FILSAFAT HUKUM; ADAKAH SEBUAH KEBENARAN MUTLAK? (A BRIEF STUDY ABOUT PHILOSOPHY OF LAW)

The Judge's oath requires him to judge according to the law, not according to his pleasure. — Plato, Apology
Bayangkan apabila dalam suatu negara, hukum berjalan tidak sebagaimana mestinya. Bayangkan apabila para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim (termasuk juga pengacara) bebas melakukan KKN. Bayangkan apabila orang-orang yang benar secara hukum namun tak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, harus berperkara dengan golongan berduit yang bisa mempermainkan hukum seenak perutnya. Bagaimana jadinya "rupa" suatu negara yang hukum dan peradilannya dikorup oleh para penguasa jabatan dan penguasa ekonomi? Indonesia akan mengalami hal tersebut jika hukum dan peradilan di negeri ini tidak segera dibenahi. Ekonomi jadi morat-marit, kerusuhan bertebaran, kriminalitas di mana-mana, pemerintahan gunyang-ganjing, demonstrasi setiap hari, dan ujung-ujungnya negara ambruk di segala bidang.

"Hukum sebagai Panglima" -meminjam istilah judul buku yang mengungkit fenomena ini yang di karang oleh Prof. Kharles Himawan, namun diterbitkan setelah beliau wafat-, menjadi ancaman bagi tatanan sosial suatu masyarakat. Karena itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Kharles Himawan (orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor hukum di Harvard University) Pendidikan hukum harusnya mendidik calon-calon ahli hukum untuk berpikir secara analistis dan agar mempunyai "insight" terhadap masalah-masalah hukum. Calon ahli hukum harusnya tidak sekadar dididik menghafal pasal dan ayat. Namun, intisari sesungguhnya yang menjadi dasar bagi penegakan (semua jenis) hukum yang bersih dan berakhlak ialah pada filsafat hukum.

Praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis (Mantan Mahasiswanya di UI) berkomentar dalam buku itu: "…. filsafat hukum sudah semakin tak berharga, kita akhirnya hanya melihat ahli-ahli hukum yang cerdas dalam mengotak-atik UU dan peraturan, tetapi tak mengerti akan keadilan. Lihat saja, ada lawyer yang sangat pakar, tak pernah kalah berperkara, dan hafal di luar kepala segala peraturan dan UU hingga seluruh rambutnya memutih. Namun di kedalaman nuraninya ia tidak memiliki rasa keadilan. Manusiawikah dia? Bukan mustahil dengan kepakarannya dia akan memelintir hukum semau dia tanpa memikirkan kepentingan masyarakat banyak..."

Dengan anggapan soal etika-filsafat hukum yang demikian penting itu, maka sangatlah penting bagi kita sebagai mahasiswa Law and Jurisprudence –maaf tidak saya cantumkan Islamicnya, demi orientasi kajian kita, dari Konvensional menuju Syariah- untuk membahas tentang etika-filsafat hukum.

Flash Back Filsafat Hukum: Studi Awal Menuju Teori

Belajar dan memahami filsafat hukum adalah semacam kecintaan menjadi intelektual murni, dalam arti “ilmu untuk ilmu”. Mengapa? Karena dari hampir seluruh pemikiran, mengandaikan pemiliknya demikian adanya. Sebuah posisi yang jelas, aturan berpikir dan ungkapan jiwa yang disiplin. Ia bukan “aparat” yang menghakimi, tetapi “pemikir” yang menghakimi. Pertentangan pemikiran filsafat hukum dapat menjadi suatu perseteruan ilmiah jika tidak dilakoni dengan proporsional. Akan tetapi pertentangan ini akan menjadi "ompong" manakala ia sudah menjadi perseteruan ilmiah. Di sinilah bias kecurigaan motivasi politik mengalahkan “kesucian” intelektual. Pertanyaannya: apakah yang menjadikan sebuah teori—hanya sebuah teori—tentang hukum begitu menyita waktu penguasa atau pemerintah, menguras energi intelektual para akademisi yang mereka miliki? Pertanyaan ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menggambarkan dan memaparkan aplikasi hukum. Tetapi, pertanyaan itu sendiri hanya bisa dijawab secara proporsional dengan “membaca” Filsafat Hukum dalam konteks historis perkembangan ilmu hukum beserta mazhab-mazhabnya, yang dapat kita tarik jauh ke belakang ke masa-masa Hegel, Thomas Aquino, bahkan hingga ke masa Plato dan Aristoteles. Oleh karena itu, berikut ini saya mencoba memaparkan intisari pertentangan dalam ilmu hukum dalam perkembangan sejarahnya:

Plato yang idealis-normatif, Aristoteles yang realis-empiris. Kendati ini sangat berkesan penyederhanaan, tetapi pertentangan berbagai mazhab dan doktrin hukum dari dulu hingga sekarang sebenarnya bersumber dari pandangan kedua filosof Yunani ini. Berbagai penamaan atas berbagai aliran yang tumbuh setelah itu hanyalah sekadar turunan dari dua induk besar itu, dan di sana sini saling berhadap-hadapan kacau karena ada yang kemudian berubah haluan, ada yang menambahkan dan mengurangi seiring perjalanan waktu. Ada doktrin kontraktual dengan pengikut seperti Hobbes, Locke, dan Montesquieu, yang berlawanan dengan doktrin organik dengan pengikut semisal Burke, Hegel, dengan guru besarnya Plato. Ada mazhab etnologis dan historis, ada mazhab legisme (hukum sama dengan undang-undang). Ada paradigma positifis legalistik formal, ada paradigma kritis-normatif. Ada tradisi Anglo-Sakson dengan common law, ada tradisi Kontinental dengan civil law. Ada lagi aliran Teori Hukum Kodrat berlawanan dengan aliran Positivisme Hukum. Berbagai pertentangan itu kemudian menggumpal pada pilihan atas dua ciri dasar hukum: keadilan dan kepastian.

Inti dari keseluruhan perdebatan sepanjang zaman ini adalah gugatan terhadap epistemologi hukum: asal-usul, hakikat, dan pengetahuan dan ilmu hukum itu sendiri.

Filsafat Hukum dalam Teori, Korelasi, Urgensi dan Orientasi

Menurut teori hukum Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam dibahas dalam hubungannya dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan. Beberapa definisi kepustakaan tentang filsafat hukum adalah sebagai berikut:
a. Sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaran-penalarannya tidak dapat diuji secara rasional (I. Tammelo)
b. Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang benra, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen)
c. Sebagai refleksi atas dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berfikir itu sendiri dan yang mencari hubungan teoretikal terefleksi, yang didalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen)
d. Sebagai disiplin yang mencari: pengetahuan tentang hakikat (sifat) dari keadilan; pengetahuan tentang bentuk keberadaan transenden dan imanen dari hukum; pengetahuan tentang nilai-nilai yang didalamnya hukum berperan tentang hubungan antara hukum dan keadilan; pengetahuan tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum; pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay)
Menurut mereka filsafat hukum memiliki telaah sebagai berikut:
a. Ontologi Hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral
b. Aksiologi hukum, penentuan isi dan nilai –seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan lain-lain
c. Idiologi Hukum (ajaran idea)
d. Epistimologi Hukum (ajaran pengetahuan), -bentuk meta filsafat
e. Teleologi hukum, hal menentukan makna dan tujuan hukum
f. Ajaran Ilmu dari Hukum, meta-teori dari ilmu hukum
g. Logika hukum

Hasil dari penalaran Filsafat hukum tidak dapat diuji secara empirik untuk keseluruhannya, dan secara rasional untuk sebagiannya. Penalaran filosofis sendiri memang harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logical dan terbuka bagi diskusi rasional.

Sementara menurut teori Hukum JJH. Bruggink, filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat Hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, juka saking fundamentalnya sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalahnya melampaui kemapuan berikir manusia. Filsafat hukum akan melupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang terhadapnya hanya data diberikan jawaban yang menimbulkan banyak pertanyaan baru.

Penetapan tujuan filsuf hukum adalah murni teoretikal dan juga pemahaman teoretikal ini penting untuk praktek hukum, arena praktek hukum itu selalu dipengaruhi (turut ditentukan) oleh pemahaan tentang landasan kefilsafatan hukum. Perfekstif filsuf hukum adalah internal. Ia dalam diskusi hukum justru ingin membuktikan pandangan-pandangan pribadinya sendiri, berkaitan erat dengan nilai-nilai yang ada pada landasan kaidah hukum. Akhirnya tiap filsafat hukum tersusun atas proposisi-proposisi normative dan evaluatif, walaupun proposisi-proposisi informative juga ada di dalamnya.

Sementara itu Prof Dr. Satjipto Rahardjo, berpendapat bahwa pembahasan filsafat hukum mempersoalkan hal-hal yang bersifat dasar dari hukum. Menyoal hakikat hukum, juga tentang dasar bagi kekuatan mengikat suatu hukum. Filsafat hukum mendudukkan hukum sebagai fenomena universal, sedangkan kajian hukum positif membahas hukum sebagai bagian dari tatanan hukum tertentu dengan mempertanyakan konsekuensi logis asas, peraturan, bidang dan system hukumnya sendiri.

Dalam tataran yang lebih nasionalis lagi (baca: Indonesia) Suko Wiyono, seorang Dosen di Univeritas Negeri Malang dalam abstraksi artikel yang ditulisnya menyatakan bahwa filsafat hukum merupakan sumber ajaran normatif hukum, dinamakan demikian karena kajian tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Sehingga filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM. Landasan filsafat negara sangat menentukan bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun Pancasialis. Pancasila sebagai philosophiskhe gronslag bangsa Indonesia merupakan dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar dari hukum dan praktek hukum di Indonesia.

