PEMBUKTIAN DAN DALUARSA DALAM SYARIAH ISLAMIYAH

Syariah islamiyah sebagai undang-undang yang utuh dan sempurna pernah berkuasa di dunia selama berabad-abad lamanya. Dimulai dengan berdirinya Negara Islam di Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW hingga runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1924. Syariah islamiyah tidak hanya memberikan kepuasan kepada masyarakat muslim semata, namun rasa puas menikmati keadilan juga dirasakan oleh masyarakat non muslim yang hidup di bawah naungannya.

Selain mengatur masalah-masalah ritual, syariah islam juga merupakan sebuah peraturan lengkap untuk sebuah negara yang dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Undang-undang yang mengatur sebuah Negara tentunya bersifat menyeluruh dan mampu menyelesaikan semua permasalahan Negara. Ini berarti Syariah Islam juga mengatur masalah perpolitikan, perekonomian, korelasi antara Negara dengan rakyatnya atau antara Negara dengan Negara lain, juga mengatur kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya yang plural, serta permasalahan-permasalahan lainnya.

Di antaranya masalah peradilan, yang merupakan sebuah permasalahan yang sangat urgen dalam sebuah Negara. Dan sudah seharusnya maslah peradilan terjabar dengan jelas di dalam undang-undang Negara itu. Islam telah mempunyai aturan yang jelas tentang peradilan, sebagaimana yang telah dibahas ulama ulamanya di buku-buku mereka.

Pembuktian dan Daluarsa merupakan salah satu pembahasan dalam bahasan tentang peradilan islam. Karena sistem peradilan Islam dibagi menjadi tiga subsistem penting, diantaranya:
1. Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam; meliputi macam-macam qâdhi, tugas dan kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya).
2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian (ahkâm al-bayyinah); mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
3. Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya .
Maka siapa saja yang ingin mendapatkan pemahaman utuh mengenai sistem peradilan Islam, ia pun harus mendalami: sistem persanksian; sistem pembuktian; serta struktur dan birokrasi peradilan Islam.

Pada dasarnya, sistem peradilan Islam beserta bagian-bagiannya sudah disitir dalam kitab-kitab fikih klasik. Hanya saja, pembahasannya yang masih kurang sistematis, campur aduk, tercecer dalam sub-sub pembahasan yang berbeda-beda, tidak dapat membangun sebuah sistem yang hirarkis, layaknya seperti KUHP atau KUHPernya Negara pada saat ini. Di dalam kitab fikih klasik, pembahasan mengenai sanksi dan pembuktian, kadang-kadang dijadikan satu dalam kitab Al-Hukm, ‘Aqdliyyah, Syahadah, dan Da’awiy wa al-Bayyinah. Dan belum ada pemilahan, mana kitab yang khusus membahas sanksi; mana kitab yang membahas pembuktian; dan mana yang membahas struktur peradilan.

Biasanya juga, pembahasan ini selalu dimuat didalam kitab fikih pada posisi akhir pembahasan isi buku kalau bahasannya disusun dimulai dari Thaharah kemudian Shalat, Shaum dan seterusnya. Sebagaimana juga dalam undang-undang konvensional, pembuktian dan daluarsa juga dimuat pada buku terakhir, yaitu buku IV KUHPer yang juga dikenal dengan Civil Code.

Dan pada makalah ini penulis mencoba sedikit memeperkenalkan kepada pembaca tentang Pembuktian dan Daluarsa atau lewat batas waktu, ditinjau dari syariah islamiyah.

Syari’ah Islamiyah

Untuk memperjelas pembahasan, penulis sengaja memulai dengan menjelaskan definisi syariah Islamiyah terlebih dahulu. Dengan ini diharapkan agar tidak terjadi pemahaman yang berbeda dari sebuah istilah yang akan sering dipakai.

Kata Syaria'ah Islamiyah merupakan pengindonesiaan dari bahasa arab yaitu As-syariah Al-islamiyyah. Secara etimologi, kata as-asyariah mempunyai konotasi masyra'ah almaa' (sumber air minum). Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan As-asyariah kecuali bila sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering. Dalam bahasa arab Syara'a juga berarti nahaja (menempuh), audhaha (menjelaskan) dan bayyana almasalik (menunjukkan jalan), serta syara'a lahum yasyra'u syar'an berarti sanna (menetapkan). Syariah bisa juga berarti madzhab dan tariqah mustaqimah (jalan lusrus).

Dalam istilah Syariah sendiri, syari'ah berarti Agama yang yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragama. Hukum-hukum atau ketentuan tersebut disebut syariah karena memiliki konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian, Syariah dan Agama mempunyai konotasi yang sama, yaitu berbagai ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya .

Dan kata Al-islam (Islam) secara etimologis mempunyai arti al inqiyad (tunduk) dan istislam lillah (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya menunjukkan suatu agama yang disyariatkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks inilah, Allah menyatakan Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, yang artinya:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi Agama bagimu." (QS. Al Maidah:3).

Karena itu islam adalah agama yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad untuk umatnya dalam mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, mengatur dirinya sendiri dan hubungan antar sesamanya. Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah aqidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya yang juga meliputi muamalat dan persanksian.

Dengan demikian, syariah islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya. Yang diturunkan melalui Rasul-Nya nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan sesamanya. Dengan kata lain syariah islamiyah bukan hanya mengatur perbuatan fisik (af'al jawarih) manusia tapi juga mengatur kerja hati manusia (af'al qalb). Syariat inilah yang diwajibkan kepada seluruh umat islam untuk diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan Allah mengecam lewat Al Quran mereka-mereka yang tidak mau berhukum dengan syariat islam sebagai orang yang kafir, zalim dan fasiq. sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al Maidah:44).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah:45).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah:47).

Pembuktian

Pembuktian di dalam Syariah dikenal dengan al itsbat. Berasal dari kata atsbata-yustbitu-itsbat, yang mempunyai arti: menetapkan, mengekalkan atau mengukuhkan.
Sedangkan secara terminologi, istbat mempunyai arti: Iqamatuddalil amaamal qadhaa'i biththuruqillati yuhaddiduha alqaunun 'ala wujuud waaqiatin qanuniyyatin tu'addu asasan lihaqqi mudda'I bihi (mengemukakan keterangan di hadapan pengadilan dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang karena adanya kenyataan hukum yang menjadi hak pendakwa).
Dalam peradilan Islam, sistem pembuktiannya didasarkan pada prinsip kejelasan dan menghindari kesamaran. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti. Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
“Pengadaan bukti wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Abbas Rasulullah Saw bersabda:
"Sekiranya diberikan kepada manusia setiap dakwaan mereka niscaya mereka akan (mendzalimi) darah harta yang lainnya akan tetapi sumpah wajib bagi yang didakwa."
Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu meyakinkan dan pasti. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tersebut tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan). Sebab, Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi:
“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.”

Dalam Syariat Islam, yang dikategorikan bukti ada empat macam:

1. Pengakuan atau disebut juga dengan Al-iqrar

Pengakuan atau iqrar telah ditetapkan (sebagai bukti) berdasarkan dalil, baik yang tercantum di dalam al-Qur’an maupun hadits. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” (Qs. al-Baqarah: 84).
Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia meriwayatkan sebuah hadits tentang Ma’iz, bahwa Nabi Saw bertanya kepada Ma’iz bin Malik:
“Apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu?” Ma’iz balik bertanya, “Apa yang disampaikan kepada engkau tentang diriku?” Nabi Saw menjawab, “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak perempuan keluarga si fulan.” Ma’iz menjawab, “Benar.” Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu, Rasulullah Saw memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.

