BAYANG-BAYANG IMPEACHMENT DALAM KASUS CENTURY

Oleh: M. Sulthon Aziz

Sebagai negara yang mengenal Trias Politika, yakni pembagian kekuasaan kepada tiga poros: legislatif, eksekutif dan yudikatif; (yang mana ketiga kekuasaan tersebut tidak boleh melampaui batas kewenangan masing-masing sebagaimana yang telah diatur konstitusi), Indonesia memerlukan adanya checks and balance system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara agar tercipta adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga negara yang lebih powerful dari yang lain, di mana dimungkinkannya terjadi penyalah gunakan kekuasaan.

Dalam sistem pengawasan, terutama dalam pembagian kekuasaan legislatif terhadap eksekutif, kita mengenal salah satu istilah adanya impeachment, yang merupakan mekanisme pengawasan serta perimbangan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang baru. Yang mana di akhir proses tersebut, presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan.

Sebagai implementasi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif, maka DPR sebagai lembaga tinggi negara berhak membuat semacam pansus guna menyelidiki adanya tindakan pelanggaran atau penyalah gunaan kekuasan dalam lembaga eksekutif. Seperti langkah yang diambil oleh DPR RI beberapa waktu lalu dengan membentuk Panitia angket bank Century, yang pada akhirnya disepakati melalui voting, yang sampai pada kesimpulan bahwa adanya penyimpangan dalam penanganan Bank Century. Penyimpangan itu terjadi dari proses merger hingga penyelamatan bank. Kesimpulan ini memilki konsekuensi serius, yakni mengarahkan kemungkinan pemakzulan kepada wakil presiden.

Sesuai dengan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, proses pemakzulan dapat dilakukan apabila presiden atau wakil presiden melanggar hukum sesuai dengan pasal 7A UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Alasan-alasan impeachment adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, menyuap, melakukan tindakan pidana berat lainya atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.”

Usulan pemakzulan harus diajukan oleh dua pertiga anggota DPR RI dan disetujui oleh dua pertiga yang hadir. Langkah berikutnya, pengajuan kepada mahkamah konstitusi. Dan lembaga inilah yang nantinya akan memutuskan apakah tudingan DPR terhadap presiden dan/atau wakil presiden itu bisa diterima atau tidak. Jika diterima dan mampu, maka DPR akan menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil preseden kepada lembaga MPR. Setelah MPR menerima usulan DPR, maka MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usulan-usulan DPR dalam waktu selambat lambatnya 30 hari setelah sejak meneriman usulan tersebut.

Ketatnya prosedur pemakzulan yang diatur dalam UUD 1945 sebenarnya menunjukan bahwa meski dimungkinkan untuk dilakukan, prosedural ini tetap memerlukan proses politik yang luar biasa, menyangkut syarat-syarat yang dicantumkan dalam pasal 7B UUD 1945. Itu sebabnya dalam negara-negara yang sudah matang demokrasinya pun, proses pemakzulan sangat jarang terjadi.

Dalam praktek impeachment yang pernah dilakukan di berbagai negara, diketahui bahwa hanya dalam proses impeachment-lah, berhentinya seorang pemimpin negara dapat dilakukan. Salah satunya presiden Lituania Rolandas paskas, di mana jabatannya berakhir pada 2004. Di negara Amerika Serikat-pun pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap presiden, misalnya pada presiden Andrew Johnson, Richard Nixon dan yang terakhir pada William Clinton. Namun kesemua tuduhan yang dilakukan di Amerika itu tidak berakhir pada berhentinya presiden. Pada kasus Richard Nixon, Nixon mengundurkan diri saat proses impeachment sedang berlangsung sehingga belum sampai pada putusan inti proses impeachment tersebut.

Menyangkut proses pansus Bank Century yang dilakukan oleh DPR, akankah menuju kepada prosedur pemakzulan selanjutnya? Yaitu penyerahan kesepakatan paripurna ke mahkamah konstitusi untuk dilakukan proses di Mahkamah Konstitusi? Dan apabila MK menerima atau menyetujui akan terjadi pemakzulan, atau wakil presiden yang dalam hal ini dituduh telah melanggar hukum sesuai dengan pasal 7A UUD 1945, akankah presiden atau wakil presiden akan mengundurkan diri terlebih sebelum proses selesai seperti yang dilakukan oleh mantan presiden amerikan Richard Nixon ataupun sebaliknya? Kita tunggu saja…

(+) Show All...

