HUKUM PERIKATAN YANG DIKELUARKAN UNDANG-UNDANG MENURUT KUHP MESIR

Manusia dalam menjalani kehidupan ini, cenderung untuk berkumpul dengan satu dan yang lainnya dan dengan itu membentuk kelompok manusia yang hidup bersama. Karena itulah, manusia disebut sebagai mahluk sosial, dan tentunya interaksi antarmanusia itu sering terjadi dan kebutuhan antara satu dan yang lainnya semakin meningkat sehingga terjalinlah suatu perjanjian, perikatan atau yang lainnya.

Maka, di dalam suatu negara yang berdaulat telah ditetapkan suatu tatanan atau aturan-aturan yang mengatur kehidupan manusia antara satu dengan yang lainnya yang disebut dengan hukum. Salah satu tujuan dari lahirnya hukum itu sendiri adalah mencapai suatu keamanan, keadilan dan kemaslahatan.

Dalam hukum itu sendiri memiliki dua sifat, pertama yaitu yang memiliki sifat amirah (mengikat) atau bersifat memerintah, kedua yaitu yang memiliki sifat mukamalah (pelengkap) yang dapat bersifat elastis (lentur) atau tanpa adanya unsur memerintah. Hukum perdata adalah yang memiliki sifat mukamalah atau bisa didefinisikan sebagai ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan (kebutuhannya) dan dalam hukum ini tindakan pihak yang berwajib tergantung kepada ada atau tidak adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya mengenai hutang piutang, atau pengingkaran perjanjian. Dalam peraturan tertulisnya, KUH Perdata terdiri dari empat bagian yaitu; Pertama, tentang orang, kedua, tentang benda, ketiga tentang perikatan dan yang keempat, tentang daluwarsa dan pembuktian. Dan dalam pembahasan tentang Perorangan, membahas tentang hal-hal yang mengenai hak-hak kewarganegaraan, akta-akat catatan sipil, dan perkawinan. Dan pembahasan tentang Kebendaan, membahas hal-hal yang berhubungan dengan pewarisan, piutang, wasiat, hak pakai hasil, gadai, hipotek dan lain sebagainya. Adapun yang termasuk ke dalam pengaturan Perikatan di antaranya jual-beli, sewa-menyewa dan perjanjian. Sedangkan yang termasuk ke dalam pengaturan Pembuktian adalah persangkaan, pengakuan dan sumpah di hadapan hakim serta daluwarsa (lewat waktu).

Dan di dalam makalah ini penulis ingin membahas salah satu bagian dari bagian KUH Perdata yaitu Hukum Perikatan.

Definisi Hukum Perikatan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).

Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.

Dan syarat sahnya perikatan yaitu;

1. Obyeknya harus tertentu.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
2. Obyeknya harus diperbolehkan.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
3. Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan
4. Obyeknya harus mungkin.
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.

Sumber Hukum Perikatan

Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir, dikarenakan negara Mesir sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di Indonesia dengan di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja yang membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang yang sama.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menitikberatkan sumber-sumber perikatan dari negara Mesir, dengan tidak lupa juga membahas sumber-sumber perikatan dari Negara Indonesia, guna menambah wawasan intelektual kita semua.

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Contoh dalam perikatan yang timbul karena perbuatan menurut hukum contohnya; mengurus kepentingan orang lain secara sukarela sebagaimana tertera dalam pasal 1354, dan pembayaran yang tak terutang tertera dalam pasal 1359. Contoh dari perikatan yang timbul dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 104 mengenai kewajiban alimentasi antara kedua orang tua, misalnya; Ahmad menikah dengan Fatimah, pada dasarnya Ahmad dan Fatimah hanya melakukan akad nikah, dengan adanya akad nikah maka timbulah suatu keterikatan yang lainnya yaitu saling menjaga, menafkahi dan memelihara anak mereka bila lahir nantinya. Contoh lain dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 625 mengenai hukum tetangga; yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Selain itu, juga terdapat pula perikatan yang timbul karena melawan hukum. Contohnya; mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, sebagaimana tertera dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Adapun, sumber-sumber pokok perikatan yang ada di Mesir adalah adanya perjanjian (keinginan kedua belah pihak) dan tidak adanya perjanjian (muncul karena ketidaksengajaan atau muncul tanpa keinginan kedua belah pihak). Dan definisi perjanjian secara epistimologi adalah arrobt(u) atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk melakukan sesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya keridhoan/kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.

