MEMBINCANGKAN GAZA

Kemarin saya menghadiri Kuliah Umum yang digelar oleh Program Studi Peradaban dan Dialog antar Budaya Universitas Cairo. Tema yang digelar kali ini adalah: “Kaifa Naqra Mashadal ‘Udwân ‘alâ Ghazah – Bagaimana [Seyogyanya] Membaca Fenomena Agresi Militer atas Gaza”.

Sebagai pengantar, DR. Nadya Musthafa selaku moderator memaparkan bahwa fenomena Ageresi ini memang sort of complicated scenes, karena dari satu sisi, ini bisa dilihat sebagai bagian integral dari dinamika perkembangan Arab, sementara di lain sisi, ini juga merupakan bentuk resisten di jalur Gaza. Maka menurut beliau, harus ada pembacaan kritis dan hati-hati terhadap fenomena ini dari berbagai sudut pandang, baik dari sudut pandang Hukum, Politik, Militer, Sejarah-Peradaban dan lain-lain.

Karena itu jugalah, maka pembicara di Kuliah Umum ini kemarin merupakan representasi dari beragam latar belakang di atas. Hadir sebagai pembica dari kalangan ahli Hukum Internasional: DR. Muhammad Syawqi ‘Abdul ‘Al, lalu dari kalangan pakar dan pengamat politik: DR. Musthafa ‘Alwi,kemudian dari kalangan militer: Jendral Shafwat az-Ziyat, sementara dari kalangan pengamat Sejarah dan Peradaban: DR. Saifuddin ‘Abdul Fatah.

Dalam penyampaian materi beliau yang sepenuhnya berlandas pada pandangan hukum, DR.Syawqi menyinggung beberapa poin penting berikut:

Pertama, terkait kritik beliau terhadap banyaknya kecendrungan media yang meng-ekspose pandangan-pandangan hukum atas fenomena agresi militer di Gaza dari pihak-pihak yang bukan merupakan spesialis Hukum Internasional. Hal ini bahaya menurut beliau, karena akan memicu berkembangannya persepsi publik yang tidak berlandaskan pada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional.

Kedua, terkait kaidah-kaidah tindakan pembelaan hukum yang sah (ad-Difâ’ asy-Syar’iy) dalam Hukum Internasional Modern yang memuat ketentuan bahwa tindakan pembelaan hukum akan legal dilakukan apabila ada situasi yang mengancam saja. Maka tidak sah hukum tindakan pembelaan hukum yang dilakukan untuk melawan tindakan pembelaan hukum lainnya. Terlebih jika mengingat bahwa tindakan pembelaan hukum juga ada batasnya, di mana tindakan tersebut hanya boleh dilakukan sejauh tindakan itu bisa menyelamatkan si korban dari kejahatan-kejahatan yang mengancam. Atas dasar inilah, maka serangan-serangan Hamas atas Israel tidak bisa serta-merta dibalas Israel dengan pembinasaan mebabi-buta yang menyeret banyak korban sipil tak bersalah. Selain itu, tindakan pembelaan hukum juga harus dikenakan langsung kepada subjek dan sumber ancaman. Apabila Hamas misalkan merupakan subjek dan sumber ancaman bagi Israel, maka tindakan pembelaan hukum hanya boleh dikenakan kepada Hamas, bukan semua elemen masyarakat hingga memakan korban anak-anak, perempuan-perempuan dan orang-orang tua tak bersalah.

Ketiga, Penyanggahan DR. Syawqi atas dalih Israel bahwa Israel adalah Negara Pendudukan setelah aksi penarikan diri yang dilakukan oleh Israel. Disebutkan oleh DR. Syawqi bahwa ada dua keadaan yang disebut pendudukan, yakni jika ada pasukan pendudukan dalam suatu wilayah tertentu atau jika pasukan pendudukan tersebut memerintah secara keseluruhan di dalam dan di luar wilayah tersebut dengan sistem pengepungan/blokade. Dan segala pemblokadean yang dilakukan oleh Israel atas Palestina jelas merupakan bentuk pendudukan, bukan justeru sebaliknya. Dan fakta inilah yang menjadi landasan bagi masyarakat internasional untuk menyebut fenomena yang sedang terjadi di jalur Gaza sebagai bentuk Agresi Militer. Dan Agresi Militer tentu melegalkan perlawanan bagi bangsa Palestina sesuai dengan konsep pembelaan hukum dalam Hukum Internasional. Maka masyarakat internasional pada tahun 60-an, 70-an dan 80-an, telah menetapkan secara bersamaan bahwa dalam kondisi seperti yang sedang dihadapi Palestina ini, penggunaan senjata untuk pembelaan hukum jelas dilegalkan, bukan hanya sebatas penggunaan senjata, tapi legalisasinya juga sampai pada tahap pelegalan gerakan-gerakan dis-integrasi nasional.