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 5:37 AM  

LIKA-LIKU TATA NEGARA DAN TATA BANGSA

Oleh: Heru Purnama Hasido

Kisruh politik yang menjadi berita hangat yang mencuat akhir-akhir ini sangat menarik perhatian kita, membuat banyak dari kita semakin tergugah dengan perkembangan bangsa. Sejak Presiden Susilo bambang Yudhoyono dilantik, lalu dilanjutkan dengan penyusunan kabinet ‘Indonesia Bersatu Jilid Dua’. Kemudian, belum lama berjalan roda pemerintahan, satu demi satu, bermunculan ‘insiden’ di Tanah Air, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia dibuat makin mafhum bahwa, pemerintahan SBY seolah tidak dibiarkan untuk benar-benar ‘bersandar tenang’ di kursinya. Karena ada bagian lain dari pemilik kuasa di negeri kita yang mempunyai kursinya sendiri sedang menggoyang-goyang pemilik kuasa eksekutif ini, merekalah legislatif, anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

‘Kasus Century’, boleh jadi dianggap sebagai polemik biasa dalam dinamika sebuah organisasi sekaliber Negara Indonesia, karena tidak jarang pada sebuah keputusan besar yang seharusnya dihasilkan dari hasil musyawarah bersama sering berakibat pada ketidakpuasan pihak lain. Penyebabnya beragam, bisa karena adanya ketidak puasan karena tidak diajak berunding, atau adanya penyalah gunaan dari hasil keputusan itu sendiri, atau bisa jadi, seperti banyak dinilai oleh pemerintah, bahwa dalam kasus Century, keputusan yang diambil sudah benar, tapi tata kelolanya yang bermasalah. Maka, rasa curiga DPR menanggapi kasus ini dapat dianggap beralasan pada tuntutan pada kebijakan bail out oleh wapres Boediono dan Sri Mulyani. Cerita pun berlanjut hingga kini, dengan pidato Presiden yang menanggapi kisruh Century dengan pernyataan bahwa presiden secara pribadi akan ikut bertanggung jawab. Dengan ini, SBY seolah mengambil tempat bersebarangan dengan mereka yang mendesak pemerintahannya dengan kasus Century dan SBY semakin ‘face to face’ terhadap DPR.

Bagi sebagian kalangan, pernyataan SBY justru pertanda positif, karena SBY sebagai presiden menunjukkan kredibilitasnya dengan bertanggung jawab menjadi kepala pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif di saat itu (Indonesia Bersatu Jilid Satu), hingga masa jabatan sekarang. Tapi bagi sebagian yang lain, ini pertanda negatif, di antara pengamat, ada yang bahkan justru—mungkin agak berlebihan—menyandingkan kasus Century dengan kasus “Watergate” di US pada masa pemerintahan Nixon, yang berakhir ‘happy ending’, yaitu tersingkirnya sang presiden Nixon.

Namun, tulisan ini bukan untuk memberikan penilaian yang terbilang ‘nge-pop’, yaitu berpanjang lebar membahas kasus Century. Juga tidak tentang topik terancam pecahnya koalisi, bukan tentang masa depan mitra koalisi, tentang posisi dari oposisi pemerintah atau tulisan tanggapan bagi isu pemakzulan. Menurut penulis, kurang apik rasanya bila satu demi satu dari masalah bangsa ini harus terus mengikuti hembusan media sebagaimana pada topik-topik hangat di atas. Maka tulisan ini hanya akan membahas sisi fundamental dari topik wawasan ketatanegaraan.

Kadang perlu adanya semacam ‘flash back’, atau bahkan melakukan ‘slow motion’ terhadap sebuah objek kajian jika kita hendak mendapatkan sudut pandang yang berbeda, meskipun hasil dari kajian ini nantinya kurang populer.

Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, dengan kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat (setelah amandemen undang undang 45’ yang menyatakan bahwa MPR adalah manifestasi dari pemilik kekuasaan tertinggi dalam republik ini). Pengetahuan kita akan hal ini sangat penting, meskipun mungkin jauh tidak lebih populer daripada kasus Century maupun Anggodo, bahkan tidak lebih populer dari program pemerintahan 100 hari SBY yang makin redup-redup temaram itu.

Sebagai negara yang berkomitmen pada proses demokrasi pada umumnya, Indonesia mengenal pembagian kekuasaan ke dalam beberapa lembaga tinggi yang terpisah. Di Indoenesia terdapat kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai pemilik pos-pos kekuasaan tertinggi itu. Dalam penyusunan administrasinya, eksekutif dipimpin oleh presiden sebagai kepala negara dan pemegang kebijakan pemerintahan tertinggi. Indonesia juga memiliki sistem legislatif yang dimulai dari dirikannya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Legislasi di Indonesia dibuat dengan sistem dua kamar (bikameral) yang tersusun dari DPR dan DPD. Di Indonesia, sistem bikameral dalam parlemennya berbeda dengan yang diterapkan di beberapa negara yang memadukan sistem parlementer dengan sistem presidensial, seperti di Amerika ataupun RRT. Di Indonesia, DPD diibaratkan dengan senat yang memiliki keterwakilan atau representasi dari berbagai wilayah Indonesia. Tapi hal yang semakin menguatkan perbedaan di Indonesia adalah bahwa di badan legislatif, legitimasi yang diterima DPD tidak mengimbangi kewenangan yang dimilikinya. DPD seolah hanya terikat di lembaga MPR yang tugasnya pun sangat terbatas dan jarang, tidak salah bila menganggap bahwa perwakilan DPD seolah anggota dewan yang banyak menganggur. Kebijakan dari ‘kamar kecil’ ini seolah besar dan pokok dalam ketatanegaraan Indonesia, tapi sangat minim kegiatan.