Masih mengenai definisi filsafat hukum dalam ensiklopedi berbahasa Inggris kita akan menemukan sebuah pengertian dimana The Philosophy of Law is "The formulation of concepts and theories to aid in understanding the nature of law, the sources of its authority, and its role in society." Filsafat hukum adalah sebuah formulasi dari konsep dan teori-teori –hukum- yang ada untuk membantu pemahaman terhadap hukum yang hakiki, sumber dari yang hakiki itu, dan ialah satu-satunya –aktor- penegak hukum di tengah komunitas masyarakat.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa di Negara-negara yang berbahasa Inggris, terma "jurisprudence" atau ilmu hukum seringkali digunakan sebagai sinonim dalam terma filsafat hukum, akan tetapi terma jurisprudence ini jarang sekali digunakan sebagai referensi dalam prakteknya. Karena, untuk eksistensi sebuah jurisprudence dalam realita prakteknya membutuhkan beberapa hubungan ataupun persinggungan dengan filsafat secara umum. Karena besarnya kontribusi yang diberikan dalam perkembangan hukum dari masa ke masa. Sebuah ideology ataupun pemikiran para intelektual bisa jadi akan menerangi keputusan hukum seorang hakim, dan hal ini tidak akan pernah terjadi kecuali jika sang hakim tidak menerapkan filsafat hukum dalam sistematika penalaran hukumnya, baik secara tekhnical maupun konsep.

Lalu apakah korelasi antara filsafat hukum dengan teori hukum itu sendiri sehinggga bebera kalangan menganggap pentingnya penguasan dan penjiwaan filsafat hukum bagi para penegak dan pemikir hukum. Masih menurut Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, hubungan filsafat hukum dan teori hukum adalah sebagai berikut:

a. Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatika Hukum, maka Dogmatika Hukum, maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
b. Secara structural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika Hukum terhadap Teori Hukum
c. Filsafat Hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
d. Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari Teori Hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran Ilmu dari Teori Hukum
e. Filsafat Hukum sebagai Ajaran Ilmu dari Teori Hukum dan sebagai Ajaan Pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum disini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dari Teori hukum itu sendiri sebagai objek studi.

Dari hal diatas dapatlah disimpulkan bahwasannya hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (Filsafat Hukum) terhadap disiplin objek (teori Hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriteruanya sendiri, yang keberadannya sendiri di diskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar criteria umum, yang diterima oleh setiap orang.

Selanjutnya yang tersirat di benak kita tentunya adakah hubungan antara filsafat hukum dengan kekuasaan? Jawaban pertanyaan hal ini tentunya dapat kita tinjau melalui tataran teoritis hubungan hukum dan kekuasaan dimana antara keduanya saling mempengaruhi, hukum ada karena dibuat penguasa yang sah dan sebaliknya perbuatan penguasa diatur oleh hukum yang dibuatnya. Namun apabila terjadi pertentangan maka energi hukum sering kalah kuat dengan energi kekuasaan. Akibatnya model hukum sangat tergantung pada tipe kekuasaan. Dalam kekuasaan yang bersifat otoriter akan melahirkan hukum yang bersifat konservatif dan ortodok. Sebaliknya dalam kekuasaan yang demokratis akan melahirkan hukum yang bersifat responsif dan populis.

Perkuliahan filsafat hukum baik di Indonesia maupun di dunia bertujuan untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang hakikat hukum. Dalam kuliah ini akan diberikan materi tentang definisi dan faktor penyebab timbulnya filsafat hukum, landasan dasar dan ruang lingkup serta objek filsafat hukum, tujuan hukum dan filsafat hukum, fungsi dan peranan serta tugas filsafat hukum, terbentuknya hukum dan bentuk-bentuk hukum, sumber-sumber dan asal mula filsafat hukum, filsafat hukum pada berbagai masa, beberapa aliran dalam filsafat hukum, beberapa permasalahan dalam filsafat hukum. Dengan dijiwai-nya filsafat hukum oleh akan mempengaruhi formulasi kita dalam menciptakan practical objectives for the movement, yaitu lebih efektifnya sebuah legislasi dan pelaksanaan undang-undang, juga professional dalam pelaksanaannya.

Filsafat Hukum dalam Sejarah, Madzhab dan Ajaran


Fisafat Hukum berdasarkan sejarah terbagi menjadi Filsafat Hukum Antik dan Abad Pertengahan dimana para pionernya adalah Plato, Aristoteles, Cicero, Agustinus, Thomas Aquinas dan lain-lain. Kemudian Filsafat Hukum Modern yang mana dipelopri oleh Hobbes, Locke, Kant, dan lain-lain.

Sementara Filsafat Hukum berdasarkan philosophical schools and philosophical outlooks ada Logical Positivism (filsafat logika positif) dimana digunakan untuk menganalisa problematika hukum dalam tataran struktur hukum itu sendiri, bersamaan dengan itu juga digunakan untuk menganalisa eksistensi sebuah problematika sosiologi hukum ataupun ketetapan hakim. Selain itu dikenal juga adanya Filsafat Hukum Neo-Skolastik sebuah filsafat yang mengkaji dan membahas mengenai hukum kodrat. Disamping masih ada yang lain-lainnya diantaranya yaitu Filsafat Hukum Marxisme dan Neo Marxisme.

Hukum adalah kebenaran: Law is Legality

"The hard fact is that sometimes we must make decisions we do not like. We make them because they are right, right in the sense that the Law and the constitution, as we see them, compel the result" –Justice Kennedy Concurring, Texas V. Gregory Lee Johnson

Dalam filsafat hukum terdapat dua dimensi kebenaran. Pertama, kebenaran material, dimana We attain truth when our thinking (judgement) corresponds with reality, sebuah pernyataan adalah benar jika sesuai dengan kenyataannya. Kedua, kebenaran formal, dimana pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar. It marks the extent and limitation of our thinking powers, kekuatan pikiran kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan.

