan ketentraman jiwa.

Sebagaimana telah pula dibahas sekilas di atas, bahwa dua masalah utama yang menjadi masalah  ekonomi di seluruh dunia adalah krisis dan resesi. Di belahan bumi yang lain, ada segolongan masyarakat yang sedang dalam kesulitan, kelaparan, kesedihan, dan kekhawatiran, karena tidak mendapat uluran tangan dari orang-orang yang seharusnya dapat membantunya. Zakat dapat memberikan stimulus ekonomi melebihi pengaruh yang dapat diberikan dari sumber-sumber produksi, sebut saja misalnya pada kalangan buruh yang telah memberikan produktivitas mereka dengan upah yang diterima dari kalangan kapitalis, upah ini bisa dikatakan memberikan kesejahteraan, namun kesejahteraan ini hanya menyentuh lingkar buruh tersebut, seperti keluarga atau lingkungan buruh tadi, namun upah atau gaji tidak menyentuh kehidupan kalangan yang nonproduktif seperti para janda, orang-orang lemah, lansia, atau mereka yang justru masih dalam proses mencari ilmu (pelajar). 

Allah juga berfirman tentang infaq (menafkahkan harta di jalan Allah) dan menyebutnya sebagai “kebajikan yang sempurna”, sebutan ini menguatkan pengertian adanya prospek dari amalan menafkahkan harta di jalan Allah. Tak hanya itu, Rasulullah menambahkan kata-kata; "sempurna" (excellent) bagi infaq di jalan Allah, dalam suatu hadist, tentang ketidak sempurnaannya ibadah shalat jika tidak diiringi penunaian zakat.

Di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa infaq maupun zakat, merupakan dua kebaikan yang melengkapi kebaikan-kebaikan dari ibadah wajib lainnya. Dari keempat rukun Islam, zakat adalah satu-satunya amalan yang manfaatnya sudah pasti dirasakan oleh masyarakat umum dan menyentuh kepentingan umum pula. Allah dan rasulnya telah banyak meyakinkan kita dalam hal menafkahkan harta di jalan Allah, di antaranya, janji akan dilipatgandakannya oleh Allah hasil dari amalan ini, hasil ini dapat dipahami sebagai hasil dari pelipat-gandaan rizki yang merupakan balasan dari Allah berupa barang (harta), maupun diartikan sebagai imbalan pahala.

Sekarang mari kita merunut satu demi satu apa yang sudah kita bahas dari awal. Bagaimana bahwa kita telah bersepakat bahwa masalah ekonomi sangat berpengaruh pada kehidupan manusia di muka bumi. Semua pakar ekonomi pun bersepakat bahwa pertumbuhan ekonomi akan menaikkan gairah hidup masyarakat yang dapat diwakili dengan istilah “sejahtera”, dan di sisi yang lain, pemerosotan ekonomi menjadi musibah yang akan sulit dihadapi oleh manusia. Di lain sisi, seluruh pakar ekonomi pun setuju bahwa pertumbuhan ekonomi harus juga diiringi beberapa perimbangan-perimbangan dari sokongan kebijakan ekonomi yang lain.

Pertumbuhan ekonomi juga harus diiringi kebijakan fiskal dan pajak yang baik dan perimbangan jumlah komoditas di pasar dan daya beli masyarakat, sehingga inflansi tetap terkendali, dan pertumbuhan ekonomi tidak menimbulkan bubble lalu crash. Pertumbuhan ekonomi pun ternyata harus pula seiring dengan perimbangan pada kelestarian lingkungan hidup dan hayati. Jika tidak, seperti yang kita lihat sekarang, bahwa banyak dari pertumbuhan ekonomi ternyata berdampak pada kerusakan lingkungan dan justru mengancam beberapa ekosistem flora dan fauna. Maka, dalam hal ini, umat Islam yang menempati posisi penting sebagai bagian besar dari keseluruhan umat manusia di atas bumi pun, juga harus bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi yang dibangun agar dapat mengikuti perimbangan-perimbangan ekonomi tersebut, jika kita merujuk pada beberapa ayat di atas, maka tidak berlebihan jika umat Islam ingin memulai pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan baik, maka umat Islam dapat merujuk pada ayat-ayat di atas tadi sebagai landasan dasar dalam membangun ekonomi sosial dan negaranya, yaitu, bagaimana mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus juga “menentramkan”, lalu bagaimana mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berupa “kebajikan yang sempurna dan menyempurnakan”, sehingga segala investasi yang dimaksudkan untuk pertumbuhan ekonomi ini dapat menghasilkan “hasil yang berlipatganda” baik di dunia maupun di akhirat.