Banyak pakar menilai bahwa penyusunan pembagian kekuasaan Indonesia sebenarnya terlalu berat di idealisme bahkan berat di ongkos, tidak hanya sampai di tingat tertinggi saja, ketimpangan bahkan tumpang tindih dari kebijakan maupun kewenangan ini ternyata menimpa sub-sub dari bagian administrasi dalam pemerintahan. Lebih diperparah dengan adanya undang-undang yang seharusnya membuat ketertiban ternyata dapat berpotensi merusak dan mendistorsi undang-undang yang lain. Sebutlah contoh aktual yang hangat belakangan ini, kita semua sudah melihat istilah koalisi dan oposisi dalam kancah perpolitikan Indonesia. Namun tidak bisa dielakkan lagi, adanya ‘koalisi’ dan ‘oposisi’ dalam perpolitikan pada dasarnya tidak berdasar sama sekali, kalaupun berdasar, dasarnya tidak lain hanya dari bawaan sifat dan sikap kekeluargaan yang menjadi kultur bangsa kita, tanpa adanya tata cara yang memperjelas bagaimana mekanisme berkoalisi atau beroposisi. Tak lebih dari sekadar semacam ‘shaking hand’ saja.

Di bawah lembaga lembaga tertinggi negara, ada KPK, kejakgung dan kepolisian, ternyata kewenangan yang ada dan telah ‘diatur’ undang undang bagi tiga lembaga ini masih bisa dipandang tumpang tindih. Carut-marutnya makin terlihat beberapa waktu lalu, saat isu kriminalisasi KPK dan ‘oknumisasi’ Polisi dan kejagung dipertontonkan ke khayalak ramai. Berada setingkat di bawah dua lembaga tinggi ini, kita bisa melihat bahwa dalam lembaga kepolisian negara, terkenal sebuah badan khusus yang mempunyai tugas khusus pula, yaitu Densus 88. Badan ini memegang program yang sangat tinggi, sesuai dengan tingginya kewenangan yang dimilikinya. Badan yang sebenarnya berada di bawah kepolisian ini ternyata memiliki kekuasaan yang besar dalam mengontrol imigrasi yang sebenarnya lebih berhak ditangani Depdagri dan Densus 88 konon dapat melangkahi kewenangan kejaksaan.

Akibat yang ditimbulkan dari rancunya tata administrasi semakin diperparah dengan kurang atau tidak bertanggungjawabnya pemegang otoritas, kasus Century bisa jadi contoh pertama yang menimpa pemegang kebijakan eksekutif.

Di lembaga legislatif bukan tidak kalah memalukan, pembengkakan anggaran yang yang dibuat oleh anggota DPR dalam pengadaan kelengkapan rumah tangganya menjadi dilema tersendiri. Misalnya, anggota DPR periode 2009 – 2014 sebagian hanya mengaku terpana saat mendapati fasilitas komputer sekelas komputer untuk gamer di meja kerja mereka, lebih terdengar fantastis karena harga satuannya mencapai 20 juta rupiah. Belum lagi badan legislatif yang berada di daerah, banyak dari pejabat negara yang tidak sanggup menerima kenyataan bahwa kendaraan dinas mereka adalah barang bekas dari pejabat sebelumnya, lalu meminta anggaran untuk penggantian.

Demokrasi yang dikembangkan oleh Rousseau, kemudian hari menjadi ideologi pemerintahan yang memiliki tiga sub utama dari pos kekuasaan, pada perkembangan selanjutnya menjadi sistem yang paling banyak dianut oleh negara-negara di penjuru dunia. Ciri khas yang dimiliki dari sistem demokrasi, di antara yang terpenting adalah adanya pemilihan umum, baik pemilihan eksekutif ataupun pemilihan legislatif. Dan tentu saja ada pelantikan dan serah terima jabatan, dengan istilah lebih mudah, semua rakyat yang hidup dalam demokrasi berhak bermimpi untuk menjabat. Kelebihan demokrasi tentu saja ada pada kontrol sosial yang kuat terhadap ketatanegaraan maupun mekanisme pemerintahnya.