Sementara menurut Immanuel Kant ethical and jurisprudential reasoning adalah sebuah landasan ataupun dasar pemikiran dimana konsep-konsep social sebenarnya berdasarkan pada ideology yang diutamakan, dimana konsep-konsep tersebut dapat dengan mudah tercipta dengan sendirinya dari nurani dan insting setiap individu tanpa ada rekomendasi atau keharusan untuk melalui percobaan maupun penelitian.

Law is Realism: Kritik Terhadap Filsafat Hegel

Salah seorang filosof hukum terkenal adalah Hegel Heinrikh Heine. Ada sebuah pernyataan Hegel yang cukup terkenal mengenai kenyataan bahwa hukum itu adalah sebuah realita, keharusan. Ya, Law is a Realism.

Hegel mengungkapkan bahwa segala sesuatu yang real adalah rasional; dan segala sesuatu yang rasional adalah real. Pernyataan itu merupakan pembenaran yang nyata terhadap segala sesuatu yang ada, doa-restu filsafat yang dilimpahkan kepada pemerintahan, polisi, dan sidang-sidang. Dan ini yang akhirnya difahami dan diterapkan oleh Friedrikh Wilhelm III dan Rakyatnya. Akan tetapi, tentunya menurut Hegel pastilah bukan segala sesuatu yang ada adalah nyata, riil, tanpa kualifikasi lebih lanjut. Bagi Hegel sifat attribute realita terdapat hanya pada apa yang sekaligus adalah keharusan: dalam proses perkembangannya realita terbukti adalah keharusan. Sebagai contoh “peraturan pajak tertentu” , bagi Hegel sama sekali bukanlah hal yang riil tanpa kualifikasi, tetapi, keharusan, akhirnya membuktikan bahwa ia adalah juga rasionil. Dan, jika diterapkan pada Negara, dalil Hegel berarti negara ini adalah rasionil, selesai dengan akal dan itu sebuah keharusan. Dan jika demikian, ia kelihatan kepada kita sebagai sesuatu yang jahat, tetapi tetap, meskipun wataknya jahat, ada terus, maka watak jahat pemerintah itu dibenarkan dan dijelaskan oleh watak jahat yang sama yang terdapat pada warganegaranya.

Jadi, menurut Hegel, realita sekali-kali bukanlah sifat (attribute, attribtuut) yang dapat dijadikan sebutan bagi keadaan ihwal tertentu yang mana saja, sosial atau politik, dalam semua keadaan dan pada setiap masa. Hegel menambahkan monarki adalah yang tidak-riil dan revolusi adalah yang riil. Jadi, dalam proses perkembangan, semua yang di masa lampau adalah riil menjadi tidak-riil: kehilangan keharusannya, hak eksistensinya, rasionalnya. Dan pada tempat realita yang sekarat lahir realita baru, yang dapat hidup -secara damai jika yang lama cukup cerdik untuk beradaptasi dengan kekerasan- dalam melawan keharusan itu.

Dengan demikian kita melihat bahwa dalil Hegel berbalik menjadi hal yang berlawanan dengan dialektika-nya sendiri. Segala sesuatu yang riil dibidang sejarah manusia menjadi tidak-rasionil dalam proses waktu, maka itu tidak ratsionil dari segi tujuannya sendiri, sebelumnya telah dinodai oleh irrasional. Dan segala sesuatu yang rasionil didalam fikiran manusia ditakdirkan untuk menjadi riil, betapapun banyaknya ia bertentangan dengan realita yang betul-betul ada.

Sekarang, kebenaran terletak didalam proses pengenalan itu sendiri, didalam perkembangan historis yang lama dari ilmu, yang menaik dari tingkat pengetauan yang lebilh rendah ketingkat yang lebih tinggi tanpa bisa mencapai, dengan menemukan apa yang disebut kebenaran absolut, suatu titik dimana ia tidak dapat maju lebih jauh lagi, dimana ia tidak akan rnempunyai pekerjaan lagi selain daripada bertepuk tangan dan menatap dengan rasa keheran-heranan pada kebenaran absolut yang telah dicapai. Hegel mengakui bahwa pada tingkat-tingkat tertentu pengetahuan dan masjarakat dapat dibenarkan untuk masanya dan keadaannya, tetapi hanya sejauh itu saja.

Konservatisme cara memandang yang semacam itu adalah relatif, yang absolut adalah watak revolusionernya, satu-satunya absolute yang diakui oleh filsafat dialektikanya. Dengan demikian pula kita temukan pada kesimpulan Filsafat Hukum Hegel bahwa ide absolut akan tetap didalam monarki yang berdasarkan pangkat-pangkat sosial yang oleh Friedrikh Wilhelm III diperjuangkan dengan begitu gigihnya bagi warga negaranya, yaitu, didalam kekuasaan terbatas, lunak, tidak langsung dari kelas-kelas yang bermilik yang sesuai dengan syarat-syarat Jerman Borjuis kecil dizaman itu, juga keharusan adanya kaum bangsawan ditunjukkan kepada kita dengan cara yang spekulatif.