Jika semua hal tadi diawali dengan kesadaran dari karya nyata dalam zakat dan infaq dan diikuti dengan perimbangan-perimbangan terhadap tanggungjawab tadi, tidak seharusnya terjadi krisis yang melanda ekonomi dunia seperti yang terjadi pada masa sekarang. Krisis yang terjadi sekarang, lebih dominan disebabkan karena terjadi di belahan dunia lain saat sebuah negara tersebut maju, penduduknya pun terbiasa memboroskan anggaran belanjanya dengan kartu kredit, lalu membayar kredit tersebut dengan kredit lagi, namun di belahan bumi yang lain di sebuah negara berkembang, peduduknya harus memegang perut karena lapar dan tidak ada kredit baginya yang berguna untuk menahan lapar itu. Yang terjadi selanjutnya, di belahan dunia yang lain, sebuah negara menanggung hutang dari akibat inflansi yang yang tinggi di pasaran, dan di belahan bumi yang lain, kelesuan ekonomi terjadi akibat deflasi yang membuat komoditas yang dihasilkan berharga murah, harga murah dari bahan baku tadi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pakaian seorang petani, atau kebutuhan nelayan pada solar dan bensin untuk perahunya, ataupun tidak mencukupi sandang dan pangan bagi seorang buruh pabrik (terutama di negara negara berkembang). Masalah dan tantangan lain, tidak sampai di sini saja, harus dibuktikan bahwa investasi harta termasuk di dalamnya alokasi dana zakat dan infaq pun selalu harus diimbangi dengan kedewasaan mental dan spiritual baik itu kedewasaan dari investor (muzakki), maupun kedewasaan di pihak penerima (mustahiq).

Bukan cerita lama jika banyak dari zakat infaq ternyata terbuang percuma hanya mencukupi makan dan memberikan kebahagiaan hanya bagi sehari dua hari saja, lalu cerita berlanjut kembali tentang bagaimana mustahiq ini lalu harus meneruskan perjuangannya melawan kemiskinan di kehidupan sehari-hari kemudian. Ini tentu bertolak belakang dengan maksud utama dari kewajiban zakat sebagaimana yang diperintahkan Allah dan rasulnya dalam “sakralisasi investasi harta” ini yang di antaranya bertujuan untuk; ketentraman jiwa, demi kebajikan yang sempurna dan hasil yang berlipatganda atau memberi manfaat yang lebih besar. Investasi dalam bentuk zakat bukan untuk menjadikan harta pihak investor berkurang 2,5 persen saja dan menjadikan pihak penerima investasi sekedar menjadikannya seolah menjadi seorang penerima pasif, namun harus juga ada follow up dari investasi ini sendiri, yang tidak bisa dilepaskan dari bentuk pembinaan dan penyadaran bagi kedua belah pihak. Pihak pemberi (muzakki) harus memahami bahwa investasi ini dapat membantu daya kembang sosial di masyarakat yang akan berpengaruh juga pada iklim ekonomi di sekitar tempatnya berada atau di sekitar kawasan bisnisnya, bisa jadi dapat mengurangi beban penyakit sosial semacam pengangguran dengan memberikan suntikan modal, zakat dapat pula memperkecil kesenjangan sosial, maupun investasi yang cukup dipahami sebagai kebajikan atau derma Lillahi ta’ala.

Bagi pihak penerima (mustahik), harta zakat yang diterimanya dapat mengurangi beban hidup karena hutang, atau menjadi modal untuk membuka usaha baru (meskipun bisa jadi jumlahnya tidak seberapa). Dan yang tidak ketinggalan adalah pihak pengelola dana zakat (amil). Dalam sejarahnya, umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW di bawah pimpinan para sahabat mampu memperkokoh agama ini dengan kekuatan politis di bawah naungan kekhilafahan, ekonomi umat ternyata banyak ditopang oleh zakat dari umat Islam sendiri, sehingga pada perkembangannya, untuk menjaga efisiensi dalam pengelolaannya, dibangunlah suatu lembaga “baytul mal”, yang kemudian membuat catatan kesuksesan bagi kesejahteraan masyarakat. Terbukti bahwa baytul mal mampu mengatasi masalah masalah ekonomi masyarakat di bawah sistem khilafah Islam, bahkan konon sampai berlebih (dalam artian benar-benar mengentaskan kemiskinan).

