HUKUM INTERNASIONAL DI ERA MODERN: MENGENAL SEKILAS PENGANTAR HUKUM ANTAR NEGARA

Relasi antar bangsa-bangsa yang terus menerus meningkat dewasa ini meniscayakan bangunan hukum yang di jadikan acuan bersama dalam meretas kesepakatan dan peraturan yang diberlakukan di atas pentas dunia internasional. Munculnya hukum internasional sebagai suatu bidang dan obyek kajian ilmu hukum bukanlah suatu kajian ilmu hukum yang telah berumur tua. Pembidangan hukum internasional merupakan akumulasi dari proses evolutif yang pernah dialami manusia sebagai sekumpulan rumpun berbagai bangsa dalam pelbagai perbedaan geografis serta tatanan administratif dan politiknya. Perumusan hasil kajian atas hubungan antar rumpun bangsa-bangsa ini sebagai suatu disiplin keilmuan telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia internasional.

Bukan berarti ilmu hukum internasional saat ini belum menemukan sedikitpun konsensus ilmiah di bidang hukum yang mengalasi hamparan pandangan para pakar yang terus dan kian berkembang. Hanya saja prinsip hukum yang nyaris tersepakati itu berpotensi besar untuk selalu berubah dan bergeser sejalan dengan kemajuan relasi antar bangsa itu sendiri. Apalagi peradaban manusia pada dua abad terakhir diwarnai oleh penemuan dan kemajuan bermacam ilmu pengetahuan dan berbagai perangkat teknologi mutakhir khususnya di teknologi bidang informasi, komunikasi dan tranportasi. Tiga fenomena terakhir yang disebutkan adalah yang berperan besar meluluhlantakkan paradigma klasik dalam hubungan antar bangsa dan anak manusia di era modern saat ini.

Dengan demikian kajian hubungan internasional sebagai ilmu hukum telah melewati berbagai fase dan pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena itu, perbincangan tentang hukum internasional yang mengatur pergaulan berbagai bangsa ini selayaknya dimulai, walaupun sepintas lalu, dari sejarah pergaulan suku-suku bangsa di masa pra modern sebelum dilanjutkan pada pengertian dan pelbagai pembahasan kontempelatif dari sudut frame ilmu hukum internasional dalam terminologi kekiniannya. Sebagai penutup pembahasan, seyogyanya diuraikan mengenai pergeseran pemaknaan atas paradigma hubungan antar bangsa saat ini sebagai implikasi langsung dari kecanggihan perangkat teknologi dan ilmu pengetahuan masa kini. Berikutnya hendaklah pula dipaparkan pula sekilas tentang tantangan-tantangan global yang sangat mungkin terjadi di masa-masa mendatang.

Pengertian Hukum Internasional

Dewasa ini, pengertian hukum internasional (international law) telah mencapai konsensus umum untuk diartikan sebagai, sekumpulan peraturan dan norma-norma hukm yang diberlakukan atas bangsa-bangsa dan entitas lainnya yang mendapat pengakuan sebagai subyek hukum internasional (international personality/askhos al-qonun al-dauli). Pendevinisian hukum internasioal di atas yang mengikut sertakan entitas internasional selain negara sebagai subyek hukum internasional terbilangsebagai devinisi yang berumur muda. Setidaknya, hukum internasional tidak lagi terbatas dan ekslusif bagi negara-negara semata yang diakui sebagi subyek hukumnya. Devinisi baru bagi hukum intenasional ini jelas-jelas berbeda dengan pengertian klasik yang hanya membatasi international law sebagai hukum yang barlaku bagi subyek hukum yang terdiri dari negara-negara belaka .

