SENGKETA INTERNASIONAL/INTERNATIONAL DISPUTES/AL-MUNÂZA’ÂT AL-DAULIYAH

(EKSPLORASI TEORI DAN SAMPEL KASUS)

Oleh: Desi Hanara

A. Prolog; Lingkup Sengketa Internasional dan Cakupan Kajian

Pada dasarnya, peran utama hukum di segala level masyarakat adalah untuk mengatasi sengketa, baik berupa upaya antisipasi atas sengketa tersebut maupun berupa upaya penyelesaiannya. Begitu pula halnya dengan Hukum Internasional yang memang pada akar sejarahnya, titik perannya banyak terfokus pada pengatasan sengketa internasional.

Sengketa internasional sendiri kebanyakan identik dengan sengketa teritori antara dua negara atau lebih terhadap suatu wilayah tertentu. Namun jika menilik sejarahnya, bisa dipetakan bahwa akar sejarah dari sengketa internasional sebenarnya terakumulasi dari persengketaan-persengketaan seputar Sumber Daya Alam, Etnik, Demografi Keagaamaan, dan bahkan Perjanjian-perjanjian yang ambigu. Dan apabila tidak teridentifkasi, sengketa-sengketa internasional dengan segala motif tersebut akan sangat potensial untuk memicu terjadinya tindak kriminal, terorisme, perang, atau bahkan genosida.

J.G. Starke menegaskan bahwa sengketa Internasional tidak hanya mencakup persengketaan antar negara an sich, tapi juga mencakup segala kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, seperti sengketa antara satu pihak negara tertentu dengan individu misalkan, atau antara satu pihak negara dengan suatu badan korporasi atau badan non-negara. Contoh gamblangnya adalah persengketaan-persengketaan penanaman modal antara negara penerima modal dan investor swasta asing, yang termasuk dalam yurisdiksi Hukum Internasional dan penyelesaiannya diatur menurut Konvensi 18 Maret 1965.

Tapi meskipun ruang lingkup sengketa internasional tidak hanya terbatas pada sengketa antar negara (negara versus negara), paper ini tetap akan merujuk pada alur kajian rata-rata dari beberapa literatur otoritatif yang kesemuanya mefokuskan pembahasan tentang sengketa internasional dengan corak “negara versus negara”. Yang mana, secara umum kajian ini akan dieksplorasi dan dipetakan dalam tiga sub-kajian, yaitu [pertama], sub-kajian tentang Defenisi, Kriteria, dan Karakteristik Sengketa Internasional berikut beberapa eksplorasi sampel kasus terkait, lalu [kedua], sub-kajian teori dan eksplorasi sampel kasus tentang Penyelesaian Sengketa, baik secara damai yang lazim ditempuh lewat jalur politik/diplomatik maupun yudisial, ataupun dengan menggunakan kekerasan/paksaan yang bisa ditempuh dengan beberapa metode penyelesaian, serta [ketiga] sub-kajian teori dan eksplorasi sampel kasus tentang Hukum Perang, berikut penjelasan ringkas seputar Hukum Humaniter Internasional, Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata, sekaligus juga sekilas singgungan tentang Konsep Netralitas, Kuasi-Netralitas, dan Ketidak-terlibatan Perang.
B. Defenisi, Kriteria, dan Karakter Sengketa Internasional

Dalam konteks Hukum Internasional Publik, sengketa bisa didefenisikan sebagai ketidak-sepakatan salah satu subjek mengenai sebuah hukum/fakta/kebijakan, yang kemudian dibantah oleh pihak lain, atau juga ketidak-sepakatan terhadap satu masalah hukum/fakta-fakta/konflik mengenai penafsiran dua bangsa yang berbeda.