Itu semua tidak lain karena di antara perimbangan-perimbangan yang memang harus dilakoni oleh kedua belah pihak (muzaki dan mustahiq),peran amil pun sangat penting untuk menjembatani maksud dan kebutuhan dari kedua belah pihak tadi. Amil harus memahami tanggungjawabnya untuk dapat berbuat adil sekaligus proporsional. Inilah yang mungkin dapat menjadi solusi bagi perekonomian dunia saat ini, meskipun tentu saja kalah populer jika dibanding mereka yang sudah terbiasa dengan teori ekonomi klasik, atau penganut markentalis, maupun teori dari Keynesianis dalam menjabarkan dan usaha untuk sinkronisasi peran negara dengan peran swasta bagi ekonomi masyarakat. Satu hal yang dirasa patut dibahas adalah, bahwa di masa sekarang, pakar ekonomi telah memahami tentang sebuah negara sebagai pengayom utama bagi ekonomi rakyatnya. Pada umumnya, negara bertanggungjawab terhadap ekonomi dengan pengontrolan pada dua kebijakan, yang pertama adalah kebijakan fiskal, dan kedua pada kebijakan moneter. Dalam kedua hal ini, sebenarnya, syari’at Islam dapat memberikan sumbangsih nilai-nilai syariatnya dalam kebijakan fiskal negara (yang biasanya dipegang oleh badan eksekutif negara). Yaitu pada kebijakan bagaimana membuat peraturan-peraturan yang dapat menjamin alokasi pajak sekaligus zakat dapat tepat sasaran (Saat ini di Indonesia, sudah ada langkah maju dengan dibentuknya BAZNAS).

Bagaimana pula bagi sebuah negara untuk dapat memfasilitasi beberapa potensi dana umat yang masih belum teralokasikan maksimal, seperti dana haji, misalnya? Dan bagaimana agar pemerintah dapat memaksimalkan perannya dalam supremasi hukum untuk menyokong hal ini, untuk meminimalisir penyelewengan terhadap dana-dana ini?

Dalam kebijakan moneter, sudah selayaknya pemegang kebijakan moneter yang berada di tangan bank sentral, dapat menjembatani antusias masyarakat akan bank syari’ah, seperti obligasi syariah (sukuk), dan bahkan dapat mengadakan langkah maju dengan bertahap menghilangkan ketergantungan pada “kebijakan suku bunga”—meskipun ini kedengaran teralu mengawang-awang—(karena jika sebuah negara meninggalkan sistem bunga dalam uang kertas dengan menggantinya degan emas, maka tidak ada kebijakan moneter). Sehingga, jika memang kebijakan moneter “yang islami” ini terwujud, Negara kemudian mencetak uang baru yang murni terbuat dari emas atau perak, sehingga umat muslim dapat berzakat, berinfaq dan bersedekah, benar-benar dengan emas atau perak. Berbagi, memberi dan saling menerima adalah fitrah seluruh manusia di manapun berada, suatu pihak akan membutuhkan pihak yang lain, demikian di satu pihak yang telah mendapatkan harta yang banyak, tentu akan berfikir untuk menginvestasikan harta tersebut dengan maksud yang berbeda-beda, bisa jadi demi mendapatkan kepuasan batin tersendiri karena telah berbagi, sebagaimana dalam infaq dan shadaqoh dalam Islam, atau dengan maksud lain, yaitu mengharapkan pertukaran barang ataupun manfaat dari jasa seperti, bisa pula karena mungkin berniat untuk mengambil keuntungan dari investasinya seperti murabahah, atau memang karena tidak mampu mengelola harta tersebut sendirian (seperti mudharabah). Dari situlah akan muncul kerjasama maupun perikatan-perikatan.