Dalam demokrasi, kritik dapat lebih leluasa dilontarkan, dan media dapat lebih maksimal menyebarkan berita. Namun di antara kelemahan yang sering menjadi masalah adalah tidak maksimalnya rasa tanggung jawab pejabat yang bersangkutan terhadap rakyat yang direpresentasikannya. Logis saja, dan sederhana saja, demokrasi di Indonesia boros biaya, dan untuk mencapai kemenangan dalam berdemokrasi di negara kita, sudah maklum bahwa harus maksimal pula menyalurkan dana, maka sulit dipercaya bila dari yang bersangkutan (para caleg, mapun calon pejabat lainnya) tidak mengharapkan kembalinya modal dari dana yang dikeluarkannya pada saat kampanye, minimal hingga habis masa jabatan, dan (para pemilih) rakyat yang diwakilinya pun harus memaklumi adanya uang lelah atas segala hasil kerja keras mereka, wakil rakyat maupun ‘pelayan-pelayan rakyat’ itu.

Bandingkan dengan sistem monarki yang paling banyak dipakai negara-negara kuno dahulu, Mesir contohnya, konon seorang Fir’aun Mesir memerintah rakyatnya dengan sangat adil dan arif, tidak lain karena dalam mitos kerajaan, seorang raja yang akan menjabat hingga tutup usia, akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di alam baka kepada nenek moyangnya yang telah lebih dulu menjadi Tuhan. Sedikit bukti kearifan penguasa Mesir terekam dalam cerita Nabi Yusuf AS. Bahkan warga negara asing pun (di sini Yusuf AS) dapat menjadi pejabat istana dan menjadi orang kepercayaan raja. Ini yang menunjukkan bahwa meskipun berbentuk kerajaan dan diperintah oleh seorang diktator yang bahkan tidak jarang mengaku Tuhan, ketatanegaraan Mesir kuno terbilang sangat baik dan tidak bebas nilai.

Demokrasi yang bersanding dengan Teokrasi, Monarki dan Aristokrasi pada dasarnya adalah cara pandang manusia dalam memahami kekuasaan, tapi di masa kini, dalam memahami politik, orang akan lebih cenderung merujuk pada prakteknya saja atau lebih mudah memahami demokrasi lewat pendekatan ketatanegaraan dan jurisprudensi dibanding harus berputar-putar dalam pembahasan idealisme dari teori kekuasaan itu sendiri. Lalu, muncullah turunan baru dari penemuan tata cara peenerapan demokrasi itu dengan istilah-istilah baru, di antaranya ‘Demokrasi Terpimpin’, ‘Demokrasi Langsung’, ‘Monarki Konstitusional’, sistem Kepemimpinan yang berbentuk kekhalifahan, ‘Imamah Syi’ah’, atau bahkan seperti istilah ‘Teokrasi Sekuler’.

Bagaimanapun juga, masalah ini tidak terlepas dari pengaruh plus minus sistem demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri. Sebutlah demokrasi, tatanan kata yang sangat akrab dengan Aristoteles ini menyebutkan bahwa pemilik kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi jauh sejak masa Yunani kuno di Athena, Aristoteles sudah menyebut bahwa Demokrasi hanyalah kata lain dari Mobocracy atau ‘the rule of the mob’ yang artinya kekuasan yang dijalankan oleh massa, yang mana, di mata Aristoteles dipandang berpotensi tidak baik karena akan menimbulkan anarkisme dan kesenjangan sosial yang berdampak luas.

Aristoteles pun lalu berusaha memperbaikinya dengan karyanya; buku berjudul ‘Politics’, meskipun perbaikan itu kemudian tidak banyak memberikan perubahan pada kekurangan dan kelemahan dari sistem demokrasi. Karena sebagus apapun konsep, pada akhirnya harus tergantung pada pelaksana konsep itu sendri. Alhasil, demokrasi yang dijalankan rakyat Indonesia menjadi utopis bila melihat panorama Indonesia, bahwa tangan rakyat yang disebut berkuasa itu hanya berharga dan berkuasa saat minggu-minggu Pemilu saja. Proses selanjutnya tentu saja sesuai dengan Pancasila yang sangat terkenal yaitu; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” bait yang kemudian dipecah menjadi dua pertanyaan yang menggelitik; Sudah hikmatkah dan sudah bijaksanakah kita sebagai rakyat? Lalu sudah bermusyarahkah mereka (para wakil) yang memimpin dan mereprentasikan kita, rakyat Indonesia? Pertanyaan yang sulit dijawab tadi semakin meneror perasaan penjawab bila ditambahkan komentar bahwa demokrasi yang dipahami rakyat Indonesia ternyata adalah demokrasi yang dipahami oleh masyarakat klasik Eropa di abad pertengahan yaitu; demokrasi yang mampu membuat roti, yang dapat mengenyangkan; ternyata demokrasi Indonesia masih dan tidak jauh dari urusan perut.