Dalam kasus sengketa atas Timor-Timur atara Portugal versus Australia, Mahkamah Internasional menetapkan empat kriteria sengketa internasional berikut:

1. Sengketa internasional harus didasarkan pada kriteria-kriteria objektif, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada. Seperti pada kasus invasi Amerika Serikat terhadap Afghanistan yang didasarkan pada fakta meraja-lelanya terorisme.
2. Sengketa internasional tidak boleh hanya didasarkan pada argumen salah satu pihak, tapi harus didasarkan pada argumen keduanya. Seperti pada kasus sengketa Amerika Serikat versus Iran pada tahun 1979, yang mana di sini Mahkamah Internasional dalam mengambil keputusan, tidak hanya berdasar pada argumentasi dari pihak Amerika Serikat, tapi juga dari pihak Iran.
3. Jika di dalam suatu sengketa internasional terdapat penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa, hal ini tidak dengan sendirinya akan membuktikan ketiadaan sengketa. Seperti pada kasus sengketa atas Nothern Cameroons 1967 antara Cameroons versus United Kingdom. Di mana di kasus ini Inggris mengklaim bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris men-statemen bahwa sengketa sebenarnya terjadi antara Kamerun dan PBB. Di sini, jelas klaim dari Inggris tentang ketiadaan sengketa tidak bisa digunakan sebagai bahan keputusan mutlak akan ada atau tidaknya sengketa, tapi tentu diperlukan pihak ketiga untuk memutuskan ada atau tidaknya sengketa.
4. Sengketa internasional harus dilatari oleh sikap saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Seperti pada kasus mengenai daya aplikasi atas kewajiban untuk mengarbitrasi di bawah naungan Kesepakatan no. 21 PBB, 26 Juni1947 (Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June1947).

Sementara karakter sengketa internasional adalah:

1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek Hukum Internasional (A Direct International Dispute). Seperti pada contoh kasus Toonen versus Australia. Di mana Toonen menggugat ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen Pemerintah Australia telah melanggar pasal 17 ICCPR dan atas itu Pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

2. Sengketa yang pada awalnya bukan merupakan sengketa internasional, tetapi sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (An indirect International Dispute). Suatu peristiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalah adanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA, yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Seperti pada kasus penembakan warga negara Amerika Serikat di Freeport.

C. Penyelesaian Sengketa Internasional (The Settlement of International Disputes/Taswiyah al-Munâza’ât al-Dauliyah)

Prinsip bagaimana menyelesaikan sengketa-sengketa internasional sedini mungkin dan dengan cara seadil-adilnya bagi semua pihak yang terlibat adalah tujuan utama Hukum Internasional sejak sekian lama. Prinsip-prinsip ini banyak termuat dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa Internasional, dan Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945.

Secara general, metode-metode penyelesaian sengketa internasional bisa ditempuh melalui dua jalur, yaitu dengan jalur damai dan jalur kekerasan.

1. Penyelesaian Sengketa Internasional Jalur Damai (The Peaceful Settlement of International Disputes/al-Taswiyah al-Silmiyah li Munâza’ât al-Dauliyah)

The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang menghasilkan Convention on The Pacific Settlement of International Disputes 1907, merupakan cikal bakal legalisasi penghimbauan penyelesaian sengketa internasional dengan jalur damai. Meskipun pada realitanya, sifat dari konvensi ini tidak mengikat dan rekomendatif, konvensi ini pada sejarahnya telah menstimulan munculnya beberapa Perjanjian-perjanjian Internasional yang secara khusus mengatur dan memuat cara-cara penyelesaian sengketa internasional lewat jalur damai. Perjanjian-perjanjian tersebut—baik yang dibuat oleh negara-negara secara multilateral maupun melalui lembaga intergovernmental adalah:

a. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919;
b. The Statue of the Permanent Court of international Justice 1921;
c. The General Treaty for the Renunciation of War 1928;
d. The General Act for The Pacific Settlement of International Disputes 1928;
e. Piagam PBB (Mîtsâq al-Umam al-Muttahidah) dan Statuta Mahkamah Internasional 1945 (al-Nidzâm al-Asâsiy li Mahkamah al-’Adl al-Dauliyah);
f. Deklarasi Bandung 1955;
g. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.

