ILMU HUKUM

Ilmu dan Penggunaan kata al Qanun

Ilmu adalah kumpulan masalah-masalah dan kaidah-kaidah umum dalam satu bidang. Seperti ilmu nahwu, ilmu fiqh dan ilmu hukum. (al Wajiz: 624).
Hukum, dalam bahasa Arab kadang disebut qanun, secara bahasa adalah ukuran dan standar tiap sesuatu. (al Wajiz: 763). Sedangkan secara istilah merupakan segala aturan yang berlaku, disertai konsekuensi; hal ini meniscayakan perulangan yang memperlihatkan adanya pola yang tetap dan mapan. Pengertian tersebut bersifat umum, sehingga menjangkau banyak bidang, seperti aturan hukum alam (qanun al thabi’ah), matematika (riyadliyyat¬), ekonomi ( iqtishadiyyah) dan sebagainya.

Pengertian hukum, qanun, dalam studi hukum sedikit berbeda dengan pengertian tersebut di atas. Dalam bidang studi ini, Qanun adalah sekumpulan aturan/kaidah yang mengatur perilaku orang dalam suatu masyarakat, disertai sanksi yang dijatuhkan secara paksa pada pelanggarnya. Dalam bahasa Indonesia adalah hukum, dalam bahasa Inggris Law, dalam bahasa Perancis le Droit. Pengertian ini adalah pengertian hukum secara umum, terlepas dari jenis dan sumbernya. Maka, dalam kontek yang lebih sempit, seringkali kata qanun dipakai untuk menunjukkan salah satu cabang hukum yang berlaku pada bidang tertentu, seperti qanun madany/ hukum perdata/private law dan yang lainnya.

Selain itu, kadang berarti al taqniin, yaitu sekumpulan pasal atau teks hukum dalam satu cabang hukum tertentu. Ini dapat kita pahami dari, misalnya, ‘ pasal 1 UU Perdata menyatakan...”. Dalam bahasa Perancis adalah Code.
Sering pula, qanun dipakai untuk menunjukkan al tasyri’/legislasi yang merupakan hasil dari badan legislatif. Hal ini terlihat, misalnya, pada; “ UU no 123 tentang Pornografi.” Dalam bahasa Perancis disebut Loi. (al Fiqqy, 2002: 12 - 15)
Hukum positif adalah hukum yang sudah dituangkan dalam bentuk tertulis, yang berlaku di suatu negara pada waktu tertentu. Untuk memudahkan, kita pahami dari judul berita harian Kompas; Ketua MA: Pidana Mati Masih Hukum Positif di Indonesia (Kompas, 20 Februari 2003).

Hukum konvensional/ al qanun al wadh’iy adalah hukum yang dihasilkan oleh [kehendak] manusia, sebagai lawan dari hukum yang bersumber dari Tuhan/al qawaaniin/ al syara’i al ilahiyyah. Namun, pada perkembangannya hukum konvensional sembari masih mengandung makna tersebut, lebih mengarah pada hukum yang sedang berlaku di suatu negara pada paktu tertentu, atau menunjuk pada makna hukum positif (Zeidan, 2000: 9)

Pengertian ilmu hukum

Dr. Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa bahasan ilmu hukum melibatkan pembahasan yang luas, bahkan melampaui bidang hukum itu sendiri, memasuki bidang ekonomi, kebudayaan, sosiologi, filsafat dan politik (Rahardjo, 2000: 1,2,3). Maka, oleh karenanya, akan lebih simpel bila didefinisikan sebagai ilmu yang membahas hukum dan kajian ilmu lain yang berkaitan dengannya. Selain pertimbangan di atas, juga di karenakan hukum akan senatiasa berkembang selama masyarakat masih ada.
Masyarakat dan hukum Masyarakat, dalam ruang dan waktu tertentu, adalah sebuah sistem yang amat kompleks. Untuk menjabarkan beberapa aktivitas yang berlangsung di dalam institusi masyarakat, ia mencakup aktivitas sosial, aktivitas politik, aktivitas ekonomi dan kebudayaan. Pada prinsipnya, hubungan-hubungan yang ada bisa diibaratkan dengan lalu lintas hak dan kewajiban yang setelah melalui perjalanan waktu bisa identifikasi dan ditertibkan melalui norma-norma dan petunjuk yang telah disepakati. Singkatnya masyarakat merupakan wadah bagi beberapa subsistem tersebut, ia merupakan integrasi sistem-sistem tersebut, dan hukum pun merupakan integrasi kepentingan yang berbeda bahkan berlawanan. Ini berarti, masyarakat adalah sebuah perkumpulan terorganisir yang terlihat dari relasi antar anggotanya dalam bidang dan aktivitas tertentu. Keanekaragaman inilah yang menuntut kehadiran hukum, agar segalanya berjalan teratur. Bisa dikatakan, hukum adalah hasil dari proses bermasyarakat.