Pergeseran pendevinisian ini berkaitan erat dengan peran pelbagai organisasi-organisasi internasional yang mampu berperan di dunia internasioanl layaknya negara dan bangsa berdaulat. Pada dekade 1940-an, jumlah organisasi-organisasi internasional menunjukkan angka membengkak dan nyata-nyata memainkan peran yang punya efektifitas yang bahkan tidak kalah dari peran yang dimainkan negara-negara. Peran yang ditunjukkan PBB sebagai salah satu representasi penting organisasi berskala internasional dalam partisipasinya yang turut meredam perang dunia kedua yang melibatkan negara-negara besar dan menjadi ancaman global waktu itu manjadi bukti sahih efektivitas peran organisasi internasional dalam skala global yang tidak kalah dari peran negara.

Devinisi baru ini merevisi pengertian tradisional akan hukum internasional ( the traditional definition of international law) yang hanya membatasi subyek hukumnya semata atas negara. Devinisi hukum internasioanal yang dalam perpekstif klasik lebih diartikan sebagai hukum yang diberlakukan atas bangsa-bangsa di masa perang dan damai telah kehilangan momentumnya serta dinilai terlalu kaku dan rigid. Fenomena baru di dunia internasional yang menunjukkan peran besar yang dimainkan organisasi multinasioanl menjadi rujukan utama yang diakomodir oleh devinisi baru ini. Sehingga perubahan besar yang dibawa fenomena baru ini mesti direfleksikan dalam pranata hukum internasional semenjak abad 20.

Dalam pengertian istilah modern, hukum internasional seringkali dikaitkan dengan 'ius gentium' yang merupakan konsepsi bangsa Romawi. Hanya saja terma 'ius gentium' di masa Romawi yang kerap di dengungkan sebagai akar devinisi hukum internasional ini sejatinya mempunya pengertian yang jauh berbeda dengan penggunaannya di masa modern. Ada dua arti yang diberlakukan bagi 'ius gentium' di masa Romawi. Yang pertama adalah hukum yang berlaku umum baik bagi orang Romawi maupun bangsa lain, mengingat di masa Romawi terdapat hukum yang khusus berlaku bagi warga negara Romawi yang disebut 'ius civile'. Sedangkan arti kedua bagi 'ius gentium' adalah hukum kodrat yang berlaku umum dan universal bagi semua bangsa dan benda. Kelihatnnya, pengertian yang terakhir inilah yang kemudian diadaptasi sebagai akar yang menjadi cikal bakal hukum antar negara .

Sifat Hukum dari Hukum Internasional (The Characteristics of International Law/al-Sifat al-Qonuniyah li al-Qonun al-Dauli)

Semenjak munculnya hukum internasional sebagai pranata hukum yang menertibkan relasi antar bangsa, kekuatan hukum yang dimilikinya telah menjadi kontroversi para pakar. Sebagaian dari mereka berpandangan bahwa hukum internasioan tidak mempunya kekuatan hukum (al-quwah al-mulzimah). Artinya hukum internasional tidak lebih daripada pandangan moril (positieve moraal) dalam pergaulan internasional atau sebatas hanya sopan santun internasional (comitas gentium/al-akhlaq al-dauliah). Pandangan ini dianut antara lain oleh John Austin dalam bukunya lectures on Jurisprudence. Termasuk yang tidak mengakui sifat hukum dalam hukum internasional adalah Hobbes dari Inggris dan Hegel, fisuf kenamaan Jerman.

Pendapat pertama yang tidak mengakui hukum internasional sebagai tidak lebih dari tatakrama antar negara melandaskan argumennya pada kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi (al-siyadah al-muthlaqoh) . Bagi mereka, kekuatan hukum akan mengikat jika semata-mata berasal dari hukum tertinggi yang termanifestasikan dalam otoritas dan kedaulatan negara. Berarti, kesepakatan bilateral maupun multilateral apapun tidak akan mampu mencerabut kekuasaan tertinggi ini. Tidak juga mampu merobohkan kedaulatan negara ini norma-norma internasional yang berlaku di dunia internasional. Setiap negara mempunya kedaulatan sendiri di depan negara lain yang tidak boleh terusik oleh kedaukatan negara lainnya.