2. Sumpah, atau disebut juga dengan Al-Yamiin

Sumpah atau Al-Yamin telah ditetapkan dalilnya baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup memenuhinya, maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (Qs. al-Maa’idah: 89).

Rasulullah Saw bersabda:
“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”

3. Kesaksian atau disebut juga dengan As-Syahadah

Kesaksian atau As-Asyahadah telah ditetapkan dalilnya, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.” (Qs. al-Baqarah: 282).

Nabi Saw bersabda:
“Dua saksi dari kalian, atau sumpahnya.”
4. Dokumen-Dokumen Tertulis atau disebut juga dalam syariah Al-Qarinah

Dokumen-dokumen tertulis atau Al-Qarinah telah ditetapkan dalilnya di dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu jemu menulis hutang, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menulisnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 282).

Ayat ini menunjukkan bahwa bukti-bukti tertulis, baik berupa dokumen-dokumen perdagangan, laporan-laporan tertulis, dan lain-lain, termasuk bukti-bukti.
Ini adalah cara-cara pembuktian yang dikenal oleh Syariah Islamiyah, berbeda halnya dengan hukum konvensional yang selain empat macam cara diatas, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan. Sebagaimana dalam kitab IV KUHPer.
Selain itu, Oliver (2006), seorang pemikir pernah juga memberikan alternatif lain, yang mana alternatif pembuktian yang beliau ajukan dan gagas adalah, dengan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin­ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.

Daluarsa

Di dalam buku IV KUHPer Daluarsa dan Pembuktian dijelaskan bahwa daluarsa adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum (khususnya tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Dan didalam bahasa Arab Daluarsa dikenal dengan At taqaddum.
Pada dasarnya Islam mengakui prinsip surut ke belakang. Artinya ada kasus-kasus yang telah terjadi lama yang tidak boleh diangkat kembali (dipetieskan), yaitu kasus yang terjadi 2 tahun lebih. Namun, kasus-kasus yang lama bisa saja diungkap kembali, dan bisa juga tidak perlu diangkat kembali tergantung dari keputusan seorang imam.

Adapun persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; juga pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi pihak lain; maka persoalan-persoalan semacam ini tidak diungkit lagi (dibuka kembali) setelah berdirinya Daulah Khilafah. Urusan mereka diserahkan kepada Allah. Sebab, persoalan tersebut terjadi sebelum hukum-hukum Islam diterapkan secara praktis.

Adapun persoalan-persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; demikian juga persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri, maka persoalan-persoalan semacam ini diselesaikan sesuai dengan hukum Islam.
Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat dan belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, akan tetapi berkaitan dengan pelunasan harta bagi pihak lain, maka akan dibuka persidangan untuk menghukum pelanggarnya dengan mengembalikan harta kepada pemilik yang sah.

Adapun pidana yang dilakukan oleh aparatus pelaksana pemerintahan sebelumnya yang menikam Islam dan kaum muslim serta yang menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum muslim, sama saja apakah dilakukan oleh penguasa maupun kroninya; maka akan digelar sidang untuk memperkarakan mereka. Hukum syara’ akan diterapkan bagi mereka sebagai balasan atas kedzaliman yang mereka perbuat. Jadi, kasus apartheid bisa saja diungkap kembali, tergantung kebijakan Khalifah .

Paparan diatas merupakan paparan yang sangat singkat mengenai pembuktian dan daluarsa. Untuk sampai kepada standar pemahaman yang mendalam, tentunya itu belum memenuhi syarat. Akan tetapi untuk sekedar menjadi sebuah pengenalan. Uraian singkat ini bisa memberikan informasi atau sekedar perangsang keinginan menggali yang lebih dalam lagi. Karena Syari’ah Islamiyah merupakan hukum yang sempurna dan adil untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Untuk membuktikan kesempurnaan dan keadilannya yang merata, mestinya kita perlu mempelajarinya dengan serius dan lebih mendalam lagi.

Maraji’

1. Alqur'anul karim
2. Ahmad Warson. Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya. 1997.
3. Ibnu Taimiyah. Majmu' fatawa. Riyadh, Maktabah Obekan. Cetakan 1 1998 M/1419 H.
4. As-Syafei, Imam Muhammad bin Idris. Al Um. Tahqiq Dr. Rif'at Fauzi Abdul Muthalib. Manshurah. Darl Al Wafa'. Cetakan 3. 2005 M/ 1426 H.
5. Ibnu Qudamah. Al Mughni. Darl Hadist. Kairo. 2004 M/ 1425 H.
6. Abul Khair, Abdussami' abdul wahhab. Al Wajiz Fi Syarh Qanun Istbat. 2007.
7. Ali ali Mansur. Nidzamut tajrim Wal Iqab Fil Islam. Muassasah Adzahra' lil iman walkhair. Madinah Almunawwarah. Cetakan 1 1976 M/ 1396 H.
8. Abdul Qadir Audah. Attasyri' Al Jina'I Al Islamy. Muassasah Arrisalah, Lebanon. Cetakan 14 1998 M/ 1319 H.
9. CD Room Maktabah Syamilah 3

(+) Show All...

Posted in Labels: , Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 6:40 AM  

"BRING BACK THE PAST OR LET'S GET IT ON TO A BETTER FUTURE"

(DILEMA PENYIKAPAN KASUS KELAMNYA SEJARAH)

Solon, seorang pemikir Yunani, pernah mengungkapkan bahwa hukum itu seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah. Namun begitu ia mau menjaring yang kuat, hukumnya menjadi bak sarang laba-laba yang menabrak gajah. Alih-alih dapat merobohkan sang gajah, justru sarang itu morat-marit terpecah-pecah. Kira-kira begitulah ungkapan yang pantas untuk menggambarkan proses penegakan hukum di Negara kita tercinta, Indonesia.

Masih terngiang jelas tentunya di telinga kita akan sebuah nama Almarhum Haji Muhammad Suharto. Yah, seorang tokoh besar, Jenderal Besar, dan juga Presiden dari sebuah negara besar (jumlah penduduknya). Namun dibalik kesuksesan itu, dugaan dan tuntutan serta dakwaan baik itu pidana maupun perdata terus mengalir diarahkan kepada sosok yang murah senyum ini. Mulai dari penjahat HAM kelas kakap hingga koruptor kelas dunia.

20 Januari 2008 boleh jadi menjadi tanggal berakhirnya tuntutan pidana akan tindak kejahatan kriminal pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini menjadi mafhum, manakala tuntutan pidana tidak dapat diwariskan kepada anak cucunya. Namun mengapa tuntutan-tuntutan perdata (meskipun hanya satu saja, Penyelewengan Uang Negara atas nama Yayasan Supersemar) juga tidak kunjung ada penyelesaiannya? Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya, mengingat dakwaan perdata dapat dilanjutkan meskipun terdakwa telah tiada dengan jalan melimpahkan tuntutan kepada para ahli warisnya.