Dari sini kita dapat melihat mengapa metode berfikiir yang revolusioner menghasilkan kesimputan politik yang seenaknya. Kesimpulan itu lahir Hegel, yang mana juga seorang seorang Jerman, dan seperti halnja dengan orang se-zamannya, Goethe, mempunyai sedikit kepentingan.

Konsep Hukum Yang Politis

Konsep keputusan dan kedaulatan baru dapat dimengerti secara utuh, jika kita memahami apa itu yang politis (das politische). Dengan konsep yang politis Schmitt ingin mengatasi anggapan umum bahwa politik itu identik dengan negara. Politik tidak identik dengan negara melainkan mendahului negara.

Menurut Schmitt, identifikasi politik dan negara hanya berlaku dalam sebuah momen historis tertentu. Dalam momen itu negara memegang monopoli atas yang politis. Apa itu "yang politis?" Menurut Schmitt adalah distingsi (perbedaan) yang khas politis. Yang menjadi dasar tindakan-tindakan dan motif-motif politis adalah distingsi antara kawan dan lawan. Ada derajat intensitas dari yang politis. Kawan-lawan mendiferensiasikan negara dan negara. Akan tetapi di dalam hubungan internal negara ada derajat intensitas dari yang politis, dimana segala permusuhan terselubung dengan strategi manipulasi dan konspirasi adalah "bentuk parasiter" dari yg politis. Politik meraih originalitasnya jika pertentangan itu merebak secara publik menjadi konflik terbuka yang mengutubkan kelompok-kelompok dan bidang-bidang menjad kawan dan lawan. Baru dalam situasi macam ini, situasi darurat, "kualitas politis" seorang penguasa sebagai yang berdaulat diuji. Situasi itulah momen kreativitas dari setiap tatanan politis dan hukum.

Desisionisme Dalam Filsafat Hukum

Desisionisme adalah pandangan dalam filsafat hukum bahwa setiap hukum berdasarkan pada keputusan-keputusan, yakni keputusan-keputusan yg pada analisis terakhir tidak dapat dikategorikan kedalam norma-norma hukum kodrat maupun norma-norma hukum positif. Dengan kata lain, keputusan itu "tanpa dasar", "tanpa metadiskursus", "tanpa makna asli", dan seterusnya. Keputusan itu sendirilah "dasar terakhir" dari setiap hukum positif. Keputusan selalu merupakan sebuah "lompatan" yang pada akhirnya tak lain daripada sesuatu yg arbiter.

Alasan Desisionisme dalam filsafat hukum adalah dikarenakan dari adanya kesenjangan antara norma-norma umum dan kenyataan konkret, sehingga tanpa keputusan hakim, hukum tetap tidak efektif.

Desisionisme dari Carl Schmitt bukanlah subyektifisme dalam pengambilan keputusan. Keputusan di bidang hukum menurut Schmitt tidak boleh tergantung kepada penilaian-penilaian hakim secara individual, melainkan harus ditempatkan dalam konteks praktis hukum sebagai keseluruhan. Kebenaran keputusan tidak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang benar, melainkan oleh praksis menjalankan keputusan itu sendiri. Keputusan merupakan "fakta telanjang" yg menjadi titik tolak praksis hukum. Suatu keputusan di bidang hukum adalah benar, jika hakim lain juga memutuskan demikian. "Hakim yg lain" ini bukanlah suatu instansi abstrak, seperti komunitas "komunikatif ideal" (Habermas) ataupun "rasio praktis" (Kant), melainkan sesuatu yg empiris; "para rekan sejawat hakim", sebagai mana yang diungkapkan oleh Richards Forners dalam Empirical Theory Of Judicial Behavior.

Hukum Adat Indonesia dalam Tinjauan Filosofis; Contoh Studi Kasus Upaya Menghindari Kegagalan Filsafat Hukum

Van Vollenhoven, seorang ilmuwan belanda dengan pasukan Leidenaar-nya merupakan sebuah kelompoj yang menge-tengahkan teori tentang Adatrekht (Hukum Adat) di Indonesia dengan posisi yang tampak jelas warna Jermanik ala Von Savigny denga volksrekht-nya atau “organic law”. Selain Von Savigny, ada seorang pemikir hukum lain yang jauh lebih membekas pangaruhnya bagi Van Vollenhoven yaitu Hugo de Groot (Grotius). Grotius adalah pemikir produk Zaman Pencerahan yang meneruskan tradisi Hukum Kodrat Stoisme yang dikembangkan lebih lanjut oleh Cicero dan mendapatkan penegasannya pada Thomas Aquinas. Inti ajaran ini adalah bahwa hukum hanya bisa diakui sebagai hukum sejauh menghargai martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Sementara dari Von Savigny, Van Vollenhoven mendapatkan adagium tautologis yang luput dari falsifikasi: di satu pihak, hukum yang sejati hanya “menjadi” hukum bagi orang yang sungguh terlibat dalam suatu komunitas nasional (maupun natif), dan di pihak lain, kebersamaan komunitas itu hanya dapat diketahui dan diperlihatkan oleh adanya akses terhadap pengetahuan akan hukum itu. Bagi Savigny, hukum tidak mungkin diciptakan: tak ada “pembuatan” hukum, yang ada hanyalah “evolusi” nilai-nilai hukum sebagai hasil dari pertumbuhan kesadaran suatu bangsa atau komunitas. Ia tumbuh secara spontan. Hukum (adat) itu, kata Savigny, ist und wird mit dem Volk, ada di tengah-tengah rakyat, dirasakan rakyat setiap hari. Maka, tidak ada undang-undang, tidak ada unifikasi, tidak ada kodifikasi.