Hubungan hukum dengan aktivitas masyarakat

Hukum tak akan pernah lepas dari aktivitas ekonomi dan kajian yang berkaitan dengannya. Sebagai contoh, jual beli telah ada jauh sebelum hukum hadir mengaturnya secara cermat. Hukum hadir dengan memuat aturan-aturan yang meminimalkan terjadinya penyimpangan, sembari tetap memberikat kebebasan kehendak dalam banyak hal. Demikian pula, kemajuan yang terjadi dalam jual beli melalui pemakaian teknologi memaksa hukum untuk kembali mengaktualisasikan kehadirannya, sebab jati diri hukum adalah ia ada untuk mengatur.

Demikian pula, hukum tidak lepas dari kondisi sosial, interaksi sosial dan akibatnya. Sebagai contoh, perkawinan, sebelumnya, adalah kenyataan alamiah, sehingga sekalipun hukum belum ada, perkawinan adalah bagian dari kenyataan, hingga akhirnya hukum datang mengaturnya dan secara tegas dengan cara merusmuskan hak dan kewajiban suami isteri. Perkawinan, kini, tidak sekedar kenyataan, ia telah berubah menjadi perbuatan yang tunduk terhadap aturan hukum.

Hukum pun terpengaruh oleh ideologi, sistem dan proses politik yang ada. Sebagai contoh, ideologi sosialism (al isytirakiyyah) yang dianut Mesir menuntut dasar hukum yang menjadi landasan. Maka, Konstitusi Mesir tahun 1971 pada pasal 1 menegaskan bahwa Mesir merupakan negara sosialis demokratis. Selain itu, peraturan-peraturan di bawah konstitusi juga menguatkan peran negara. Sebagai contoh, pendidikan di Mesir dibiayai oleh negara dan campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Demikian juga, pemilihan presiden merupakan salah satu proses politik yang diatur oleh hukum/UU. Sebagai contoh, pemilu presiden Mesir tahun 2005 menggunakan sistem pemilihan langsung dan diikuti lebih dari satu kandidat, padahal pemilu sebelumnya memakai sistem referendum. Kedua sistem ini meniscayakan kehadiran hukum sebagai landasan dan petunjuk pelaksanaannya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum menjamin kepastian terhadap masyarakat dalam hubungan yang dilakukan dalam kehidupannya.

Bila pengajaran dan studi hukum (seperti di Al Azhar) terlihat kental tradisionalis, normatif; metode tradisional, maka sebenarnya merupakan suatu kecenderungan yang sah dan tidak menafikan kemugkinan terjadinya perubahan. Sebab, studi yang normatif hanya terpancang pada bagaimana memahami hukum yang benar masih positif/berlaku dan bagaimanakah penerapannya. Studi yang demikian tidak berbuat lebih banyak lagi, sehingga tugas seorang ahli hukum hanya terbatas pada dua usaha di atas tanpa mencoba membenturkannya dengan realitas. Dan ilmu hukum yang menggaet banyak disiplin ilmu memungkinkan berbuat lebih lanjut, sehingga kajian akan semakin luas, dengan hasil yang akan semakin jauh.