Seperti yang dijelaskan oleh Pasal 33 Piagam PBB, penyelesaian sengketa dengan jalur damai ini bisa ditempuh dengan metode-metode berikut:
a. Metode Politik/Diplomatik Klasik, seperti Negosiasi, Enquiry (Penyelidikan), Jasa-jasa Baik (good offices), Mediasi, dan Konsiliasi.
b. Metode Yudisial/Hukum, yakni dengan mekanisme Arbitrasi Internasional dan Mahkamah Internasional.
c. Penyelesaian sengketa internasional melalui Organisasi-organisasi Internasional atau Badan-badan/Kelompok-kelompok Regional.

a. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Metode Politik/Diplomatik (Political/Diplomatic Settlement of International Disputes/al-Taswiyah al-Siyâsiyah/al-diblûmâsiyah li al-Munâza’ât al-Dauliyah)

--Negosiasi (Negotiation/al-Mufâwadlah)

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang telah lama diadopsi. Hingga permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Dan hingga saat ini, Negosiasi biasanya adalah metode penyelesaian sengketa yang pertama kali ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikut-sertaan dari pihak ketiga.

Dalam pelaksanaannya, Negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu Bilateral dan Multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatic pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga/organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, yang lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain:
1. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.

2. Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya.
3. Dapat menghindari perhatian public dan tekanan politik dalam negeri.
4. Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak.

--Penyelidikan (Enquiry/al-Tahqîq)

J.G. Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidak-sepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan sangat bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Dan dalam rangka menyelesaikan sengketa inilah, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang temukan ini kemudian dilaporkan kepada para pihak yang besengketa, sehingga para pihak tersebut bisa menyelesaikan sengketa di antara mereka.

Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
Contoh Dewan Penyelidik yang pernah dibentuk oleh PBB, adalah Dewan Penyelidik yang mengawasi penghentian gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

--Mediasi (Mediation/al-Wasâthah)

Mediasi adalah suatu tindak intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak-pihak yang bersengketa tidak bisa menempuh penyelesaian sengketa lewat jalur negosiasi. Pihak ketiga yang disebut mediator ini harus bersifat netral dan independen sehingga bisa memberikan saran untuk penyelesain sengketa.

Seperti yang ditulis oleh Pirhot Nababan, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga bisa dilangsungkan dalam beberapa bentuk. Misalnya pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas “ex aequo et bono” untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain: The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

Contoh sengketa yang diselesaikan dengan metode ini adalah ketika Amerika Serikat menjadi mediator konflik Mesir dan Israel yang berakhir dengan ditetapkannya Perjanjian Damai Mesir-Israel 26 Maret 1979 di Washington D.C. Selain itu, Amerika Serikat juga pernah menjadi mediator konflik Yordan-Israel yang berakhir dengan ditetapkannya Perjanjian Damai Yordan-Israel 25 Oktober 1994.

--Jasa-jasa Baik (Good Offices/al-Musâ’iy al-Hamîdah)

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: “The involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.”

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

Contoh sengketa yang diselesaikan dengan metode ini adalah ketika pada tahun 1979, Guatemala dan Costa Rica memberikan jasa-jasa baik untuk penyelesaian sengketa antara Honduras dan Salvador.

--Konsiliasi (Concilliation/al-Taufîq)

Sementara Konsiliasi, menurut Manly O. Hudson adalah: “Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan suatu penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu dari pendirian-pendirian yang saling bertentangan, dan para pihak dalam sengketa tersebut tetap bebas untuk menolak atau menerima proposal-proposal yang telah dirumuskan tersebut.”

J.G. Starke menyebutkan bahwa fakta jika para pihak yang berkonflik sama sekali memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak syarat-syarat penyelesaian yang diusulkan itulah yang sebenarnya membedakan Konsiliasi dan Arbitrasi. Dan dengan begini, metode Konsiliasi memiliki nilai plus karena bisa dipakai untuk penyelesaian segala jenis sengketa atau keadaan.

Teori-teori tentang konsiliasi banyak terkodifikasi di Traktat Bryan, Traktat Brussels 17 Maret 1948, dan Pakta Bagota 1948.

b. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Metode Yudisial/Hukum (Judicial Settlements of International Disputes/al-Taswiyah al-Qadlâiyah li al-Munâza’ât al-Dauliyah)

--Arbitrasi Internasional (International Arbitration/al-Tahkîm al-Dauliy)

Menurut J.G. Starke, proses penyelesaian sengketa melalui proses Arbitrasi berlangsung dengan penyerahan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan Arbitrator, yang dipilih bebas oleh para pihak bertikai. Para Arbitrator inilah yang akan memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum.