Semua kekurangan yang ada dalam sistem ketatanegaraan kita sebenarnya bukan menjadi alasan utama dari kelemahan yang mengganggu lembaga-lembaga negara. Jika disandingkan dengan perintah Allah dalam Al Qur’an, bahwa sebenarnya keadilan yang menjadi landasan utama dari demokrasi bukan satu-satunya yang menjamin kualitas dari kehidupan yang ideal, karena itu Allah berfirman dalam satu ayat yang sekaligus memerintahkan manusia untuk tidak hanya berbuat adil, namun juga harus mampu berbuat ‘ihsan’ (positif), bertanggung jawab terhadap kerabat dan bertanggung jawab pada moral masyarakat sekitarnya, semua ini dapat dimanifestasikan dalam tanggung jawab untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah dari bermacam kerusakan, moril maupun materil.

Sistem ketatanegaraan telah menjadi bagian dari kurikulum pelajaran yang diajarkan di sekolah sekolah, akan tetapi, ‘tata bangsa’ yang mendorong terbentuknya masyarakat yang baik dari segi mental dan spiritualnya tidak gampang diajarkan dalam pendidikan formal. Belajar meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab akan lebih banyak didapat dari pengalaman dari kebijaksanaan sehari-hari atau journey of life. Maka kurang tepat bila biasnya undang-undang tertentu dalam negara kita atau tidak lengkapnya mekanisme tertentu menjadi alasan utama dari carut marutnya sosial politik di negeri ini.

Kadang memang berlebihan memandang ideologi lebih tinggi daripada tujuannya sendiri. Kesalahan mensucikan ideologi sering berakibat pada lengahnya kita mencari solusi. Namun tidak kuatnya mental dan prinsip juga tidak kalah berbahaya, karena mencari solusi tanpa melewati prinsip dan ideologi membuat program-program yang dijalankan selanjutnya menjadi terasa tidak memiliki spirit atau jiwa.

Lalu, bagaimana dengan kasus Century tadi? Aih…! Menurut petunjuk bapak presiden, ada baiknya kita ikuti saja jalur hukum yang ada.

(+) Show All...

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 11:36 PM  

MENGENAL HUKUM TATA NEGARA

Oleh: H. Akbar Hibban, SHI

Dalam pranata ilmu pengetahuan sosial, kita dapat menemukan berbagai macam pengetahuan yang secara independen sudah menjadi sebuah ilmu, maka di sana kita dapat mengenal Ilmu Negara, Ilmu Politik, Ilmu Kebudayaan, Ilmu Ekonomi, Ilmu Psikologi dan Ilmu Hukum.

Dari jenis ilmu yang disebutkan terakhir inilah Hukum Tata Negara bermuara. Muhammad Syukri Surûr , seoarang professor hukum perdata fakultas hukum Cairo University di dalam bukunya yang berjudul “An-Nadzoriyah Al-âmmah lil Qônûn” mengklasifikasikan hukum sebagai berikut;

Pertama: Hukum Publik, yaitu kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan masyarakat yang dinaungi sebuah power politis, di mana negara atau salah satu dari badan hukum publik menjadi pihak yang terkait sebagai pemegang kadaulatan dan kekuasaan.

Yang termasuk dalam bagian Hukum Publik ini yaitu:

Hukum Internasional (al qônun al daulî al âm)

Hukum Tata Negara (al qônun al dustûrî/ Constitutional Law)

Hukum Tata Usaha (al qônun al idârî)

Hukum Keuangan (al qônun al mâlî)

Hukum Pidana (al qônun al jinâ’î)

Kedua: Hukum Privat, yaitu kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara masing-masing individu satu sama lain atau antar masing-masing individu dengan negara ketika negara menjadi pihak terkait dan tidak mengatas namakan dirinya sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan, akan tetapi sebagai objek hukum biasa.

Yang termasuk dalam bagian Hukum Privat yaitu:

Hukum Perdata (al qônun al madanî)

Hukum Dagang (al qônun at tijârî)

Hukum Laut (al qônun al bahrî)

Hukum Antariksa (al qônun al jawwî)

Hukum Perburuhan (qônûn al ‘amal)

Hukum Pertanian (al qônun al zirô’î)

Selanjutnya Prof. Muhammad Syukri Surûr menjelaskan bahwa selain cabang-cabang hukum di atas, ada cabang hukum yang termasuk kategori Hukum Publik dan di saat sama termasuk juga kategori Hukum Privat. Hal ini karena sebagian kaidah dari hukum ini mengatur permasalahan yang berkaitan dengan lembaga publik dan kedaulatan negara, sementara sebagian kaidah lainnya tidak tidak berkaitan itu.