Oleh karenanya, ilmu hukum pada hakikatnya merupakan perluasan wilayah kajian hukum, sehingga tidak hanya berkutat menjabarkan teks UU. Dalam ungkapan lain, dalam rangka menjembatani mewujudkan kertiban dan kepastian serta keadilan, ilmu hukum memberikan sumbangan besar dengan menggandeng kajian ilmu lain, sehingga produk hukum merupakan produk yang matang, manakala dalam praktek-praktek hukumnya aspek-aspek yang ditelaah dan direkomendasikan ilmu hukum dijadikan pertimbangan, dan pada gilirannya ilmu hukum turut berperan membangun hukum sebagai sebuah sistem yang baik.
Beberapa bidang yang dilibatkan dalam studi hukum antara lain; Sosiologi hukum, anthropologi hukum, perbandingan hukum, sejarah hukum, politik hukum, psikologi hukum dan filsafat hukum.

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum dari sisi sosiologinya. Berikut ini beberapa karakteristik sosiologi hukum:
a. Memberikan penjelasan mengenai praktek-praktek hukum yang meliputi pembutan undang-undang, penerapannya serta pengadilan. Maka sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa proses demikian terjadi, sebab-sebabnya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta latar belakangnya. Bahkan sosiologi akan terlibat lebih jauh lagi.

b. Menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pertanyaan khas dalam hal ini misalnya; ”bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan itu?” Apakah kenyataan seperti tertera dalam peraturan?”. Dalam hal ini, studi hukum akan senantiasa dibenturkan dengan data empiris.

c. Tidak memberikan penilaian terhadap [perbuatan] hukum. Baik perbuatan yang sesuai dan yang menyimpang mendapat perhatian yang sama dalam metode sosiologi hukum.(Rahardjo, 2000:hal 326-327)

Anthropologi hukum adalah pemahaman ilmiah tentang perilaku sosial dan kultural manusia serta pemahaman secara sistematik terhadap distribusi manifsetasi-manifestasinya dalam kurun waktu dan ruang. Anthropologi merupakan kajian yang bersifat menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Ia memulai kajian dengan ide tentang evolusi manusia.

Dalam kacamata anthropologi, hukum mengalami pemekaran pemahaman, sehingga tidak melulu tertuju pada peraturan yang bersifat formal [sebagaimana definisi hukum modern]. Sebab, bagi para anthropolog, penyempitan definisi hukum a la definisi modern sangat etnosentris, sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan daya jelajah anthropologi yang amat luas. (Rahardjo, 2000: hal 238-339)

Perbandingan hukum adalah membandingkan hukum-hukum positif dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Pembandingan ini memiliki tujuan antara lain; memperlihatkan persamaan dan perbedaan yang mungkin ditemukan, menjelaskan mengapa terjadi, menilai dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai kelanjutan dari hasil-hasil studi pembandingan yang telah dilakukan, menemukan kecenderungan dan asas-asas umum. (Rahardjo, 2000: hal 348)

Sejarah hukum, kajian sejarah hukum dipelopori oleh Savigny (1779-1861) dengan memposisikan hukum sebagai unikum tempat dan waktu tertentu suatu bangsa, oleh karenanya akan memilki perbedaan dengan hukum bangsa lain. Kajian sejarah hukum menyodorkan bebarapa petanyaan menyangkut hal-hal semacam: Faktor yang melatar belakangi terbentuknya lembaga huku tertentu beserta proses pembentukannya, faktor apakah yang dominan dalam pembentukan tersebut, interaksi faktor eksternal dan internal pada masa pembentukan, proses adaptasi sistem hukum yang diambil dari sistem hukum asing, mempertanyakan fungsi lembaga hukum; apakah sama ataukah mengalami perubahan, faktor yang menyebabkan dihapuskannya lembaga hukum dan alasannya, dan apakah pola perkembangan umum lembaga hukum bisa dijelaskan. Maka, dalam studi sejarah hukum, peneliti akan melibatkan banyak pendekatan, sebab studi semacam ini memerlukan kerjasama interdisipliner.( Rahardjo, 2000, hal: 350-351)
Politik hukum. Setiap masyarakat yang teratur akan berlejan ke arah tujuan tertentu. Kolektifitas yang menjadi karakteristik masyarakat dengan sendirinya menyodorkan suatu tujuan sosial/kolektif. Politik adalah bidang dimana masyarakat mewujudkan tujuannya tersebut. Struktur politik menaruh perhatian terhadap pengorganisasian kegiatan kolektif untuk mencapai tujuan yang secara kolektif menonjol. Adanya tujuan yang menonjol ini, menuntut, sebelumnya, adanya pemilihan dari sekian banyak tujuan-tujuan sosial. Dalam hukum, kita dihadapkan pula pada keharusan memilih tujuan dan cara untuk mewujudkan tujuan masyarakat. Kesemua hal ini masuk dalam bidang politik hukum.