Keempat, tentang ketentuan bahwa: “Perlawanan dengan tindakan terorisme terhadap tindakan terorisme bukan merupakan bentuk terorisme”.

Kelima, apabila ada warga sipil dikepung di wilayah pendudukan atas ketentuan Hukum Internasional, maka wajib bagi pihak yang menduduki untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat yang berada di dalam wilayah pendudukan kecuali penjaminan atas pasukan-pasukannya. Sementara jika itu tidak bisa dipenuhi oleh pihak yang menduduki, maka hal ini menjadi kewajiban bagi masyarakat dunia, khususnya negara-negara tetangga dari wilayah yang sedang berada dalam pendudukan tersebut.

Keenam, tentang ketetapan bahwa perbatasan Mesir tunduk pada kekuasaan Mesir dan Palestina saja, bukan pada kekuasaaan Israel (Ketetapan Dewan Keamanan 1860). Pada kenyataannya, kebanyakan pihak lupa bahwa ketetapan ini tidak akan ada pengaruhnya kecuali jika ada faktor-faktor yang mendorong pemberlakuannya—dalam hal ini kepastian bahwa Israel telah jelas-jelas menyerang wilayah perbatasan ini. Dalam kaca mata Hukum Internasional, serangan-serangan terhadap daerah perbatasan selama ini baru berupa as-Silâh ad-Dha’if atau semacam bentuk penyerangan-penyerangan ringan yang belum termasuk kualifikasi faktor pendorong pemberlakuan ketetapan Dewan Kemanan tersebut. Dan dalam rentang penyerangan Israel atas Palestina, dunia internasional belum melihat adanya urgensi pengeluaran ketetapan tertentu terkait keselamatan wilayah perbatasan ini.

Ketujuh, salah satu contoh kejahatan-kejahatan perang menurut Perjanjian Roma dalam Peradilan Pidana Internasional adalah membangun koloni/daerah jajahan/tempat tinggal di wilayah pendudukan. Satu bentuk kejahatan perang yang jelas-jelas telah dilakukan oleh Israel atas Palestina.

Terakhir, beberapa usulan upaya damai dan sebagian pandangan atas upaya-upaya hukum yang selama ini telah dilakukan:

• Bahwa penyelesaian permasalahan melalui Peradilan Pidana Internasional tidak akan banyak memberikan hasil, karena tindak kejahatan tersebut tidak dilakukan terhadap negara Anggota PBB, di samping juga para pelaku kejahatan perang kebanyakan tidak berkewarganegaraan yang sah.

• Fatwa-fatwa Dewan Keamanan merupakan salah satu bentuk upaya hukum untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

• Majelis Umum PBB mengupayakan suatu bentuk persatuan perdamaian untuk pengeluaran ketetapan yang menetapkan perwakilan mahkamah kehakiman atas Dewan Keamanan dalam pemantauan tindak kriminal yang terjadi.

• Agar ditetapkan peradilan khusus yang menangani para kriminal perang Israel.

• Agar merujuk kepada negara-negara yang sistem hukumnya memiliki otoritas untuk menangani kasus-kasus internasional dalam penanganan tindak kriminal perang yang terjadi di luar wilayah konflik.

Sementara Jendral Shafwat az-Ziyat, dalam penyampaian materi beliau menyebutkan bahwa apa yang sedang terjadi di Gaza bukanlah bentuk terorisme, tapi sepenuhnya merupakan bentuk perang perebutan kemerdekaan.
Hingga akhir pembicaraan, beliau memang lebih banyak meng-eksplore informasi tentang fenomena operasi militer dan penggunaan senjata sepanjang konflik yang terjadi antara Israel-Palestina, khususnya di rentang agresi militer Israel atas Gaza. Juga beberapa pemetaan beliau atas prediksi kekuatan politik dan militer Hamas berikut pandangan beliau atas pembentukan beberapa lembaga keamanan yang menurut beliau kurang efektif.

Lalu selanjutnya DR. Musthafa ‘Alwi, sebagai representasi dari pakar dan pengamat politik menyebutkan tiga poin penting dalam penyampain materi beliau:

• Pertama, tentang Agresi Militer Israel atas Gaza dalam kerangka pertentangan Arab-Israel secara umum dan dalam konteks perkembangan politik regional Palestina. Di mana disebut beliau bahwa Agresi Militer atas Gaza ini merupakan satu babak dari babak-babak agresi militer berkesinambungan yang dilakukan Israel atas bangsa palestina.

• Kedua, krisis perkembangan konflik atas Gaza.