Dengan kata lain, kesepakatan yang dihasilkan oleh dua unsur yang sepadan tidak akan memberikan kekuatan hukum yang mengikat. Kekuatan hukum akan dinilai mengikat mana kala hukum tersebut dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi kederajatannya atas subyek lain yang berada di bawahnya. Dengan demikian, kelompok ini berpandangan bahwa kekuatan hukum hanya terdapat pada hukum nasional.atau yang lazim disebut sebagai undang-undang (municipal law) .Di mana dalam hukum domestik ini terdapat pembentuk undang-undang yang terpresentasikan dalam parlemen sebagai otoritas tertinggi yang menjadi pengewajentahan dan perlambang dari kadaulatan negara.

Pandangan ini mendapat pertentangan dari kelompok mayoritas pakar hukum yang mengakui kekuatan hukum yang terdapat pada hukum internasional. Bagi kalangan yang mendukung terdapatnya kekuatan hukum yang mengikat dalam hukum internasional, kesalahan kelompok yang tidak mengakui sifat hukum berpangkal pada generalisasi dan penyamaan antara hukum yang berlaku antar negara (the international legal system) dengan hukum yang berlaku dalam negara atau undang-undang ( municipal law). Penilaian yang dangkal dan berat sebelah dengan mengartikan hukum semata sebagai hukum nasional saja telah melalaikan perbedaan prinsipil antara undang-undang dan hukum. Para penyokong pandangan yang mengatakan tidak adanya sifat hukum dalam hukum internasional telah melupakan bahwa di samping undang-undang terdapat pula hukum lain dalam negara. Seperti halnya hukum kebiasaan nasional dimana hampir semua pakar mengakuinya sebagai hukum sah dalam negara di samping undang-undang. Oleh karena itu, undang-undang adalah salah satu hukum dalam suatu negara, namun bukan satu-satunya.

Di sisi lain, dalam pandangan mazhab kedua, keluarnya undang-undang dari lembaga yang menyuarakan otoritas dan kedaulatan negara bukanlah hukum itu sendiri. Memang benar bahwa peraturan-peraturan yang di keluarkan oleh parleman dan yang diberlakukan oleh para hakim adalah hukum, namun penetapan parlemen dan keputusan hakim bukan merupakan elemen hukum. Sebagai bukti banyak peraturan-peratutran hukum negara yang tidak lahirkan parlemen dan tidak pula dapat diputuskan oleh hakim. Peraturan-peraturan hukum tentang tata cara menjalankan kekuasaan tertinggi adalah sebuah misal bagi yang terakhir disebutkan .

Klaim yang disebutkan pendukung pendapat tidak mengikatnya hukum internasional bahwa dalam hukum internasioanl tidak terdapat pula pembentuk hukum dapat digantikan dengan pengadaan perjanjian (tractaat) antar negara itu sendiri. Sehingga, peraturan-peraturan yang tertuang dalam memo perjanjian itu dapat dikategorikan sebagai hukum yang mengikat, mengingat keyakinan dunia internasianal yang menganggap traktat sebagai sumber hukum positif. Selain itu, undang-undang yang merupakan peraturan berdasarkan perintah dan kehendak satu arah dapat menjadi sebuah hukum yang mengikat, apa lagi traktat yang justru merupakan kehendak bersama antara negara yang menandatanganinya. Dengan pelbagai argumen di atas, jelaslah bahwa hukum internasional dapat dinilai sebagai suatu peraturan-peraturan hukum yang mengikat (al-mulzimah) dan memiliki sifat hukum (al-sifat al-qonuniah) .