Berbagai macam kendala seolah terus-menerus menimpa para pihak penuntutnya. Kendala terakhir yang diberitakan media masa adalah menyangkut hilangnya berkas perkara. Namun jika kita ingin menelisik lebih dalam lagi maka kita akan menemukan bahwa kendala sesungguhnya bukanlah kendala teknis semacam itu. Berkas hilang bukan penyebab tapi akibat dari keengganan untuk menghukum Soeharto.

Contohnya, keterangan Muladi bahwa kasus Soeharto sudah selesai. Sebagaimana tertera dalam berita Tempo Interaktif 23 Mei 2007, Muladi minta semua pihak tidak menghabiskan energi untuk mengurusi atau memperdebatkan masalah-masalah di masa lalu seperti pengadilan bagi mantan presiden Soeharto. Muladi melihat bangsa Indonesia kurang fokus terhadap masa kini dan masa depan padahal masalah yang akan dihadapi ke depan sangat banyak. Kalaupun ada hal-hal di masa lalu yang perlu ditindaklanjuti, lanjutnya, haruslah masalah-masalah yang besar dan strategis saja sementara masalah yang kecil tidak perlu dipersoalkan lagi.

Aneh bukan? Masalah Suharto dianggap masalah kecil. Loh, kok masalah yang kecil? Bukankah jumlah uang yang diambil Soeharto itu besar sekali, sampai tidak terbayangkan? Memang, Pak Muladi yang sekarang Gubernur Lemhanas, tapi di jaman Soeharto adalah Menteri Hukum dan HAM, jadi sudah jelas kedudukannya dimana. Sama dengan menanyakan Donald Rumsfeld apakah serangan atas Irak itu benar atau salah.

Tak kalah "anehnya" ungkapan Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla yang menyatakan, "Jangan kita menyalahkan masa lalu tapi mari bergerak dalam kondisi kekinian." Ungkapan yang baik dan bijak. Namun dalam lanjutan ungkapannya (pedagang yang karena sejarah reformasi ini menjadi orang nomor dua ini) ia mengatakan, berdebat boleh saja dilakukan tapi tidak boleh sampai menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa. Lha, koq bisa? Apakah pengusutan Soeharto 'menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa?' Dan bukankah justru permasalahan bangsa adalah menegakkan keadilan?

Jadi menurut hemat saya, "bring back the past or let's get it on to a better future", justru kedua-duanya sama-sama penting, tidak ada yang tidak penting. Ada asap ada api, kalau apinya tidak dimatikan asapnya kapan berhenti, tapi kalau sibuk mematikan api, kebulan asapnya bisa merepotkan orang sekitar. So, gimana caranya mematikan api sambil menghilangkan kebulan asap yang makin tebal? Nah, itu sich PR para pemimpin kita termasuk Pak Jusuf Kalla.
Lebih miris lagi, manakala sang Presiden SBY dalam satu kesempatan menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa persoalan dan perkara mantan presiden Suharto diendapkan untuk saat ini adalah kekhawatiran akan terjadinya 'perpecahan bangsa".

“Perpecahan bangsa” yang bagaimana dan yang mana yang dia takutkan kalau dia membuka kasus itu? Kalau dia tidak membuka kasus ini segera, justru keamanan dan ketenangan yang tercipta selama ini menjadi semu, hambar dan kehilangan makna, karena -sekali lagi menurut hemat saya- sekaranglah kesempatan untuk membuka segala kedok kejahatan masa lalu, dan mengambil kembali uang milik rakyat dari tangan "perampok" yang otoriter itu.

Tentunya kita semua tidak lupa, bahwa setiap orang itu sejajar di mata hukum. Suara rakyat dalam pemilu yang telah memilihnya sepertinya belum juga membuat Presiden SBY percaya diri dan yakin untuk melakukannya. Dan ketaatannya beribadah juga masih membuatnya ragu pada Tuhan sehingga tidak berani mengambil tanggung jawab untuk membuka kasus Suharto. Saya tidak tahu seberat apa dosanya jika dia terus meremehkan suara rakyat dan meragukan hidayah Allah. Namun yang jelas, kemiskinan dan kesengsaraan rakyat yang berkelanjutanlah yang akan menjadi akibatnya.

Hmmphhh, sungguh ironi. Untuk sementara ini kasus dakwaan perdata Suharto pun masih mengambang. Hakim malah memvonis jaksa tak berhasil membuktikan dakwaan, aktivis penuntut sewot, para tokoh simpang siur pendapat, dan yang mengerikan lagi, masing-masing pihak merasa benar! Sungguh, ini pertanda kepastian bahwa hukum telah mencapai tahap kritis, lebih-lebih tatkala rakyat jelata kini tak sungkan lagi berkata "Kalau orang kecil maling ayam saja langsung masuk penjara!". Cape dech.
Keadaan seperti ini menandakan bahwa rakyat sudah skeptis –meragukan- akan proses penegakan hukum. "Intonasi" seperti ini berkesan menuduh bahwa hukum berpihak pada yang kuat baik dalam arti kekuasaan, politik maupun kekuasaan uang. Suatu kesan yang jelas menyesatkan tentunya, karena seolah-olah hukum bisa diatur dan keadlian bisa dibeli. Hukum bukan lagi bak gambaran dewi dengan mata tertutup menggunakan pedang keadilan, karena hukum telah pandang bulu, sungguh pilu!

Karenanya hal yang terpenting sekarang menjadi acuan pemerintah adalah menyadari akan hal ini, untuk selanjutnya bersegera melakukan pembenahan secara komprehensif dalam hal penegakan hukum. Pemerintah, penegak hukum dan masyaratak tentunya harus "satu bahasa" atas prinsip-prinsip hukum dan dijalankan sebagai komitmen bersama. Tanpa komitmen satu bahasa atas prinsip-prinsip hukum, setiap ada putusan langsung meluas jadi polemik, membuat rakyat bingung memahami hukum itu seperti apa? Disebut bulat, ternyata lonjong, saat dipahami lonjong, malah menjadi kubus pula.

Komitmen satu pemahaman atas prinsip-prinsip hukum di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri menjadi amatlah penting. Bagaimana rakyat mau taat hukum, kalau suatu kasus memberi hikmah pada mereka hukum itu lonjong, ketika mereka taat dengan hukum lonjong ternyata salah! Begini salah begitu salah, perilaku rakyat pun pada akhirnya jadi serba salah."
Lebih jauh lagi, untuk menuntaskan kasus "Suharto" secara khusus dan penegakkan keadilan terhadap sesama tidak saja dibutuhkan komitmen pemerintah atau penegak hukum yang diartikulasikan baik dalam undang-undang maupun kebijakan pemerintah, seperti usaha membasmi KKN, pembalakan liar, dan sebagainya, yang mengakibatkan rakyat sengsara, namun lebih daripada itu para pemimpin bangsa ini harus memiliki political will dan faith dalam upaya merealisasikannya. Jika ada keinginan dan keyakinan pasti kita bisa mengungkap masalah ini. Orang tua saya mengajarkan semua masalah yang dibuat oleh manusia pasti bisa dijawab dan dipecahkan oleh manusia.