Persis hal yang terakhir itulah yang menjadi arah pokok perjuangan Van Vollenhoven pada tingkat operasi-onalisasi pemikirannya di tanah jajahan bernama Hindia Belanda. Bermula dari esai seorang ahli hukum yang idealis, Van Deventer, “A debt of honor” 1899, yang intinya: Belanda semestinya mempunyai komitmen dan kewajiban moral atas daerah-daerah jajahannya di Asia (Hindia Belanda), setelah era eksploitatif VOC sebelumnya. Gayung bersambut, Ratu Wilhelmina yang naik tahta pada tahun itu juga mengumumkan kebijakan Politik Etis pada 17 September 1901. Pada tahun yang sama, Van Vollenhoven dipanggil almamaternya untuk menjadi profesor di Leiden. Salah satu implikasi di bidang hukum dari Politik Etis adalah diberlakukannya kodifikasi dan unifikasi dengan sifatnya yang sangat trans-plantatif dengan dalih masyarakat primitif itu harus di-adab-kan. Mengikuti Von Savigny yang sangat menentang receptio in complexu, pencangkokan hukum asing ke dalam suatu komunitas tertentu, Van Vollenhoven pun melancarkan kritik dan upaya menentang kodifikasi dan unifikasi itu.

Maka, sebagaimana dapat kita saksikan hingga sekarang, kendati telah ada UU Pokok Agraria 1960, praktek hukum kita masih bersifat dualistis. Di satu pihak kita mengakui berlakunya hukum nasional, di pihak lain kita mengakui eksistensi hukum adat. Sebenarnya, ia tidak menolak ide kodifikasi itu, yang ia tolak adalah dinafikannya hukum dan aturan-aturan yang hidup di tengah-tengah rakyat pribumi. Nyata kemudian ia bahkan membuat sebuah model kodifikasi hukum adat itu sendiri.

Ada dua hal yang menjadi inti pemikiran dan kajian Van Vollenhoven dalam kaitan dengan hukum adat di Hindia Belanda, khususnya Indonesia. Pertama, nilai-nilai hukum yang terdapat dalam komunitas masyarakat adat bukanlah pencerminan dari nilai dan hukum Islam. Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada beberapa hal, misalnya, hukum waris Islam, dan hanya terbatas pada beberapa wilayah saja. Kedua, nilai-nilai itu adalah “hidup masyarakat” itu sendiri, jadi menafikan nilai-nilai itu dan menggantikannya dengan nilai atau hukum asing apalagi secara receptio in complexu, sama dengan menafikan kehidupan mereka sendiri. Jelas hal seperti itu sungguh tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan. Untuk lebih mendukung inti kajiannya ini, ia pun membagi hukum adat Hindia Belanda atas sembilan belas lingkungan hukum adat. Dari kedua hal itu, apa sih yang membuat intelektual semisal Lev dan Burns–seolah mewarisi para musuhnya di Utrekht University yang menuduhnya sebagai orang yang dapat dibeli, udang di balik batu, menilai Van Vollenhoven membenci Islam, anti-state, salah arah, agen pemerintah yang melanggengkan politik devide et impera.

Van Vollenhoven memang sudah membawa dalam dirinya beberapa kontradiksi. Pertama, ia menolak kodifikasi dan unifikasi hukum nasional dan menentang transplantasi hukum asing ke dalam pluralitas Hindia Belanda, tetapi di pihak lain ia malah berambisi mengkodifikasi hukum adat itu sendiri. Kedua, ia menolak legisme atau paham positivisme tetapi tidak menolak dualisme hukum, malah berambisi menjadikan hukum adat itu sendiri sebagai hukum positif yang lain di luar hukum positif nasional. Namun demikian, kontradiksi ini tidak relevan dijadikan dasar segala tuduhan di atas. Kontradiksi ini hanya mempertegas “keengganan” Van Vollenhoven memecahkan pertentangan klasik yang terartikulasi dalam Positivisme Hukum versus Hukum Kodrat, keadilan versus kepastian. Ia memang tidak mengetengahkan sebuah teori, pun filsafat hukum, tetapi hanya sebuah ilmu hukum.

Apa dan bagaimanakah implikasinya bagi praktek dan politik hukum bagi Indonesia merdeka? Lebih khusus lagi, apa dan bagaimana relevansinya bagi studi hukum di Indonesia terkini?