Sumber-Sumber Hukum Internasional (The sources Of International Law/Mashodir al-Qonun al-Dauli)

Peraturan dan norma internasional yang mesti dianut oleh negara-negara harus senantiasa berdasarkan sumber-sumber autoritatif yang menaunginya. Dengan demikian, maka sumber internasional ini dapat diartikulasikan sebagai segala sesuatu yang dapat memunculkan dan melegalisi peraturan dan norma antar negara. Satu perbedaan mencolok antara sumber hukum yang dijadikan landasan hukum domestik dan sumber hukum internasional adalah tidak didapatinya sumber tertulis dalam hukum internasional. Hal ini sangat jauh berbeda dengan hukum nasional sebuah negara yang lazim menggunakan sandaran sumber hukum tertulis dalam peraturan-peraturan domestiknya.

Secara karakteristik, sumber hukum ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah sumber formil (al-mashodir al-syakliyah/formal source). Kedua adalah sumber materil (al-mashodir al-madiyah/material source). Secara singkat, sumber formil dapat diartikan sebagai segala proses prosedural yang melegalisi hukum internasional wujud. Sedangkan sumber materil adalah segala sesuatu di mana hukum internasional terambilkan dari padanya dan terasaskan atasnya. Beberapa sumber yang sahih dapat dijadikan sandaran hukum internasional adalah sebagai berikut:

a. Kebiasaan Internasional (al-'urf al-dauli/International Custom)

Asas kebiasaan merupakan suatu sumber hukum internasional yang tersepakati keabsahannya dalam mendasari peraturan-peraturan antar negara. Meski demikian, adalah hal yang sangat sulit memberi pengertian yang devinitif tentang kebiasaan ini. Hal demikian disebabkan tidak ditemukannya kata sepakat antara para pakar hukum dalam sub syarat yang mesti dipenuhi oleh aksi kebiasaan internasional sehingga mampu memberi legalitas atas peraturan yang bersandar padanya. Perbedaan pandangan para ahli hukum dalam elemen-elemen hukum yang mampu mengantarkan sebuah fenomena kebiasaan yang berlaku menjadikan sumber hukum ini akan berbeda secara devinitif antara seorang ahli dengan ahli lainnya. Sebagai contoh, sebagian ahli menyatakan kekuatan sumber kebiasaan bisa terjadi dengan hanya memerlukan suatu perilaku internasional sebagai elemen materil belaka. Pendapat tersebut tenatu saja mengesampingkan pandangan kelompok pakar lain yang hanya mensyaratkan elemen psikologikal yang termanifestasikan dalam tercapainya suatu komitmen dunia internasional perihal perilaku tadi. Sedangkan ada kubu lain lagi yang mensyaratkan keduanya sebagai pemenuhan perilaku kebiasaan yang berkekuatan hukum.

Namun demikian, perselishan pendapat ini tidak melunturkan kesepakatan bahwa perilaku kebiasaan ini mempunyai dua elemen di dalamnya. Pertama, adalah elemen psikologikal ( al-'unshur al-ma'nawi) yaitu, tercapainya suatu pengakuan dunia internasional akan legalitas suatu aksi kebiasaan tertentu dan tumbuhnya komitmen untuk menghormatinya. Kedua adalah elemen materil (al-'unshur al-maadi). Elemen kedua ini akan terpenuhi dalam suatu perilaku tertentu bila di dalamnya terdapati dan terpenuhinya beberapa sub elemen sebagai berikut:

1. Kecukupan Temporalistis (Fatroh Zamaniah Mu'ayyanah/Duration of Practice)

Tidak terdapat standar paten dalam waktu yang disaratkan guna suatu perilaku Negara dianggap telah memenuhi kepantasan secara waktu. Akan tetapi dapat ditakar bahwa suatu kebiasaan tertentu akan dianggap telah memenhi pra syarat temporalistiknya kala perilkau tadi mmapu memebrikan kesan yang menumbuhkan komitmen dunia internasional untuk menegasikan legalitasnya.

2. Generalitis ('Umumiyah al-Suluk/ Extend of Practice)

Yang dimaksud dengan perilaku yang generl adalah suatu tindakan yang dilakukan kolektif oleh berbagai subyek hukum internasional. Jadi bukan suatu perilaku yang nyleneh dan individualistic atau menyendiri.