Cuma, harus dimulai dari mana political will itu? Pertama tentu dari para pemimpin lembaga-lembaga penegak hukum, lalu pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, kemudian masyarakat sendiri untuk selalu berperilaku mendukung komitmen-komitmen nasional. Tentu, untuk itu tak bisa sekali jadi. Ia dibangun dari kasus demi kasus yang ditangani dengan baik oleh aparat hukum maupun pemerintah, dan terus lebih berorientasi pada rasa keadilan terhadao masyarakat dan bukan sebaliknya.

Akhirnya, alunan sendu musik dan lirik "Andai Ku Tahu" karya grup band "Ungu" untuk patut dijadikan pemacu dalam upaya menjalankan semuanya itu.

Andai ku tahu malaikat-Mu kan menjemputku
Izinkan aku mengucap kata taubat padamu
Aku takut akan semua dosa-dosaku
Aku takut dosa yang terus membayangiku

Aku manusia yang takut neraka namun aku juga tak pantas di surga
Andaiku tahu kapan tiba ajalku
Izinkan aku mengucap kata taubat padamu


Ferlyansyah Jaiz
Mahasiswa Syariah wal Qanun, Al-Azhar

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 3:59 PM  

PENGANTAR SINGKAT HUKUM PERDATA

Manusia sebagai perorangan atau individu cenderung untuk berkumpul dengan individu-individu lain, dan dengan itu membentuk kelompok manusia yang hidup bersama. Karena kecenderunganya berkelompok ini manusia dinamakan makhluk sosial. Fakta ini sudah diketahui sejak dahulu kala, dan filsuf yunani terkenal Aristoteles karenanya menamakan itu "Zoon Politiken" (makhluk sosial). Walaupun ada juga manusia yang hidup sendiri atau menyendiri dengan maksud tertentu, misalnya bertapa atau bersemedi, hal ini merupakan pengecualian. Cerita terkenal yang hidup sendiri karena terdampar yaitu Robinson Crusoe dalam novel karangan Daniel Defoe sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana orang yang semula hidup sendiri secara berangsur-angsur memebentuk kelompok yang semakin besar.

Alkisah kapal yang ditumpangi Robinson Crusoe ditimpa badai besar dan terdampar di sebuah pulau yang tidak berpenghuni, hanya ia sendiri yang selamat. Untuk mempertahankan hidupnya ia mendirikan gubuk, bercocok tanam, menangkap dan memelihara beberapa ekor kambing dan ternak lain serta memakan buah-buahan yang ada di pulau itu. Selama ia hidup sendiri di pulau itu tidak timbul persoalan tentang hak atau hukum, ia tidak memerlukan pengertian tentang hak atau hukum. Ia tidak membutuhkan hukum dan bebas melakukan apapun sekehendak hatinya. Tetapi situasinya berubah ketika ketika kemudian terdampar lagi seorang lain yang karena kepalanya mengalami benturan melupakan segalanya termasuk namanya sendiri. Robinson yang menolong dan memelihara orang itu dan memberikan nama si Jumat, karena menurut perhitungannya ia menemukan orang tersebut pada hari jumat. Hadirnya si Jumat memunculkan persoalan pertama tentang siapa yang berhak menentukan pemanfaatan segala sesuatu yang ada di lahan tempat mereka hidup dan sekitarnya. Teapi karena hubungan antar manusianya masih amat sederhana dan apa yang mereka butuhkan untuk hidup masih tersedia dalam jumlah cukup, kehidupan mereka tanpa aturan-aturan prilaku yang dirumuskan secara eksplisit masih dirasakan nyaman dan tanpa mengalami gangguan yang berarti. Kehidupan yang tenang dan menyenangkan itu mulai berubah ketika penduduk pulau itu mulai bertambah baik karena ada lagi kapal yang terdampar maupun karena kedatangan orang-orang yang menghuni pulau lain. Hubungan orang-orang di pulau ini mulai majemuk.

Karena tidak lagi sendirian di pulau itu, Robinson Crusoe dan pendatang-pendatang baru itu mulai mengatur hubungan antara orang-orang yang menghuni pulau itu untuk menentukan batas tanah yang dihuni mereka masing-masing dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pergaulan diantara mereka, termasuk hubungan mereka dengan benda dan tanah yang mereka miliki. Juga diperlukan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia yang berdiam di pulau itu karena kelamin yang berbeda. Timbulah apa yang dinamakan hukum yaitu aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antar manusia yang hidup bersama dalam satu kumpulan manusia atau masyarakat. Aturan-aturan mengikat mereka karena mereka sepakat untuk tunduk atau terikat oleh aturan-aturan itu.

Khusus tentang permasalahan personal diatur oleh aturan-turan yang dinamakan hukum privat. Termasuk ke dalam hukum privat adalah hukum perdata,hukum dagang, hukum ketenagakerjaan, hukum laut dan antariksa, hukum pertanian, dan hukum perdata internasinal. Kebalikan dari hukum privat adalah hukum publik yaitu aturan-aturan yang mengatur kepentingan umum seperti hubungan antara warga negara dengan Negara. Ia berurusan dengan sekalian hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana Negara itu melaksanakan tugasnya. Termasuk kedalam hukum publik adalah hukum pidana,hukum traktat,dan hukum publik internasional. Pembagian hukum berdasarkan isi (Privat dan Publik) ini hanya ada pada system hukum eropa (continental) sebab pada system common lawa tidak dikenal pembagian hukum sepeti ini, terutama di Inggris yang menggunakan system ini. Di Negara tersebut,baik perorangan maupun badan Negara/Pemerintah tunduk pada satu macam system hukum saja. Oleh karena itu di Inggris tidak ada pengadilan yang khusus mengadili perkara yang berhubungan dengan Negara. Perjanjian yang antara warga Negara dengan Negara tunduk pada hukum yang sama yang mengatur perjanjian anatara sesame warga Negara.

Pada awal perkembanganya yang dinamakan hukum privat adalah hukum perdata itu sendiri, sehingga ketika itu dalam system continental pembagian hukum yang berdasarkan isi, menggunakan istilah hukum perdata dan hukum publik namun seiring dengan perkembangan Negara dan masyarakat hukum tersebut mengalami perluasan dan perkembengan. Sehingga muncul aturan-aturan yang mengatur hubungan antar personal namun tidak dinamakan sebagai hukum perdata karena perbedaan karakter dan substansinya, walaupun mengatur hubungan antar personal seperti halnya hukum dagang, hukum agraria dan hukum perdata internasional. Olah karena itu munculah istilah hukum privat sebagai kebalikan dari hukum public, dan hukum perdata beserta hukum lainnya yang mengatur hubungan antar personal termasuk bagian dari hukum privat ini.

Dalam makalah ini kita akan mencoba untuk membahas secara lebih khusus tentang hukum perdata yang merupakan salah satu bagian dari hukum privat. Beberapa hal yang bersifat prinsip tentang hukum perdata ini akan coba kita uraikan pada pembahasan berikut ini dari mulai definisi, konsep, sifat dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum perdata.

Definisi Hukum Perdata

Banyak sekali rumusan tentang definisi hukum perdata yang dirumuskan oleh para ahli hukum, seperti halnya Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH. Guru besar dalam sosiologi hukum pada Fakultas Hukum,Universutas Diponegoro, Semarang mendefisikan hukum perdata sebagai sebuah hukum yang mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan anatara sesama warga (Negara dalam hal-red) perkawinan,kewarisan dan perjanjian.

