"BRING BACK THE PAST OR LET'S GET IT ON TO A BETTER FUTURE"

(DILEMA PENYIKAPAN KASUS KELAMNYA SEJARAH)

Solon, seorang pemikir Yunani, pernah mengungkapkan bahwa hukum itu seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah. Namun begitu ia mau menjaring yang kuat, hukumnya menjadi bak sarang laba-laba yang menabrak gajah. Alih-alih dapat merobohkan sang gajah, justru sarang itu morat-marit terpecah-pecah. Kira-kira begitulah ungkapan yang pantas untuk menggambarkan proses penegakan hukum di Negara kita tercinta, Indonesia.

Masih terngiang jelas tentunya di telinga kita akan sebuah nama Almarhum Haji Muhammad Suharto. Yah, seorang tokoh besar, Jenderal Besar, dan juga Presiden dari sebuah negara besar (jumlah penduduknya). Namun dibalik kesuksesan itu, dugaan dan tuntutan serta dakwaan baik itu pidana maupun perdata terus mengalir diarahkan kepada sosok yang murah senyum ini. Mulai dari penjahat HAM kelas kakap hingga koruptor kelas dunia.

20 Januari 2008 boleh jadi menjadi tanggal berakhirnya tuntutan pidana akan tindak kejahatan kriminal pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini menjadi mafhum, manakala tuntutan pidana tidak dapat diwariskan kepada anak cucunya. Namun mengapa tuntutan-tuntutan perdata (meskipun hanya satu saja, Penyelewengan Uang Negara atas nama Yayasan Supersemar) juga tidak kunjung ada penyelesaiannya? Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya, mengingat dakwaan perdata dapat dilanjutkan meskipun terdakwa telah tiada dengan jalan melimpahkan tuntutan kepada para ahli warisnya.

Berbagai macam kendala seolah terus-menerus menimpa para pihak penuntutnya. Kendala terakhir yang diberitakan media masa adalah menyangkut hilangnya berkas perkara. Namun jika kita ingin menelisik lebih dalam lagi maka kita akan menemukan bahwa kendala sesungguhnya bukanlah kendala teknis semacam itu. Berkas hilang bukan penyebab tapi akibat dari keengganan untuk menghukum Soeharto.

Contohnya, keterangan Muladi bahwa kasus Soeharto sudah selesai. Sebagaimana tertera dalam berita Tempo Interaktif 23 Mei 2007, Muladi minta semua pihak tidak menghabiskan energi untuk mengurusi atau memperdebatkan masalah-masalah di masa lalu seperti pengadilan bagi mantan presiden Soeharto. Muladi melihat bangsa Indonesia kurang fokus terhadap masa kini dan masa depan padahal masalah yang akan dihadapi ke depan sangat banyak. Kalaupun ada hal-hal di masa lalu yang perlu ditindaklanjuti, lanjutnya, haruslah masalah-masalah yang besar dan strategis saja sementara masalah yang kecil tidak perlu dipersoalkan lagi.

Aneh bukan? Masalah Suharto dianggap masalah kecil. Loh, kok masalah yang kecil? Bukankah jumlah uang yang diambil Soeharto itu besar sekali, sampai tidak terbayangkan? Memang, Pak Muladi yang sekarang Gubernur Lemhanas, tapi di jaman Soeharto adalah Menteri Hukum dan HAM, jadi sudah jelas kedudukannya dimana. Sama dengan menanyakan Donald Rumsfeld apakah serangan atas Irak itu benar atau salah.

Tak kalah "anehnya" ungkapan Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla yang menyatakan, "Jangan kita menyalahkan masa lalu tapi mari bergerak dalam kondisi kekinian." Ungkapan yang baik dan bijak. Namun dalam lanjutan ungkapannya (pedagang yang karena sejarah reformasi ini menjadi orang nomor dua ini) ia mengatakan, berdebat boleh saja dilakukan tapi tidak boleh sampai menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa. Lha, koq bisa? Apakah pengusutan Soeharto 'menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa?' Dan bukankah justru permasalahan bangsa adalah menegakkan keadilan?

Jadi menurut hemat saya, "bring back the past or let's get it on to a better future", justru kedua-duanya sama-sama penting, tidak ada yang tidak penting. Ada asap ada api, kalau apinya tidak dimatikan asapnya kapan berhenti, tapi kalau sibuk mematikan api, kebulan asapnya bisa merepotkan orang sekitar. So, gimana caranya mematikan api sambil menghilangkan kebulan asap yang makin tebal? Nah, itu sich PR para pemimpin kita termasuk Pak Jusuf Kalla.
Lebih miris lagi, manakala sang Presiden SBY dalam satu kesempatan menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa persoalan dan perkara mantan presiden Suharto diendapkan untuk saat ini adalah kekhawatiran akan terjadinya 'perpecahan bangsa".

“Perpecahan bangsa” yang bagaimana dan yang mana yang dia takutkan kalau dia membuka kasus itu? Kalau dia tidak membuka kasus ini segera, justru keamanan dan ketenangan yang tercipta selama ini menjadi semu, hambar dan kehilangan makna, karena -sekali lagi menurut hemat saya- sekaranglah kesempatan untuk membuka segala kedok kejahatan masa lalu, dan mengambil kembali uang milik rakyat dari tangan "perampok" yang otoriter itu.