3. Keterpaduan (Ittisaqi/Uniform)

Artinya praktik kebiasaan tadi dilakukan dengan konstan dan tidak saling bertabrakan satu sama lain. Praktik kebiasaan akan mendapatkan legitimasi sumber hukumnya bila mana tidak terjadi tumpang tindih dalam perilaku itu dan tidak terdapati dikotomi aksi.

b.Perjanjian Internasional (Mu'hadat/Treaties)

Perjanjian yang bisa menjadi sumber hukum internasional adalah suatu kesepakatan yang tunduk di bawah peraturan hukum internasional baik berupa kesepakatan umum atau khusus yang melibatkan dua Negara atau lebih. Dari devinisi ini dapat difahami bahwa perjanjian internasional yang dapat dijadikan sandaran hukum internasional aterbatas pada perjanjian yang dilakukan oleh dua Negara berdaulat atau lebih. Dengan demikian, perjanjian yang dilakukan oleh Negara dan suatu organisasi yang telah mendapat pengakuan sebagai subyek hukum internasinal tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.

Perjanjian internasional dapat dibagi menjadi beberapa macam menurut sudut pandang yang berbeda. Dilihat dari peserta penandatangan perjanjian, maka perjanjian dapat dibagi menjadi dua. Pertama perjanjian bilateral (tsunaiyah/bipartite), yaitu perjanjian yang terjadi di antara dua negara. Kedua, perjanjian multilateral ( jama'iyyah/ multipartite) yakni bila perjanjian tersebut melibatkan tiga negara atau lebih. Sebagaimana perjanjian internasional disebut sebagai perjanjian traite-lois ( al-syariah/ law making treaties) bila perjanjian itu memunculkan hukum baru di pentas dunia internasional. Jika perjanjian itu hanya demi merealisasikan hukum internasional yang ada maka disebut sebagai treate-contranct (al 'aqdiah/treaty contracts).

c. Prinsip Hukum Umum (Al Mabadi' al Ammah Li al-Qonun/General Principles of Laws)

Meskipun bukan merupakan sumber pokok hukum internasional sebagaiman dua sumber yang telah disebutkan di atas,sumber yang ketiga ini juga diakui publik internasional sebgai salah satu sumber hukumnya. Walaupun devinisi tentang sumber hukum ini belum mencapai kata sepakat. Setidaknya pengertian yang biasa dipakai dalam mengartikan sumber ini adalah prinsip-prinsp umum hukum yang diakui legalitas dan kekuatan hukumnya oleh semua segenap bangsa-bangsa masyarakat internasional (ta'tariif bi ha al qonuniyah li muktlafi al dual/recognized by civilized nations). Yang bisa disebut sebagai misal dari sumber ketiga ini adalah tentang prinsip tanggung jawab (responbilty) dari tindakan yang merugikan fihak lain dan semacamnya.

d. Keputusan Hukum Internasional (Ahkamu al-Qodlo al Dauli/ Judicial Decisions)

Sumber ke empat ini sebenarnya adalah sumber hukum internasioanal yang bersifat sub sumber atau sumber cabangan belaka( al mashdar al ihtiyathi/subsidiang source). Sehingga meskipun keputusan ini hakikatnya hanya berlaku bagi Negara-negara yang menjadi subyek penghakiman, namun keputusan yang diambil atas Negara tersebut bisa dijadikan sebagai pendalilan pada suatu kasus yang sama pada Negara yang berbeda.