Dr. Ibrohim Ibrohim As Sholihi, Dosen Fakultas Syariah wal Qonun, Universitas Al Azhar,Cairo,mengatakan bahwa hukum perdata adalah kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang dalam hubungan itu individu tersebut tidak berperan sebagai sebagai pemegang kedaulatan kecuali (yang tidak termasuk hukum perdata) beberapa hal yang yang menjadi objek hukum lain yang termasuk bagian hukum privat.

Dari definisi diatas tampak jelas bahwa hukum perdata adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur permasalahan-permasalahan yang muncul akibat hubungan antara individu yang satu dengan yang lainya dalam pengaturan orang, benda, perikatan, dan pembuktian. Termasuk dalam pengaturan orang hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan dan termasuk ke dalam pengaturan benda hal-hal yang berhubungan dengan pewarisan, piutang, wasiat, hak pakai hasil, gadai, hipotek dan lain sebagainya. Adapun yang termasuk ke dalam pengaturan perikatan diantaranya jual beli,sewa-menyewa,perjanjian kerja,pemberian kuasa. Sedangkan yang termasuk ke dalam pengaturan pembuktian anatara lain persangkaan, pengakuan, sumpah dihadapan hakim dan lewat waktu.

Dari dua definisi diatas , definisi yang terakhir disebutkanlah yang menurut hemat penulis merupakan definisi yang lebih lengkap untuk definisi hukum perdata, dibandinkan dengan definisi sebelumnya. Pada definisi terakhir ini Dr.Ibrohim membedakan antara individu biasa dengan individu yang berposisi sebagai pemegang kedaulatan (aparat pemerintah) ,yang fungsinya untuk mengecualikan sebuah hubungan yang terjadi antara dua individu dan salah satunya mengatasnamakan Negara,sehingga tidak termasuk ke dalam tindakan perdata.

Definisi ini juga mengecualikan hal-hal lain yang merupakan akibat dari hubungan antara individu biasa atau personal yang tidak termasuk dalam cakupan hukum perdata,atau dengan kata lain mengecualikan aturan-aturan yang termasuk dalam batasan hukum privat lainya walaupun hukum tersebut mengatur hubungan antar personal, seperti hukum dagang, hukum agrarian dan lain sebagainya yang termasuk bagian hukum privat.

Sifat Hukum Perdata

Sebagaimana halnya telah maklum bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh peletak undang-undang ketika merumuskan undang-undang itu adalah terciptanya keadilan, keamanan, ketentraman, dan kemaslahatan. Untuk terwujudnya tujuan ini maka undang-undang atau hukum ini dirancang sedemikian rupa untuk mengatur prilaku masyarakat demi terciptanya cita-cita ini. Kendatipun demikian bukan berarti adanya undang-undang atau hukum mematikan hak masyarakat secara penuh sebagai manusia yang merdeka dalam berbuat untuk kemaslahatan mereka. Itu semua tidak mengkungkung mereka dalam berprilaku, artinya mereka dapat berprilaku menyimpang dari aturan selama itu dapat menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya dan tidak mengganggu kemaslahatan umum serta tidak mengakibatkan terampasnya hak orang lain. Oleh karenanya pembentuk undang-undang terkadang membuat sebuah undang-undang yang tak kenal kompromi atau baku yang tidak bisa ditawar lagi, artinya undang-undang tersebut harus dilaksanakan sesuai ketentuanya. Dan terkadang juga undang-undang dibuat dalam bentuk yang elastis artinya ketentuan undang-undang itu bisa berubah sesuai situasi, kondisi,dan kehendak masyarakat. Hukum yang baku ini biasanya berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum sedangkan hukum yang elastis biasanya berhubungan dengan kepentingan individu atau sebagian kecil dari masyarakat.

Oleh kerena itu hukum apabila dipandang dari segi sifatnya maka terbagi menjadi dua bagian yaitu hukum pemaksa dan hukum pelengkap (elastis). Dari kedua sifat ini hukum perdata lebih bersifat elastis yang lebih banyak ditentukan oleh kesepakatan individu yang terlibat. Sehingga pihak peradilan Negara sebenarnya lebih banyak berperan sebagai penengah, bukan pemutus. Dalam hal ini jalur kompromi terbuka lebar. Perjanjian dan kesepakatan tertentu yang disetujui pihak-pihak yang bersengketa akan menyelesaikan kasus hukum perdata selama tidak menyalahi aturan umum.

Hukum Perdata Materil dan Hukum Perdata Formil (Hukum Acara Perdata)

Telah disinggung bahwa hukum perdata lebih bersifat elastis, sehingga pengadilan ketika menentukan hukum sebuah sengketa perdata lebih banyak bertindak sebagai "wasit" tidak bertindak sebagai pemutus. Namun walaupun demikian tetap harus ada sebuah aturan yang mengatur kekuasaan pengadilan. Oleh karenanya sebagai konsekwensi dari adanya hukum perdata maka harus ada juga undang-undang yang mengatur tata cara peradilan terhadap kasus-kasus perdata. Dalam tata hukum Indonesia undang-undang yang mengatur hal ini dinamakan undang-undang hukum acara perdata atau dalam perundangan-undangan Mesir yang sama-sama dengan Indonesia sebagai penganut mazdhab continental dinamakan Qonun Al Murofa'at Al Madaniyah wa Tijariyah.

Istilah lain untuk hukum acara perdata adalah hukum perdata formil sedangkan untuk hukum perdata adalah hukum perdata materil, dalam istilah kontemporer ketika disebut hukum perdata, maka yang di maksud adalah hukum perdata materil, dan istilah hukum acara perdata untuk hukum perdata formil.

Dr. Ibrahim As- Sholihi dalam bukunya Ad Dirosat Fi Nadzoriyat Al Qonun mengatakan bahwa hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur kekuasaan pengadilan, maka kaidah ini menjelaskan macam-macam dan bentuk pengadilan serta menjelaskan kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam menangani kasus-kasus perdata dan perdagangan.

Dari definisi ini tampak jelas bahwa hukum acara perdata mencakup dua pokok hukum yaitu, pertama aturan yang membahas kekuasaan pengadilan , maka yang pertama ini akan menjelaskan macam-macam dan bentuk-bentuk peradilan serta tingkatan-tingkatan pengadilan dan tata cara penentuan hakim yang ada pada suatu Negara, begitu juga mengatur hak dan kewajiban mereka.kedua, aturan yang membahas tentang prosedur pengangkatan dakwaan dan petunjuk pelaksanaannya di hadapan pengadilan.

Hukum acara perdata merupakan hukum yang terpisah dari hukum perdata, namun keduanya termasuk ke dalam bagian hukum privat karena sama-sama mengatur hubungan personal.

Demikian sekilas tentang hukum perdata, kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, masih banyak sisi penting tentang hukum perdata namun belum sempat paparkan untuk jadi bahan kajian bersama, seperti halnya hubungan Hukum Perdata dan Hukum Perdata Internasional,Hukum Perdata dan Hukum Dagang,serta hubungan Hukum Perdata Indonesia Dan Kompilasi Hukum Islam yang ada di Indonesia. Itu semua karena serba keterbatasan yang penulis miliki,untuk kami mohon maaf yang sebesar-besarnya,mudah-mudahan di masa yang akan datang semua kekurangan ini dapat teratasi, oleh karenanya saran dan kritik konstruktif terhadap makalah ini sangat kami harapkan dari para diskusan sekalian.