Tentunya kita semua tidak lupa, bahwa setiap orang itu sejajar di mata hukum. Suara rakyat dalam pemilu yang telah memilihnya sepertinya belum juga membuat Presiden SBY percaya diri dan yakin untuk melakukannya. Dan ketaatannya beribadah juga masih membuatnya ragu pada Tuhan sehingga tidak berani mengambil tanggung jawab untuk membuka kasus Suharto. Saya tidak tahu seberat apa dosanya jika dia terus meremehkan suara rakyat dan meragukan hidayah Allah. Namun yang jelas, kemiskinan dan kesengsaraan rakyat yang berkelanjutanlah yang akan menjadi akibatnya.

Hmmphhh, sungguh ironi. Untuk sementara ini kasus dakwaan perdata Suharto pun masih mengambang. Hakim malah memvonis jaksa tak berhasil membuktikan dakwaan, aktivis penuntut sewot, para tokoh simpang siur pendapat, dan yang mengerikan lagi, masing-masing pihak merasa benar! Sungguh, ini pertanda kepastian bahwa hukum telah mencapai tahap kritis, lebih-lebih tatkala rakyat jelata kini tak sungkan lagi berkata "Kalau orang kecil maling ayam saja langsung masuk penjara!". Cape dech.
Keadaan seperti ini menandakan bahwa rakyat sudah skeptis –meragukan- akan proses penegakan hukum. "Intonasi" seperti ini berkesan menuduh bahwa hukum berpihak pada yang kuat baik dalam arti kekuasaan, politik maupun kekuasaan uang. Suatu kesan yang jelas menyesatkan tentunya, karena seolah-olah hukum bisa diatur dan keadlian bisa dibeli. Hukum bukan lagi bak gambaran dewi dengan mata tertutup menggunakan pedang keadilan, karena hukum telah pandang bulu, sungguh pilu!

Karenanya hal yang terpenting sekarang menjadi acuan pemerintah adalah menyadari akan hal ini, untuk selanjutnya bersegera melakukan pembenahan secara komprehensif dalam hal penegakan hukum. Pemerintah, penegak hukum dan masyaratak tentunya harus "satu bahasa" atas prinsip-prinsip hukum dan dijalankan sebagai komitmen bersama. Tanpa komitmen satu bahasa atas prinsip-prinsip hukum, setiap ada putusan langsung meluas jadi polemik, membuat rakyat bingung memahami hukum itu seperti apa? Disebut bulat, ternyata lonjong, saat dipahami lonjong, malah menjadi kubus pula.

Komitmen satu pemahaman atas prinsip-prinsip hukum di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri menjadi amatlah penting. Bagaimana rakyat mau taat hukum, kalau suatu kasus memberi hikmah pada mereka hukum itu lonjong, ketika mereka taat dengan hukum lonjong ternyata salah! Begini salah begitu salah, perilaku rakyat pun pada akhirnya jadi serba salah."
Lebih jauh lagi, untuk menuntaskan kasus "Suharto" secara khusus dan penegakkan keadilan terhadap sesama tidak saja dibutuhkan komitmen pemerintah atau penegak hukum yang diartikulasikan baik dalam undang-undang maupun kebijakan pemerintah, seperti usaha membasmi KKN, pembalakan liar, dan sebagainya, yang mengakibatkan rakyat sengsara, namun lebih daripada itu para pemimpin bangsa ini harus memiliki political will dan faith dalam upaya merealisasikannya. Jika ada keinginan dan keyakinan pasti kita bisa mengungkap masalah ini. Orang tua saya mengajarkan semua masalah yang dibuat oleh manusia pasti bisa dijawab dan dipecahkan oleh manusia.

Cuma, harus dimulai dari mana political will itu? Pertama tentu dari para pemimpin lembaga-lembaga penegak hukum, lalu pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, kemudian masyarakat sendiri untuk selalu berperilaku mendukung komitmen-komitmen nasional. Tentu, untuk itu tak bisa sekali jadi. Ia dibangun dari kasus demi kasus yang ditangani dengan baik oleh aparat hukum maupun pemerintah, dan terus lebih berorientasi pada rasa keadilan terhadao masyarakat dan bukan sebaliknya.

Akhirnya, alunan sendu musik dan lirik "Andai Ku Tahu" karya grup band "Ungu" untuk patut dijadikan pemacu dalam upaya menjalankan semuanya itu.

Andai ku tahu malaikat-Mu kan menjemputku
Izinkan aku mengucap kata taubat padamu
Aku takut akan semua dosa-dosaku
Aku takut dosa yang terus membayangiku

Aku manusia yang takut neraka namun aku juga tak pantas di surga
Andaiku tahu kapan tiba ajalku
Izinkan aku mengucap kata taubat padamu


Ferlyansyah Jaiz
Mahasiswa Syariah wal Qanun, Al-Azhar

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 3:59 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home