SYUHADA' ATAU TERORIS?

Siapapun dia, termasuk saya, sebagai rakyat Indonesia dan sebagai seorang muslim tetap merasakan adanya tarik ulur emosi bila melihat, mendengar berita terkait eksekusi Imam Samudra dan rekan rekannya. Tidak mudah memposisikan diri dengan mengatasnamakan golongan tengah, toh saya suatu waktu pasti condong ke kanan atau sebaliknya. Bahwa, bagaimanapun, Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas seolah telah membuat malu umat muslim Indonesia. Mengapa harus malu? Karena semua rakyat dunia dapat melihat, ketika Imam Samudra memekikkan “Allahu Akbar!”. Bahwa ia adalah bagian dari umat Islam Indonesia (dan itu termasuk saya). Imam Samudra telah membawa hati kita sebagai bagian dari hatinya. Sederhana saja, karena saya dan dia seiman. Sedangkan bila dikaitkan dengan bomnya, maka kita akan mengambil jarak sejauh jauhnya dari mereka (Imam Samudra dkk), bisa jadi karena kita benci atau takut dengan ledakan bom, benci dengan pembunuhan, atau takut dengan polisi. Atau jangan jangan kita masih mendukung Imam Samudra karena punya dendam dengan oknum polisi :D. Inilah tarik ulur emosi yang saya maksudkan. Maka dengan tulisan ini, saya sebenarnya ingin menyudahi kebimbangan saya pribadi dan berharap dapat bermanfaat bagi orang lain yang mungkin mengalami hal serupa. Dan sebenarnya tidak terlalu berandai andai sebagai problem solver.

Sebagai pembuka, dengan tegas saya ungkapkan bahwa Imam Samudra, Muklas dan Amrozi bersalah secara hukum. Ini sesuai dengan UU antiteroris (Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Selayaknya sebagai akademisi, kita dapat memperkecil ranah ranah subjektif kita dengan mendasarkan pandangan kita pada ranah ranah objektif yang memang dominan. Ranah objektf yang dominan bisa berupa ayat ayat Al Qur’an, Hadist, pendapat ulama dan dalam tataran kenegaraan Indonesia, bisa berupa UUD, undang undang, perda dll. Tanpa Undang undang Terorisme-pun, tentunya Imam Samudra dkk sudah dapat terjerat oleh hukum yang diatur oleh UU Pidana bab XIX pasal 340 dengan hukuman yang tak kalah beratnya. Terlepas dari tuduhan kita pada lemahnya pemerintah dari intervenesi asing, selama ini, kita pun hanya mampu menuduh dan menebak nebak. Dan terlepas dari cara pandang kita menilai bagaimana taktis, strategis maupun teknis yang disusun oleh mereka (yang divonis sebagai teroris) dalam menyusun aksinya, apakah itu dimulai dengan melakukan ritual syahadat, atau bai’at dengan Al Qur’an, lillahi ta’ala, atau meledakkan dengan mengucapkan bismillah atau yang lain. Bagaimanapun, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia yang pemerintahannya dijalankan oleh suatu mekanisme trias politica yang harus memiliki kedaulatan. Salah satu kedaulatan yang mesti dijunjung adalah pelaksaan undang undangnya sebagaimana mestinya. Di titik ini, tidak sampai pada perdebatan Hukum Tuhan vs Hukum Manusia. Sedernanya adalah, bahwa rukun Islam terbangun atas lima unsur, tidak termasuk jihad (perang). Toh, tanpa berperang, seorang muslim sudah berhak atas surga (itu sederhanya lho, ngak usah dipersulit :D). Namun ada banyak sekali aspek manusia dengan manusia yang lain yang akan terkait erat pula dengan hubungan dunia dan pengaruhnya ke akhirat kelak. Di antaranya, menuruti perintah orang tua, menepati perjanjian, hutang piutung, perikatan, kriminalitas dll. Nah, yang disebut terakhir, kriminalitas tadi, pun tidak akan berpengaruh terhadap keagungan Tuhan. Seseorang mencaci atau mengancam Tuhan, atau bodoh bodohnya; melakukan rencana pembunuhan atas Tuhan, tidak berpengaruh sedikitpun pada keagungan Tuhan, karena tidak membahayakan Tuhan sama sekali. Lain halnya dengan seseorang yang mencaci Tuhan di depan para penyembahnya, atau melakukan penghinaan Tuhan di hadapan para penganut agama yang menyembah Tuhan tersebut, maka tidak bisa disalahkan bila para penganut agama yang bersangkutan menganggap tidakan si pelaku sebagai kriminal, karena telah mengganggu sebuah kesinambungan hubungan manusia dengan manusia. Di sini saya ingin menjelaskan bahwa jihad yang diniatkan Imam Samudra dkk, tidak ada hubungannya sama sekali dengan martabat Hukum Tuhan di hadapan hukum manusia. Umat Muslim tidak perlu merasa terhina jika jihad yang diniatkan Imam Samudra ternyata dihukumi sebagai perbuatan teror oleh sebuah negara. Karena semua orang maklum, dari perspektif manapun, yang dilakukan Imam Samudra adalah penghilangan jiwa dengan sengaja yang jelas jelas merupakan pelanggaran bagi Undang undang.