• Ketiga, proyeksi pasca Agresi Militer atas Gaza.
Menurut beliau, tampak jelas adanya perpecahan Arab dalam konflik Israel-Palestina ini. Hanya saja, perpecahan ini tidak akan berpengaruh apa-apa jika tidak terkait dengan perpecahan dalam negeri Palestina yang semakin kritis. Sebenarnya, bangsa Arab telah terbiasa dengan perpecahan politik, tapi perpecahan ini menjadi lebih kritis pasca perpecahan dalam negeri Palestina.
Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa perpecahan bangsa Arab di dekade terakhir ini di luar perkiraan, karena bertolak belakang dengan perpecahan bangsa Palestina. Dan inilah yang menurut beliau merupakan faktor pendorong gerakan-gerakan dis-integrasi di Palestina.

Selain itu, beliau juga menyebutkan bahwa bagian-bagian yang tidak termasuk pada persekutuan yang ada di wilayah Palestina, berada di bawah koordinasi persekutuan yang tidak bisa menghadapi bagian strategikal Palestina.
Selanjutnya, disebut beliau bahwa berdirinya negara Palestina di atas Gaza adalah salah satu bukti bahwa skenario politik selalu mungkin untuk terjadi di belahan bumi manapun.

Dan memang menurut beliau, yang terbaik di atas segalanya adalah mengupayakan kembali bagaimana agar ada persatuan terlebih dahulu di dalam negeri Palestina.
Lalu terakhir, DR. Saifuddin ‘Abdul Fatah sebagai representasi dari kalangan pengamat Sejarah dan Peradaban menyampaikan dalam pemaparan materi beliau bahwa pertama-tama perlu ditegaskan jika dalam segala hal memang diperlukan pembacaan serius, termasuk dalam pembacaan peradaban.

Menurut beliau, pembicaraan tentang peradaban memang kerap dinisbahkan dengan kehidupan dan kemakmuran manusia, peradaban memang tak jauh-jauh dari politik, bahkan bisa disebut bahwa politik itu dibangun oleh peradaban. Maka apa yang terjadi di Gaza adalah salah satu bentuk yang paling bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam esensi peradaban.

Lebih jauh menurut beliau, peradaban itu tidak hanya dimaknai sebagai peradaban masa sekarang saja, tapi seyogyanya jangan sampai terlepas dari pengamatan atas peradaban terdahulu sebagai kacamata untuk menimbang peradaban yang sedang berlangsung sekarang. Dan melihat apa yang sedang terjadi atas Gaza, tak ada hal lain yang harus diupayakan menurut beliau kecuali bagaimana harus melakukan perlawanan atas serangan-serangan Israel di tanah Palestina.

Terakhir, beliau menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Gaza bukan sekedar peristiwa insidentil, tapi sepenuhnya merupakan peristiwa yang mensejarah, yang timbul karena adanya rangkaian sejarah yang kompleks.

Demikian, kuliah umum ini berlangsung tertib hingga saat forum tanya jawab dibuka. Situasi tiba-tiba memanas ketika beberapa Dosen dari Universitas Cairo mengecam bahwa kontribusi Mesir terhadap Palestina sangat minim. Mereka juga mengecam beberapa sikap pemerintah dan pihak diplomasi Mesir yang kebanyakan pro terhadap kepentingan Israel. Konflik ide semakin menajam ketika DR. Musthafa ‘Alwi menyanggah kecaman tersebut dengan menyebutkan bahwa andil Mesir tidak minim untuk warga Palestina. Lebih-lebih ketika beliau balik berstatemen bahwa forum kuliah umum ini adalah forum keilmuan, bukan forum politik. Maka menurut beliau, setiap data atau pendapat yang disampaikan hendaknya benar-benar bersandar pada landasan dan orientasi keilmuan, bukan pada sentimen politik.

Memang tak mengherankan jika forum ini berujung dengan konflik ide seperti kemarin. Karena isu tentang Agresi Militer Israel atas Giza memang mengundang kontroversinya sendiri di Mesir. Dalam klarifikasi saya dengan salah seorang wartawan “al-Mashri al-Yaum (Egypt Today),” dijelaskannya bahwa sebenarnya, tidak benar juga jika disebut kalau andil Mesir itu minim terhadap warga Palestina, karena tidak ada yang salah dengan sikap warga Mesir kebanyakan terhadap Palestina yang sebagian besar begitu peduli, tapi yang salah menurut wartawan itu adalah beberapa sikap pemerintah dan pihak diplomasi Mesir yang dalam beberapa hal memang pro dengan Israel.

Jengah sebenarnya jika forum ilmiah harus bercampur-baur dengan permasalahan-permasalahan lain, terutama permasalahan politik seperti kemarin. Tapi mungkin apa yang disampaikan DR. Nadya Musthafa benar saat beliau mengakhiri forum Kuliah Umum ini: “Lâ numkinu an najtaniba ijtinaban qat’an ‘an siyâsah, fal-an, ihna nuhâwir bi turuqil ‘ilm li fahmi siyâsah—kita tidak akan mungkin bisa benar-benar terlepas dari politik, karena itulah sekarang kita berdialog dengan etika keilmuan untuk memahami politik”…

Oleh; Desi Hanara (www.desihanara.com)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 12:26 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home