Dan di sini penulis sesuai ingin membahas sumber-sumber perikatan (Mesir) yang bersumber dari tanpa adanya perjanjian, bisa jadi karena kediaksengajaan atau muncul tanpa keinginan kedua belah pihak.

Sumber Sumber Perikatan Yang Berasal Dari Luar Akad, Atau Tanpa Persetujuan Dua Belah Pihak

Sumber pertama adalah perbuatan yang melawan hukum atau(العمل غير المشروع) , yaitu suatu hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan ancaman bahaya bagi orang lain. Macam-macam dari pertanggung jawaban itu, ada pertanggung jawaban adab atau sopan santun dan pertanggung jawaban undang-undang. Pertanggung jawaban undang-undang dibagi menjadi Tanggung jawab Pidana dan Tanggung Jawab Perdata, dan Tanggung Jawab Perdata itu sendiri dibagi lagi menjadi Tanggung Jawab Perdata karena perjanjian dan Tanggung Jawab Perdata karena kelalaian. Dan perbedaan antara perjanjian dan kelalaian banyak sekali, akan tetapi pada dasarnya segala sesuatu kesalahan yang mengakibatkan bahaya pada orang lain, akan diwajibkan baginya untuk membayar ganti rugi (kompensasi). Dan contoh dari pertanggung jawaban perjanjian (المسئولية العقدية) adalah dalam jual beli, apabila penjual belum memberikan barang jualannya pada pembeli, sedangkan pembeli sudah melakukan kewajibannya yaitu membayar harga barang itu sesuai dengan perjanjian, maka penjual telah melakukan kesalahan, tidak memberikan barang yuang dijualnya pada pembeli.

Contoh dari pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian (المسئولية التقصيرية) kelalaian dalam menjaga barang, mengakibatkan barang itu hilang atau mengakibatkan bahaya pada yang lain. Maka, kesalahan dari dua pertanggung jawaban ini disebut dengan perbuatan yang melawan hukum atau (العمل غير المشروع). Akan tetapi walaupun kedua-duanya perbuatan yang melawan hukum, kadar pertanggung jawabannya berbeda, dikarenakan pertanggung jawaban perjanjian (المسئولية العقدية) lahir dari adanya perjanjian, adapun pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian (المسئولية التقصيرية) lahir karna kewajiban dalam perjanjian.

Dalam pembahasan pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian ada dua pembahasan; yang pertama; Pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang(المسئولية عن العمل الشخصي) dan pertanggung jawaban atas pekerjaan orang lain atau sesuatu (المسئولية عن العمل الغير و عن الأ شياء)

a. Pertanggung Jawaban Atas Pekerjaan Seseorang (المسئولية عن العمل الشخصي)

Pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang (المسئولية عن العمل الشخصي) adalah Pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang yang mengakibatkan bahaya pada orang lain. Dan atas pengaruhnya, seseorang yang bertanggung jawab (المسئول) membayar ganti rugi kepada yang dirugikan (المضرور), dan itu sesuai dengan KUH Perdata Mesir pasal 163 yang artinya ”Segala sesuatu kesalahan yang mengakibatkan bahaya pada yang lain, maka diwajibkan baginya untuk membayar ganti rugi.”

Rukun dari Pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang(المسئولية عن العمل الشخصي) ada tiga, pertama; kesalahan (الخطاء), kedua; bahaya (الضرار)dan ketiga; adanya hubungan penyebab antara kesalahan dan bahaya (علاقة السبيبية بين الخطاء).

Dan segala kesalahan yang diperbuat mendapatkan ganjaran yang sesuai yang telah ditetapkan oleh hukum, akan tetapi ada pengecualian, telah dijelaskan dalam KUHP Mesir ada 3 keadaan seseorang yang melakukan kesalahan, bebas dari pertanggung jawaban atas pekerjaannya itu. Yang pertama, keadaan ketika membela untuk dirinya sendiri (حالة الدفاع الشرعي) pasal 166, kedua, ketika mendapatkan perintah dari atasannya (حالة تنفيذ أمر صادر من رئيس) pasal 167, dan yang ketiga, keadaan bahaya (حالةالضرورة). Dan dalam keadaan ketika membela untuk dirinya sendiri (حالة الدفاع الشرعي) hal ini seseorang apabila dalam keadaan bahaya mengancamnya, dan membela untuk menjaga haknya, martabatnya dan hartanya, maka ini tidak dianggap salah, akan tetapi ada empat syarat dalam menggunakan hak membela diri sendiri. Syarat pertama, bahwasanya bahaya itu benar benar terjadi ketika itu juga, dan bukan yang akan datang atau sebatas karena praduga saja, syarat kedua, bahwasanya bahaya itu lahir dari pekerjaan yang melanggar hukum, contohnya melawan perampok yang ingin mengambil hartanya, akan tetapi apabila melawan pihak keamanan dikarenakan seseorang itu melakukan kesalahan, maka dia tidak bisa menggunakan hak ini. Syarat ketiga, bahwasanya dengan membela diri sendiri itu adalah salah satu cara untuk menjaga harta dan martabatnya. Syarat keempat, agar dalam menggunakan hak ini tidak boleh berlebih-lebihan. Dan apabila menggunakan haknya kelebihan, maka dia dikenai sanksi, akan tetapi sanksi itu lebih ringan dibandingkan dengan sanksi aslinya.