Yang termasuk kategori hukum ini adalah:

Hukum Acara Perdata dan Perdagangan (qônun al murôfa’at al madaniyah wa al al tijâriyah)

Hukum Perdata Internasional (al qônun al daulî al khôsh)

Dari statement di atas maka tampak jelaslah muara Hukum Tata Negara yaitu merupakan bagian dari rumpun Hukum Publik.

Setelah diketahui nisbat Ilmu Tata Negara dalam rumpun ilmu hukum, muncullah pertanyaan apakah itu Hukum Tata Negara? Apa sajakah objek dan materi hukum Tata Negara? Dari manakah sumbernya, serta bagaimanakah karakternya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, agak kesulitan kalau harus disampaikan dalam catatan singkat ini. Maka oleh karena itu, di sini hanya akan dipaparkan tentang definisi, materi dan sumber hukum tata negara.

DEFINISI HUKUM TATA NEGARA

Sebelum kita definisikan Hukum Tata Negara, perlu diketahui bahwa istilah “Tata Negara” dalam penulisannya terdapat dua cara penulisan, yaitu “Tata Negara” (dua kata) dan “Tatanegara” (satu kata). Misalnya Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya: Asas-Asas Hukum Tatanegara di Indonesia(1977) dan Sri Soemantri dalam bukunya Perbandingan Hukum Tatanegara (1971) menggunakan istilah “Tatanegara”, bukan “Tata Negara”. Tetapi Syahran Basyah dalam bukunya “Hukum Tata Negara Perbandingan” (1976), dan M.Solly Lubis dalam bukunya “Asas Hukum Tata Negara”(1978) menuliskanya dalam dua kata. Menurut J.C.T. Simoramgkir, hal itu terjadi karena pengaruh dari cara berfikir bahasa Belanda (Holland Denken) yang menyebut staatsrecht dalam satu kata. Dalam bahasa Jerman hal itu juga ditulis dalam satu kata yaitu Verfassungsrecht.

Perlu diketahui juga bahwa istilah “Hukum Tata Negara” dapat dianggap identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” yang merupakan terjemahan langsung dari “Constitutional Law” (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (Jerman) dan Al Qônûn Al Dustûrî (Arab). Dari segi bahasa, istilah Costitutional Law dalam bahasa inggris memang biasa diterjemahakan sebagai “Hukum Konstitusi”. Namun istilah “Hukum Tata Negara” itu sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maka niscaya perkataan yang dipakai adalah “Constitutional Law”. Oleh karena itu Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari “Hukum Konstitusi”.

Perkataan “Hukum Tata Negara” berasal dari perkataan “hukum”, ”tata”dan ”negara”, yang di dalamnya dibahas mengenai urusan penataan negara. Tata yang terkait dengan kata “tertib” adalah order yang biasa juga diterjemahkan sebagai “tata tertib”. Tata negara berarti sistem penataan negara, yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain Ilmu Tata Negara dapat dikatakan merupakan cabang ilmu hukum yang membahas mengenai tatanan struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan serta mekanisme hubungan antara struktur kenegaraan dan warga negara. (lihat; Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH.)

Mengenai definisi Hukum Tata Negara, di kalangan para ahli belum ada rumusan yang disepakati, sebagaimana belum adanya kesepatan dalam rumusan definisi hukum. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor perbedaan pandang para ahli hukum itu sendiri. Selain dari itu, sistem yang dianut oleh negara sebagai objek kajian juga cukup berpengaruh dalam perbedaan definisi ini. Misalnya, di negara-negara yang menganut sistem common law tentu berbeda dengan apa yang dipraktikan di negara yang menganut tradisi civil law.

Berbagai pandangan para sarjana mengenai definisi hukum tata Negara itu dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:

Van Vollenhoven;

“Hukum Tata Negara adalah Hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing itu menentukan wilayah lingkungan masyarakatnya.”

Fungsi masing-masing yang berkuasa di dalam lingkungan masyarakat hukum itu berhak menentukan susunan dan wewenang dari badan-badan tersebut.

Scholten;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi daripada negara.

Kesimpulannya, bahwa dalam organisasi negara itu telah dicakup bagaimana kedudukan organ-organ dalam negara itu, hubungan, hak dan kewajiban, serta tugasnya masing-masing.”

Van der Pot;

“Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenang masing-masing, hubungannya satu dengan yang lain dan hubungan dengan individu yang lain.”

Logemann;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara.”

Jabatan merupakan pengertian yuridis, sedangkan fungsi adalah pengertian yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang terdiri dari fungsi-fungsi dan hubungannya satu dengan yang lain. Maka secara yuridis, negara merupakan organisasi dari jabatan-jabatan.