 Namun, sudah menjadi konsekuensi logis yang muncul dari sisi lain manusia itu sendiri yang punya kecenderungan pada keserakahan dan sifat egois, menyebabkan adanya praktik-praktik monopoli dan oligopoli dalam bisnis, kartel-kartel yang menahan lajunya kompetensi, maraknya kolusi dan nepotisme yang menguntungkan pihak pihak tertentu, praktek korupsi dan suap, hingga hutang yang berkedok suntikan dana. Akibatnya, banyak dari negara berkembang yang mandeg di tempatnya, tetap hanya menjadi negara berkembang, karena kebijakan ekonomi yang penuh koreksi dari pihak luar yang justru bertujuan memperkaya pihak pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Bantuan dana yang pada dasarnya hutang bukannya menyelesaikan masalah, tapi menjadi awal mula dari masalah saat alokasinya tidak tepat sasaran atau malah diselewengkan. Muncullah negara-negara gagal tadi, karena tidak adanya perimbangan perimbangan yang sudah dibahas di atas, keadaan Somalia yang di kemelut perang berkepanjangan, masalah pajak, instabilitas politik, monopoli terhadap sektor sektor penting negara seperti eksplorasi tak terkendali pada hutan di sana, dan diperparah oleh iklim geografi Somalia yang ganas. Tidak sampai di situ, beberapa negara tak gagal pun menunjukkan perkembangan ekonomi yang mengkhawatirkan, lihat saja bagaimana krisis Yunani yang menjadi beban seluruh Eropa, lalu bagaimana dengan krisis Amerika yang dipantik oleh kebiasaan masyarakatnya menikmati “bunga”, yang tidak lain hanya kata lain dari “hutang”. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah ekonomi, diperlukan adanya sumber dana yang sehat dan bebas dari hal-hal negatif (terutama negatif dalam pandangan Islam).

'Bunga' yang sudah mendarah daging dalam jiwa ekonomi global sudah menunjukkan taring bahayanya, dan bukan kebetulan jika sejak awal sekali, Islam sudah melarang praktek riba’, bahkan dalam satu riwayat yang rajih (terpercaya), bahwa ayat terakhir yang turun kepada Rasulullah SAW adalah ayat larangan praktek riba. Yang justru terbukti dapat menyukseskan program ekonomi yang sehat justru muncul dari kewajiban itu sendiri, tentunya dengan mengindahkan kritikan terhadap Islam yang justru nampak seolah menerapkan konsep negara sosialis dengan zakat-nya.

 Pada kenyataannya, Islam bukan berprinsip sosialis apalagi kapitalis, namun Islam selalu memihak pada fitrah manusia itu sendiri, segala apa yang ditetapkan sebagai kewajiban bagi umat Islam adalah memang untuk kebaikan umat Islam itus sendiri, demikian pula sebaliknya, bahwa segala apa yang diharamkan Allah dan Rasulnya adalah karena bertentangan dengan mashlahat manusia. Maka, sebuah impian rasanya yang tidak berlebihan jika umat Islam suatu saat memiliki sebuah lembaga semacam Bank Dunia atau semacam IMF milik ummat Islam yang bebas dari praktek riba’, dan dananya adalah dana riil yang bukan kertas ber-angka semata, namun komoditas yang memang benar-benar bernilai (valuable goods). Dana yang tersimpan adalah investasi sakral yang berasal dari dana zakat umat muslim sedunia, infaq dan shadaqah, dana fidyah, hasil-hasil yang diperoleh dari tanah atau lahan wakaf, ataupun dana abadi ummat dari saldo pengadaan haji, yang nantinya dana ini dapat dimanfaatkan bagi mashlahat umat muslim sedunia, dapat meminjamkan dana itu tanpa bunga kepada negara, atau lembaga-lembaga ummat yang memang membutuhkan, lalu pinjaman itu diproses dengan akad mudharabah atau murabahah tanpa bunga. Hingga tak ada lagi negara muslim yang dicap gagal seperti Somalia, Chad atau Sudan. Bagaimanapun itu, jauh lebih baik memulai mimpi-mimpi besar ini dari hal yang kecil dulu, yaitu bagaimana menyadarkan diri sendiri untuk berzakat dan memaksimalkan dana zakat itu bagi pembangunan umat Islam di negeri sendiri. --HPH--

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 9:01 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home