Referensi:

1. Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. dan Dr.B.Arif Sidharta, S.H.,Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, cetakan ke-1,1999, hal 12-13, Bandung.
2. Dr.Ibrohim Ibrohim As Sholihi, Dirosat Fi Nadzoriyat Al Qonun, Al Azhar, 2004, hal 92.
3. Soedaryo Soimin, S.H., KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ,SINAR GRAFIKA, 2005, Bandung.


(H.Akbar Hiban)

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 6:52 AM  

PENGANTAR SINGKAT HUKUM PIDANA

Pada mulanya, manusia tidak mengenal pembagian hukum seperti saat ini, tetapi hanya dicukupkan dengan aturan-aturan yang dirasa perlu untuk dijadikan pijakan hidup bersosial, baik itu didasarkan atas kepercayaan maupun dibuat oleh seorang penguasa. Sebuah kaidah hukum kuno tertulis yang terkenal dan diamini oleh banyak ahli hukum sebagai aturan hukum yang tertulis pertama adalah Prasasti Hammurabi (1728-1686 SM) yang mencakup tentang hubungan manusia, tindak kriminal, keluarga dan sistem sosial. Kemudian datang setelah masa Hammurabi aturan-aturan Agama Samawi; Yahudi dan Nasrani yang mengatur beberapa segi dalam kehidupan manusia sesuai dengan perintah Tuhan melalui utusan-Nya.

Dilanjutkan dengan aturan kehidupan bersosial yang dibuat pada zaman imperium romawi, aturan tersebut banyak dijadikan kaidah dasar disiplin-disiplin ilmu modern saat ini. Islam menggantikan disiplin hukum Romawi-Yunani di Arab dan Afrika Utara, nafas baru rennaisance (1350-1600) muncul di Eropa yang berusaha menghidupkan kembali khazanah keilmuan Romawi yang salah satunya ilmu hukum, sehingga muncul apa yang disebut Hukum Kontinental (Akbar Hiban; Demokrasi, Bulletin FSQ, April 2005), di dalamnya terdapat pembagian-pembagian hukum yang juga mancakup pidana dan perdata. Selain itu, berangkat dari banyaknya perkara yang berada di lingkungan pidana, sehingga dirasa perlu pengembangan disiplin ilmu untuk memperkuat dan melandasi aturan-aturan yang termuat dalam undang-undang pidana.
Ilmu yang melandasi kaidah-kaidah hukum pidana. antara lain; pertama, Ilmu Kriminologi, yaitu ilmu yang mencakup pembahasan dan studi tentang tindak kriminal, pelaku kriminal, lingkungan, sebab terjadinya kriminal, prevensiasi terhadapnya sekaligus cara penanggulanganya. Kedua, ilmu pidana (Ilmu 'Iqab) yang membahas tujuan utama dari sebuah hukuman/pidana, dengan cara memilih cara yang paling layak untuk pelaksanaan pidana agar mencapai tujuan dari pelaksanaannya. Kedua ilmu di atas menjadi landasan utama dalam menentukan aturan-aturan yang tercakup dalam hukum pidana, dengan tidak menafikan adanya ilmu lain yang menjadi penyangga kriminologi dan pidana karena hubungan antara ilmu-ilmu tersebut sangat erat, seperti, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Sosial.
Ada sebuah teori menarik di dalam Ilmu Kriminologi, yaitu Teori Lombroso, nama teori diambil dari pencetusnya, Cesaria Lombroso, seorang Italian, guru besar Ilmu Kedokteran, Kehakiman dan Ilmu Kejiwaan (1835-1909). Menurut teorinya, seorang penjahat itu sejak lahir telah memiliki ciri-ciri tertentu, misalnya; hidung pesek, rahang bawah panjang, tengkorak asimetris, tahan sakit dsb. Lombroso menyimpulkan bahwa, orang yang mempunyai ciri-ciri tersebut cenderung untuk dapat melakukan tindak kejahatan. Walaupun teori ini sangat terkenal di awal abad 20, namun banyak kritik terhadapnya, karena penekanan bahasannya hanya terhadap jasmani pelaku kriminal.

Secara umum, hukum dapat dimengerti sebagai; keseluruhan daripada peraturan-peraturan yang mana tiap-tiap orang wajib menaatinya, bagi pelanggarnya terdapat sangsi. Tetapi, semakin hari kehidupan bermasyarakat menjadi semakin berkembang, konsep pengertian hukum di atas tidak dapat mengayomi semua elemen sosial yang semakin bermacam corak dan ragamnya, sehingga pada akhirnya hukum sendiri di dalam praktiknya terbagi menjadi bermacam-macam sesuai dengan disiplin dan konteks kajiannya. Pembagian kaidah hukum yang sudah maklum adalah, Hukum Publik dan Hukum Privat, Hukum Publik membawahi; Hukum Internasional, Undang-Undang Konstitusi, Hukum Administrasi, Undang-Undang Finansial dan Hukum Pidana. Sedangkan Hukum Privat mencakup; Hukum Perdata, Undang-Undang Keluarga (Ahwal Syakhsiyah), Hukum Dagang, Hukum Ketenaga-Kerjaan, Hukum Industri, Agraria, Hukum Acara (prosedur) dan Hukum Privat Internasional.
Sesuai dengan pembagian di atas, hukum pidana termasuk dalam bagian hukum publik, ketentuan-ketentuan dalam hukum publik mengandung kaidah-kaidah memaksa, maksudnya; tidak dibenarkan adanya kesepakatan untuk melanggar aturan-aturannya, karena aturan tersebut bersentuhan langsung dengan ketertiban umum, contohnya; tidak dibenarkan mencabut nyawa seseorang dengan cara apapun juga walaupun dengan persetujuan korban, bagi pelaku dapat dituntut secara pidana, karena jiwa manusia bersangkutan langsung dengan ketertiban umum. Lain halnya dengan kaidah yang mengatur hukum privat yang bersifat elastis, artinya; boleh melanggar ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Hukum Privat selama ada persetujuan dari pihak yang bersangkutan, contoh; dibolehkan sewa-menyewa tanpa upah (aslinya harus dengan upah sewa) jika yang menyewakan setuju dengan hal itu. Karena penyewaan tidak berhubungan dengan ketertiban umum, melainkan hanya menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja.

Pembahasan Hukum Pidana juga menyangkut sub-sub hukum yang tercakup di dalamnya, seperti disebut di atas bahwa Hukum Pidana merupakan bagian dari Hukum Publik. Sudarsono S.H. Mendefinisikan Hukum Pidana sebagai; Hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang dirasa menyakitkan.
DR. Abdul Sami' Abulkhair, Dekan fakultas Syariah wal Qanun mendefinisikan hukum pidana dengan; kumpulan kaidah-kaidah memaksa, yang menentukan sebuah kriminal, hukumannya, dan tatacara pidana yang mencakup penyidikan, pengadilan serta pelaksanaan hukuman.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana sendiri terbagi menjadi dua pembahasan pokok, pertama, pembahasan substansi hukum pidana, yang mengandung; (a) Ketentuan menetapkan sebuah tindak kriminal dilihat dari faktor materil, seperti tindak pelanggaran hukum dan faktor moril, yaitu niat untuk melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja, (b) Ketentuan menetapkan pidana atas tindakan-tindakan yang dinyatakan kriminal. Kedua pembahasan tatacara pidana. Tatacara pidana mengatur proses penyidikan tindakan kriminal, mengangkat masalah kriminal ke pengadilan sekaligus prosedur pelaksanaan hukuman terhadap terdakwa yang dinyatakan bersalah.