Wade and Phillips;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya dan hubungan antara alat pelengkap negara itu.” Seperti tersebut dalam bukunya yang berjudul “Constitutional Law “ yang terbit pada tahun 1936.

Paton;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya, wewenang dan hubungan antara alat pelengkap negara itu.”

Dalam bukunya "Textbook of Jurisprudence“ Paton merumuskan bahwa; “Constutional Law deals with the ultimate question of distribution of legal power and the functions of the organ of the state.”

A.V. Dicey;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang terletak pada pembagian kekuasaan dalam negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.” Sebagaimana yang ditulisnya dalam buku; “An introduction to the study of the law of the conrtitution “

Maurice Duverger;

“Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang dari hukum publik yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi politik suatu lembaga nagara.”

Kusumadi Pudjosewojo;

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara (kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik), yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya (hierarchie), yang selanjutnya mengesahkan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasaan penguasa) dari masyarakat hukum itu, beserta susunan (terdiri dari seorang atau sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbang dari dan antara alat perlengkapan itu.

Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa;

Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur organisasi daripada negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal serta kedudukan warga negara dan hak-hak azasinya.

MATERI HUKUM TATA NEGARA

Dari kesimpulan definisi di atas, maka tampak jelaslah materi Hukum Tata Negara yaitu mengatur hal-hal berikut;

1. Mengatur lembaga pelayanan publik dan menentukan badan-badan yang mengelolanya, dan menentukan tata cara pengelolaan, pengembangan, hubungan antar lembaga satu sama lain serta hubungan lembaga dengan publik.

2. Menentukan jenis hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, maupun perkotaan. Biasanya, hubungan antar pemerintahan ini dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua cara yaitu; sistem sentralisasi atau sistem desentralisasi

3. Mengatur hubungan antara negara dengan para aparaturnya, serta mengatur tata cara penentuan, kenaikan pangkat, penjatuhan sangsi, masa pensiun dan pemakzulan aparat tesebut.

4. Menjelaskan aturan hukum tentang harta negara, baik harta milik swasta atau umum yang digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan dan gedung-gedung pelayanan publik, juga menjelaskan aturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan harta tersebut.

5. Menjelaskan kaidah-kaidah tentang penyelesaian sengketa yang kadang terjadi antara tata usaha negara dengan masyarakat. (lihat: Al-nadzoriyah al-âmmah li al qônûn, Prof.Dr.Muhammad Syukri Surur).

SUMBER HUKUM TATA NEGARA

Sumber hukum Tata Negara bentuknya bermacam-macam, sama persis dengan sumber kaidah-kaidah hukum lainya.

Sumber-sumber kaidah hukum Tata Negara ada yang bersifat materil, historis, resmi dan ada pula yang hanya bersifat sebagai penafsir (tambahan keterangan). Berikut rincian sumber-sumber tersebut:

Sumber Materil (al mashdar al maudû’î)

Yang dimaksud dengan sumber materil adalah sumber atau asal yang merupakan inspirasi penentuan materi-materi dan kandungan Hukum Tata Negara.

Oleh karenanya kita dapat melihat bahwa banyak kandungan kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang inspirasinya diambil dari sekumpulan situasi dan kondisi yang berkembang seperti ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.

Sumber Historis/Sejarah (al mashdar al târîkhî)

Yang dimaksud dengan sumber sejarah adalah pangkal sejarah yang mungkin dapat dijadikan rujukan untuk kaidah-kaidah Hukum Tata Negara atau Konstitusi.

Sumber sejarah bagi Hukum Tata Negara bisa berupa sejarah nasional ataupun sejarah asing. Sumber sejarah nasional dapat kita pahami ketika konstitusi sebuah negara merupakan produk atau hasil bentukan sejarah bangsanya. Adapun sumber sejarah asing merupakan kebalikannya, yaitu apabila kanstitusi sebuah negara merupakan hasil bentukan sejarah bangsa lain. Maka dari itu, untuk mengetahui sistem parlemen yang sesungguhnya, perlu merujuk ke sejarah Kerajaan Federal Inggris sebagai embrio dari sistem ini. Begitupun dengan sistem presidentil mangharuskan sebuah negara yang menggunakan sistem ini merujuk ke sejarah negara Amerika Serikat sebagai akar sistem ini (tidak merujuk ke sejarah nasional bangsanya).

Sumber Resmi (al mashdar al rosmî)

Yang dimaksud dengan sumber resmi adalah sumber kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang bersifat baku, di mana kaidah-kaidah tersebut tidak boleh bertentangan dengan sumber-sumber itu.

Secara umum sumber resmi ini ada dua, yaitu Undang-undang dan Kebiasaan, dengan rincian sebagai berikut:

Undang-Undang ( al tasyrî’)

Yang dimaksud undang-undang disini adalah naskah-naskah yang terkodifikasikan dalam dokumen konstitusi, kaidah-kaidah dasar, dan ketetapan-ketetapan parlemen.