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.

--Mahkamah Internasional (International Court of Justice/al-Mahkamah al-Jinâiyah al-Dauliyah)

Satu-satunya Organ Umum yang tersedia untuk masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa secara yudisial adalah International Court of Justice di The Hague. Organ Umum ini dibentuk berdasarkan bab IV (Pasal 92-96) Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945.

Mahkamah Internasional terdiri dari 15 Hakim. Hakim-hakim ini merupakan sebuah panel para calon anggota Mahkamah yang dinominasikan oleh kelompok National Panel Permanent Court of Arbitration. Dari daftar calon ini, Majelis Umum dan Dewan Keamaan, yang secara independen melakukan pemungutan suara, memilih anggota-anggota Mahkamah. Untuk pemilihan tersebut disyaratkan suara terbanyak mutlak baik dalam Mejelis Umum maupun Dewan Keamanan. Prosedur untuk pemilihan yang bersamaan waktunya oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan berlaku juga pada kasus pengisian lowongan-lowongan tidak tetap, misalkan pemilihan yang dikarenakan meninggalnya atu pensiunnya seorang Hakim.

Sementara kewenangan Mahkamah Internasional secara umum ada dua macam:

[1] Kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious case)
Pada prinsipnya, dalam kasus-kasus pertikaian pelaksanaan yurisdiksi, Mahkamah mensyaratkan adanya persetujuan para pihak dalam sengketa. Menurut Pasal 36 ayat 1 Statuta, Mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap semua perkara yang diajukan oleh para pihak bertikai. Pengajuan tersebut biasanya dilakukan dengan memberitahukan suatu perjanjian bilateral yang dinamakan compromis.

[2] Kewenangan untuk memberi Opini-opini Nasihat (advisory opinion)
Advisory Opinion ini adalah hak Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB atas Mahkamah Internasional. Selain dua pihak ini, organ-organ lain dari “keluarga” PBB, dengan izin Majelis Umum, juga berhak meminta Mahkamah untuk memberikan Opini-opini Nasihat tentang persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam lingkup aktivitas mereka. Dan Opini-opini Nasihat ini hanya dapat diupayakan atas persoalan hukum, baik konkret maupun abstrak.

c. Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Organisasi-organisasi Internasional atau Organisasi-organisasi/Agen-agen Regional

Organisasi-organisasi Internasional dan Badan-badan Regional secara historis telah sangat kontributif dalam hal penyelesaian sengketa internasional. Secara umum, peran Organisasi-organisasi Internasional dan Organisasi-organisasi/Agen-agen Regional ini bisa dipetakan sebagai berikut:

--Di Era Liga Bangsa-Bangsa

Pasal 15 Perjanjian LBB telah merekomendasikan penggunaan metode-metode Politik/Diplomatik Klasik untuk penyelesaian sengketa internasional, semisal penyelidikan, mediasi dan konsiliasi. Dalam menyelesaikan sengketa internasional, LBB berpegang teguh pada dua faktor, yaitu faktor waktu dan faktor advisory opinion.

LBB telah banyak sukses menyelesaikan sengketa-sengketa internasional, seperti sengketa antara Yunani dan Bulgaria tahun 1926, juga sengketa antara Swedia dan Finlandia tahun 1923.

--Di Era Piagam PBB

Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan internasional tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi:

“To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace”.

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam PBB.

Pada sejarahnya, PBB selaku Organisasi Internasional yang memiliki otoritas besar di dunia internasional telah banyak berkontribusi dalam upaya-upaya perdamaian dunia dan penyelesaian sengketa-sengketa internasional. PBB terbukti telah banyak sukses menyelesaikan sengketa-sengketa internasional, meski dalam beberapa sengketa juga harus diakui bahwa PBB belum bisa menyelesaikannya.