Adapun rukun kedua dari pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang yaitu, bahaya. Tidak cukup untuk menuntut atas pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, apabila hanya ada kesalahan, akan tetapi harus juga ada bahaya yang timbul dari kesalahan itu. Dan ada sebagian ahli hukum mengatakan “Kesalahan itu adalah elemen utama dari pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang”. Dikarenakan apabila tidak ada bahaya maka tidak ada ganti rugi, dan tidak bisa menuntutnya.

Dan elemen (rukun) terakhir dari pertanggung jawaban atas pekerjaan seseorang yaitu, hubungan penyebab antara kesalahan dan bahaya. Hubungan penyebab adalah hubungan yang secara langsung antara kesalahan yang dilakukan oleh al-mas’ul dan bahaya yang tertimpa pada al-madrur.

b. Pertanggung Jawaban atas pekerjaan orang lain/sesuatu (المسئولية عن العمل الغير و عن الأ شياء)

Para ahli hukum Mesir dalam masalah ini membagi dalam dua bagian, yang pertama Pertanggung jawaban atas pekerjaan orang lain ( المسئولية عن العمل الغير) dan yang kedua, Pertanggung jawaban yang lahir dari sesuatu (barang). (المسئولية ءن اللأشياء).

Dan yang dimaksud dengan Pertanggung jawaban atas pekerjaan orang lain, adalah dimintanya tanggung jawab seseorang dari apa yang telah dikerjakan oleh orang lain, maka dari itu disebut dengan pertanggung jawaban atas pekerjaan orang lain. Contohnya; seorang yang menjadi sopir (التابع) dari majikannya (المتبوع)ketika melakukan pekerjaan (menyopir mobil) untuk mengantar majikannya ke suatu tempat, dan ditengah-tegah perjalanan, sopir itu menabrak seseorang yang naik motor, sehingga mengakibatkan motor itu rusak. Maka sang majikanlah yang bertanggung jawab atas yang telah dibuat oleh sopir itu. Dari misal tadi, sudah jelaslah yang dimaksud dengan pertanggug jawaban atas pekerjaan orang lain. Akan tetapi, dalam penggunaan hak ini harus ada 2 syarat. Syarat pertama, adanya hubungan mengikuti atasan. Dan yang dimaksud disini adalah adanya 2 insan (attabi’ dan matbu’), dan attabi’ tunduk pada matbu’. Dan syarat kedua, yaitu bahwasannya kesalahan yang dilakukan oleh attabi’ ketika melakukan tugas atau sebab dari tugasnya itu. Seperti halnya yang telah disebutkan tadi di contoh, akan tetapi apabila sang attabi’ melakukan kesalahan atas kesalahannya atau kelalaiannya sendiri dan tidak ada sangkut paut pada pekerjaannya, maka attabi’ bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.

Dan bagian yang kedua dalam masalah ini adalah pertanggung jawaban yang lahir dari sesuatu atau barang. Seseorang akan bertanggung jawab pada sesuatu (الأشياء) apabila dia mempunyai kewajiban utnuk menjaga barang itu. Dan apabila, al-asya’ (benda atau materi) itu menimbulkan bahaya pada orang lain atau sekitarnya, maka seseorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaganya bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh benda tersebut. Akan tetapi, mungkin akan timbul dalam benak kita semua apa yang disebut dengan al-asya’a itu sendiri. Dalam KUHP Mesir yang dimaksud dengan pertanggung jawaban yang lahir dari sesuatu atau barang itu sendiri ada 3 bagian, yang pertama Pertanggung jawaban yang lahir karena menjaga hewan ,(المسئولية حارس لحيوان) ,yang tertara pada pasal 176, yang kedua, pertanggung jawaban yang lahir karena menjaga bangunan (المسئولية حارس البناء), yang tertara pada pasal 177, dan yang ketiga adalah Pertanggung jawaban yang lahir karena menjaga barang-barang elektronik, atau barang-barang yang memeliki sifat untuk selalu dijaga secara intensiv (المسئولية حارس الألات الميكانيكية وغيرها من الأشياء التى تتطلب حراستهاعناية خاصة), yang tertera pada pasal 178.