Dokumen Konstitusi (Rancangan Undang-undang Dasar) dapat dikeluarkan oleh badan khusus yang pembentukan dan wewenangnya berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi yang berkembang ketika pembentukan konstitusi. Sebagai contoh, satu hari setelah berdirinya Negara Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya menetapkan Undang-undang Dasar bagi Negara Indonesia dengan berlandaskan pada Rancangan Undang-undang Dasar yang dipersiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). (lihat; Hukum Tata Negara, Soehino, SH.)

Dalam sistem kerajaan dokumen ini dapat dikeluarkan oleh raja atau panitia khusus yang dibentuk oleh raja. Hal itu karena didalam sistem ini konstitusi merupakan anugerah atau pemberian dari raja untuk negara (dasâtir al-minhah), berbeda halnya dengan sistem demokrasi dimana konstitusi ditetapkan melalui sidang.

Adapun kaidah-kaidah dasar adalah sekumpulan aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif yang berkaitan dengan sistem pemerintahan sebagai bagian dari dasar-dasar negara, oleh karenanya kaidah ini dinamai Kaidah-kaidah Dasar agar dapat dibedakan dengan Kaidah-kaidah lainya yang dikeluarkan oleh Badan Legislatif. Salah satu contoh dari kaidah-kaidah dasar ini adalah Undang-undang tahun 1975 tentang aturan pemilihan Majlis Perwakilan Perancis.

Contoh lain dari kaidah dasar ini adalah aturan yang berkaitan dengan kostitusi di Negara-negara Arab, salah satunya, Undang-undang Nomor 81 tahun 1969 tentang pembentukan mahkamah agung (al mahkamah al ‘ulya) sebagai mahkamah yang khusus menangani sengketa tentang uji kelayakan undang-undang terhadap konsitusi.

Dan terakhir adalah ketetapan-ketetapan parlemen yang berupa naskah-naskah yang secara khusus mengatur pembentukan badan-badan di parlemen, dan juga mengatur tata cara pelaksanaan fungsi parlemen dalam peran controling dan pengundangan. Sebagai contoh bab dua dari Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Mesir, mengatur tentang pembentukan badan-badan di dalam majlis dan wewenang-wewenangnya.

Kebiasaan (al ‘urf)

Walaupun konstitusi tertulis telah banyak beredar, bahkan hampir seluruh negara menggunakan Undang-undang dasar (konstitusi tertulis) sebagai konstitusinya, bukan berarti bahwa “kebiasaan” secara mutlak tidak dapat dijadikan sumber konstitusi. Malah justru “kebiasaan” cukup memiliki peran dalam pembentukan konstitusi tertulis.

Yang dimaksud dengan kebiasaan di sini adalah kebiasaan umum, yaitu kecenderungan masyarakat umum untuk mengikuti satu cara tertentu secara berkesinambungan dan berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi sehingga menetap menjadi bagian dari rasa yang seolah-olah mempunyai kekuatan memaksa.

Begitu juga dalam konstitusi, kebiasaan yang dapat dijadikan sumber harus berupa sebuah prilaku antar lembaga pemerintah di dalam negara , atau antara lembaga pemerintahan dengan masyarakat yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Kebiasaan dalam ranah konstitusi dapat berperan sebagai penafsir nash konstitusi yang masih samar (kebiasaan penafsir/al ‘urf al mufassir), kadang pula kebiasaan ini dapat menjadi pelengkap sebuah kostitusi (kebiasaan pelengkap/al ‘urf al mukmil) dan kadang pula kebiasaan ini dapat mengamandemen konstitusi, baik menghapus atau menambah nash yang termaktub dalam konstitusi (kebiasaan pengamandemen/al ‘urf al mu’dil), (lihat;mûjiz al qônûn al dustûrî al mashrî).

PENUTUP

Setelah membaca tulisan ini maka kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan apakah itu Hukum Tata Negara? Baik definisi, materi, maupun sumber-sumbernya, sebagaimana telah dipaparkan di atas.

Namun penulis betul-betul menyadari bahwa tulisan ini masih jauh untuk dikatakan sebagai pengantar Ilmu Tata Negara mengingat sangat singkatnya tulisan ini, serta minimnya materi yang disuguhkan yang belum layak untuk dikatakan sebuah pengantar. Catatan ini melainkan hanya sekedar gerbang menuju pengantar yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang punya minat di bidang disiplin ini.

Kebenaran yang mutlak hanyalah milik Yang Maha Kuasa, salah dan khillaf adalah semata-mata kekeliruan dari kami. Wallâhu A’alam.

(+) Show All...

Posted in Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 1:21 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home