Di Indonesia, Jika seseorang menyinggung tentang Hukum Pidana, maka yang dimaksud adalah substansi Hukum Pidana itu sendiri, yaitu aturan yang terdiri dari pasal-pasal pidana, terangkum dalam sebuah buku yang disebut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab tersebut mencakup tiga buku. Buku kesatu, Aturan Umum; yaitu aturan yang menetapkan sebuah prilaku sebagai tindak pidana atau bukan, waktu, tempat dan konteks di mana sebuah prilaku harus tunduk dalam batasan Hukum Pidana, aturan ini mencakup segala macam tindak pidana baik itu kejahatan maupun pelanggaran. Seperti konsep tentang percobaan kriminal (As-syuru'), gabungan delik (al musahamatu fi al jinayah), dll. Buku kedua, Kejahatan (jinayah); mengatur tentang tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan secara satu per satu dari segi faktor materiil, moril dan hukuman setiap tindak pidana tersebut, misalnya; kejahatan terhadap nyawa, pemerasan, pencurian, dll. Buku ketiga, Pelanggaran (junhah); mengatur tindak pidana yang tidak diatur di dalam buku kedua, tindak pidana yang termasuk dalam buku ketiga ini dikenakan hukuman lebih ringan, karena efek sosialnya tidak seberat aturan buku kedua, misalnya; pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran jabatan, dll.
Di samping KUHP, bagian kedua dari pembahasan hukum pidana di Indonesia adalah tatacara pidana, yang termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mencakup ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan dan dilaksanakan.

DR. Samih Gad mendefinisikan hukum acara pidana sebagai; kumpulan kaedah-kaedah hukum yang mengatur perkara pidana dari segi tatacaranya sejak dilakukan tindak pidana hingga diputuskannya vonis pengadilan oleh hakim, serta hak-hak dan kewajiban yang lahir dari tatacara tersebut baik yang berupa dakwaan pidana maupun perdata.
Dapat dirincikan, bahwa hukum acara pidana mengatur fase-fase yang harus dilalui oleh sebuah perkara pidana, pertama penyidikan dan pengumpulan bukti termasuk di dalamnya metode interogasi, kedua, fase pengadilan, seperti menentukan lembaga pengadilan yang berwenang dalam perkara yang diangkat dan memutuskan vonis, ketiga, fase naik banding atas vonis yang diputuskan. Lebih dari itu hukum acara pidana mengatur juga hak-hak perdata yang muncul sebagai akibat dari tindak pidana.

Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama, bahkan antara manusia dengan alam sekitar, tidak terlepas juga cakupan yang terkandung dalam Hukum Pidana. Islam membedakan antara tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja ('Amd) dan tidak sengaja (khata), ulama berbeda pendapat mengenai pembagian ini. Sedangkan dari segi Nash Syar'i nya, Islam membagi Hukum Pidana menjadi tiga bagian. Pertama, Hudud; menentukan aturan tindak pidana yang tidak menyangkut jiwa atau organ tubuh manusia, telah dijelaskan oleh nash tentang pengertiannya dan bentuk hukuman yang harus dikenakan. Seperti kejahatan pencurian, zinah, mabuk, dan murtad. Kedua, Qishash; kejahatan terhadap jiwa dan organ tubuh manusia, hukumannya telah ditentukan oleh syari'ah, berbentuk perbuatan semisal dengan tindakan yang dilakukan terhadap korban, seperti membunuh, menganiaya, dll. Ketiga, Ta'dzir; adalah kejahatan yang tidak termasuk dalam dua bahasan sebelumnya, dan diberikan kepada yang berwenang kekuasaan untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan tindakan kejahatan yang diperbuatnya demi kepentingan umum, seperti korupsi, pemalsuan, penipuan, dll.
Dengan demikian, secara singkat dapat diketahui secara global tentang Hukum Pidana dilihat dari disiplin ilmu yang malandasinya, pembagian hukumnya, kaidah yang mengaturnya, definisi serta pokok bahasan ketentuannya, sub-sub hukum dari segi pelaksanaannya dan cakupan hukum pidana yang diatur dalam Islam.

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 6:34 AM  

BUDAYA KITA?

Membincangkan budaya, tentu saja juga membincangkan masyarakat sebagai pelaku dan aktor dari terbentuknya sebuah kebudayaan. Dan komponen penting yang selalu berkaitan dengan budaya juga adalah sejarah dan peradaban. Kedua tema tersebut pun tak terlepas dari objek kajian masyarakat dan manusia sebagai pelaku utama sebuah sejarah dan peradaban.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang berbudaya, dan itu adalah fitrah yang tak hanya diakui Allah dalam kitab suci Al-Qurán, namun juga dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, yang mambuktikan bahwa pada salah satu dari bagian otak manusia terdapat bagian yang khusus menjadi penanggung jawab atas bahasa, dan budaya manusia.

Budaya kini mencakup tema yang lebih luas. Bila di jaman kolonialisme, budaya, secara gamblang dipisahkan oleh masyarakat Barat yang membedakan antara masyarakat yang berbudaya, maupun yang tak berbudaya. Masyarakat yang berbudaya digambarkan sebagai masyarakat yang mewakili komunitas yang mengenal tulis menulis, hidup menetap dan gambaran-gambaran lain untuk menjelaskan perbedaan antara masyarakat yang berbudaya maupun yang tidak berbudaya. Dalam hal ini terkait erat dengan tema-tema fundamental tentang sebuah peradaban, maupun tema politis dalam kaca mata orientalis dan kepentingan-kepentingan imperialis. Hal itu tentu berkaitan erat pula dengan latar belakang, maksud serta isi dari yang disampaikan dan yang oleh Barat pahami, misalnya, kebijakan politik, ekonomi, maupun kultural. Namun saat dunia telah mulai terbuka dengan globalisasi antar negara bahkan lintas agama, tema itu kini semakin diperluas, berbanding lurus dengan adanya kepentingan dan kebutuhan. Bahkan kadang, perluasan tema yang dikaji terlalu luas, hingga hasil yang diperoleh kadang sempit dan ‘menyempitkan’.

Budaya Barat, meski dengan dominasi bahasa, politik, maupun ekonominya, tidak pernah terlepas dari therma-therma budaya asal yang menjadi sebuah backround besar yang mendarah daging pada mereka, yaitu budaya Yunanai dan Romawi serta warisan dunia Kristen. Begitu pula dunia Timur, dan non Barat lainnya. Bisa saja dibuktikan bahwa Barat telah semakin mendunia dengan telekomunikasi dan industrinya, namun bagi non Barat sendiri—disini termasuk di dalamnya Islam, Arab, Cina, Afrika, Jawa, serta melayu—selalu saja akan menemukan jati diri mereka sebagai bagian pemilik Bumi yang berbeda. Dan identitas-identitas itu telah, dan akan terus bertahan, ada, bahkan akan bermunculan, baru, maupun bangun dari mati surinya.