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Peraturan Adat tahun 1960 (UUPA 1960), keberadaan hukum adat sama sekali tidak dinafikan baik secara material maupun formal: ada dualisme. Setelah itu, keberadaan hukum adat di atas kertas tampak tidak terakomodir di dalam UUPA itu, tetapi dalam prakteknya tetap saja tidak demikian: dualisme tersembunyi. Pada masa reformasi, keberadaan UUPA itu justru digugat sebagai produk berbau kolonialis. Apa lagi, di zaman di mana hak asasi manusia anak revolusi Prancis ini –baca: Van Vallenhoven- semakin menemukan bentuknya, ide menghidupkan kembali “kearifan lokal”—istilah yang lebih luas dari hukum adat—semakin gencar, terutama setelah keluarnya Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang hak-hak indigenous peoples (masyarakat adat) dan tribal peoples (masyarakat suku).

Apakah relevan mempertimbangkan kembali pemikiran Van Vollenhoven di sini? Secara empiris, itulah yang dilakukan para aktivis hak asasi manusia dewasa ini, dengan didukung beberapa intelektual dan akademisi. Sehingga muncullah kecenderungan mengikuti kelompok Gerakan Studi Hukum Kritis yang bermula di Amerika dengan pasukan Harvard-nya semisal Duncan Kennedy, Roberto M. Unger, dan lain lain. Selain itu, hak asasi manusia itu sendiri pun, sebenarnya mencoba menjembatani paham hukum kodrat dengan positivisme hukum. Nilai-nilai yang diyakini bersumber dari kodrat manusia dalam keutuhannya diperjuangkan untuk diangkat ke tingkat positive legal. Hal ini lebih jelas terbaca pada perjuangan baik anggota maupun aktivis masyarakat adat. Intinya adalah bahwa masyarakat adat memiliki self-identification dan self-determination, hak menentukan jati diri dan nasib sendiri, dan hukum nasional sudah semestinya mengakomodir hal tersebut. Hak itu berimplikasi pada eksistensi mereka baik secara politik, sosial, budaya, terutama ekonomi. Seolah tampak bahwa paham hukum kodrat mengalahkan paham positivisme. Kendati demikian, harus dihindari kerancuan berpikir yang melihat teori Van Vollenhoven sebagai dasar gerakan hak masyarakat adat di Indonesia.

Tidak demikian adanya dengan Gerakan pemberdayaan masyarakat adat yang bahkan terakomodir secara tegas dalam Konvensi ILO 169 (1989) memiliki sejarah dan kepentingan yang lain. Gerakan perjuangan hak asasi untuk masyarakat adat didasarkan pada otonomi individu sebagai person dan individu sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah society. Sedangkan Van Vollenhoven mendasarkan gerakannya, kalau boleh dikatakan sebagai gerakan, berdasarkan motif “ilmu untuk ilmu” dan semacam keresahan intelektual atas “dunia yang hilang” jika perkembangan Islam yang menggeser adat lokal dan ambisi humanisme ala Eropa tidak dibatasi.

Menurut hemat Eddie Sius, ketidakseimbangan dalam melihat pertentangan ini akan mendatangkan masalah baru di masa depan. Tentu saja, pertentangan klasik semakin tidak mendapatkan perhatian intelektual belakangan ini; yang ada hanyalah menghidupkan salah satunya tanpa membahas yang lainnya. Artinya, hampir tidak ada perdebatan ilmiah yang berarti tentang mengapa seseorang meyakini prinsip hukum yang ini dan bukan yang itu. Pada akhirnya, politik hukumlah yang menentukan mana yang lebih dominan dalam prakteknya.

Akhirnya saya berkesimpulan –tentunya masih awal, danmasih bisa dipertentangkan- bahwa dari beberapa ide atau filsafat hukum yang kita ketahui dan pelajari mestinya tidak dihidupkan sebagai “hukum” melainkan sebagai nilai-nilai prapositif yang kemudian terartikulasi di dalam hukum positif. Hanya dengan demikian sajalah kita memperlakukan dan memahami filosof-filosof hukum dan pemikian mereka secara proporsional, sekaligus tidak mengulangi kekhilafan mereka –kegagalan-kegagalan keputusan hukum- diantaranya terjerembab di dalam dualisme, tidak “berderap ke arah yang salah” – menyitir Burns.

Post-Modernisme Filsafat Hukum: Tantangan Kedepan

Praktek hukum yang berlaku di akhir abad ke-20 adalah praktek hukum yang berlandaskan legal-philosophical concepts semisal teori kebenaran yang representative, netralitas, universalitas, and legitimasi. Isi dari kesemua teori diatas adalah sebagai tindak lanjut daripada ajaran yang dilahirkan oleh paradigma kebudayaan Barat. Semuanya merupakan hasil percobaan-percobaan: kita hidup di dunia yang heterogen dan multidimensi, dimana sangat memungkinkan sekali bagi lahirnya keragaman konsep ataupun teori. Oleh karena itu teori hukum hendaknya di adapsi dari percobaan dan pengalaman ini. Kita yakin, tentunya upaya-upaya uji coba material. hukum dimaksudkan untuk merubah dan menciptakan arah orientasi konsep hukum, menjadi creative justice, perspectivist rationality. Dengan syarat tetap berpegang teguh pada teori kebenaran sebagai salah satu filsafat hukum maka proses uji coba ke arah yang lebih baik, dapat menjamin akan positifnya usaha-usaha ini.. Post-Modernitas Filsafat Hukum menegaskan akan pentingnya atau butuhnya kita akan sebuah formula baru dari kebijakan-kebijakan hukum.