--Peran Badan-badan dan Kelompok-kelompok Regional dalam Penyelesaian Sengketa Internasional

Piagam PBB telah menegaskan secara khusus di salah satu pasalnya yang berkenaan dengan Organisasi-organisasi regional tentang otoritas Badan-badan/Kelompok-kelompok Regional untuk melakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional selama upaya-upaya ini sesuai dengan yurisdiksinya dan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.

PBB sendiri juga telah menghimbau negara-negara anggota PBB, untuk berupaya maksimal dalam pemecahan sengketa-sengketa regional sebelum mengajukannya kepada Dewan Keamanan PBB (Pasal 52/2). Dan bahkan ayat (3) dari pasal yang sama menekankan kepada DK-PBB untuk men-support upaya-upaya Badan-badan/Kelompok-kelompok Regional dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang berpengaruh pada stabilitas internasional.

Dan Badan-badan/kelompok-kelompok Regional juga tak bisa dinafikan dalam upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional. Seperti pada rentang tahun 1983-1988, ada upaya-upaya dari tiga kelompok regional di Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang ditujukan untuk mencapai penyelesaian-penyelesaian secara damai di regional Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kelompok-kelompok Regional tersebut adalah Kelompok Cantadora (Menteri-menteri Luar Negeri dari Kolombia, Meksiko, Panama, dan Venezuala), Kelompok Amerika tengah (Menteri-menteri Luar Negeri Costa Rica, Honduras, Guate, Ala, El Salvador, dan Nikaragua), dan berikut Kelompok Pendukung (Menteri-menteri Luar Negeri Argentina, Uruguay, Brazil dan Peru).

2. Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan

Apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak bisa ditempuh, maka pemecahan yang mungkin diuapayakan adalah dengan jalur kekerasan/paksaan. Prinsip-prinsip dan metode-metode dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah:

a. Perang dan Tindakan bersenjata Non-Perang

Perang pada umumnya bertujuan untuk menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukkan itu tidak memiliki alternative lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata, yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan dalam tahun-tahun terakhir.

Contoh-contoh tindakan bersenjata non-perang ini adalah: Permusuhan yang berlangsung di Korea tahun 1950-1953, yang berakhir dengan Perjanjian Gencatan Senjata (Armistice Agreement) tanggal 27 Juli 1953, selain itu, Pergolakan di Indo-China 1947-1954, dan juga konflik di sekitar zona Terusan Suez yang melibatkan Israel, Mesir, Perancis, dan Inggris pada tahun 1956. Semua kasus-kasus ini tak satupun yang ditetapkan dalam kondisi perang.

b. Retorsi (Retorsion)

Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara-negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam tindakan-tindakan yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalkan dengan merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan privilage-privilage diplomatik, atau penarikan diri dari konsensi-konsensi fiskal dan bea.

c. Tindakan-tindakan Pembalasan (Repraisals)

Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan.

Contoh Repraisals di antaranya adalah ketika terjadi pengusiran orang-orang Hungaria dan Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas dendam terhadap tuduhan tanggung-jawab Hungaria untuk pembunuhan Raja Alexander dari Yugoslavia di Marsailles. Atau juga pemboman udara yang diprakarsai Amerika Serikat atas sasaran-sasaran di dalam wilayah Libya pada tanggal 15 April 1986, sebagai pembalasan yang sah terhadap apa yang disebut sebagai kekejaman yang tidak pandang bulu oleh Libya terhadap orang-orang Amerika sebelumnya.

d. Blokade Secara Damai (Pacific Blocade)

Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai, kadang-kadang digolongkan sebagai suatu tindak pembalasan. Tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

Contoh Blokade yang dilakukan dalam rangka mengakhiri kerusuhan, atau untuk menjamin pelaksanaan yang semestinya atas traktat-traktat, atau untuk mencegah terjadinya perang adalah seperti dalam kasus blockade atas Yunani pada tahun 1886 untuk menjamin dilucutinya senjata pasukan-pasukan Yunani yang dihimpun di dekat perbatasan, dan dengan cara demikian akan menghilangkan kemungkinan konflik atas Turki.

e. Intervensi (Intervension)