Subyek Hukum Internasional (al Syakhsiah al Qonuniah al Dauliah/International Personality)

Sebagai suatu peraturan yang demikian luas, hukum internasioan mempunyai subyek hukum yang jelas berbeda dengan hukum perundang-undangan yang bersifat nasional semata. Sehingga yang menjadi subyek hukum dalam hukum internasional adalah satuan entitas internasional yang mempunyai kapabilitas mapan guna menggunakan hak dan menanggung kewajibannya. Dalam pengertian ini, negara bukanlah satu-satunya yang mempunyai kapabilitas untuk itu semua. Sehingga, menganut pada perkembangan hukum internasional modern, sifat subyek hukum internasional bisa diberlakukan pula bagi oraganisasi bertaraf internasional yang telah mendapat pengakuan publik dunia. Sehingga pemetaan subyek hukum internasional ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, negara sebagai subyek hukum asli hukum internasional. Kedua, oraganisasi internasional yang telah diakui publik dunia akan kapablitasnya dalam menggunakan dan menanggung hak serta kewajiban internasioanl. Termasuk yang terakhir adalah ikatan-ikatan atau asosiasi negara-negara. Sehingga, seseorang atau individu secara personal tidak akan pernah menjadi subyek hukum dalam hukum internasional ini.

Negara merupakan obyek utama (the principal persons ) dalam hukum internasional. Kenyataannya adalah, tidak semua komunitas yang menamakan dirinya sebagai negara di dunia ini bisa memenuhi kualifikasi sebagai negara yang pantas menjadi subyek hukum internasioanal. Setidaknya ada beberapa syarat yang absolute dipenuhi suatu "negara" untuk bisa memastikan diri sebagai subyek hukum internasional, yang di antaranya:

a. Rakyat (as Sya'b al Muqimin/Permanent Population)

Yang terpenting dalam hal ini adalah adanya rakyat yang menyandang kewarganegaraan dari negara yang bersangkutan. Sehingga, standar kwantitas sama sekali bukan merupakan acuan utama dalam syarat ini. Oleh karena itu, negara dengan populasi ribuan semacam San Marino atau Nauru masih dianggap sebagai subyek hukum internasional yang mempunya hak dan kewajiban yang tidak berbeda dengan egara dengan jumlah penduduk ratusan juta.

b.Wilayah (al-Iqlim/Difined Territory)

Wilayah adalah kawasan geografis yang menjadi hak ekslusif dari suatu negar untuk mendayagunakan dan menggunakan kedaulatan atasnya. Mirip sebagaimana elemen rakyat, tidak ada syart khusus seberapa besar wilayah negara untuk bisa mengantarkan dirinya sebagai subyek hukum internasional. Oleh karena itu negara dengan luas wilayah yang hanya beberapa kilometer persegi semisal Luxembergo, Monaco dan sesamanya mempunyai hak yang sama dengan negara dengan luas teritorial jutaan kilometer persegi.

c.Pemerintahan (al Siyadah/a Government)

Guna mencatatkan diri sebagai subyek hukum internasional, sebuah negara harus mempunyai lembaga pemerintahan yang mengendalikan negara dan menjadi pemegang otoritas kekuasaannya. Dengan demikian, negara yang sedang dalam masa perwalian tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai subyek hukum internasional. Namun, perannya di dunia internasioanl diwakili oleh dewan perwalian hingga terbentuknya badan eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan negara tersebut.

Perlu dijelaskan pula bahwa ada beberapa kriteria negara yang sebenarnya tidak berdaulat penuh namun dianggap sebagai subyek hukum internasional yang diakui. Walaupun kekuasaan internasional yang dimilikinya terbatas. Secara garis besar, ada dua kriteria yang masuk dalam tipe negara semacam ini. Pertama, negara-negara bagian dari beberapa negara serikat. Negara bagian seperti ini bisa memainkan peran di dunia internasioanl dengan persetujuan negara pusat. Sebagaimana kanton-kanton yang berserikat dengan Swiss. Kedua, protektorat-protektorat, yaitu negara yang asalnya berdaulat namun dengan tujuan tertentu meminta perlindungan dari negara berdaulat lainnya yang menjadikannya sebagai negara dengan status tidak merdeka, sebagaimana yang pernah terjadi pada Monaco yang meminta proteksi Prancis pada 1908.