Memahami budaya, yang saat ini barat menganggap mereka sebagai kiblat sebuah kebudayaan juga kadang tak mampu untuk bertindak proporsiaonal dalam memandang kebudayaan selain mereka. Barat menganggap bahwa budaya Barat adalah budaya global yang mampu merasuk ke dalam setiap sendi-sendi masyarakat di manapun ia di sudut dunia, sehingga setiap manusia mampu meniru, bahkan mengikuti dan menjadi bagian budaya mereka. Padahal itu mustahil terjadi, karena sebuah norma tak dapat bila hanya terbentuk dari adanya dorongan kekuatan politis, ekonomi maupun sosial saja. Namun ia adalah hasil dari sebuah perjalanan panjang sebuah komunitas masyarakat. Dan dunia Barat modern, sejak bangkitnya pada sekitar tujuh abad yang lalu belum mampu membaratkan dunia. Meskipun mereka telah mampu menguasai wilayah serta budaya tuan rumah yang mereka jajah dalam waktu yang tak sebentar. Sebuah contoh kecil saja, pemakaian alas kaki di dalam rumah adalah budaya yang sangat wajar di Barat, seorang tamu dianggap tidak sopan bila membuka alas kakinya di rumah yang ia kunjungi, namun tidak demikian dengan budaya yang disepakati mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.

Indonesia, sebagai negara yang patut dibanggakan atas keragaman budaya Rakyatnya, sebenarnya memiliki tugas yang tak ringan, karena diakui atau tidak, Indonesia tak hanya sebuah wilayah yang terdiri dari warisan daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan besar semisal Sriwijaya maupun Majapahit, juga tak hanya sebuah tanah air yang menjadi bagian dari satu bangsa penjajah yang sama. Tapi ruh persatuan Indonesia perlu dipahami sebagai wujud adanya ukhuwah Islamiyyah. Sekecil atau seringan apapun bentuk ukhuwah itu. Maka, kini ia telah berwujud sebuah negara yang berbendera merah putih dan berlambang Garuda. Tugas tak ringan tersebut, bisa jadi bertambah, bisa pula berkurang. Bertambah, saat komponen-komponen utama yang merupakan kekuatan atas dasar kesamaan historis, ternyata rusak. Bisa disebabkan oleh suber daya Manusia yang merupakan kekayaan intelektual yang tak seimbang dan merata, ego rasis, atau bahkan perpindahan agama. Bisa pula tugas tersebut bertambah ringan, bila hal-hal yang diharapkan di atas telah dapat terealisasikan.

Budaya Melayu, sebagai bagian dari budaya-budaya yang mewarnai khazanah budaya Indonesia tak dapat dilepaskan dari kajian kebudayaan ini, dan Islam sendiri juga tak dapat dilepaskan dari sejarah Melayu. Hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa sopan santun melayu dan tata karma melayu adalah sopan santun Islam dan tata krama Islam.

Sedangkan Islam, tak hanya sekedar agama yang memiliki daya elastisitas yang sangat baik pada budaya-budaya yang diwarnainya, namun juga dapat menjadi budaya yang seakan menjadi satu dengan budaya tersebut, bahkan dapat membentuk sebuah budaya yang seakan sama sekali baru. Sebagaimana yang terjadi pada budaya Melayu Islam.

Islam Melayu-Indonesia sejak awal telah menjadi perhatian para sosiolog maupun sejarawan. Meskipun pada masa-masa awal penelitian dan perhatian tersebut atas dorongan semangat Kolonialisme dan kepentingan ekonomi dan politik penjajahan. Banyak hal dalam Islam Melayu-Indonesia memang menjadi daya tarik bagi para sarjana, antara lain karena watak atau karakteristik Islam Melayu Indonesia Malaisia yang memiliki kekhasannya tersindiri. Yang berbeda dengan watak Islam di wilayah lain khususnya di Timur Tengah. Selain itu, perkembangan Islam di wilayah ini juga mengalami fase yang begitu mengesankan, menunjukkan adanya dinamika dan kreatifitas bangsa Melayu Asia Tenggara, baik menyangkut wacana maupun praktek-praktek keagamaannya.

Corak dan karakteristik Islam di Melayu-Indonesia ini tak hanya menimbulkan berbagai apresiasi, tapi juga pandangan-pandangan yang bernada kritis. Tidak sedikit yang menilai Islam Melayu-Indonesia terlalu ‘jinak’ dan terlalu akomodatif terhadap berbagai kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Sehingga disebabkan itulah, Islam Idonesia bersifat sinkretik, tidak murni, dan telah lepas dari arus utama Islam di Timur Tengah, sebagai pusat Islam.

Bahkan hal ini juga yang menyebabkan beberapa ilmuwan menganggap bahwa Islam Melayu-Indonesia adalah ‘bukan Islam yang sebenarnya”. Namun, di sisi lain, kekhasan ini juga tidak jarang dipandang sebagai kekuatan dan daya tarik tersendiri, karena hal tersebut berarti menunjukkan adanya respon, dinamika dan kreasi dari masyarakat Melayu Indonesia, dan juga negara negara Jiran dalam meresepsi Islam.

Eksistensi Melayu, sama halnya dengan eksistensi kebudayaan kebudayaan-kebudayan minor di dunia, sedang mengalami ancaman dengan terkiskisnya oleh eksistensi budaya mayor yang mendunia dan lebih bersifat global. Dan begitu juga yang terjadi pada kebudayaan dan kekayaan kebudayaan yan telah dibangun umat Islam—yang dalam hal ini Islam dalam tema kajian kebudayaan, meskipun Islam sendiri adalah agama, bukan sebuah kebudayaan—budaya Islam, telah terbentuk dengan demikian rupanya budaya tersebut. Islam tak sekedar menara-menara yang menjulang serta alunan Adzan serta lantunan Tahlil dan Barzanji, tak sekedar pergaulan yang terbatas atas hubungan laki-laki dan perempuan, akad nikah serta akad perceraian. Namun Islam menjadi bagian darah mereka yang menganutnya, karena ia telah menalir bersama darah bapak ibu serta nenek moyangnya. Ia juga berkembang bersamanya hingga saat gilirannya melahirkan generasi-generasi baru. Budaya Islam Melayu bahkan telah mengakar begitu kuat, sampai-sampai meski budaya Islam Murni yang ke Araban telah tercerabut dari dirinya, budaya Islam Melayu masih mampu menjadi pembangun sebuah kesadaran lain yang masih begitu kuat dalam diri seorang Musli Melayu. Hingga ada slogan yang populer di tengah masyarakat, yang berbunyi “Memang aku tak sholat, aku pun tak puasa, tapi kalau Islam dihina, aku tak kan rela.”
inspired with "The clash of civilization - Samuel P Huntungton"
*hasido*

(+) Show All...

Posted in Labels: Posted by Forum Studi Syari'ah wal Qanun at 8:33 AM  

 

wibiya widget

Copyright 2008. Forum Studi Syari'ah wal Qanun. Home