D. Hukum-hukum Perang (Hukum Kekuatan Militer)/(The Laws of War (The Law of Armed Conflicts)/Qawânin al-Harb (Qawânin al-Nizâ’ât al-Masallahah)

1. Sejarah dan Usaha Pembentukan Hukum Perang

Dalam kaidah Hukum Internasional tradisional, penggunaan kekuatan telah diperbolehkan untuk mengatasi persengketaan-persengketaan yang terjadi antar negara. Penggunaan kekuatan ini merupakan bentuk upaya-upaya untuk memperoleh hak-hak tertentu (termasuk hal-hal yang tidak legal) dan untuk menghindari ancaman-ancaman dari pihak lain. Bahkan dalam beberapa konteks, penggunaan kekuatan diidentikkan sebagai lambang kedaulatan penuh.

Tapi pada perkembangannya, penggunaan kekuatan dan senjata terbukti merupakan marabahaya besar bagi stabilitas dan keselamatan masyarakat internasional. Di titik inilah komunitas internasional mulai melakukan beberapa upaya-upaya pereduksian atas kebiadaban dan kebrutalan perang. Terhitung sejak terjadinya Perang 30 Tahun di rentang tahun 1618 hingga 1648, mulai diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus terhadap pimpinan dan tentara perang, serta beberapa ketentuan-ketentuan lainnya yang kemudian diadopsi menjadi ketentuan-ketentuan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengikat bagi setiap negara. Di masa inilah bermunculan beberapa literatur yang mewacanakan tentang Perang dan Perdamaian, dan upaya-upaya untuk mereduksi kebiadaban dan kebrutalan perang dengan memberikan pandangan-pandangan dari perspektif kemanusiaan, keagamaan, keamanan dan keselamatan.

Awal abad ke-19 adalah era penting dari legalisasi Hukum Perang, di masa ini kaidah-kaidah yang lahir di rentang Perang 30 Tahun yang sebelumnya hanya bersifat mengikat dari perspektif kemanusiaan, keagamaan, keamanan, dan keselamatan, mulai diberlakukan sebagai kaidah-kaidah hukum tradisi yang legal, yang pada perkembangannya, seiring dengan perkembangan otoritas negara, perkembangan kodifikasi hukum, dan ditambah dengan menguatnya otoritas kaidah-kaidah hukum agama, khususnya kaidah-kaidah Hukum Islam, pilar-pilar Hukum Perang yang lahir di rentang Perang 30 tahun inipun semakin mengalami perkembangan dari sisi kekuatan hukumnya, yakni lewat upaya-upaya pengkodifikasian beberapa kaidah Hukum Perang, baik dalam format konvensi-konvensi, konferensi-konferensi, maupun traktat-traktat.

Traktat-traktat, Konferensi-konferensi, dan konvensi-konvensi tersebut antara lain adalah: Deklarasi Paris 1856, Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Luka-luka di Medan Perang, Deklarasi St. Petersburg 1868, Konvensi The Hague 1899 dan 1907, Protokol Perang Gas dan Bakteriologis Jenewa 1925 (yang ditambah dengan Konvensi 1972 tentang Larangan Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan Senjata-senjata Bakteriologi dan Penghancurannya), Protokol Ketentuan-ketentuan Kapal Selam 1936, Empat Konvensi Palang Merah Jenewa 1949, dan Protokol I dan II tahun 1974.

2. Hukum Perang selaku Hukum Humaniter (Internasional/International Humanitarian Law/Al-Qânûn al-Dauly al-Insâny)

Dalam logika dan pendekatan klasik, Hukum Perang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Konvensi Jenewa dan Konvensi The Hague. Titik tegas komparasi antara dua konvensi ini adalah bahwa Konvensi Jenewa banyak concern di bidang perlindungan individu atas ancaman kekuatan militer, sementara Konvensi The Hague menekankan concern pada aspek kepastian implementasi peraturan-peraturan antar negara pada segmen implementasi langsung dari kekuatan militer tersebut. Dan klasifikasi ini adalah klasifikasi baku yang secara umum diadaptasi oleh semua kalangan, meskipun pada Konferensi Jenewa tentang Hukum Humaniter Internasional tahun 1974-1977, ada beberapa peserta konferensi mencoba “mengutak-atik”/melanggar beberapa konsep Konvensi dan mencoba mensubstitusinya dengan konsep Konvensi The Hague, hal ini banyak tergambar dari pidato dan statemen dari beberapa delegasi, seperti delgasi dari Perancis, Iraq, Polandia, Amerika Serikat, Yugoslavia dan lain-lain.