Isi dan Kandungan Hukum Internasional

Biasanya hukum internasioanl dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah hukum yang diberlakukan di saat perang. Kedua adalah hukum di saat damai. Hukum antar negara yang diberlakukan di saat perang memegang kedudukan sangat vital, mengingat hal ini berkenaan dengan kedaulatan suatu negara dan kesatuuan wilayah territorial yang dimilikinya. Di abad pertengahan, dimana hubungan antar negara-negara saat itu lebih banyak diwarnai perang dari pada damai hukum internasional lebih didominasi oleh hukum yang mengatur tentang perang antar negara. Hukum perang di darat mempunyai peraturan yang berbeda dengan perang di laut. Hanya saja hingga saat ini belum pernah dibakukan hukum internasioanl yang mengatur perang udara. Bisa jadi hal disebabkan perang udara merupakan fenomena dan trend perang mutakhir. Selain itu, perang udara hanya bisa dilakukan oleh kalangan terbatas. Yaitu sedikit negara yang mempunyai infrastruktur peralatan militer canggih. Sehingga perang udara bukan merupakan fenomena umum yang mudah terjadi. Oleh karena itu sampai hari ini belum ada kodifikasi khusus yang menjelaskan hukum antar negara yang mengatur perang udara.

Sementara itu, hukum internasional yang mengatur relasi antar negara saat damai mempunyai peran sangat vital di era modern ini. Mengingat stabilitas internasioanal yang cenderung baik yang berimplikasi pada pendekatan diplomasi sebagai ujung tombak negara untuk menunjukkan eksistensinya. Selain itu, upaya negara-negara di dunia yang menfokuskan diri pada pemakmuran negaranya berhadapan dengan kepentingan negara lain di tengah percaturan global yang makin ketat dan cepat menumbuhkan urgensi pemantapan hukum damai. Hukum internasional saat damai meliputi antara lain:

a. Peraturan-peraturan yang menjelaskan batas-batas daerah hukum sebuah negara dengan negara lain. Baik batas Negara yang berada di daratan, lautan dan udara.

b. Hukum internasional yang mengatur tentang perwakilan suatu negara atau asosiasi berbagai negara pada negara tertantu. Setidaknya ada tiga lembaga yang menjadi perwakilan negara.

Pertama, kepala negara yang bertindak sebagai wakil tertinggi dari negara yang dikepalainya.

Kedua, duta besar yang ditempatkan pada suatu negara tertentu yang bertindak sebagai wakil negara yang mengutusnya dalam semua relasi yang dibangun antara kedua negara.

Ketiga, kosuler yang diangkat untuk daerah tertentu pada sebuah negara yang hanya punya wewenang pada kepentingan-kepetningan yang berorientasi pada persolan ekonomi. Hanya saja, para konsul tidak bebas untuk mengadakan hubungan dengan negra yang menerimanya. Akan tetapi hubungan yang dijalin dengan pemerintahan negara itu masih tetapa melalui perantar duta.

Penutup.

Hubungan internasional di era modern ini lebih diwarnai dengan stabilitas dunia yang cukup baik. Meski tidak dapat pula dinafikan di beberapa belahan dunia masih terjadi berbagai konflik yang belum usai. Hukum internasional yang disengajakan sebagai pranata yang mengatur relasi antara satu subyek hukum internasional yang melibatkan banyak negara ikut andil dan ambil peran yang sangat vital bagi kemajuan dan perdamaian dunia saat ini. Oleh karena itu, hukum internasional harus senantiasa dikawal sehingga praktek hukum yang dilakukan oleh semua Negara di dunia ini berlandaskan pada keadilan dan kemanusiaan. Bukan pada kepentingan dan egoisme serat ambisi segelintir yang tidak memihak pada perkeadilam. Semoga cita-cita kemakmuran, keadilan dan kedamaian merata di dunia ini secepatnya terwujud dan terjaga sebelum makhluk dunia ini menyongsong ketiganya di akhirat nanti. Amien. Be continud?
(By: Arif reza Syah)

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:29 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home