a. Pertanggung Jawaban Yang Lahir Karena Menjaga Hewan

Di dalam KUHP Mesir pasal 176, menjelaskan mengenai pertanggung jawaban yang lahir karena menjaga hewan, akan tetapi pertanggung jawaban itu lahir, karena ada dua syarat; syarat pertama, bahwasanya seseorang (al-mas’ul) benar-benar diberikan tugas untuk menjaga hewannya. Pada dasarnya, pemilik hewanlah yang berkewajiban untuk menjaga hewannya, akan tetapi karena sang pemilik menugaskan pada orang lain untuk menjaganya, maka tanggung jawab itu pindah dari pemilik ke orang yang diberikan tugas itu (al-mas’ul). Dan syarat yang kedua, danya unsur ‘bahaya’ yang ditimbulkan hewan tersebut. Al-mas’ul bertanggung jawab penuh atas apa yang dikerjakan oleh hewan itu, contohnya; hewan-hewan penerkam seperti anjing, serigala atau lainnya.

Lain halnya apabila hewan itu lari dari rantai yang telah diikat dilehernya dan hewan itu melakukan sesuatu yang mengakibatkan bahaya pada orang lain, maka al-mas’ul disini tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakan oleh hewan tersebut. Al-mas’ul bertanggung jawab ketika al-mas’ul itu lalai dari pekerjaannya, maka al-mas’ul bertanggung jawab penuh atas semua yang dikerjakan oleh hewan itu.

b. Pertanggung Jawaban Yang Lahir Karena Menjaga Bangunan

Telah dijelaskan mengenai Pertanggung jawaban Yang Lahir Karena Menjaga Bangunan di dalam KUHP Mesir pasal 177, dan tanggung jawab itu lahir ketika ada dua syarat, syarat yang pertama, bahwasanya seseorang (al-mas’ul) benar-benar diberikan tugas untuk menjaga bangunan. Maka, penjaga bagunan itu benar-benar bertanggung jawab atas bangunan itu. Dan pada dasarnya pemilik bangunanlah yang harus menjaga bangunannya, akan tetapi ketika sang pemilik telah memberikan kepada seseorang untuk menjaga bangunannya, maka telah berpindahlah tanggung jawab, dari pemilik ke penjaga bangunan. Apabila seseorang yang ingin memiliki atau membeli bangunan itu, maka hak kepemilikan untuk menjaga dan menggunakan belum berpindah dari penjaga ke pembeli, kecuali setelah penyerahan dan penyerahan tanggung jawab belum berpindah ke pembeli apabila pembeli belum melunasi administrasi. Dan apabila bangunan itu disewakan, bukan berarti yang menyewa itu disebut sebagai penjaga bangunan itu, atau berpindah tanggung jawab dari penjaga bangunan ke penyewa, dikarenakan kekuasaan penuh masih dipegang pada sang pemilik, dan ini berbeda pada tanggung jawab yag lahir karena menjaga hewan. Dan penyewa hanya menggunakan yang disewanya, dan itu semua tergantung pada perjanjian antara pemilik dan penyewa. Yang dimaksud dengan roboh di sini adalah, terpecah-pecah atau hancur keseluruhan bangunan atau hanya sebagian saja, dan akibat dari kerobohan itu adalah membahayakan yang lain. Contohnya, jatuhnya jendela atau pintu bangunan atau batu bata yang jatuh dari tingkat atas bangunan, dari kesemua ini, maka sang penjaga bangunan harus bertanggung jawab atas bahaya yang terkena pada al-madrur yang disebabkan dari bangunan itu. Akan tetapi, apabila bangunan itu tidak roboh, maka penjaga bangunan itu tidak bertanggung jawab kepada al-madrur, walaupun bahaya itu datang dari bangunan itu sendiri. Contohnya al-madrur menabrak bagian dari bangunan, yang mengakibatkan al-madrur cedera atau mengakibatkan kerusakan pada barang seperti mobil.

C. Pertanggung jawaban yang lahir karena menjaga barang-barang elektronik, atau barang-barang yang memeliki sifat untuk selalu dijaga secara intensif.