Konvensi Jenewa terformat di Jenewa sejak tahun 1864, dan pertama kali muncul sebagai bentuk perlindungan atas beberapa kelompok individu tertentu. Konvensi ini ditanda-tangani tahun 1906. Sementara Konvensi The Hague terformat di St. Petersburg tahun 1868 ketika beberapa projectiles semisal Roket, dan lain-lain dilarang. Terkait hal ini, ada dua konferensi yang dilaksanakan di Hague, yaitu pada tahun 1899 dan 1907.

Pada hakikatnya, Hukum Humaniter Internasional adalah Hukum Perang itu sendiri. Dan pada sejarahnya Hukum Humaniter Internasional ini terbentuk untuk mereduksi kebiadaban dan kebrutalan perang seperti halnya Hukum Internasional. J.G. Starke menyebutkan bahwa akar sejarah ini bermula dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan-ketentuan hukum yang telah di kenal sejak abad pertengahan, di saat pengaruh agama Kristen dan semangat sikap satria pada zaman itu berpadu untuk membatasi ekses-ekses dari pihak-pihak yang berperang.

Adapun tujuan pokok dari kaidah-kaidah hukum ini, seperti disebutkan J.G Starke adalah untuk alasan-alasan perikemanusiaan, guna mengurangi atau membatasi penderitaan indivudu-individu, serta untuk membatasi kawasan di mana konflik bersenjata diizinkan. Karena itulah Hukum Humaniter Internasional kerap disebut sebagai Hukum Perang Humaniter (Humanitarian Law of War), atau Kaidah-kaidah Hukum Perang yang Berperikemanusiaan (Humanitarian Warfare).

3. Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata

Ada beberapa akibat dari pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata, baik yang terjadi secara legal maupun ilegal. Akibat-akibat tersebut bisa dikelompokkan sebagai berikut:

1. Akibat Pecahnya Perang dan konflik bersenjata terhadap Negara-negara yang Berperang:

a. Putusnya Hubungan Diplomatik
b. Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata berpengaruh pada Perjanjian-perjanjian sesuai dengan jenis dan kapasitas Perjanjian tersebut. Misalkan pada Perjanjian-perjanjian yang tidak akan berlaku kecuali pada kondisi damai semisal Perjanjian Politik, dll, maka pada rentang terjadinya perang, Perjanjian ini tidak berlaku.

2. Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata terhadap warga negara yang memerangi, warga negara musuh yang sedang berada di teritori negara yang memerangi, maupun warga negara-negara tetangga dari negara-negara yang berperang yang sedang berada di teritori negara yang sedang berperang.

a. Pada masa-masa perang, warga negara yang memerangi tetap tunduk pada Hukum Domestik negara tersebut, dan tidak tunduk pada kaidah Hukum Internasional.
b. Sedangkan warga negara musuh yang diperangi, yang sedang bermukim di teritori negara-negara yang memerangi, dilindungi hak-hak dan kebebasannya sesuai dengan kaidah-kaidah tradisi Hukum Internasional.
c. Adapun warga negara-negara tetangga dari negara yang berperang yang sedang berada di teritori negara yang sedang berperang, tetap tunduk pada Hukum Domestik negara yang sedang dimukimi. Jadi sama konteksnya dengan masyarakat negara yang memerangi di poin [a]

3. Akibat Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata terhadap Properti, baik Properti Negara maupun Properti Privat.