Namun, tidak bisa dipungkiri adanya letak pertautan Islam dan Jihad dengan UU anti terorisme. Salah satu yang paling kita kenal dan sering diulang ulang dalam siaran TV dan lain lain, adalah; Bahwa dalam sejarah Islam, para ulama telah memberikan tiga kriteria bagi pemerintahan Islam pada masa kekhalifahan Islamiyyah, yaitu Darul Islam, Darul Harbi, dan Darul Ahdi (Negara Islam, Negara Musuh dan Negara Aman). Ketiga pembagian ini, meskipun tidak dikenal di zaman Rasulullah dan di zaman para Sahabat, melainkan muncul pada zaman Thabiin, karena semakin kompleksnya permasalahan batas wilayah dan persinggungan kuasaan serta diharuskannya adanya transparansi sikap oleh pemerintah sebuah Khilafah Islamiyyah kala itu terhadap negara negara tetangganya. Dalam undang Undang Negara Indonesia, tiga pembagian kategori Negara di atas sama sekali tidak dikenal.

Meskipun secara de facto, Khilafah Islamiyyah telah tumbang pada tahun 1926, ketiga pembagian tersebut, belum ada banyak perubahan dan masih terdapat di berbagai kurikulum sekolah sekolah diniyyah bahkan di Universitas universitas Islam. Menunjukkan bahwa pembagian ini bisa dibilang masih relevan. Dan menunjukkan bahwa jumhur muslimin (mayoritas muslim yang diwakili oleh para pemegang 4 madzhab) masih mengakui adanya pembagian ini. Meskipun, dalam penafsirannya, justru sangat bervariasi. Varian penafsiran inilah mungkin, apa yang membuat kita (mayoritas umat Islam indonesia) mengambil tempat berbeda daripada Imam Samudra dkk. Di level kita, kita menganggap bahwa Indonesia sudah menjadi bagian dari Negara Islam atau setidak tidaknya negaranya orang Islam, karena selain dihuni oleh mayoritas orang beragama Islam, asasnya ketuhanan yang Maha Esa dan dalam pembukaan UU 45, disebutkan Nama Allah. Namun di level Imam Samudra, Indonesia adalah negara penyembah Taghut (negara kafir seperti kaum Saba di zaman Nabi Sulaiman). Karena tidak taat pada Hukum Allah, tapi justru lebih taat pada hukum buatan manusia. Di level kita, seorang turis dianggap sebagai tamu yang wajib kita hormati dan dalam konteks keislaman, tamu tersebut adalah ahlu zimmah yang telah membayar zimmah (permohonan perlindungan atau visa) yang berhak dilindungi. Tapi di level Imam Samudra dkk, mereka adalah penduduk dari sebuah negara kafir yang dianggap selalu mencari kesempatan dan selalu berusaha untuk menghancurkan Islam. Yang dipaparkan di atas adalah semua yang dapat kita lihat dengan nyata dan apa yang ada di depan mata kita, sehingga relatif mudah untuk memberikan penilaian.