Dalam hal ini,tanggung jawaban yang lahir karena menjaga barang-barang eloktronik, atau barang-barang yang memiliki sifat untuk selali dijaga secara intensiv, memiliki syarat yang sama dengan pembahasan yang sebelumnya.

Sumber kedua, dari hukum perikatan yang ada di Mesir yaitu, ‘memperkaya diri tanpa alasan’ (atau pembayaran hutang yang tidak diwajibkan) yang dalam istilah arab dikenal dengan (الاثراء بلاسبب). Bila diartikan secara tekstual, ‘al itsra bila sabab’ diartikan dengan ‘memperkaya diri tanpa alasan’ Dan yang dimaksud dengan memperkaya diri tanpa alasan adalah suatu kejadian di mana salah satu pihak menjadi rugi (miskin), dan pihak yang lainnya mendapat keuntungan dari kerugian tersebut (kaya) dengan cara melawan hukum. Maka orang yang memperkaya itu harus membayar ganti rugi kepada orang yang menjadi miskin itu. Contohnya, apabila A mempunyai hutang kepada D, dan A ini mempunyai saudara B dan C, B dan C mengetahui kalau saudaranya si A mempunyai hutang kepada D, maka B dan C membayar hutang saudaranya si A kepada D, dan A pun membayar hutangnya kepada D, maka si D ini disebut dengan memperkaya (الاثراء) dan si B dan C disebut dengan si fakir atau yang menjadi miskin (الافتقار). Maka si D itu harus mengembalikan kekayaan yang bukan haknya kepada pemiliknya yaitu si B dan C.

Dalam keadaan ini, al-iftiqor, ketika dia mengetahui, bahwa kekayaannya berkurang dikarenakan kecurangan al-isro, maka secepatnya al-iftiqor itu untuk menuntut dakwa memperkaya (دعوى الاثراء). Dan tuntutan dalam perkara memperkaya diri tanpa alasan dengan lewatnya waktu tiga tahun tahun terhitung sejak hari perbuatan termaksud dilakukan oleh tergugat dan diketahui oleh penggugat, dan lima belas tahun dihitung dari terjadinya interaksi antara al-isro dan al-iftiqor. Sesuai dengan KUHP Mesir pasal 180.

Dan sumber ketiga, dari hukum perikatan yang ada di Mesir sesuai dengan di KUHP Mesir pasal 198, adalah undang-undang. Dan undang-undang itu sendiri bisa disebut dengan sumber hukum perikatan yang secara langsung dan tidak langsung. Akan tetapi mayoritas dari Undang-undang itu sendiri disebut dengan sumber hukum perikatan yang tidak langsung. Dan sumber hukum perikatan yang secara langsung itu lahir dari perjanjian, keinginan diri sendiri, pekerjaan yang melanggar hukum dan ‘memperkaya diri tanpa sebab atau alasan’. Dan di dalam KUHP Indonesia pun undang-undang merupakan bagian dari sumber dari perikatan, sesuai dengan pasal 1353.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan adanya Undang-undang adalah terciptanya keamanan, dankeadilan. Untuk terciptanya tujuan ini maka seluruh negara yang berdaulat memiliki Undang-undang yang telah dibuatnya dan dikodifikasikan sesuai dengan negaranya. Walaupun Undang-undang perdata memiliki sifat yang elastis, dan tidak mengikat yang berbeda dengan hukum Pidana, akan tetapi hukum perdata mempunyai peranan yang penting dalam mengatur tatanan kehidupan manusia.

Sekilas uraian di atas tentang hukum perikatan yang ada di Indonesia dan di Mesir. Dan masih banyak hal-hal yang belum dibahas dalam tulisan ini, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis dan minimnya referensi. Mudah-mudahn kekurangan tersebut dapat dilengkapi oleh teman-teman Qanun tercinta. Sebagian besar isi dari tulisan ini terjemahan bebas dari buku Mashadir Ghayru Iradiyah Lil-Iltizam, buku karangan dari Dr. Muhammad Ali Itman Faqi, yang dipelajari di tingkat 2 fakultas Syariah Wal Qonun (Islamic Law and Jurisprudence) Al Azhar.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan sederhana ini bisa menambah wawasan kita, khususnya bagi warga FSQ, dan umumnya untuk semua yang partisipan FSQ.

Andi M Sadi
Ketua FSQ periode 2008-2009
Mahasiswa Fakultas Syari'ah wal Qanun Tk 3


(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 8:11 PM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home