a. Terhadap properti negara yang memerangi, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, boleh disita, terkecuali properti-properti dan akta-akta properti diplomatik negara musuh yang sedang diperangi. Properti-properti dan akta-akta properti ini bahkan harus dalam pengawasan negara-negara tetangga dari negara yang memerangi tersebut. Sementara yang terkait dengan Utang Negara, sama sekali tidak boleh disita, karena ia tunduk pada perjanjian-perjanjian baku yang berdasar pada asas praduga tak bersalah.
b. Sementara terhadap Properti Privat, ada dua ketentuan:
-Terhadap properti privat milik warga negara musuh yang sedang diperangi, baik yang sedang berada dalam wilayah teritori negara yang memerangi, maupun yang sedang berada di luar teritori negara tersebut, baik itu properti privat bergerak maupun tidak bergerak, atau berupa utang privat, kesemuanya tidak bisa untuk disita. Ini sesuai dengan yang tertulis dalam beberapa Perjanjian dan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Tradisi Hukum Internasional.
-Sementara terhadap properti privat milik warga negara-negara tetangga yang sedang bermukim di negara yang sedang berperang, maka ketetapannya sama dengan properti privat milik warga negara asli negara yang sedang berperang tersebut, bahwa negara yang sedang berperang berhak untuk menguasai proverti privat tersebut dalam keadaan darurat militer, atau untuk tujuan-tujuan militer, dengan catatan harus mengembalikannya kepada pemiliknya setelah kondisi darurat tersebut berakhir.

4. Tentang Netralitas, Kuasi-Netralitas dan Ketidak-terlibatan Perang

Dalam segala konteks peperangan yang terjadi antara negara, baik perang dalam pengertian tradisonal, maupun perang dalam pengertian konflik-konflik senjata non-perang, terdapat dua macam status para pihak yang berada di luar lingkup hubungan peperangan tersebut. Baik [a] status netral (netrality) dalam perang sesungguhnya, dan [b] Status ketidak-ikut-sertaan dan ketidak-terlibatan negara-negara atau kesatuan-kesatuan non-negara dalam suatu konflik non-perang. Dan status dalam poin [b] inilah yang disebut sebagai netralitas.

Lebih jelasnya, dalam pengertian populer netralitas menunjuk pada sikap suatu negara yang tidak berperang dengan pihak-pihak yang terlibat perang dan tidak ikut serta dalam permusuhan-permusuhan.

Sementara Kuasi-Netralitas dan Ketidak-terlibatan Perang adalah kondisi di mana negara-negara atau kesatuan-kesatuan non-negara, tidak turut serta dalam konflik bersenjata “non-perang” memiliki status yang masih harus ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum internasional.

E. Epilog; Di Mana Peran Kita, Pasca Teori dan Sampel Kasus?

Pola interaksi masyarakat dunia memang tak lepas dari konflik kepentingan (conflict of interest) yang kebanyakan berujung pada persengketaan. Terlebih di era globalisasi seperti sekarang yang benar-benar menjadikan interaksi dunia seperti berlangsung di “a small village.”

Dengan mengeksplorasi ulang teori-teori dasar dan sampel kasus seputar sengketa internasional, metode-metode penyelesaian, berikut teori-teori terkait seputar Hukum Perang, dan lain-lain ini, semoga bisa menumbuhkan stimulan positif untuk mengekspansi nalar solutif terhadap persengketaan-persengketaan di segenap teritori dunia, baik yang “kasat mata” maupun tidak.

Di batas teritori dan nasionalisme terdekat, kita menyaksikan realita konflik Israel-Palestina atau konflik Israel-Arab secara umum, yang telah menahun dan belum juga menemukan titik-terangnya; Kita menyaksikan realita bahwa Indonesia berkali-kali “kalah” dalam beberapa sengketa teritori atau sengketa lainnya; Kita juga menyadari realita bahwa Indonesia, sebagai salah satu negara muslim non-Arab dan berdemokratisasi terbesar di dunia, dan sebagai negara yang sangat potensial, baik secara geopolitik maupun geostrategic, untuk menjadi penengah bagi segala konflik-konflik yang telah mengakar di Timur-Tengah.

Realita-realita tersebut, seyogyanya memang semakin menuntut relevansi pengembangan nalar-nalar solutif kita bersama terhadap persengketaan-persengketaan tersebut, dengan bekal sekelumit eksplorasi teori-teori dasar dan sampel kasus sederhana ini.

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 6:33 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home