Sebagai bagian dari sistem masyarakat yang kompleks, hukum harus selalu berjalan bersama dengan tujuan masyarakat yang terkait erat dengan sisi kehidupan masyarakat yang lain, diantaranya sisi politik, sebab hukum tidak sepenuhnya otonom.
Dalam politik hukum, peneliti biasanya mempertanyakan hal-hal seperti; apakah tujuan dari sistem hukum yang ada? Bagaimanakah cara mewujudkannya? Kapankan perubahan sebaiknya dilakukan? dsb. (Rahardjo, 2000: hal 351-352)

Dalam perkembangannya, hukum dipakai secara sadar sebagai sarana untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu, tujuan sosial. Hukum juga telah menggarap dan mengatur kita, tingkah laku sosial kita yang menunjukkan bahwa hukum telah memasuki bidang psikologi, psikologi sosial persisnya. Hukum pidana merupakan jenis hukum yang sering bertautan dengan psikologi masyarakat yang menginginkan segala bentuk kejahatan bisa dicegah. Sebagai contoh, seseorang menggunakan haknya tidak karena tertera dalam hukum atau UU, namun lebih sering karena ia merasa yakin bahwa ia berhak. Demikian juga mengenai tuntutan kepastian hukum yang berlebihan, dari sisi psikologi hukum adalah suatu kekeliruan.(Rahardjo, 2002: hal 353,354,355)
Filsafat Hukum mempersolakan hal-hal yang bersifat dasar dari hukum. Menyoal hakikat hukum, juga tentang dasar bagi kekeuatan mengikat suatu hukum. Filsafat hukum mendudukkan hukum sebagai fenomena universal, sedangkan kajian hukum positif membahas hukum sebagai bagian dari tatanan hukum tertentu dengan mempertanyakan konsekuensi logis asas, peraturan, bidang dan sistem hukumnya sendiri. (Rahardjo, 2000: hal 358)

Tujuan Ilmu Hukum

Kompleksitas kehidupan masyarakat menuntut pemahaman yang matang dan menyeluruh terhadap setiap sisinya. Demikian pula, kemajuan dan perubahan besar yang terjadi menyebabkan banyak lubang dalam lingkup hukum, dalam arti peraturan yang ada belum cukup, tidak lagi cocok dan bahkan kontraproduktif dengan kondisi yang ada. Tentunya, menjadikan kajian hukum terlepas dari pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap hal ini hanya akan mengakibatkan blunder. Hukum kadang akan tertinggal dari cepatnya perubahan atau bahkan tak lagi sejalan dengan cita dan tujuan sosial masyarakat.

Mengingat hampir seluruh aktivitas masyarakat telah dijadikan objek ilmu pengetahuan tertentu, baik aktivitas politik, kegiatan ekonomi, budaya dan sebagainya; telah disikapi dengan disiplin ilmunya masing-masing, maka ilmu hukum menampung segala kajian yang berkaitan dengan hukum dalam rangka memudahkan mewujudkan sistem hukum yang kuat, padu dan baik.

Dari sinilah ilmu hukum diharapkan mampu menjembatani usaha-usaha memperbaiki hukum sebagai suatu sistem. Pembuatan UU akan didasarkan pada studi yang mendalam, penerapan hukum senantisa lekat dengan kontrol dan koreksi, peradilan pun akan semakin menunju poada penciptaan keadilan.

Referensi

Al Mu’jam al Wajiz, 1972, Dar al maarif, Kairo
Zeidan, Dr. Abdul Kareem, Nadzraat Fi al Syari’ah al Islamiyyah, Lebanon: Muassasah Ar Resalah, 2000, cetakan pertama
Al Fiqqy, Dr. Mohammad Ali Uthman, Nadzariyyat al Qanun, Kairo, 2002
Rahardjo, Prof. Dr. Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Karya, 2000, Cetakan ke V

Oleh: Muhammad Munafidzu Ahkamirrahman

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 2:35 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home