Namun yang menjadikan polemik dan masalah yang ramai dibicarakan masyarakat Indonesia secara umum adalah, apakah Imam Samudra dkk adalah syahid, atau murni seorang teroris. Secara pribadi menyatakan bahwa bila Imam Samudra menganggap yang dia lakukan dengan pengeboman itu adalah tindakan yang tepat untuk memerangi musuh musuh Islam dan ia tidak merasa keliru dengan langkahnya itu, maka Imam Samudra berhak atas pahala seorang Syahid, karena al amalu binniyyah. Itu bagi Imam Samudra, sedang kita sebagai manusia, relatif melihat hasil, bukan kepada proses, apalagi mustahil melihat apa yang ada di dalam hatinya. Dan hasil yang kita lihat dari perbuatan Imam Samudra ialah 202 jiwa ‘tak berdosa’ menjadi korban dan mencederai 209 orang. Apa yang dilakukan Imam Samudra adalah perbuatan antar dirinya kepada manusia yang lain dan itu dihukumi sebagai kejahatan, membuat kita harus berpikir kembali adalah karena kita sering mengaitkan yang sebenarnya tidak terkait dan menyampingkan yang terkait. Kita sering mengaitkan sholat Imam Samudra dengan Bom rakitannya, hal ini tidak mengherankan, karena Imam Samudra dan teman temannya sendiri yang mengaitkan kedua hal itu. Dalam hal ini, saya condong untuk menyalahkan Imam Samudra. Dalam Islam, seorang yang berbuat kejahatan, belum tentu mendapat pengampunan, meskipun ia telah mendapat hukuman dari keputusan seorang hakim, bahkan bila keputusan tersebut keputusan yang sesuai dengan Syari’ah Islamiyyah. Seorang pencuri tidak lantas mendapat jaminan bahwa dosa mencuri diampuni Allah ketika tangannya dipotong. Demikian pula yang terjadi sebaliknya. Bahwa seseorang yang membayar zakat tidak serta merta dapat menjamin bahwa ia mendapat pahala dari zakatnya meskipun di depan mata, zakat tersebut dapat menolong ribuan anak yatim dan cukup untuk membangun banyak masjid. Karena manusia tidak masuk surga dan tidak terjerumus ke dalam neraka karena amal ibadahnya maupun karena dosanya, melainkan semata mata karena rahmat Allah atau azdab-Nya semata. Di sinilah rahasia Allah yang sangat sering dilupakan oleh manusia. Tidak lain karena hal ini, tidak dapat dideteksi oleh 5 indra manusia, atau dengan kata lain, hanya Allah yang tahu. Mungkin kita pernah mendengar bahwa seorang yang mati syahid (meninggal dalam perang) dijebloskan ke dalam neraka hanya lantaran ia tidak ikhlas, perlu digarisbawahi—hanya—karena dia tidak ikhlas, padahal jelas jelas ia mati karena berperang atas dasar pembelaan diri dan keluarga, rakyat, negara dan agamanya sekaligus dari serangan. Dan terkait pula dengan hadist rasulullah yang diriwayatkan Umar bin Khatab RA, “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (akan diterima) sebagai hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapati apa yang ia tuju. (H.R Bukhari & Muslim)”.

Maka perdebatan yang selama ini berkembang, sebagian acaranya sudah saya saksikan sendiri. Hanyalah perdebatan yang seharusnya tidak perlu diperpanjang, selain tidak mendidik dan memancing kebencian serta memperlebar perpecahan antar anak bangsa. Dengan perdebatan itu masyarakat seolah hanya terbagi ke dalam dua kelompok, yang satu adalah pro Imam Samudra dkk dengan menganggapnya syahid, dan yang lain adalah yang yang kontra dan menganggapnya sebagai teroris tulen yang berdosa. Padahal masyarakat Indonesia tidak pernah akan sampai kesimpulan akhir, apakah Imam Samudra telah mati syahid, atau orang yang berdosa. Karena semua orang maklum bahwa itu hanya Allah yang tahu. Manusia hanya mampu mengutuk, atau sebaliknya, hanya mampu mendoakan. Justru yang menjadi masalah utama adalah bahwa banyak orang yang berkutat dalam membincangkan UU terorisme, malah lengah dengan UU sendiri atau tidak tahu dengan esensi UU tadi. Dan dalam konteks ini, perbuatan sebagaimana yang dilakukan Imam Samudra adalah perbuatan bersalah. Seharusnya, fokusnya dititikberatkan pada penyampaian dan penanaman nilai undang undang ini kepada masyarakat luas, bahwa sebagai umat beragama, mereka juga adalah rakyat Indonesia. Jangan sampai kedepannya, hanya karena banyak yang membenarkan Imam Samudra melakukan jihad dengan membuat bom, menjadikan justifikasi atas perbuatan kecil yang serupa seperti jihad dengan mencuri atau bertindak anarkis atas nama li i’lai kalimatillah. Karena sekali lagi, Indonesia adalah negara kesatuan yang bermartabat. Dan martabat Indonesia yang dibentuk pula oleh undang undang dibuat untuk melindungi martabat rakyatnya yang beragama, bukan malah sebaliknya. Sebuah Negara yang berdasarkan UUD 1945 ini tentu saja tidak boleh mengancam martabat agama penduduknya. Karena ini bisa berakibat fatal.


Oleh; AbHas

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 8:35 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home