Nah, untuk memahami konsep-konsep dan ide-ide baru diatas membutuhkan kita untuk menjawab terlebih dahulu akan beberapa pertanyaan krusial tentang peraturan sikap social masyarakat dan konflik yang ditimbulkan dari multi sikap dan tingkah laku mereka, diantaranya:

• Apa saja yang menjadi principles and standards yang kita sepakati sebagai syarat kehidupan social dapat menjadi harmonis dalam tingkatan intern dan ekstern?
• Mengapa harus prinsip-prinsip dan standar-standar itu?
• Bagaimana kita mengetahui validitas daripada prinsip dan standar itu?
• Apa saja yang menjadi keharusan bagi seseorang agar dapat sama-sama menanggung beban social praxis (kegiatan hidup dan kehidupan)?
• Apakah yang dapat saya -sebagai makhluk yang berinteraksi social-percayai, katakan atau lakukan?
• Penyakit social apa saja yang dapat dikurangi dengan adanya hukum?
• Bagaimana caranya agak hal itu bisa terealisasi?
• Kenapa saya juga ikut bertanggung jawab akan konsekuensi social lingkungan saya?
• Apakah hukum yang dibuat oleh Negara adalah upaya legitimasi untuk pembagian/penentuan dari pada tanggung jawab itu?
• Bagaimana suatu hukum dapat dibentuk untuk merespon keadaan darurat sehingga ada legitimasi dalam prakteknya?
What is good law? ...

Penutup

Obsesi besar (atau ideologi?) yang hendaknya kita miliki sekarang untuk bisa menjadi seorang revolusioner –semoga tidak berlebihan- ialah menegakkan supremasi hukum dan tak pernah berhenti untuk menyuarakannya kepada seluruh bangsa. Jangan pernah menyerah dalam keputus-asaan meskipun realita dilapangan tidak menguntungkan. Meskipun dalam hemat saya kondisi Indonesia beserta segenap SDM-nya terutama di lembaga yudikatif saat ini, dimana terasa musykil dan naif. Akan tetapi harus juga diingat bahwa optimisme adalah saudara kembar dari suksesi. Dan siapa tahu suatu saat nanti Indonesia bisa seperti Singapura yang serba "nyaman" karena sistem hukumnya yang berlaku adil terhadap seluruh lapisan masyarakat. Keadilan yang bermula dari puncak selalu akan menggelinding dengan mudah dan mencapai dasar hingga kedalaman.

Hukum Sebagai Panglima –istilah Prof. Kharles Himawan- sebagaimana yang dikemukakan di awal tadi menjadi setitik harapan di tengah-tengah padang ketiadaan harapan. Meskipun realitas yang berlangsung di Republik ini sepertinya lebih klop dengan judul "Panglima sebagai Hukum". Memang di Indonesia ini "panglima" (jabatan, atasan, pemerintah, senjata, dan lain lain) masih sebagai pemilik, penguasa, dan eksekutor hukum sekaligus.

Namun, hendaknya kita tetap optimistis. Seperti optimisme Prof Kharles Himawan yang sampai akhir hayatnya masih percaya hukum bisa ditegakkan dengan sebenar-benarnya di negeri tercinta ini. Optimisme serupa dulu ditunjukkan pula oleh Socrates saat dijatuhi hukuman mati. Meskipun benar secara hukum, ia tidak menentang vonis (keliru) yang dideritanya. Ia menegakkan hukum (keadilan) dengan caranya sendiri, yang gemanya menerobos melampaui jarak dan waktu. Wallahu a'lam bi ash-Shawab

Referensi:
• Apeldoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta 2001
• Emeritus , John Gilissen Prof. DR. & Prof. DR. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum, Suatu Pengantar, PT. Reflika Aditama, Januari 2005
• Gijssels, Jan & Mark Van Hoecke, Wa is rechtsteorie? Yang kemudian di terjemahkan oleh arif Sidharta, dengan apakah Teori Hukum itu?, laboratorium Hukum FH. Unpar Bandung, 2001
• Partanto, Pius A. & M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Penerbit Arkola Surabaya, Agustus 1994
• Rahardjo, Satjipto, Prof. Dr., Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Karya, cetakan V Bandung 2000,
• Salman S., Otje, Prof. DR. H. R. SH dan Anton F. Susanto, SH., M. Hum, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali) PT Reflika Aditama – Bandung, oktober 2004

NB: Banyak hal yang belum sempat dikemukakan pada makalah kali ini namun setidaknya yang urgen dan hendaknya ditindak lanjuti oleh teman-teman sendiri adalah mengenai tokoh-tokoh filsafat hukum, sejarah perkembangan filsafat hukum, hal ini dikarenakan keterbatasan referensi dan penulis sendiri. Trims!
(By: Ferly Zais)

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 10:53 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home